Powered By Blogger

Jumat, 23 November 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (17)

Kata anak-anak saya, kepedihan tak pernah lekat di bola mata saya. Sebab setiap sorot yang memancar dari kedalaman sana adalah sinar cerah yang memancarkan kebahagiaan dan kehangatan. Sinar kehidupan.

Kadang saya kasihan mengingat anak-anak saya itu, sebab saya yakin mereka tak tahu apa yang sesungguhnya saya rasakan. Sedih, sakit, luka, nestapa atau apa pun namanya selama saya mampu sudah biasa saya singkirkan jauh-jauh ke sudut hati yang terdalam. Karena saya sama sekali tak pernah ingin merasakannya atau sekedar mengingatnya. Meski tak bisa saya dustai, rasa tak nyaman itu kerap sekali muncul menyeruak ke permukaan, sehingga saya pun buru-buru terpaksa menyumbatnya dengan segala daya.

Sesungguhnya dalam minggu-minggu belakangan ini, saya sering merasa ketakutan akan keburu mati dibabat kanker. Soalnya dua orang kerabat teman maya saya dikabarkan telah menghadap Illahi akibat deraan kanker meski sudah menjalani serangkaian pengobatan. Yang seorang meninggal bulan lalu karena kasus kanker payudara yang tak tertangani dengan sempurna.

Beliau seorang ibu rumah tangga yang bekerja dari rumahnya membuka usaha dagang skala rumahan. Usianya mungkin tak seberapa jauh dari saya, nyaris enam puluh tahun. Menantunya yang jadi teman maya saya mengabarkan, semula ibu mertuanya itu diperiksa di dokter. Setelah dilakukan biopsi, dinyatakan bahwa tumor pada payudaranya bersifat ganas. Berhubung langkah pengobatan selanjutnya tentu memakan banyak biaya, keluarganya kemudian beralih ke pengobatan alternatif biomedis Islami. Di sana pasien diterapi menggunakan suatu alat dari logam yang berfungsi seakan-akan jarum penotok syaraf. Akan tetapi kondisi pasien tidak kunjung membaik, sehingga terbersit keinginan keluarganya untuk membawa beliau ke seorang penemu peralatan medis pembasmi kanker, yakni seorang ilmuwan lulusan luar negeri dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Di sana, si pasien nanti akan diterapi menggunakan semacam mangkuk yang diikatkan pada payudara yang sakit. Sang penemu yang mendadak jadi terkenal setelah diwawancarai sebuah saluran televisi swasta nasional besar mengklaim berhasil menyembuhkan kakaknya sendiri dalam waktu sangat singkat. Menurutnya, sel-sel kanker itu akan luruh oleh alat ciptaannya dan larut bersama kotoran dari tubuhnya termasuk larut ke dalam keringat. Tapi temuannya tak mendapat respons positif dari ahli onkologi (spesialis penyakit kanker) di RS Dharmais. Mereka beranggapan, temuan sang sainstis seharusnya diujicobakan kepada hewan terlebih dahulu setelah melalui presentasi ilmiah di depan para pakar pengobatan. Baru kemudian layak diujicobakan kepada manusia (pasien kanker). Tanpa memenuhi prosedur itu, temuannya tidak bisa dianggap aman apalagi mengingat kanker dinyatakan oleh para dokter sebagai penyakit yang sulit untuk ditaklukkan apalagi hingga disembuhkan secara sempurna. 

Kembali kepada kasus penyakit mertua teman maya saya tadi, beliau akhirnya berpikir ulang untuk mencoba penggunaan alat ini. Apalagi mengingat kankernya sudah metastase atau menyebar ke organ tubuh lainnya di antaranya ke kandung kemih. Akhirnya pengobatan dilakukan secara medis kembali, namun sayangnya pasien tak tertolong lagi.

Hari kemarin, seorang teman maya lainnya mengabarkan bahwa ibundanya wafat karena kanker usus setelah sempat dioperasi dilanjutkan dengan sesi kemoterapi. Teman maya saya ini seorang dokter, sehingga tentu saja pengobatan yang diambil oleh orang tuanya juga bersifat medis semata di bawah pengawasan ketat sang anak. Tapi kanker benar adanya, seperti ditegaskan ahli onkologis, adalah penyakit mematikan yang sulit untuk ditangani. Innalillahi wa innailaihi rojiun.

