Powered By Blogger

Kamis, 28 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (VII)

"All across the nation, such a strange vibration.... People in motion, people in motion......  Gentle people with flower in their hair.....". "Bu, iku lagu apa sapa penyanyine sih? Aku samar-samar rada kelingan......."

Seberkas kalimat kembali muncul di layar ponselku. Hari masih pagi. Pengirimnya siapa lagi kalau bukan Andri-ku. Anak itu selalu datang padaku dengan pertanyaan macam-macam. Seringkali dengan sepenggal syair lagu seperti ini. Tidak penting untuk dijawab. Tapi bagiku sudah menimbulkan rasa senang, karena berarti dia tidak pernah lupa kepada kami, orang tuanya.

"San Fransisco, sung by The Bee-Gees, nek ibu ora salah ya nak," jawabku segera. Walaupun aku tidak begitu suka dan karenanya tidak mahir menyanyikan lagu itu, tapi aku ingat syairnya. Sering kudengarkan dulu dari Studio Radio Voice of Children atau Mustang, atau Padjadjaran Kelelawar, favorite mbakyuku, Iene. Bahkan akhirnya aku juga memiliki kasetnya di jaman tahun delapanpuluhan, sekedar untuk mengenang jaman dulu yang jadi kesenanganku.

"Matur nuwun. Aku lagi inget aja sama lagu itu," balasan anakku dari sana. Tergambar di benakku rambutnya yang mencapai dada melambai-lambai digoncangkan tubuhnya yang sering bergoyang sesuka-sukanya, selagi mulutnya menyanyi keras-keras. Bibirku tersenyum sendiri.

Rambut itu harusnya sudah dipangkas. Dia kini sudah melanggar janjinya sendiri. Dulu, waktu aku ribut mulut dengannya gara-gara rambut itu, dia berkilah, "Ini bentuk protesku terhadap kekejaman selama Ospek, dan aku sedang berjuang dengan caraku sendiri menghapus kekejaman dan pelecehan harga diri yang dilakukan senior terhadap para mahasiswa baru," jawabnya.

Tapi, kemarin dulu kubaca di koran lokal, Rektor di Universitas tempatnya belajar telah menyatakan memerangi kekerasan dalam Ospek. Siapapun pelakunya akan berhadapan dengan hukum sesuai dengan peraturan yang ada di Indonesia. Dan konon, beliau tidak akan ragu-ragu untuk membawa pelanggarnya ke depan penegak hukum.

Maka kukirimkan sepenggal SMS pada anakku untuk menagih janji. Jawabnya, seperti sudah kuduga adalah penolakan. "..... aku tadi nanya pas makan siang di kampus. Ospek sudah beres, tapi masih ada kekerasan lho. Yang dimaksud pak Rektor bagus, tapi sulit menjerat/menghukum  karena yang dilakukan bukan kekerasan fisik tapi kekerasan mental alias bentak-bentak. marah-marah.Nah itu mah susah untuk dibuktikan.." Intinya anakku teap menolak cukur rambut. Keras kepala persis kebiasaan waktu kecil dulu.

-ad-

Sebetulnya dia bukanlah anak pandai dalam arti yang sesungguhnya. Dia tidak bisa berhitung. Dan itu masih terjadi sampai dia kelas enam SD. Dia selalu ragu dan kebingungan jika aku menyuruhnya belanja. Takut uangnya tidak cukup, atau bahkan takut uang kembalinya kurang.

Di satu sisi harus kuakui dia memang suka keteraturan. Tapi, pada dasarnya, dia memang tidak bisa menghitung. Dan ini diungkapkan oleh ibu temannya di SD kelas dua ketika suatu hari aku meninggalkannya di sekolah. Dia dengan kepolosannya menghampiri deretan ibu-ibu penunggu murid dan memperlihatkan uangnya. "Tante, tadi aku belanja, di mang Aning. Uangku sehabis belanja jadi banyak," katanya sambil membuka genggaman tangannya yang dipenuhi uang recehan."Tadi uangku satu, sekarang jadi banyak......" tegasnya lagi waktu ibu Yenny memandanginya dengan heran.  "Satu berapa?" tanya temanku itu. "Ya satu lembar, uang biru," celotehnya lagi. Teman-temanku segera mengerti dan tertawa tergelak-gelak. "Oh, ya, ya, kamu tadi punya uang seribu, sekarang jadi sembilan ratus. Banyak sekali ya?" timpal mereka sambil mengelus anakku yang tertawa senang. Sesudahnya ganti mereka sendiri yang tertawa tak habis-habisnya sambil menceritakan kembali padaku.

Sampai besarpun anakku memang tidak begitu mengerti hitungan. Dia hanya cakap dalam hafalan, seingga aku dulu kerap memarahinya dan mengancamnya akan menjadikan kuli pengangkut belanjaan di pasar dekat sekolahnya jika dia tidak mahir-mahir juga mengerjakan hitungan sederhana.

Selalu kukatakan dalam rentetan teriakan yang memekakkan, "Mau jadi apa lelaki tidak bisa berhitung? Tidak akan ada orang sudi menerimamu bekerja di tempatnya kalau kau tidak pandai berhitung." Atau lain kali kulontarkan "jurus saktiku" yang rupanya terus diingatnya sampai sekarang, "Kamu akan jadi pemimpin di keluaargamu. Kalau kamu tidak bisa menghitung, bagaimana kau akan bekerja dan mendapat uang untuk keluargamu kelak? Kalaupun kamu bekerja, kamu akan ditipu orang terus. Gajimu dikurangi tanpa kau sadari karena ketidakbisaanmu menghitung. Ingat itu....!! Belajar baik-baik, atau tinggallah di pasar menjadi kuli angkut. Kau tidak perlu pandai berhitung. Cukup kau siapkan tenagamu yang kuat, besok ibu tinggal kau di pasar," belalakku sambil menunjuk ke luar rumah.

Menghadapiku dia akan diam menunduk dalam-dalam dan menjadi salah tingkah. Jahatnya diriku yang ketika itu masih menderita PMS dan suatu penyakit kandungan, disaat anakku ketakutan, aku justru merasa semakin berkuasa. Dan baru kini kusadari, bahwa perbuatanku menimbulkan dendam yang panjang di hati anak-anakku sehingga mereka jadi membenci bentakan-bentakan sekalipun sudah hilang bentakan-bentakan yang dulu kulontarkan kepada mereka.

"Mas, kamu membenci ibu karena bentakan dan ancaman dulu itu?" pancingku suatu hari saat kami berdua-dua, Dia di sisiku menemani aku memulihkan tubuh sehabis operasiku yang kesekian di ranjang Raffles Hospital Singapura dulu. Dengan ketenangan sikapnya, dia meraih tanganku, membelainya dan menjawab dalam senyum, "Nggak. Aku nggak benci. Aku tahu ibu sayang padaku." "Betul?" pancingku lagi sambil menatapnya lekat-lekat. Bola mata itu turut tersenyum dan lagi-lagi dia menjawab tenang, "Untuk apa aku benci?" Kemudian kami saling menggenggam. Terasa kehangatan cinta-kasih-sayang kami yang ternyata memang tak pernah putus. Seperti tak terputusnya kebenciannya pada sikap orang marah-marah hingga saat ini rupanya.......

-ad-

Ramadhan bulan mulia sudah di depan mata. Aku harus menghapus dosa-dosaku sebelum mulai beribadah. Termasuk dosaku kepada si "Bebek Jelek". Terbayang betapa aku bukanlah seorang ibu yang baik. Hanya manusia biasa yang selalu merasa punya kekuasaan untuk menindas anak-anakku. Dengan bentakanku, dengan pemaksaan kehendakku, bahkan juga dengan candaku yang melampaui batas.

Alangkah hinanya diriku. Tapi alangkah beruntung pula. Allah mengaruniaku anak yang penuh pengertian. Suami yang juga sabar. Sehingga sering aku ungkapkan sendiri bahwa mereka adalah harta karunku yang tiada berbanding. Sesuatu kekayaan tak ternilai dalam hidupku karena mereka selalu mempunyai pengertian dan maaf seluas samudra untukku yang seharusnya patut dibenci. Ya Allah, terima kasihku padaMu jua. Karunia ini begitu berarti bagiku.

Segera kujulurkan sajadahku ke langit ke tujuh. Kubaringkan tubuhku disana, memintakan maaf atas semua ketidaksempurnaanku dalam mendampingi suami dan melayani anak-anak kami, Ingin rasanya aku terus disitu sampai Allah membisikkan ke hatiku bahwa pintu taman firdaus terbuka lebar bagiku selagi anak-anak dan suamiku ikhlas memaafkan diriku dalam senyum yang tulus lagi hangat.

Selamat beribadah sayangku. Nikmatilah Ramadhan yang suci ini dengan menempatkan dirimu di dekat Raja Yang Mulia, Allah Subhanau Wa Ta'ala sang pengampun sejati.........

