Powered By Blogger

Minggu, 02 Desember 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (19)

Air mata adalah sekresi langka yang terpaksa saya keluarkan dalam minggu ini. Pertama di awal minggu. Wujudnya berupa linangan karena buncahan rasa syukur di dalam hati. Sebabnya, anak lelaki saya, Andrie pada akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga konsultan di Jakarta yang dulu pernah menyatakan diri menolak lamaran yang diajukannya.

Awalnya anak saya yang sudah setengah tahun lulus kuliah, berniat mencari pekerjaan tak jauh-jauh dari rumah dengan maksud agar bisa tinggal di rumah merawat saya. Kebetulan sekali sahabat baiknya semenjak kuliah sudah bekerja lebih dulu, dan mendapati kekurangan staf di kantornya. Dia kemudian berinisiatif mengajak anak saya ikut melamar. Sayang lamaran anak saya tidak kunjung dibalas, sehingga terkesan anak saya tidak bisa bekerja di sana. Namun tanpa diduga, setelah anak saya juga sibuk mengikuti test penerimaan pegawai di sejumlah tempat, hari Jumat seminggu yang lalu sahabatnya memintanya datang menghadap kepala bagian kepegawaian kantornya itu keesokan harinya. Dalam pesan singkatnya, tiba-tiba anak saya diminta datang untuk diwawancarai tanpa perlu membawa surat lamaran.

Alangkah gembiranya kami, tapi tentu saja dicampuri rasa tak percaya sebab tanpa bersusah payah menulis surat lamaran. Janji mereka, anak saya cuma diminta menggandakan ijazah serta kartu identitas dirinya saja. Tak lebih tak kurang. Kejadian ini berlangsung ketika saya baru saja selama lima hari melaksanakan sembahyang tahajjud saya kembali, dengan melawan segala rasa yang mengganggu saya mengikuti saran dari sinshe yang merawat saya. Pesannya dalam kunjungan-kunjungan saya yang terakhir ke tempat prakteknya, saya diminta melaksanakan meditasi malam hari, sebab itu merupakan jalan untuk meminta segala hal, termasuk kesembuhan saya. Dia sendiri berjanji akan mendoakan saya sebaik-baiknya melalui meditasi yang dilakukannya. Lalu saya pun mengerjakannya. Meski banyak kendala, di antaranya adalah rasa sakit yang membuat saya ingin terus berbaring tapi saya tekadkan untuk mulai beribadah malam kembali.

Kenyataannya, setelah datang menghadap ke kantor yang memanggilnya di hari Sabtu, Minggu malamnya anak saya sudah mulai menginap di Jakarta karena kantor itu mengharapkannya mulai bekerja hari Senin pada pukul tujuh pagi. Padahal dari rumah kami agak sulit mendapatkan jadwal yang pas untuk berangkat dengan kereta listrik. Akhirnya, sahabat anak saya mengundangnya untuk menginap di tempat kostnya sambil mencari rumah kost sendiri.

Semudah itu semuanya terjadi, di hari Rabu malam, tiba-tiba dia mengabarkan bahwa rumah kost di daerah itu penuh semua. Ada tempat yang bagus, tapi harganya tak terjangkau. Sehingga saya menyarankannya untuk menghubungi kakaknya, yakni kemenakan yang saya asuh sedari kecil yang juga kost di Jakarta Selatan di daerah kantor anak saya Andrie. Seingat saya, kemenakan saya ini mengatakan rumah tetangganya yang menerima kost lelaki masih punya kamar kosong. Andaikata anak saya mau, dia akan mengajak untuk menyewa penatu pencuci pakaian mereka berdua. Dengan begitu ongkosnya akan lebih murah.

Mendengar saran saya, anak saya mengatakan akan menimbang-nimbang terlebih dulu karena dia masih ingin mencari kemungkinan tinggal bertetangga dengan sahabatnya agar bisa mengerjakan lembur mereka bersama-sama. Katanya lembur sering ada tiap hari, meski upahnya tak pernah dibayar. Saya hanya diam saja. Di dalam hati saya cuma mendoakan supaya keinginannya tercapai. Tak perlu kiranya saat sekarang memperhitungkan upah kerja. Sebab memperoleh pekerjaan secara tak diduga pun sudah membahagiakan benar. Maklum saya dalam keadaan sakit, dan anak-anak adalah penopang hidup saya. Lalu tak disangka-sangka lagi, dalam satu jam ke depan anak saya melaporkan bahwa dia sudah mendapat rumah kost yang lebih baik keadaannya dibandingkan dengan rumah kost temannya. Letaknya cuma di balik dinding rumah itu. Ongkos sewanya nyaris sama, bahkan ada kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki di tempat sahabatnya. Katanya, saat itu dia menelepon sambil berjalan menuju ke rumah kostnya akan mulai tidur di sana. Subhanallah, semuanya begitu dimudahkan Tuhan.

***

Kali kedua saya menangis lagi, bukan disebabkan terharu atau bersyukur. Melainkan kesakitan. Sakit yang saya tak pernah membayangkannya sebelum ini. 