***

Dua kasus terhangat yang saya paparkan tadi melengkapi sejumlah kasus lain yang saya temui dalam perjalanan hidup saya. Saya sering menyaksikan tumbangnya pasien kanker dalam kesakitannya yang sangat. Bahkan seorang di antaranya adalah dokter yang waktu sakit tengah memangku jabatan sebagai dekan di Fakultas Kedokteran Universitas Negeri tempat saya dulu mengikuti pendidikan. Tapi belakangan setelah tekun berobat di National University Hospital, Singapura guru besar ini sekarang kembali menduduki jabatan sebagai Direktur Pendidikan Pasca Sarjana di Fakultasnya. Tubuhnya tetap bugar siap melaksanakan semua tugas-tugasnya seperti ketika belum mengidap kanker dahulu. Artinya, memandang kepada beliau saya berkesimpulan kanker masih bisa diatasi dan punya peluang untuk ditaklukkan meski tak boleh dinyatakan sembuh seratus prosen seperti pendapat para pakar kanker di RS Dharmais.


 Profesor ini adalah dokter ahli penyakit kebidanan dan kandungan yang terkenal di ibu kota propinsi tempatnya mengabdi. Ketika penyakitnya diketemukan sebagai dokter beliau bahkan tak menyadari keadaannya. Keluhannya yang nyata cuma rasa lelah yang diikuti sakit di bagian perutnya. Saya lupa apa persisnya kanker yang menyerang beliau. Namun yang jelas ketika saya menengok di RS tempat beliau dirawat, beliau benar-benar dalam keadaan terbaring lemah antara sadar dan tidak. Cukup lama juga beliau berobat di negeri tetangga ini, bahkan hingga saya meninggalkan Singapura untuk penugasan di negara berikutnya, beliau masih tercatat sebagai pasien di sana.

Namun berkaitan dengan kasus penyakit saya, berkaca kepada beliau, meski saya takut segera dijemput ajal, saya toch tetap menyimpan keinginan untuk memerangi kanker apa pun caranya. Yang sedang saya ikuti sekarang memang bukan cara medis empiris melainkan cara herbal dengan panduan seorang sinshe berkebangsaan Indonesia keturunan Cina yang dikirim orang tuanya untuk belajar di Kuil Shaolin, di Guangzhou selama berbelas-belas tahun dimulai sejak usinya lima tahun saja. Saya percaya akan keampuhan herbal karena banyak melihat pembuktian sembuhnya aneka penyakit hanya dengan menggunakan jamu tradisional. Bahkan kolega almarhum ayah saya, seorang peneliti di LIPI pada tahun 1970-an pun membuktikan bahwa hasil penelitiannya mengenai daun kejibeling bisa menyembuhkan penyakit kencing batu. Sedangkan saya sendiri ketika terbaring di antara serangkaian operasi kandungan yang saya jalani di Singapura berhasil menghindar dari operasi yang dijadwalkan akan dilakukan sekali lagi hanya dengan mengonsumsi air teh jahe. Dokter yang juga menganjurkan saya untuk mencobanya, kebetulan sepaham dengan saya bahwa tumbuh-tumbuhan pun bisa mendatangkan manfaat untuk pengobatan. 

Sampai minggu ini sudah tercatat 22 kali kunjungan saya ke tempat seorang herbalis untuk mendapatkan jejamuan anti kanker, anti radang usus, hingga anti sinusitis dan asma ditambah vitamin serta antibiotik yang kesemuanya diracik menjadi bentuk obat-obat modern. Di samping makan jejamuan itu, saya pun menjalani terapi totok darah yang dilakukan dengan tangan kosong. Menurut teori sinshe, totok darah dipakai untuk menekan sel-sel kanker supaya tidak menimbulkan masalah. Sedangkan jamunya membasmi akar-akar sel kanker yang tersebar di seluruh penjuru tubuh lewat aliran darah. Artinya, tidak hanya ditujukan ke satu bagian tubuh tertentu yang sedang sakit. Ini jelas berbeda dengan prinsip pengobatan empiris yang lebih menekankan kepada pembuangan sel kanker di tempat yang sakit, yang kemudian ditekan dengan menyemprotkan sinar radiasi ke bekas tempat tumbuhnya ditambah obat-obatan kemoterapi. Menurut teori sinshe saya, dengan sistem empiris pengobatan hanya tertuju kepada satu titik tertentu, yang celakanya jika kurang akurat bahkan bisa merusak sel-sel tubuh yang sehat.