Aku tunggu Ramadhan berikutnya, barangkali Allah mengabulkan keinginanku untuk merayakannya bersamamu. Menyiapkan segelas air jeruk dan makanan-makanan pembuka kesukaanmu sebagaimana biasanya dulu. Aku rindu padamu, pada kebersamaan kita di jam-jam bedug ditabuh orang dari masjid-masjid di sekitar kita.

Rabu, 27 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (VI)

Sudah lama tidak kujejakkan tanganku di blog ini. Ada sepercik perasaan ragu untuk mengetik. Aku tidak tahu apa yang harus kutulis. Dan aku tidak akan mampu sembarangan menulis, sebab, aku membuat blog ini dengan satu tujuan ingin membagi pengalaman dengan teman-teman yang kebetulan bersentuhan dengan blogku.

Belum setahun aku menggeluti dunia tulis-menulis dengan buku harian elektronik. Biasanya dulu aku menuliskannya di dalam sebuah buku tulis biasa. Bahkan kadang-kadang juga di dalam benakku saja. Kusimpan rapi dengan catatan, suatu saat aku memerlukannya bisa kubongkar dengan mudah.

Ucapan yang terakhir kuketik ini nampaknya mustahil untuk orang lain. Tapi tidak untuk diriku. Aku bisa mencatat secara imajiner dan membacanya dengan cara yang sama. Percaya tak percaya, aku sudah membuktikannya dan semua itu dibenarkan adanya oleh keluargaku yang takjub "membaca" kembali buku harian imajinerku. Oh-la-la......

-ad-

Terlahir sebagai manusia biasa, aku hanyalah sepenggal budak nafsu. Nafsu untuk marah-marah, nafsu untuk mengumpat dan segala nafsu-nafsu apapun. Kadangkala nafsu marah-marahku ini justru menjadi beban berat, sebab anak dan suamikulah yang menanggung akibatnya. Tapi itu dulu........., dulu......... sekali ketika aku masih jadi seorang wanita yang sempurna dengan segala kelengkapan organ tubuhku. Sewaktu aku belum menjadi diriku yang sekarang, yang sudah rusak dan cacat disana-sini dimakan usia.

Untungnya aku punya suami dan anak-anak yang sabar. Mereka termasuk manusia langka yang patut mendapat penghargaan tertinggi karena sanggup mendampingi hidupku tanpa mengeluh.

Kesabaran anakku masih ada sampai dia tammat SD. Padahal deraan coobaan di sepanjang perjalanan hidupnya mengikuti tugas orang tua berpindah-pindah negara tidaklah mudah.

Kami kembali ke Indonesia dari Wina, Austria disaat Andri baru duduk di awal kelas 2 SD. Kami masukkan dia ke SD Negeri di pusat kota yang mudah dijangkau dengan kendaraan umum dari rumah dan dekat dengan pusat perdagangan sehingga memudahkannya mencari kebutuhan sekolah kelak.

Suamiku punya prinsip yang sama denganku, yaitu tidak mengenal kendaraan pribadi. Adapun alasannya adalah karena kampung halaman kami, Bogor sudah penuh sesak oleh mobil-mobil pribadi dan angkutan kota sehingga tidak perlu ditambah lagi dengan kendaraan rumah tangga kami. Suamikupun terbiasa berangkat bekerja naik kereta ke Jakarta, yang telah terbukti memperluas pergaulan dan persaudaraan dengan sesama pelaju yang mencari nafkah di ibu kota negara.

Andri datang di SD Negeri Pengadilan 2 sebagai murid tertua di kelas. Ini baru kusadari kemudian. Sebab ternyata di Indonesia mulai timbul kebiasaan menyekolahkan anak di kelas 1 SD pada umur enam tahun. Berbeda dengan kebiasaan di Austria sana yang menyaratkan bilangan tujuh tahun.

Guru kelasnya sangat keibuan dan sabar, ibu Itjeu Mudrikah. Seminggu setelah anakku diterima di sekolah itu, akan segera berlangsung ulangan umum, katanya. Tapi khusus untuk anakku tentu akan diberikan kemudahan di dalam penilaian, mengingat kepindahan kami dari luar negeri. Betul saja, anakku memang tidak menguasai materi yang ditanyakan di kertas ujian, sebab semua pelajaran Indonesia jelas berbeda dari pelajaran sekolahnya di Austria sana. Namun bu Itjeu begitu baik hati sehingga anakku masih mendapat kesempatan untuk terus belajar di kelas dua.

Dia memang menunjukkan minat dan kesungguhan. Apalagi sifatnya yang cenderung pendiam, kalem ditambah dengan kacamata yang sudah lebih dari setahun dipakainya, menjadikan dia sebagai anak yang khas dan mudah dikenali. Suatu hari dia pulang membawa sebuah pertanyaan dengan sorot mata yang polos, "Ibu, apakah artinya culun?" katanya sambil menatapku. Aku ganti menatapnya. Ada rasa ragu untuk menjawab, sebab aku khawatir melukai perasaannya.

Pelan kutanya dia dengan lebih dulu mengelus-elus rambut lebatnya yang turun bagai topi. Kutatap kedua bola mata jernih di balik kacamata itu, "Ada yang mengatakanmu culun, sayang?" kataku berhati-hati balik bertanya. Dia menggeleng, bibir lebar itu terbuka lagi, "Tidak. Tapi teman-temanku mengatakan culun. Apakah culun itu, ibu?' tanyanya berulang. Aku menarik nafas, lalu menjawab, "ibu juga tidak begitu tahu. Barangkali itu bahasa Sunda yang ibu sudah lupa, Besok ibu cari tahu jawabannya, ya," kataku setengah berjanji. Dia terdiam, mengangguk dan meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya. Tapi dalam hatiku aku merasa yakin bahwa teman-temannya ada yang mengatainya "culun" demi melihat penampilannya yang lain dari teman-temannya.

Saat aku berangkat mengambilkan raportnya kira-kira tiga minggu kemudian, barulah pertanyaan itu terjawab. Secara tidak sengaja aku bertemu dengan teman SMPku di muka pintu kelas. Susi, temanku itu ibu dari salah seorang teman sekelas anakku, nampak terkejut juga menjumpaiku di muka kelas yang sama. Dengan senyumnya yang lebar seperti dulu yang senantiasa menampakkan deretan giginya yang rapi, dia segera menyapaku hangat. Nyaris memekik malah, karena dibumbui oleh ketidakpercayaan. "Julie! Oh, kamu ada disini? Betul 'kan murid baru itu anakmu?" sergap Susi tanpa memberi kesempatanku bicara. Aku hanya bisa memeluknya hangat, melepas kerinduan yang tiba-tiba terbangkit.

Aku menangguk sambil memperkenalkan anakku. Niatnya aku juga ingin mempertemukan kembali suamiku, tapi ternyata sudah keduluan olehnya yang nampak asyik mengobrol sendiri dengan uda Artje, suami Susi. Kami berkumpul berempat diiringi anak-anak kami yang mengikuti dengan pandangan tak mengerti. "Ini Oski anakku. Minggu-minggu lalu dia bilang, ada murid baru di kelasnya, pindahan dari luar negeri, belum mengerti apa-apa....." kata Susi memulai obrolan kami. "Ini Andri," sambutku memperkenalkan anakku yang kemudian meraih tangan Susi untuk diciumnya dengan santun.

"Susi penasaran waktu minta Oski menunjukkan anak baru itu tadi," begitu kata uda Artje. "Tapi begitu lihat dia, aku segera bisa menduga bahwa dia anakmu. Sebab mukanya sangat mirip mukamu. Dan kau juga tidak berubah sejak dulu,' sambung Susi kemudian bertubi-tubi. Kami semua tergelak mendengar komentar Susi. Waktu yang telah lama berlalu dianggapnya tak merubah wajahku sama sekali.

"Iya 'kan Ki, mama bilang, anak itu teman anak mama," kata Susi pada anaknya, seorang lelaki sedikit lebih tinggi dari anakku dengan kulit dan wajah juga mirip Susi walaupun tidak persis betul. Dielus-elusnya pula kepala itu dengan sayang.

Dari pertemuan tidak sengaja itu, aku jadi tahu kenapa anakku menanyakan istilah culun. Agaknya anak-anak di kelasnya memandang dia dengan aneh sebab anakku tidak begitu paham bahasa pergaulan sehari-hari dan selalu nampak serius, Belum lagi dia cenderung senang menyendiri di kelas. Anakku, itulah jawaban dari pertanyaanmu, batin hatiku dengan lega.

-ad-

Di akhir tahun ajaran, dia naik kelas juga dengan peringkat di bawah walaupun bukan yang terendah. Dia bahkan menyumbangkan suaranya di acara samen yang jadi kebiasaan penanda akhir tahun ajaran di kampungku. Kami beberapa orang tua murid beramai-ramai menyiapkan makan siang dan menggelar doa syukur di rumah salah satu anak yang rumahnya terdekat dari sekolah.