Hari itu saya sudah bertemu dengan sinshe. Obat taburan untuk tumor saya yang pecah menganga bernanah sudah di tangan saya. Isinya sangat sedikit, meski harganya tentu saja mahal. Sebab katanya, obat itu terbuat dari akar-akaran yang cuma tumbuh di daratan Cina. Baunya pun menegaskan itu. Sangat tajam, tidak ada enak-enaknya sama sekali. Obat itu harus dipakai secara cermat namun sering sehingga cepat sekali habis.

Ketika obat itu tinggal sedikit sekali, saya semakin berhati-hati menggunakannya. Sehingga luka saya tak kunjung membaik. Bahkan di hari itu, pagi-pagi saya sudah menahan tangis. Bayangkan saja, saya seperti merasakan luka bekas operasi besar di sekitar perut saya yang kehabisan obat pemati rasa. Sehingga saya amat merindukan narkotika dalam dosis yang tertinggi yang dulu kerap menjadi pelawan rasa nyeri saya. Demerol, saya mencoba mengeja namanya mengikuti saat pertama saya berurusan dengan rasa sakit akibat pembedahan.

Semakin siang saya tak kuasa lagi menyembunyikan perasaan saya. Perlahan-lahan saya pindah kamar menghindari kebersamaan dengan anak bungsu saya yang karena kesetiaannya mengorbankan waktu kuliahnya demi saya. Dia mengikuti dengan tatap matanya, tapi tanpa tanya. Kemudian saya melantunkan dzikir dan doa memohon agar saya diberi kekuatan kepada Allah dari balik selimut yang saya sengaja menutupi tubuh hingga wajah saya.

Saya tak tahan lagi. Tapi saya pun belum ingin mati. Saya masih mengharapkan dapat menyaksikan anak-anak saya benar-benar mandiri. Lalu bertemu gadis shalehah, dan meminangkan untuk mereka. Terakhir, saya ingin menyaksikan kelahiran anak-anak mereka yang akan saya asuh dengan cara yang sama seperti saya mengasuh anak-anak saya dulu. Dengan dongengan, gita kidung asmara serta obrolan-obrolan ringan dari hati ke hati. Saya ingin mengajari mereka mengucap doa ketika mereka menerima rizki mereka di meja makan setiap kali ibu mereka menghidangkan makanan, juga kesyukuran ketika mereka dibangunkan oleh matahari pagi kiriman Allah. Pokoknya, saya ingin mengajari caranya bersyukur lewat komunikasi sederhana dengan Sang Maha Pencipta.

Tiba-tiba saya teringat buku yang baru saja dibelikan Andrie anak saya. Tentang ibadah bagi orang sakit. Di sana ada pesan untuk tidak meninggalkan shalat dengan mengerjakannya sesuai kemampuan kita. Tak tertinggal ada doa-doa yang berkaitan dengan permintaan bagi orang sakit. Dari buku itu juga saya tergerak benar mengerjakan kembali shalat tahajjud saya, karena katanya, tahajjud itu amat disenangi Allah. Lalu permintaan orang sakit dikatakan dikabulkan olehNya karena shalat-shalat itu termasuk tahajjud.

Saya raih buku yang tergeletak persis di sisi tempat tidur anak saya itu. Karena selama sakit ini, saya memang sengaja memilih tidur bersama anak bungsu saya yang amat telaten merawat saya. Sambil menangis saya lantunkan doa yang diajarkan di situ. Terus berulang-ulang hingga tak terasa, saya mulai bisa menguasai diri. Setelah itu saya kembali ke ruang bawah menggabungkan diri dengan anak saya yang tengah asyik menyetrika pakaian sebab saya tak sanggup lagi melakukannya.

Dia menoleh ke arah pintu begitu mendengar saya membukanya. Tatapannya penuh curiga mengarah ke wajah saya. "Ibu kenapa?" Tanyanya amat lembut. Dia menghentikan setrikanya.

Saya menggelengkan kepala, tak urung saya jawab juga, "sakit dik, tapi apa yang bisa kita lakukan lagi?" Ujar saya seraya membaringkan diri di kasur saya sendiri yang sudah sangat lama tak lagi saya tiduri. Tiba-tiba sakit itu menyengat lagi membuat saya menjerit tak tertahankan mengakibatkan anak saya benar-benar kepanikan. Dalam situasi itu, mulut saya terus saja berdzikir dan berdoa mohon kebaikan, kesembuhan dan kekuatan untuk panjang umur.

Dengan bimbang anak saya mengambil telepon genggam saya. Lalu dia menghubungi sinshe menanyakan apa yang sebaiknya kami lakukan. Agaknya dia tak peduli lagi apakah saat itu sinshe tengah bekerja mengobati pasiennya. Untungnya sinshe segera menjawab. Kata sinshe dia tak bisa melakukan apa-apa lagi. Hanya menyarankan anak saya menaburi luka saya lebih banyak lagi dengan obat bubuknya. Menurutnya, obat bubuk itu sudah yang terkuat yang dipunyai farmasi keluarganya. 

