Powered By Blogger

Senin, 03 Desember 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (20)

Ada yang menyentuh hati saya di akhir pekan kemarin. Anak saya Andrie yang baru mulai bekerja untuk pertama kalinya, menyatakan diri akan pulang ke rumah menengok saya. Meski di hari Sabtu siang dia mengatakan masih sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya yang belum terselesaikan, tetapi dia tetap bersikeras pulang barang semalam. "Pokoknya aku harus melihat sendiri bagaimana sesungguhnya keadaan ibu, sebab sekarang ibu 'kan sudah jadi tanggung jawabku," katanya beralasan waktu saya menyarankan agar dia terus saja mengerjakan lemburannya demi pembelajaran akan tugas-tugasnya.

Benar saja, lepas maghrib ketika saya baru saja menyudahi dzikir saya, anak saya masuk ke dalam kamarnya yang kini saya okupasi sejak sakit. Suaranya yang khas membuat telinga saya langsung mengangkat kepala tegak memandang ke arah pintu kamar. Dengan wajah tenangnya yang terkesan lugu, dia mengembangkan senyum lalu meletakkan tasnya di sisi saya. Diambilnya tangan saya ke dalam genggamannya lalu diciumnya dengan santun. "Assalamu'alaikum, ibu bagaimana?" Itu kalimat yang dilontarkannya langsung mengarah kepada saya.

"Ah, kamu terlalu mengkhawatirkan ibu. Semua masih seperti kemarin kok, tapi ibu sudah terbiasa mengatasinya. Kamu sehat-sehat 'kan?" Jawab saya berbalik arah meneliti keadaannya seraya menajwab salamnya. Dengan berpakaian celana pendek dan kaus oblong merah cabai, kelihatan benar bahwa anak saya sangat santai. Dia mengangguk menjawab pertanyaan saya itu, lalu mulai memperhatikan saya, selagi adiknya asyik menuturkan kejadian kemarin dulu yang membuat dirinya panik. "Oh, jadi sampai hari ini sinshe nggak ngasih tambahan obat lagi?" Simpul anak saya begitu adiknya selesai bertutur.

"Ya, nanti atau besok akan ibu coba menghubunginya lagi lewat SMS," jawab saya. "Tapi kamu jangan kuatir, ibu baik-baik saja, cuma sekarang kau lihat, ibu berpakaian begini longgar. Dan lagi kalau kau lihat dada ibu basah, itu artinya luka ibu menyemburkan cairan yang bau itu, insya Allah dengan doa-doa dan ketekunan ibu makan obat serta diet semua akan lekas membaik," saya kemudian bangkit dari duduk saya lalu melipat pakaian sembahyang saya. Sudah lama memang saya bersembahyang sambil duduk saja, sebab, untuk membungkukkan tubuh, rasanya dada saya nyeri sekali.

Anak saya beralih mengarahkan pandangannya ke dada saya yang mulai saya lucuti dari pakaian sembahyang. Ada noda basah kekuningan di sekitar tempat tumbuhnya tumor saya. Sejenak dia terdiam, kemudian menarik nafas dan meminta saya untuk bersabar. "Begini lho, sinshe bukannya menyerah mengatasi penyakit ibu, cuma sedang berupaya mencarikan obat lain lagi," ucapnya berupaya berpikiran baik menenangkan saya.

"Ya, betul begitu. Kemarin dulu waktu aku telepon, sinshe 'kan bilangnya nanti waktu treatment berikutnya diusahakan akan membawakan solusi lain. Dia akan carikan obat lagi yang sekarang belum diketahuinya, ibu jangan panik," timpal adiknya menjelaskan.

Malam itu jadi malam Minggu paling mengesankan untuk saya. Sebab itu malam Minggu pertama saya menyaksikan anak saya beristirahat dari rutinitasnya yang baru, menjadi pegawai. Lalu kami mengobrol panjang-lebar mengenai pekerjaannya. Katanya dia masih belum terbiasa, namun mulai mengerti dan menyukainya. Bahkan karena kantornya sangat kecil, dia akan diberi seorang teman lagi dalam waktu sangat dekat ini untuk mengurangi bebannya. Sebab banyak klien besar yang menggunakan jasa konsultan di kantornya, tetapi belum tertangani dengan baik. Saya biarkan anak-anak saya mengobrol dengan ramainya. Bahkan kemenakan saya yang memang selalu pulang ke rumah di akhir pekan, kebetulan kali ini juga bekerja lembur hingga tiba lebih malam dibandingkan adiknya tadi. Dengan pengalamannya dia mengajari anak saya untuk bersabar dan bertahan, karena mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat bukanlah hal mudah. Bahagianya saya mendengarkan bincang-bincang mereka yang diiringi suara hiburan dari televisi yang dinyalakan. Rumah kami kembali ceria.