Secara mengejutkan, si "culun" menyanyikan sebuah lagu sekolahan yang ternyata diakui gurunya malah belum pernah diajarkan kepada murid-muridnya. "Terima Kasihku Guruku", dinyanyikannya dengan sempurna tanpa contekan. Bersama dengan itu dia menghampiri bu Itjeu dan mencium tangannya. Bu Itjeu, guru kelas anakku terperangah, terdiam sejenak, sebelum meneteskan air mata dan dengan suara bergetar menyatakan terima kasihnya atas kejutan yang "dihadiahkan" anakku secara tidak terduga.

Anakku bahkan kemudian menjadi salah satu murid yang paling mengejutkan gurunya ketika di kelas empat. Peringkatnya bisa mencapai kesembilan, sekalipun di tidak ikut les tambahan sama sekali baik di kelas maupun di rumah. Aku hanya membelikannya setumpuk buku penunjang serta membahasnya bersama-sama sambil mengajak teman-temannya yang sudah menjadikan rumah kami sebagai rumah kedua mereka, untuk bermain cerdas cermat.

Selain itu, dia juga satu-satunya murid yang berani mengemukakan keberatannya atas penilaian gurunya yang keliru pada lembar pekerjaannya. Minatnya akan pelajaran sejarah sudah sangat kelihatan saat itu. Ketika gurunya keliru mengetik soal dan menganggap justru anakku yang keliru memberikan jawaban pada salah satu soal sejarah, anakku balik bertanya, "Bu guru, mana tulisan Islam, pada soal yang ibu ketik ini?"

Ketika itu gurunya mempersalahkan jawaban anakku atas pertanyaan "Kerajaan apakah yang pertama di Indonesia?". Sang guru menghendaki jawaban kerajaan Samudera Pasai, sementara anakku bersikukuh untuk menjawab dengan Kutai, mengingat dia betul-betul yakin bahwa kerajaan pertama di Indonesia menganut agama Hindu, bernama Kutai. Ditunjukkannya soal ketikan bu guru yang dimaksudkan anakku. Cerita anakku kemudian, "Bu guru kebingungan sendiri,bu. Berarti jawabanku betul," celotehnya sambil tersenyum padaku.

Lain kali, dia juga protes karena jawaban soal bahasa Indonesia yang diambilnya dari Kamus Besar Bahasa Indonesia justru disalahkan. Namun untuk menghindari rasa malu gurunya, anakku meminta aku mengemukakan keberatan lewat buku penghubung. Dan hasilnya, ternyata diakui gurunya benar serta gurunya bersedia memperbaiki nilai anakku.Anakku memang unik.

Siapa pernah melihat seorang anak lelaki tertarik pada sejarah? Kalau ada, itulah saingan anakku. Di kelas empat itu juga ketika sekolahnya melakukan karyawisata ke Lubang Buaya dan Ancol dia membuat kejutan.

Dengan santainya dia meneliti satu demi satu objek di dalam Lubang Buaya sambil minta penjelasan padaku yang memang sengaja ikut mendampingi. Ternyata guru memang hanya memberikan penjelasan sepintas seakan-akan tanpa niat menambah ilmu. Akibatnya kami terlambat kembali ke atas bus dan jadi sasaran kemarahan orang banyak.

Hasilnya, disaat anak-anak diminta mengumpulkan hasil karya tulisnya unuk diikutkan lomba tingkat kota, karya tulis anakku digugurkan begitu saja. Ibu guru yang "cemerlang" itu menganggap karya tulis anakku yang lengkap serta teratur sebagai hasil karyaku. Padahal, aku hanya duduk mendampinginya dan memberikan pengarahan selagi dia mencoret-coret di atas kertas buramnya. Ibaratnya, aku hanya sebuah buku referensi saja.

Tentu saja menghadapi kenyataan ini anakku sangat kecewa. Mukanya terilipat ke dalam menunjukkan luka hatinya, "Besok ibu bicara dengan gurumu, siapkan kertas burammu yang kemarin. Akan aku tunjukkan pada beliau," hiburku. Upayaku membuahkan hasil, guru kelas anakku mengakui kekeliruannya sekalipun sebetulnya sudah merugikan anakku. Tanpa minta maaf, perempuan yang mendapat sebutan terhormat "Ibu" itu hanya mengatakan mempercayai anakku, namun semuanya sudah terlambat. Tanpa kata maaf sepotongpun. Luar biasa. Anakku hanya bisa menangguk kecewa, namun justru semakin menajamkan keinginanya untuk menjadi pendidik. "Kalau aku jadi guru, tidak boleh begitu, ya bu?" katanya, Sejak itu, pintu kamar anakku berubah fungsi menjadi papan tulis raksasa penuh coret-moret hasil pembelajaran anakku untuk "murid-murid" khayalannya.

-ad-

Anakku yang unik. Di saat aku kesepian seorang diri ditinggal seisi rumah ke tempat tugas masing-masing, aku hanya bisa mengenangkan Andri anakku yang satu itu. Ada saja memori yang melekat kuat padanya. Pada pribadinya yang selalu menimbulkan rasa sayang setiap orang yang mendekatinya.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Di seberang lautan sana dia menuliskan "Bu, Kartu Kemajuan Studiku ada yang salah hitung oleh Fakultas, dan sudah dikoreksi. Hasil IPK (kumpulan semester 1-4) jadi lebih tinggi dari awalnya 3.08 jadi 3.16." Aku cukup lega dan bersyukur. Dulu memang anakku tidak mengerti apa-apa ketika baru masuk universitas, sehingga saat itu nilai-nilainya tidak memuaskan. Namun alhamdulilah, seiring berjalannya waktu, kini dia bisa memperbaiki hasil studinya. Dan aku tahu, itu semua karena kerja kerasnya semata. Kalau kusimpulkan, sekarang rupanya anakku sudah mulai mengerti caranya belajar di universitas. Maklum, sudah menyelesaikan tahun kedua.

Tidak terasa, waktu berjalan begitu saja. Anakku yang dulu bocah SD sudah jadi mahasiswa rupanya. Ha-ha! Tugasku tinggal sedikit lagi mendampinginya ke dunia kerja. Dan seketika anganku melambung jauh menyusuri awang-awang membayangkan anakku betul-betul berdiri di muka papan tulis dengan ditatap oleh puluhan pasang mata yang percaya padanya.

Sabtu, 23 Agustus 2008

AYAM GORENG MENTEGA

Description:
Makanan ini sangat serupa dengan ayam kecap. Rasanya sama-sama manis kecap, dan menjanjikan ketagihan.........

Ingredients:
BAHAN : Seekor ayam dipotong kecil-kecil (jadi 35 potong); 2 sdm kecap asin; 2 sdm saus Worchester/kecap Inggris; 10 buah lokio dibelah jadi dua; 7 sdm kecap manis; 3 butir jeruk limau dibelah jadi dua; 3 sdm mentega; setengah sdt merica bubuk; setengah bawang bombai diiris-iris; 4 bsiung bawang putih dicincang, garam secukupnya.

Directions:
CARA MEMASAK : 1. Ayam dilumuri dengan sesendok makan kecap asin, sesendok teh garam, sesendok makan kecap Inggris lalu dibiarkan selama 15 menit saja 2. Setelah itu ayam tadi digoreng dan disisihkan 3. Campurkan kecap Inggris dan kecap manis jadi satu 4. Tuangkan campuran saus kecap itu ke dalam tumisan bawang 5. Masukkan lokio, ayam, air jeruk limau berikut kulitnya dan merica bubuk sambil terus ditumis hingga bumbunya meresap ke dalam ayam.

Sajikan panas-panas.

KETERANGAN : Beda ayam goreng mentega dari ayam kecap adalah sewaktu memasak, ayam goreng mentega, ayamnya digoreng terlebih dulu. Selain itu dia tidak dicampuri jamur hioko melainkan bawang lokio.

AYAM KECAP

Description:
Selama merayakan HUT RI dapur kami diisi masakan gurih. bersantan sebagai peneman tumpeng nasi kuning yang jadi kewajiban di setiap ulang tahun. Akibatnya lidah merindukan masakan yang ringan di lidah tapi tetap sedap.

Ingartan saya melayang ke ayam kecap favorite abang ipar saya almarhum dan satu jenis lainnya yang serupa yaitu ayam goreng mentega. Saya akan mencoba membuatnya besok pagi, karena hari ini saya kehabisan ayam dan hanya punya sepotong lidah sapi yang saya masak jadi semur.

Inilah resep ayam-ayam itu.