Anak saya bergegas membuka pakaian saya untuk mengamati luka saya. Dengan cemas dia melaporkan keadaannya sangat buruk. Pecahannya amat lebar, sedangkan daerah di sekitarnya sangat membengkak merah kehitam-hitaman. Tapi saya puji, anak saya amat tenang di dalam melakukan semua tindakannya. Atas laporan pandangan mata anak saya, sinshe menyuruh anak saya untuk melucuti pakaian dalam saya, agar tak ada yang bisa menyentuh kulit saya. Lalu pakaian saya pun diharuskan diganti dengan segala yang serba longgar. Itu artinya, saya perlu punya persediaan pakaian tidur, daster yang sangat banyak. Maklum, tiap sebentar pakaian saya akan lengket dengan kulit saya yang senantiasa basah menyakitkan itu.

Hari itu alhamdulillah ada pelipur lara lagi yang datang juga tanpa terduga. Salah seorang teman sekolah kemenakan saya di SMP dulu yang sekarang menjadi anak maya saya di sini, datang bertandang ke rumah untuk kedua kalinya. Kali pertama dia mengantarkan buah-buahan segar yang menjadi menu harian saya. Dan kali ini dia kembali lima menit saja untuk membawakan saya sekeping Cakram Digital yang berisi musik-musik serta bahan perenungan yang bisa digunakan untuk menenangkan pikiran (relaksasi). Cakram istimewa itu, khusus dibuat oleh suaminya untuk saya. Bukan main, Maha Suci Allah yang Maha Agung. Dengan segala KasihNya telah dilimpahkan sejuta kebaikan yang tak terkira bagi saya sekeluarga.

Saat itu sakit yang saya rasakan seperti mendapat penawarnya. Saya mulai berdamai dengan deraan itu lewat masa istirahat yang tenang di atas pembaringan saya. Tuhan itu Maha Penyanyang adanya.

(Bersambung)



8 komentar:

  1. Alhamdulillah.....seneng denger perkembangan terakhirnya Tante
    Allah Maha Penyayang Tante, Maha Penyembuh, semoga prasangka baik kita selalu terjaga ya Tante .....

    *peluk dari jauh*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneran lho mbak, kedatangan mbak Nuri membawakan CD siang itu pas banget tante lagi nangis kesakitan. Makanya mbak Nuri mesti nungguin tante turun dengan leletnya dari lantai atas 'kan?! :-D

      Sekali lagi, terima kasih kembali, kembalinya banyak ah, karena mbak Nuri dan keluarga bener-bener tetangga yang tulus untuk tante. Diana juga menyampaikan terima kasih, katanya nggak nyangka teman lama yang dia cuekin kok malah sangat perhatian sama tante. Dia jadi malu. :-P

      Hapus
  2. Enggal husada yo tan...
    Duh jan nrenyuhke tenan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin-amin-amin. Iya arep terus tak upayakna ben aku bisa bregas maneh, kepengin bisa nungkuli cah-cah dha dadi wong sing bener, sing ora ngemis-ngemis tur bisa nyenengake wong akeh. Ngono lho nak.

      Matur nuwun pandongane ya.

      Hapus
  3. sekarang gimana lukanya mbak? pecah tumor gitu? sedih bacanya..
    tabah ya mbak kalu lagi kesakitan..

    pengen pelukpeluk m.julie..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Luka saya masih belum kering juga. Sakitnya luar biasa, ini yang pecah ternyata kalau kata sinshenya cuma lapisan luar si tumornya, bukan akar-akarnya. Yang kelihatan merah bengkak itu isinya nanah, sakitnya karena itu.

      Terima kasih suntikan semangat ya, semoga saya kuat ngadepinnya tiap hari. Kasihan anak saya, dia kan yang merawat saya. Dia tahu rasanya bau badan saya nggak enak banget.

      Hapus
  4. Baru mampir di sini lagi, Bund...

    Ikut senang deh si Mas udah dapat kerja. Semoga sukses yaaa.

    Semoga cepat membaik juga kesehatan Bunda. Gak ada yang mustahil kalo Tuhan memang mau ngasih kesembuhan, Bund.
    Tetap semangat yaa...

    Peluk sayang dari jauh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh ada tamu agung dari Bandung. Terima kasih ya atas ungkapan senangnya, belum bisa dibilang dia nyaman dengan pekerjaannya sih, soalnya dia merasa asing dengan bidang tugasnya. Tapi saya bilang, pelajari aja terus dan upayakan merasa ingin tahu, tertarik dsb supaya cepet menguasai dan jadi kepake di tempat kerjanya.

      Terima kasih juga atas doanya buat saya yang udah sangat sering dilontarkan. Kalau Allah berkehendak, saya yakin suatu saat ada kesembuhan, cuma mesti sabar sih. Apalagi berobatnya di sinshe.

      Pelukan balik ya.......

      Hapus

Pita Pink