Sepanjang pengobatan ini, meski saya tidak merasakan perbaikan yang signifikan, tetapi vitalitas saya tidak berkurang. Saya masih mampu melakukan kegiatan-kegiatan fisik sederhana, meski cenderung mudah merasa lelah. Dan satu hal lagi yang saya amati, tumor saya yang besar itu pernah dinyatakan mengecil sebelum akhirnya membesar dan mengganas kembali disebabkan terguncangnya batin saya oleh sesuatu hal. Waktu itu yang saya rasakan, jaringan kulit di sekitar tumor saya tidak tegang. Bahkan rasa sakit menghunjam tak sehebat sebelumnya. Adapun penampilan lokasi tubuh saya yang sakit yang jadi membengkak kemerah-merahan, disebutkan oleh sinshe saya sebagai terkena semacam infeksi bisul. Benar saja, dia bahkan sempat pecah mengeluarkan cairan nanah yang berbau di kala saya terguncang itu.

Sekali lagi, intinya saya cuma ingin menanamkan keyakinan di dalam diri saya bahwa pengobatan ke dokter maupun ke pengobat herbal sama saja. Kedua-duanya memungkinkan untuk sembuh, juga memungkinkan untuk tidak membaik. Namun berkat tambahan ramuan herbal dari sinshe, serta nasehat untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran sekarang tumor saya yang pecah mulai mengering lukanya. Insya Allah ini akan menjadi jalan bagi saya meraih kesembuhan kembali, meski tentu saja akan butuh waktu sangat lama. Bukankah tak ada pengobatan yang tak membutuhkan kesabaran? Tak usah mengeluh, tak perlu berkecil hati, begitu selalu dibisikkan anak-anak saya untuk menyemangati hidup saya. Tuhan memang senantiasa hadir untuk memperbaiki kemuraman hari-hari saya agaknya, alhamdulillah!

(Bersambung)

10 komentar:

  1. Menunggu sambungannya Bun, dan jangan pernah menyerah dengan pengobatan bunda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah iya, saya tetap akan menekuni pengobatan ke sinshe dengan terapi totok syaraf dan herbalnya. Semoga tetap ada jalan untuk saya menulis rutin di sini sekedar berbagi pengalaman dan saling menguatkan semangat kepada sesama penderita kanker.

      Ibu mertuamu gimana strokenya? Semoga terkontrol ya, soalnya bapak saya almarhum dulu strokenya sempat menjadi-jadi karena kurang kontrol diet dan stabilitas emosinya lho. Salam untuk ibunda.

      Hapus
  2. syafakillah bunda
    sabar selalu
    #hug

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbak Indri, doa orang baik kiranya akan diijabah lho. Saya juga senantiasa mendoakan yang terbaik untuk anda berdua, semoga cepat dapat penggantinya almarhum yang tak kalah baiknya. :-)

      Hapus
  3. iya nih Tante bener-bener ngga terlihat sakit ataupun sedih
    luar biasa, tetap dijaga ya Tante, karena semangat itu yang akan membantu kesembuhan Tante

    BalasHapus
    Balasan
    1. Habis kalau saya kelihatan sedih, kasihan yang mendamplngi saya sih. Sudahlah mereka terpaksa dibebani orang sakit, si sakit tua pula hahahaha.......

      Terima kasih atas kunjungan dan doanya yang hangat ya ceu. Begitu Diana pulang kantor surprise dia diceritain ceu Nuri main ke sini, tapi sedih juga dengar kabar Renny. Katanya, makanya dia jadi takut melangkah kan karena banyak yang begitu.:-(

      Hapus
  4. Bunda, jangan stress yaah .. Yang tabah.. Sesungguh sesudah kesulitan akan ada kemudahan.. *hugs*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, insya Allah dicoba, semua orang juga bilang begitu, dan keyakinan kita kan memang gitu. Sekarang saya kerjanya baca QS Al Insyirah terus deh. Rasanya kayak lagi minta-minta sama Allah sambil masrahin diri.

      Hapus
  5. jangan menyerah mbak.. semangaaaattt..
    mama daku pernah bilang gini: sakit itu dilawan, jangan menyerah, dan berfikir positif.. kalu nangis mulu, otak jadi ikutan nangis, badanpun nangis, kapan sembuhnya?

    jadi kalu sakit, kita malah sibuk mbak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya setuju sih, cuma sakit saya nggak boleh dibawa kerja, kata sinshenya gitu. Lagi pula baru nyapu doang aja saya udah kehabisan nafas. Ah, payah deh pokoknya. :-(

      Hapus

Pita Pink