Ingredients:
BAHAN : Seekor ayam yang dipotong-potong jadi dua belas, kemudian digoreng dulu; 2 sdm kecap asin; 2 sdm saus Worchester/kecap Inggris; 10 buah jamur cina Hioko dibelah jadi dua; 7 sdm kecap manis; 3 buah jeruk limau dibelah dua; 3 sdm mentega; setengah sdt merica bubuk; setengah butir bawang bombay diiris-iris; 4 siung bawang putih dicincang; garam secukupnya.


Directions:
CARA MEMASAK : 1. Tumis bawang bombai dan bawang putih menggunakan mentega hingga wangi 2. Campurkan kecap asin dengan saus Worchester/kecap Inggris lalu tuangkan ke dalam tumisan bawang tadi 3. Masukkan juga kecap manis, jamur, ayam, perasan jeruk limau berikut kulitnya juga, dan merica bubuk lalu tumislah terus hingga ayamnya tertutup bumbu, baru diangkat dan disajikan panas-panas.

Rabu, 20 Agustus 2008

DI KETINGGIAN TABLE MOUNTAIN




Karunia Tuhan terhadap manusia sungguh tiada terkira. Alam dan seisinya sangat menarik untuk dicermati.

Kami membawa sahabat kami Elty Klara Poluan dan Ghaffar Ismail melintasi samudera untuk menyaksikan kehebatan Allah Swt dari atas Table Mountain di Cape Town, Republik Afrika Selatan pada pertengahan Agustus 2008. Musim winter yang baisanya belum habis, seakan mengerti besarnya keinginan kami untuk menunjukkan kehebatan Table Mountain kepada Elty dan Ghaffar.

Inilah rekamannya.

Selasa, 12 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (V)

Aku harus mengakui, bahwa diriku seorang manusia kuno, produk jaman dahulu. Aku menjadi semakin banyak tidak tahu dan salah menerapkan istilah jika sedang berbicara menceritakan masa kini. Anakkulah yang mengatakan itu.

Beberapa hari yang lalu anakku meralat tulisanku yang mengatakan tentang nilai-nilaniya pada semester ini. "Itu nilai Indeks Prestasi (IP), bukan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). IP adalah perolehan nilaiku semester ini saja, sedangkan IPK adalah nilaiku nanti sejak semester pertama sampai terakhir pada saat aku lulus," tulisnya. Kujawab dengan pernyataan maaf, disertai penjelasan bahwa aku rancu sebab tidak mengalami sepenuhnya sistem semester.

Akulah generasi pertama yang memulai sistem satuan kredit semester di perguruan tinggi. Ketika suamiku masuk dua tahun sebelumku, universitas masih memberlakukan sistem gelombang yang setara dengan sistem catur wulan di tingkatan-tingkatan sekolah yang lebih rendah. Sudah begitu, aku tidak menamatkan sekolahku pula dan menghentikan langkah di ujung semester sepuluh tanpa karya tulis. Sebab saat itu orang tuaku sudah sangat sakit dan mengharapkan aku segera menikah begitu suamiku lulus pendidikan di kantornya dan siap ditugaskan kemanapun. Ibuku berharap aku menikah dengannya dan mengabdi di dalam rumah tangganya.

Aku sepaham dengan beliau, sebab sebagai istri seorang diplomat tentunya aku akan keluar-masuk negeri dan sebagai akibatnya pasti akan keluar-masuk pekerjaan juga. Tak mengapa, batinku, aku berhenti disitu tapi yang jelas ilmu sudah kuserap semuanya.

Kini aku menanggung akibatnya. Menjadi si bebek jelek betulan, yang serba tidak tahu di tengah orang-orang yang menjadi semakin pintar akibat perubahan jaman. Ha....ha....ha...., bebek jelek!

-ad-

Ke-"tua"-anku menjadi pertanda bahwa anakku sudah bertumbuh pesat. Bukan lagi si kecil itu. Walaupaun sifat aslinya tetap sama, berperasaan halus seperti keluarga bapaknya. Di waktu kecil selain dia sering iba melihat orang susah, dia juga pandai menghargai jerih payah bapaknya. Dia jarang sekali menuntut minta dibelikan ini-itu. Karenanya dia pernah merajuk ketika suatu saat ayahnya menolak menyewa "delman Eropa" dalam suatu acara pesiaran kami.

"Bapak, bolehkah kita naik delman?" tanyanya polos selepas kami keluar dari halaman rumah tinggal W.A Mozart di jantung kota Salzburg yang cantik. Di sekitar sana berombongan wisatawan mencari tujuan wisata berikutnya dengan dirayu oleh para sais delman yang tidak agressif seperti d negeri kita. Suamiku melihat brosur wisata di tangannya, medisukusikannya denganku lalu memutuskan untuk mengitari pusat kota terlebih dahulu. "Kita jalan kaki ya nak, keliling kota dulu sebelum nanti naik funicular ke arah bukit sana," kata suamiku sambil mengajak melangkah. "Ya, bapak, gitu ih," kudengar dia mengeluh lirih. Dihembuskannya nafasnya seperti mengusir kecewa. Dia berdiam diri mematung sambil terus berkata, "naik delman saja kok tidak boleh?" Kuperhatikan wajah suamiku, sepertinya dia teguh pada keinginannya untuk berjalan kaki saja dulu.

Maka kugenggam tangan anakku dan kuusap kepalanya yang ditumbuhi rambut lebat, "nanti dulu ya mas, kita naik ke bukit di sebelah sana dulu, pulangnya baru naik delman ke restoran, naik delman kan biasa. Di kampung kita nanti juga bisa," bujukku. Dia melenguh lagi membuang muka ke tanah. "Ih, naik delman saja tidak boleh," gerutunya sambil tetap memaku diri di tempatnya berpijak.

Suamiku nampak luluh, segera disikapinya dengan mengabulkan permintaannya. "Oh, ya deh, kalau begitu kita naik delman ke bukit, tapi sambil keliling zentrum ya?" kata suamiku pada akhirnya sambil melambai ke salah sebuah delman di dekat kami. Sinar wajah anakku berubah ceria. "Asyik, terima kasih bapak," serunya riang sambil menunjukkan sikap tak sabar ingin buru-buru melangkah ke atas delman. Selanjutnya sepanjang perjalanan matanya asyik menerawang mengamati keadaan di sekeliling kami dengan senyum lebar dan celoteh yang tiada henti.

Anakku, betapa aku akan selalu mengingat episode itu. Saat kau sangat berbahagia dengan menumpang delman Austria. Dan menikmati liburan kita dengan kebahagiaan yang penuh.

-ad-

Di umur itu juga dia sudah pandai makan sendiri dengan sumpit seperti masyarakat Cina. Semangkuk nasi goreng yang mengepul habis disantapnya di restoran. Dia kelihatan sangat terampil menggunakan alat makan yang bagiku saja masih terasa asing. Betul-betul mencengangkan, sehingga kerabatku yang kebetulan menyaksikan mengatakan bahwa anakku memang unik. Dan akan kusimpan dalam ingatanku bahwa apapun adanya, anakku memang seorang pencinta nasi goreng dengan lauk bebek panggang.

"Aku mau makan banyak supaya aku kuat," katanya disetiap perjalanan wisata kami. Dan dia memang membuktikannya. Meskipun dia penderita asthma yang kambuh setiap menjelang pagi, tapi dia tidak pernah "layu" di perjalanan panjang kami, serta menikmati semua kunjungan itu. Termasuk ke tempat-tempat bersejarah semisal istana, museum terbuka bahkan gua es yang luas dan dingin di ketinggian puncak pegunungan Alpen itu.

Di sinilah minat anakku akan sejarah mulai tumbuh. Pada setiap museum, dia akan berhenti serta menunjukkan minatnya. Di setiap patung yang didirikan di taman-taman kota, diapun menunjukkan ketertarikannya. Mata itu akan mengawasi kemudian merabai permukaannya. Anakku memang beda, persis cerita "The Ugly Duckling' yang sering kututurkan kepada keempat buah hatiku. Maka tak berlebihan jika aku mengistilahkannya sebagai si bebek jelek.

-ad-

Satu hal yang tidak bisa kulupakan dari anakku adalah kecintaannya terhadap musik. Acara lipsing anak-anak di stasion televisi Jerman menjadi salah satu agenda favoritnya. "Minnie Playback Show", demikian judulnya, selalu ditontonnya dengan penuh nafsu. Namun entah mengapa, anakku tidak pernah tertarik mempelajari musik. Padahal aku amat mendorongnya untuk belajar setidak-tidaknya keyboard terlebih dulu. "Aku tidak mau belajar musik," katanya. Sebab ternyata di dalam hatinya dia punya cita-cita yang sama uniknya untuk anak-anak lelaki. Menjadi guru.

Maka sejak saat itu, kapur tulis menjadi salah satu benda kegemarannya yang dipakainya untuk mencoret-coret papan-tulis seakan-akan guru sedang menerangkan pelajaran di dalam kelas. "Kamu mau jadi guru?" tanyaku memancing. Dia mengangguk dalam-dalam dan berkata, "guru adalah orang yang paling pintar."