***

Keesokan paginya anak-anak mengajak saya membeli pakaian sehari-hari yang longgar, selagi saya kembali mengirimkan SMS keluhan kepada sinshe saya. Jujur saja, selapis kain tipis yang menyentuh daerah payudara saya yang meradang, mampu membuat saya meringis bahkan menjerit tanpa kendali. Karenanya mereka begitu berniat untuk mengganti baju-baju saya yang tak memadai lagi itu. Padahal saya tahu, sebagai pegawai baru anak saya sendiri mempunyai banyak kebutuhan untuk dirinya memulai rutinitas sebagai orang kantoran.

Kami menuju ke pusat pertokoan kuno di dekat rumah orang tua saya dulu. Di situ saya yakin akan menemukan yang saya butuhkan, sekaligus membeli strawberry organik. Strawberry yang kaya akan antioksidan biasa saya konsumsi bergantian dengan buah naga berdaging merah sesuai saran sinshe. Saya kemudian juga tertarik membeli sepasang sandal karet kulit di toko tua yang kini keadaannya sungguh serupa gudang. Dengan mengenakan sandal seperti itu yang tanpa hak, saya bebas bergerak di dalam rumah saya, sekaligus cukup pantas jika tiba-tiba ada tetamu datang menengok. Terus terang saja, sejak saya sakit ini banyak orang yang tanpa diduga sengaja datang menengok. 

Pasangan tua pemilik toko itu menyambut kami dengan ramah. Lagak bicara dan gaya bahasanya mengingatkan saya akan tokoh-tokoh pada boneka jari. Saya tersenyum sendiri karenanya. Ketika akan berpamitan, saya didoakan supaya senantiasa sehat walafiat, yang tentu saja saya jawab dengan kata amin. Saya bilang, saat ini justru saya sedang sakit kanker payudara seperti tetangga di sebelah rumah merangkap toko mereka. Entah mengapa, tiba-tiba saya jadi ingat ibu teman SD saya yang berprofesi sebagai penjahit yang meninggal akibat kanker payudara lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sakitnya tidak lama, tahu-tahu kami semua sudah kehilangan penjahit pakaian kesayangan kami, seorang Cina berumur sekitar lima puluh tahunan yang gemuk.

Demi mendengar penuturan saya, nyonya dan tuan pemilik toko itu terperangah. Mereka membenarkan bahwa tetangganya dulu meninggal karena kanker payudara yang tak terselamatkan lagi. Dari mulut pasangan tua itu saya baru tahu bahwa setelah dioperasi di rumah sakit besar di Jakarta, ibu teman saya ini justru memburuk. Tumornya sama seperti tumor saya, pecah bahkan menyebar hingga ke bagian lain tubuhnya yang sehat. Jiwanya terenggut begitu saja, meninggalkan anak-anaknya, yang di antaranya seorang gadis pelajar SMA.

Saya sampaikan kepada pemilik toko sandal itu bahwa karena saya sudah sering dioperasi namun masih juga menyimpan sel-sel tumor, maka saya lebih memilih untuk berobat kepada sinshe saja. Tak dinyana, pasangan tua itu mendukung upaya saya. Katanya, itu lebih baik daripada berobat ke dokter, sudahlah mahal, disakiti, tak tertolong juga. Sebagai masyarakat keturunan Cina tentu saja beliau berdua amat percaya akan keampuhan pengobatan jamu Cina begini. Hanya saja mereka berpesan untuk bersabar dalam berobat, karena sesungguhnya iklan sinshe yang dulu kerap tayang di televisi banyak yang menyesatkan. Menurut mereka, tak akan mungkin suatu penyakit serius bisa ditaklukkan jamu hanya dalam waktu lima kali terapi saja. Dan saya pun menjadi semakin yakin untuk melanjutkan pengobatan ke sinshe. Sebab, sinshe pun berpendapat demikian. Di sana, di kuil Shaolin tempatnya menimba ilmu dan ditempa keluarganya, para sinshe dan ahli obat-obatan Cina diberitahu bahwa mengobati pasien itu tak bisa tergesa-gesa, ingin segera menyembuhkan. Sebab, sinshe dan herbalis itu hanyalah manusia yang ilmu serta kepandaiannya terbatas. Jadi kuncinya adalah pada kata sabar dan tekun telaten. Maka terkembanglah senyum di bibir saya mengenangkan itu semua. Senyum terima kasih karena sudah dibantu diingatkan untuk pantang menyerah menjalani pengobatan saya.

***

Sepulangnya berbelanja pakaian saya, sebetulnya hati saya menjadi semakin sedih. Sebab, lagi-lagi tiba-tiba saya mesti mengingat sebuah kasus kematian akibat kanker. Padahal jauh di dalam hati ada keinginan saya untuk melupakannya.

Sehabis makan siang dan menelan semua obat yang diharuskan, saya minta diri untuk beristirahat. Saya tunaikan dulu shalat dhuhur saya yang tertunda, sebelum akhirnya saya naik ke atas kasur. Sedangkan anak-anak saya sibuk berdua-dua mempersiapkan kebutuhan Andrie yang akan dibawa ke Jakarta sambil menuntaskan rancangan kegiatan yang harus dilakukan minggu ini.