Cita-citanya yang mulia tak padam hingga dia di SMA. Hanya guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolahnyalah yang bisa membelokkan minatnya. "Jangan belajar sejarah dan jadi guru sejarah, belajarlah ilmu politik dan hubungan internasioanal. Kamu lebih cocok disitu," pesannya. Maka sejak kelas tiga SMA dia menekuni semua pelajarannya agar bisa diterima di perguruan tinggi yang ditujunya atas saran sang guru.

-ad-

Aku hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Sekarang semakin kusadari adanya. Apalagi ketika aku mengenangkan kembali masa kecil anakku, yang ternyata sudah lama berlalu. Bukankah berarti aku harus mulai bersiap-siap "masuk kotak"? Wayang akan berganti pemain. Anak-anak muda itulah yang akan tampil di pentas tentunya dengan segala kebaruan yang mereka peroleh berkat kemajuan jaman.

Anakku pasti salah satu diantaranya. Si unik yang lembut yang terasah oleh kegemarannya terhadap musik dan bercita-cita mulia. Aku hanya bisa turut mendoakan. Semoga kelak Allah memudahkan semua usahanya menuju tempat yang baik di masyarakat, sebagai salah satu di antara para pemimpin bangsa itu. Tapi ini semua cuma harapan seorang ibu.

Minggu, 10 Agustus 2008

ZIARAH KE PULAU PENYENGAT, KEPULAUAN RIAU




Keluarga kami penikmat peninggalan-peninggalan sejarah. Karenanya setiap kali ada kesempatan baik, kami upayakan untuk mengunjungi tempat-temapt bersejarah . Tak lupa pula kami kunjungi Kompleks Makam Keluarga Sultan Ali Hadji, di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, yang namanya terkenal merupakan "bapak" Bahasa Melayu Riau yang menjadi dasar bahasa nasioanal, yaitu Bahasa Indonesia.

Dengan menumpang perahu "kelotok" yang kecil dan ringkih dari pinggiran Pelabuhan Seri Bintan Pura, di Tanjung Pinang selama kira-kira dua puluh menit sampailah kami di mulut Pulau Penyengat yang ditandai oleh sebuah gapura yang konon merupakan hasil karya AMD Manunggal alias "Abri Masuk Desa" dahulu.

Jalanan desa sangatlah sempit, terbuat dari semen sehingga tak ada satupun mobil disana. Kendaraan yang ada hanyalah sepeda motor dan beca bermotor yang siap membawa penduduk dan wisatawan berkeliling desa. Sementara menjorok ke jalan taman halaman, berderetlah rumah-rumah rakyat yang bersih dan teratur.

Inilah ziarah kami ke makam beliau, untuk mengingatkan anak-anak kami akan pentingnya menghargai bahasa nasional, Bahasa Indonesia, sekalipun mereka telah melangkahkan kaki ke berbagai benua dan mencicipi eksotisme bahasa-bahasa dunia.

Sabtu, 09 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (IV)

Semua manusia kuakui memang punya ciri khas sendiri-sendiri. Tak terkecuali anakku. Dia pendiam, tapi periang. Dia tak banyak bicara, tapi di satu sisi dia akan sangat ceriwis membahas segala sesuatu hingga mendasar. Itulah dia.

Anak kecilku "tak pernah ada" dalam barisan anak-anak staff di kantor suamiku. Entah apa sebabnya, setiap dinas membutuhkan anak-anak kecil. dia tak pernah terpanggil. Bagi kami itu bukan suatu masalah. Toch di setiap kesempatan upacara HUT RI mau tidak mau dia ada sebagai barisan aubade yang jadi kewajiban. Disitu dia akan berdiri sebagai tanda bahwa dia WNI sebagaimana kami, sekalipun dia punya dua kewarganegaraan.

Namun demikian anakku tetap saja dikenali orang. Lebih-lebih lagi tingkahnya yang selalu serius sangat janggal untuk anak sebayanya. Daya fantasinyapun cukup tinggi. Dengan mudahnya dia akan mereka-reka cerita seputar kejadian yang baru dilihatnya seakan-akan kejadian itu benar-benar terjadi pada keluarga kami.

Kuingat guru kelas satunya di Volkschule Oskarspielgasse pernah menanyai kami mengenai professi bapaknya. "Dia menceritakan tentang pergumulan seorang polisi melawan penjahat dan pemabuk di depan kelas. Apakah polisi itu bapaknya? Katanya, dia menganggap polisi itu hero lho." Cerita Frau Martina, guru pendamping khusus untuk anak-anak pendatang kepada Woro kemenakan suamiku yang sengaja ikut kami sambil mengawasi anak-anakku.

Woro hanya bisa berpikir keras. Sampai akhirnya dia tiba pada suatu kesimpulan bahwa Andri-ku tengah menceritakan pengalamannya menonton orang membuat film beradegan seperti itu di depan appartemen kami.

Rumah kami berpindah dari Hofzeile di muka Kedutaan Besar Pakistan ke daerah khusus perumahan di Sickenberggasse. Letaknya agak di ujung kota, tidak begitu padat lalu lintas namun cukup ramai. Gedung-gedung tua menghiasi kedua sisi jalanannya yang dibelah oleh rute strassenbahn yang membentang dari timur ke barat. Dan di sebelah utara, Sungai Donau yang sangat terkenal lewat gubahan Wolfgang Amadeus Mozart sebagai "The Blue Danube" mengalir deras. Di musim panas, manusia-manusia bertebaran di sepanjang tepiannya nyaris tanpa benang sehelaipun. Semua asyik menikmati Wina yang hangat dan bersih.

Disitulah kami tinggal selama dua tahun terakhir. Dan dari jendela kamarku di lantai empat terlihat jelas suasana di jalan raya, termasuk kegiatan orang membuat film laga tadi. Si kecil menyeret kursi dan naik ke atasnya sambil berdiri merapat ke jendela. Matanya nyalang tak berkedip lama sekali dan asyik sendiri. Agaknya kejadian itu amat menggores di hatinya dan terus dikenangnya sampai lama.

-ad-

Anakku duduk sebangku dengan Bibijana Reinvartova, putri diplomat Slowakia, negeri tetangga Austria yang jadi teman baik suamiku. Kami tidak pernah menyuruhnya duduk bersama Bibi, tapi merekalah yang memutuskan sendiri. Di hari pertama sekolah, kami hanya mengantarkannya sampai ke dalam kelas dan memperkenalkannya pada si gadis. Keduanya nampak senyum malu-malu. Tapi agaknya hanya sejenak. Setelah itu mereka menjadi teman baik sebagaimana pertemanannya dengan Pauline dan Theresia di Kinder Garten dulu.

Kupakaikan setelan jas dengan kemeja dan dasi kupunya di hari besar itu. Sebab di Austria tak ada ketetapan memakai seragam sekolah sebagaimana di Indonesia. Dia nampak gagah dan tidak canggung lagi, sekalipun di punggungnya sebuah tas besar tergantung berisi buku-buku tulis dan seperangkat perlengkapan sekolah lainnya cukup berat.

Anak-anak nampak menggenggam sebuah contong kertas berhias pita dan plastik bermotif cantik di tangannya. Agaknya itu adalah hadiah suka cita dari orang tua yang bahagia ketika mendapati anaknya diterima di kelas satu Sekolah Dasar. Suatu hal yang baru kami ketahui, sehingga tidak kami persiapkan lebih dulu. Untung, sekretaris suamiku yang menikahi wanita Austria menangkap ketidak mengertian kami, sehingga di sore hari dia membekali suamiku secontong alat-alat tulis dan permen sebagai hadiah bagi anak kami. Dan anakkupun tersenyum bahagia.

Aku mengantar dan menjemputnya setiap hari sesuai dengan peraturan di Austria. Anak-anak kecil diharapkan datang dan pergi dengan orang tuanya guna menghindari kejahatan yang tak diinginkan. Setidak-tidaknya, di Austria sana anak-anak diwajibkan dijemput di pintu appartemen supaya naik ke atas lift dengan ditemani orang dewasa. Kami selalu menikmati saat-saat ini bersama-sama. Berjalan berbimbingan menapaki coble stones yang licin dan dingin di sepanjang gang itu. Lonceng gereja selalu kedengaran berdentang nyaring memanggil kami untuk segera menuju ke sekolah tak jauh dari situ. Kucium dahinya, dan kuucapkan selamat belajar. Tak lupa kutuntun anakku untuk membaca doa belajar sebagaimana anak muslim lainnya sebelum dia melangkah naik di gedung tua itu. Matanya senantiasa penuh suka cita.

Sampai di suatu saat dia mulai merasa jemu dengan sekolahnya. Sebab dia tidak diikutsertakan dalam semua pelajaran bersama-sama anak-anak lainnya. Guru kelasnya yang tua memisahkan dia dan anak-anak asing lainnya untuk belajar sendiri di bawah bimbingan Frau Martina, gadis cantik berwajah khas Eropa Timur atau mendekati Italia.

Pagi hari -saat itu- akan jadi acara mogok mandi. Dia cuma berguling-guling di atas kasurnya sambil mengakibatkan tilam tidur kotor tak beraturan. Begitu selalu setiap hari hingga menguras kesabaranku.

Tapi suamiku betul-betul seorang pendidik yang baik. Dimintanya aku diam. Dan dengan caranya sendiri dia memaksa anakku untuk merapikan semua kesemrawutan yang diciptakannya sendiri dalam marahnya. Sesungguhnya hatiku tak tega. Tapi kami memang telah sepakat untuk seia-sekata dalam mendidik anak-anak, sehingga aku hanya bisa memendam perasaan kasihanku ketika menyaksikan anakku membersihkan sendiri kasurnya dengan terpaksa, atau bahkan harus tidur lagi dalam keadaan tempat tidurnya kotor.

Namun tak urung di waktu kami berdua-dua, kukorek apa yang menjadi pokok kemarahan anakku. Dia tidak pernah mau berterus terang. Kupikir dia cemburu kepada adiknya yang dibiarkan bangun siang karena tidak harus mengejar waktu ke sekolah. Tapi dugaanku keliru. Dia tak pernah marah-marah pada si adik. Bahkan kebiasaannya bermain bersama semakin erat. Maka kusimpulkan bahwa dia tidak menyukai cara gurunya mengajar. Sebab suatu kali pernah terlontar bahwa dia duduk di kelas yang berbeda dengan anak-anak sekelasnya. Dan ibu guru kelihatan sangat sayang pada Patrick, salah seorang temannya yang bertubuh tambun.

Cemburu, itulah pokok soalnya. Pelan-pelan kukatakan bahwa dirinya adalah murid istimewa. Kemudian keluarlah ceritanya tentang dua orang bersaudara pengungsi Yugoslavia yang bernama Anita dan Milan serta Natascha yang juga ditempatkan di satu kelas yang sama dengannya. Baru kusadari bahwa dia menjadi murid kelas khusus anak-anak asing. Maka kusampaikan kepadanya sebagai anak-anak yang punya bahasa lain selain bahasa Jerman, mereka berempat termasuk anak-anak istimewa. Ada kelebihan bahasa lain yang tak dipunyai teman-teman sekelasnya. Sementara pada waktu itu Bibijana sudah pulang kembali ke Bratislava yang kebetulan jaraknya cuma satu jam perjalanan dari Wina.

Anakku kemudian mengerti dan mulai bisa menerima keadaan, sehingga praktis semua mata pelajaran yang diikutinya menghasilkan nilai 1 di raport. Nilai 1 adalah nilai tertinggi yang setara dengan nilai 10 pada sistem penilaian di Indonesia. Bahkan menurut guru kelasnya, tulisan tangan anakku adalah tulisan tangan terapi yang pernah dilihatnya sepanjang mengajar. Lega sekali rasanya hati kami.

Namun sayang, penyakit asthmanya menjadi semakin sering kambuh sehingga aku membawanya berobat secara teratur kepada ahli paru kanak-kanak, Dr. Wang, di Kinderspital. Termasuk menemaninya menjalani operasi amandel yang merupakan operasi kedua sepanjang hidupnya setelah operasi penurunan testis di usia delapan belas bulan dulu.

Obat-obat hirupan rutin diberikan kepadanya melalui "spacer" yang berupa tabung yang digunakan untuk menyalurkan obat dari dalam tabungnya ke mulut. Sayang seringkali tak membawa hasil. Meskipun begitu, secara ajaib dia masih tetap dapat mengikuti sekolah dengan baik termasuk kelas pelajaran Agama Islam yang diajarkan seminggu sekali di waktu petang di sekolah lain di wilayah tempat tinggal kami yang jauh dari rumah.

Disana dia akan dikumpulkan bersama murid-murid sekecamatan mulai dari kelas 1 hingga 3 SD. Diantaranya dengan mbak Trisna putri teman kami serta Mustafa anak seorang imigran Turki. Ustadznya sendiri seorang Turki yang sangat disiplin. Semua buku harus terjaga kerapiannya, terutama Al Qur'an. Ada sedikit coretan disana, meledaklah marahnya dalam bahasa yang sangat tak sedap di dengar di telinga. Anakku senantiasa berusaha mematuhi perintah ustadznya, termasuk duduk diam dan menyimak.

Sayang suatu hari Ustadz Hashem, begitu namanya marah-marah setelah mendapati Mustafa tidak menyimak dengan baik serta tidak mengerjakan PRnya. "Dimana ibumu? Perempuan tidak bertanggunhjawab!" hardik ustadz dengan garang. Mukanya menatap lurus dan tajam ke wajah bulat telur Mustafa yang menunduk kaku ketakutan di bangkunya. "Ibuku pergi kerja," katanya lirih. "Apa tugas bapakmu kalau dia masih juga harus bekerja sendiri?" cecar ustadz galak itu lagi. Kulihat mulut kecil itu terkunci rapat. Mukanya pias menunduk takut. "Dengar kataku, kamu tidak boleh berangkat ke sekolah sendiri dan belajar tanpa pengawasan orang tuamu, tahu?" bentak ustadz Hashem lagi sambil menghampiri meja Mustafa kecil. Lengannya mencengkeram kerah baju si kecil. "Lihat padaku, jangan kau diam!" diangkatnya wajah mungil yang kini mulai digenangi air mata. Kulihat anakku menunduk ketakutan juga. Aku ada di bangku belakang atas suruhan ustadz bersama para ibu lain yang juga mengantarkan putra-putri mereka. Perlahan-lahan Mustafa menjawab, suaranya bergetar hebat, "aku tidak punya bapak........." seketika pecah tangis mengisak yang kelak kutahu juga menggetarkan hati anakku.

Di atas Stassenbahn 37 yang menuju ke rumah anakku bilang, "Ibu, kasihani Mustafa. Dia tidak punya ayah, dan ibunya juga tidak di rumah. Ibu jangan pergi kerja seperti itu ya? Aku takut dimarahi ustadz," Lalu digenggamnya tanganku erat seperti tak boleh jauh darinya.

Kusadari anakku Andri, sangat lembut dan berperasaan halus. Menggelitik jiwaku dan menyebabkan aku ingin senantiasa membahagiakannya. Seperti hari ini ketika dia jauh dariku, di kampung halaman sana sedang mencari bekal hidup untuk diri sendiri dan keluarganya kelak. Andriku, ya ibu tahu kau punya tekad untuk senantiasa bisa menjadi orang berguna supaya kau tak dihina orang seperti ayah Mustafa temanmu yang tak pernah jelas dimana rimbanya itu. Maka aku harus menanggung semua rinduku. Demi masa depanmu yang bahagia, bukankah sebaiknya begitu?

Jumat, 08 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (III)

Dering telepon selulerku berbunyi ketika aku sedang mempersiapkan kegiatan pagi hari di dapur belakang. Aku terlambat melihatnya. Tapi segera setelah selesai dengan kegiatanku dan masuk ke kamar untuk mencuci gelas bekas minum suamiku, suara renyah suamiku mengusikku. "IPK Andri,  tiga koma limapuluh enam ya?" tanyanya bernada retorika. Aku mengangkat bahu, "belum tau. HP ku sedang kuisi baterai," jawabku seraya menunjuk Samsung hitam clamshell kesayanganku yang kuhiasi dengan wajah Andri pada layarnya di atas buffet dekat jendela.

Bergegas kuambil dengan degupan kencang. Adrenalinku melonjak bahkan sebelum aku membaca sendiri massage anakku. Dengan mendengar namanya disebut atau menatap fotonya saja aku sudah senang bukan main. Akhir-akhir ini rinduku sedang memuncak. Maklum selama hidup, kami tak pernah berjauhan lebih dari setengah tahun.

"Ibu, bapak, Kartu Kemajuan Studi (KKS) transkrip nilai sudah keluar. IP semester 4, terbagus yang pernah kuhasilkan :3,56!" tulisnya jam enam pagi waktu disini. Aku segera mengucap syukur. Menengadahkan wajah ke langit sana, berharap Tuhan menemukanku dalam keadaan bahagia, Aku memuji namaNya. Tuhan Maha Agung! Kerja keras suamiku dan anak kami tak sia-sia. Disini suamiku berusaha untuk memenuhi semua literatur yang diperlukannya dan menjadi mentor dalam memahami semua mata kuliahnya, disana anak kami tak putus-putusnya menekuni semua beban pelajarannya.