Diam-diam saya memasang telinga saya. Dan dalam tidur-tidur ayam saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Betapa tidak, anak-anak itu, kini mereka telah pandai mengambil alih peran orang tua. Mengelola rumah tangga sambil menata masa depan mereka. Ah, beruntungnya saya.

Saya mencoba bangkit dari pembaringan ketika, tangan anak saya menyentuh lembut pipi saya, akan minta diri berangkat ke Jakarta lagi. "Doakan aku ya bu, semoga pekerjaanku terpakai, dan aku bisa cepat mandiri seutuhnya. Ibu nggak boleh mikir macam-macam, percaya saja bahwa takdir kita adalah takdir yang baik adanya............," begitu ucap anak saya. Lalu tangan saya diraihnya dibawa ke hidungnya. Saya pun membalasnya dengan kecupan di pucuk rambutnya. Ah, wangi rambut dan tubuhnya itu masih sama seperti dulu. Wewangian lelaki yang sejati. Percampuran antara keringat dan harumnya parfum pejantan. Saya menebar senyum termanis untuknya. Sampai jumpa minggu depan ya nak..............

(Bersambung)

16 komentar:

  1. Lanjut ning kene yo Tan?

    *tak simak alon2*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, iki isih pada wae sih ceritane, mung digawe seje carane crita. Mangga........ nyumanggaake.......

      Hapus
  2. Keluarga yang bahagia. Salut buat keluarganya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah nak Umar bisa'an aja deh mujinya. Tapi ya, memang alhamdulillah kami rasanya bahagia walau ditimpa kesusahan. Sebab prinsip kami, kebahagiaan itu tidak harus dicari, melainkan harus ditimbulkan sendiri. :-)))

      Salam bahagia juga untuk keluarga nak Umar ya.

      Hapus
  3. sabar ya bunda,
    salut dgn mas-mas putranya bunda yg penyayang
    (jadi inget yusup, hiks)

    BalasHapus
  4. Insya Allah saya memang cuma punya kesabaran, nggak punya ongkos lagi buat cari pengobatan lainnya. Semoga kesabaran itu pembayar kesembuhan buat saya.

    BTW percaya kan sama saya, bahwa sesudah kita ikhlaskan kehilangan anak, maka kita dapat lagi, gantinya malah lebih baik betul. :-) Didoakan nak In semoga segera dapat yang seperti apa yang saya miliki sebagai anugrah terindah dari Allah SwT ya.

    *peluk cium*

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bunda, terima kasih doanya
      amiin
      #hugs

      Hapus
    2. Terima kasih kembali, semoga lekas diijabah.

      *hugs back*

      Hapus
  5. Konon katanya, anak lelaki itu anak kesayangan ibunya. seperti halnya anak perempuan itu kekasih hati bapaknya alias anak kesayangan.
    kalau kebanyakan orang bilang sabar ada batasnya, aku rasa dalam hal pengobatan begini sabar itu tak terbatas ya Bun, yang penting jangan patah semangat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heu-euh bener, kalau nggak sabar malah mati, nanti kasihan kan anak-anak saya?! :-D

      Hapus
  6. turut senang deh mbak membaca andrie sudah bekerja dan selalu pulang nengok m.julie.. bahagia deh bacanya..

    sabar ya mbak.. lanjutkan ke sinshenya.. emang obatnya cuma sabar.. iklan yang bilang 5 kali terus sembuh itu kog menyesatkan ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekali lagi terima kasih atas simpatinya. Iya dia mengorbankan banyak waktunya untuk saya selama ini, jadi sekarang saatnya dia menata diri dan masa depannya sih.

      Sinshe cuma satu-satunya harapan saya, saya nggak percaya dokter lagi. Karena iklan di TV menyesatkan gitu, makanya dilarang tayang lagi kan?

      Hapus
  7. Akhirnya saya buat blogspot juga Bunda hehe khusus supaya bisa berhubungan lagi dengan Bunda lho. Alhamdulillah, akhirnya putra Bunda sudah bekerja. Aji juga sudah bekerja di perusahaan Konsultan Bunda. Sssttt...jangan beritahu siapa-siapa identitas saya yang asli di sini dan dimana-mana ya Bunda. Di sini saya menjadi Cinderela :), only Bunda who know who I am and my name in the real life...Keep it secret please :)...

    BalasHapus
  8. Hahahaha..... nak Rela?! Iya Andrie juga di konsultan humas (PR consultant) skala rumahan tapi yang penting kerja tanpa dibantu siapa-siapa kecuali Allah.

    BalasHapus
  9. Bukan Rela hahaha, kita temenan di MP...sodaranya Aji temen kuliah putra Bunda...sssttt Bunda...secret :)...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh........ mbak Cinde ya? xixixixixi.......

      Hapus

Pita Pink