"Anakku, mas, syukurku pada Allah. Terima kasihku padamu yang telah menghadiahi kami dengan kesungguhan menggapai cita-citamu. Aku bangga padamu yang tahu bagaimana caranya menghargai kerja keras ayahmu. Diupayakannya semua kebutuhanmu dan kau manfaatkan usaha ayahmu dengan sangat baik. Rasakanlah debur hatiku yang tiada pernah putus mendoakan keselamatanmu dan memohon agar Allah menanamkan cinta kasih padamu." Balasku panjang lebar. Kudengar kicau burung pagi di atas pohon alpukat dan cemara menjadi semakin riang, lebih riang dari hari-hari biasanya. Hawa yang sejuk berubah menjadi hangat terbawa hatiku yang bahagia. Bahkan rasanya suamkiku menjadi semakin tampan hari ini, ah, aku semakin mencintainya. Dan merasakan betapa perjodohan yang Allah atur untuk kami adalah karunia terindah sepanjang hidupku.

-ad-

Untuk mencapai keadaannya sekarang, Andri-ku butuh perjuangan keras. Dia murid tertua di kelasnya, Hiubungan Internasional sebuah universitas negeri di ibu kota propinsi sana yang sudah lama pindah lokasi ke daerah.

Dia duduk di SD agak lambat. Di usia tujuh tahun dia baru boleh duduk di kelas satu, sesuai dengan peraturan pemerintah Austria, negara tempat permukiman keluarga kami yang kedua kalinya di luar negeri. Sebelumnya dia menghabiskan waktu hampir dua tahun setengah di Kinder Garten St. Paul milik gereja Katholik di sekitar appartemen kami.

Di situ dia menjadi satu-satunya murid Asia. Tapi ada juga murid asing dari Zambia, kakak-beradik Mattatiya, Pauline dan Lucky. Pauline itulah salah satu sahabat anakku. bersama-sama dengan Theresia yang kecil mungil, berhidung sangat sempurna serta bola mata coklat tua sewarna rambut keritingnya. Setiap hari kuperhatikan dari balkon rumah kami sambil mengasuh si bungsu, dia menarik-narik gerobak kecil yang ditunggangi Pauline maupun Theresia secara bergiliran. Gadis-gadis itu kelihatan senang dan tertawa terkekeh-kekeh sambil merebahkan badannya sangat santai. Kaki mereka dijulurkan ke atas, tangan-tangan kecil itu merentang bagaikan menjaring angin, layaknya kelakuan perempuan kaya raya di dalam film. Perjaka kecilku juga akan turut tertawa-tawa senang sambil bertepuk-tepuk tangan setiap dia berhasil menarik sang gadis ke sisi lain halaman sekolah. Tante Hemma guru mereka juga nampak tertawa-tawa senang seraya menggeleng-gelengkan kepala. Andri kecil kami memang kuat. Tak sekalipun dia mengeluh meskipun penyakit asthma warisan dari kami giat menyerangnya setiap malam menimbulkan batuk-batuk hebat yang diakhiri dengan muntah. Hanya sekali-sekali dia kelihatan layu dan kehilangan tenaga.

Tante Hemma dan teman-temannya sangat sayang padanya. Sekalipun dia berbicara dalam bahasa Jerman yang terbata-bata, tapi dia jadi sumber inspirasi bagi gurunya. Gurunya pernah bilang, bagaimana dia merasa tersentuh melihat cara anakku memperlakukan kawan-kawannya dengan lembut. Dan, konon menurut gurunya, dia seperti memiliki kemampuan nalar yang tak dimiliki anak sebayanya.

Kuakui semua itu benar adanya. Sebab di musim winter 1991, dia pernah pulang ke rumah dengan membawa gelak tawa yang tak habis-habisnya dan cerita mengenai "kebodohan" anak-anak sekelasnya. "Tadi St Nichols's Fest," celotehnya membuka pembicaraan. "Anak-anak mengira St Nichols itu orang yang tidak dikenal," sambungnya. "Dia dielu-elukan anak-anak yang mengharapkan hadiah, kata anak-anak St Nichols itu kiriman Tuhan untuk memberi hadiah kepada anak-anak baik, padahal aku tahu itu bapaknya Angkilika," ceritanya sambil tersenyum. Anakku memang selalu bertutur dalam bahasa Indonesia baku sebagaimana gaya penuturan pada buku, serta tak pernah berhasil menyebut nama Angelica, salah satu teman sekelasnya dengan benar.

Kami duduk di muka telvisi bersantai-santai. Badannya dirapatkan ke dadaku, matanya menatap tajam dengan senyum yang mengembang lebar. "Darimana kamu tahu itu bapaknya Angelica mas?" tanyaku. "Ibu tidak lihat, tapi aku lihat. Bapaknya Angkilika datang, lalu masuk ke garde robe dengan membawa tas. Lalu dia keluar dari situ sudah pakai baju St Nichols dengan membawa karung hadiah yang tadi pagi disiapkan tante Evi dan tante Hemma," jawabnya. "Aku katakan pada mereka, itu 'kan bukan St Nichols, itu bapaknya Angkilika. St Nichols itu tidak ada. Dia itu bapaknya Angkilika berganti baju. Aku tahu tadi bapaknya Angkilika datang membawa tas dan masuk ke garde robe memakai baju ditutupi jacke. Aku tanya, bapak, bapak kenapa menjadi St Nichols? Dia tidak menjawab ibu, dia cuma tertawa. tante-tante itu juga tertawa ibu," celotehnya lagi sambil mempermainkan bajuku dengan nada riang pada suara bocahnya yang berat. "Aku betul ya ibu?" tanyanya minta kepastian. Konon lanjutnya, St Nichols "jadi-jadian" itu memberinya cium dan pelukan hangat sambil mengusap-usap rambutnya. "Berarti iya 'kan? Bapaknya Angkilika menipu 'kan? Dan bapaknya Angkilika mau minta maaf 'kan?" katanya lagi seakan minta pembenaran. Aku tersenyum dengan sejuta bintang di dadaku menyala terang. Kuraih kepalanya dan kuciumi sepuas hati. Betapa aku beruntung mendapat anugerah anak yang tak mudah ditipu. "Iya kan bu?" desaknya lagi. Aku mengangguk, dan mengatakan apa adanya. Sejurus kemudian dia bertepuk-tepuk tangan sendiri merasakan kepuasa batin yang dalam.

-ad-

Guru kelas anakku selalu mengatakan dia pendiam. Tapi, kalau dia sudah mau bicara, maka dia akan mendominasi pembicaraan dan tak memberi kesempatan orang lain untuk menyela. Aku membenarkan dalam hati. Dan pembicaraannya soal St Nichols palsu itu salah satu contohnya. Setiap orang dberitahunya dengan bersemangat. Dan tak seorangpun diijinkan bertanya sebelum dia selesai bicara. Anakku sayang, kau memang unik, bisikku ke hatinya.

Hari ini episode itu membayang lagi. Mengingatkan padaku bahwa anakku memang patut menerima nilai sedemikian besarnya itu, sebab semua diperolehnya dengan pengamatan semata. Seperti dia mengamati ayah Angelica ketika memerankan St Nichols sekedar untuk memenuhi ritual anak-anak menjelang natal di belahan bumi sebelah barat sana. Terus terang Andri, aku menghargai caramu berpikir. Di balik sujud syukurku kusampaikan pula permohonanku agar Allah menuntunmu kelak menjadi salah satu pembaharu bangsa. Negeri kita masih membutuhkannya, anakku...........

Kamis, 07 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (II)

Petang yang teduh dengan sinar mentari condong ke barat selalu mengingatkanku akan anakku. Andri kecil selalu siap mandi pada sekitar pukul empat sore. Lalu berdiri di muka televisi kami yang mungil untuk menantikan siaran pembuka Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang pada masa akhir tahun 80-an masih menjadi pemain satu-satunya di nusantara.

Aku siap menyalakan untuknya, dan asyik pula mengamatinya berdiri menyanyikan Indonesia Raya dengan bahasa bocahnya yang belum sempurna. Sejak pertama menonton TVRI sudah nampak ketertarikannya akan irama lagu kebangsaan kita. Matanya menatap tak berkedip pada bendera merah-putih yang digambarkan melambai tertiup angin, sementara telinganya seperti menyimak penuh. Pada bagian refrain diserukannya "Iraya-iraya merdeta-merdeta-tanahtu-nedritu-yang tucinta......." sambil terus menatap layar kaca penuh minat.

Belum pernah kudapati anak seperti dia sekalipun pada kedua kemenakanku yang dulu kuasuh. Mbakyu-mbakyunya hanya tertarik pada lagu kanak-kanak, tapi dia tertarik pada hampir semua lagu. Tak heran, jika tiba saatnya upacara hari nasional, dia tidak menolak untuk diajak serta. Bahkan dengan gaya kanak-kanaknya dia minta berdiri di barisan anak sekolah. Memang tubuhnya akan condong ke kanan atau kekiri tak beraturan. Tapi dapat dipastikan dia tidak pernah lari menghambur kepada kami orang tuanya. Dia akan tetap berada di barisan anak sekolah sekalipun dengan wajah yang ditolehkan ke kanan dan ke kiri serta kakinya yang tidak mau diam.

-ad-

Kami mengasuhnya sedemikian rupa. Membiarkannya tumbuh sesuai dengan keinginannya sambil mengawalnya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan.

Akulah orang pertama yang mengajarkan kasih sayang padanya. Ketika janin si bungsu mulai bersemi dan bertumbuh di rahimku, kubuka sebuah buku perihal kehamilan. Kutunjukkan gambar janin di dalam rahim ibunda, dan kukatakan bahwa perutkupun akan membesar sebab kami ingin memberinya seorang teman untuk disayang dan diajak bermain. Kepalanya ditolehkan memandangku dengan sungguh-sungguh. Mulutnya separuh terbuka seakan tidak percaya. "Ya, kamu akan punya adik seperti mbak Sitri punya mas Erwin, dan kak Ratih punya Galih," kataku menyebutkan nama tetangga-tetangga kecil kami. "Aku boleh main dengannya nanti?" tanyanya polos penuh harap. Kuanggukkan kepalaku, dan kuraih telapak tangannya untuk kutempelkan di perutku sambil berkata, "sekarang mas kenalan dulu dengan adik, ya. Katakan padanya mas sayang adik." Dia patuh namun menunjukkan raut muka kebingungan, "dimana adik?" tanyanya. Aku tersenyum menyadari "ketololanku" sendiri. "Tentu dia tidak kelihatan mas, dia ada di dalam sini. Tapi dia bisa mendengar karena Tuhan memberinya telinga,' jawabku mantap sambil menepuk-nepuk perutku. Kubelai helai-helai rambutnya yang legam dan lebat. "Hallo adik, salam," katanya kemudian mematuhi permintaanku.

Maka sejak hari itu dia selalu kubawa serta ke klinik kebidanan dan kandungan tempat dokterku memeriksa kehamilan ini. Bahkan atas ijin dokter, dia senantiasa ikut masuk ruang pemeriksaan sambil mendengarkan detak jantung janinku yang terpantau dari sebuah alat kayu berbentuk serupa terompet. Setiap degup jantung itu terdengar, dengan riang dia bertepuk-tepuk tangan dan memanggil "hallo adik, sedang apa?" Sejuk rasanya hatiku mendengarkan dan mengamati tingkah lucu anakku mempersiapkan kelahiran adiknya.

Belum lagi ketika kemudian anak bungsuku lelaki lahir, dengan memaksa Andri-ku berkeras untuk menamakan adiknya Yayang Suryadi, mencomot begitu saja nama pemilik kedai hasil bumi langganan kami.  Dia nyaris menangis ketika bapaknya menolak dan mengatakan sudah punya nama lain.

Mendapati raut wajah kecewa anakku, mas Dj memutuskan untuk mengambil nama Haryadi, supaya tak jauh dari keinginan anak kami sekaligus mengadopsi sepotong nama ayahku sesuai janjinya. Dulu sekali, dia ingin anak-anak kami kelak menyandang nama ayahnya dan ayahku sebagai penghormatan kepada beliau yang telah menjadikan kami sebagai makhluk yang tangguh. Andri tertawa lebar, "tapi adik namanya tetap Yayang," tegasnya sambil menggenggam jemari mungil si bungsu. Keteguhannya meluluhkan si ayah, dan ini kelak akan terus berlangsung hingga dia dewasa.

-ad-

Sejak kelahiran si adik diumurnya yang ketiga, Andriku semakin lekat dengan dinding rumah. Sehari-hari dia hanya bermain-main di sekitar makhluk mungil itu. Seperti biasa, berdendang sambil menepuk-nepukkan tangannya. Juga membuka buku dan berpura-pura membaca.

Aku memang membiarkan anakku tumbuh sesuai kodratnya. Tak penah sekalipun aku mengajarinya membaca. Kutebarkan saja buku-buku cerita bergambar itu di pangkuannya, lalu aku membaca untuknya. Dengan segala intonasi yang kadang-kadang naik-turun mengiba atau bersorak-sorai kukisahkan apa yang tergambar di buku itu dengan bahasaku sendiri. Itulah juga yang dilakukannya terhadap adiknya. Dibukanya buku di dekat si bungsu, lalu dia mendongeng dengan gayanya sendiri meniru-niru kebiasaanku.

Dia memang penggemar beratku. Semua keseharianku lekat diamatinya, termasuk kedudukanku sebagai ibu rumah tangga. Sehingga ketika suatu hari pak Ketua Rukun Tetangga menggodanya dengan pertanyaan kapan dia akan bersekolah? Yang keluar adalah jawaban yang lucu, polos dan menggelikan. "Aku tidak mau sekolah, pakdhe. Nanti kalau sekolah aku jadi pintar. Aku mau bodoh seperti ibuku supaya aku di rumah terus." Semua orang tergelak mendengarnya. Dan manakala ditanya mengenai keberadaan ayahnya, dia akan selalu menjawab tegas, "bapakku di kantor, mencari rejeki karena bapakku pintar." Lagi-lagi pernyataannya menimbulkan semburat di piipku yang tirus serta pucat sehabis melahirkan si bungsu yang juga dengan caesar. Aku tesipu-sipu atas perkataan anakku sendiri yang bagiku begitu mengagetkan.

-ad-

Sampai dewasa anakku memang tidak begitu cemerlang. Tapi di balik semua kesederhanaannya aku melihat kesungguhan yang sangat. Pada prinsip hidup dan sikapnya menghadapi suatu keadaan. Anakku betul-betul lelaki yang tangguh, yang tak mudah terbawa arus dan terhempas badai. Ya Allah, nikmat apakah yang aku dustakan? Sesungguhnyalah Engkau Maha Kasih. Kau berikan kepada kami anak yang menyejukkan hati dan menenteramkan pikiran.

Tiba-tiba kudengar alunan musik dari arah ruang makan kami. Lagu yang sangat lawas, yang nyaris tak ada lagi orang mengenangnya. "Brand New Broken Heart" dari cakram digital Connie Francis. Satu lagu kesayangan anakku, "Si Bebek Jelek" yang selalu tampil beda sebagaimana "The Ugly Duckling" yang dulu kubacakan kepadanya sebagai pengantar tidur. Di kepalaku berpendar-pendar lagi bayangan tentang dia. Dan masa kecilnya yang sangat manis. Anakku, aku rindu padamu. Ijinkan ibu menjumpaimu di atas bantal pada mimpi malam hariku.

Selasa, 05 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (I)

Menulis itu tidak mudah. Jika tak ada desakan yang timbul dari "dalam sana" sekalipun ingin menulis, tetap tak akan pernah terukir satu katapun di layar komputer ini.

Sudah dua hari aku ingin mengisi lembar-lembar MPku sebagaimana biasanya. Apalagi ada sederet PM masuk dari anakku di Jatinangor sana. Rasanya ingin aku menulis sesuatu, sekedar menuliskan kenangan tentang dia. Bocah lelakiku yang kini sudah jadi seorang lelaki dewasa.

-ad-

Andri-ku lahir hampir duapuluhdua tahun yang lalu, ketika daun-daun mapple di Kanada tengah menguning kering siap diterbangkan angin dan jatuh ke tanah menjadi hamparan permadani alam. Perutku dibuka dokter Douglas Black suatu sore di awal minggu kedua Oktober. Suamiku ada di sisiku, menemaniku menyaksikan kelahiran anak kami. Ada kelainan pada letak kandunganku, sehingga dokter memutuskan untuk membedah perutku. Pembedahan perut yang pertama kalinya untukku. Karenanya tak heran, suamiku bersedia untuk menemaniku di dalam ruang bedah yang sejuk berpendingin itu.

Langit-langit tinggi yang bersih, dilengkapi dengan lampu-lampu yang besar menyala sangat terang. Aku dibaringkan pada sebuah kasur tinggi setelah dokter menyuntik syaraf punggungku untuk mematikan rasa sakit yang sayangnya gagal, sehingga membawaku kepada keadaan antara sadar dan tidak. Belum lagi nafasku mulai berulah kehabisan oksigen sebagaimana biasanya.

Sayup-sayup kudengar kegiatan medis menyayat perutku, perintah dokter kepada para medis dan lengkingan nyaring bayiku. Juga pembicaraan ahli anestesi dengan suamiku mengenai kondisiku, bahkan bujukan suamiku untuk menyemangatiku. "Istighfar ya dik, ingat kau harus bertahan untuk dia. Anak kita. Dia sudah lahir. Bayi lelaki yang lengkap sempurna," bisik suamiku lembut di telinga sambil menggenggam jemariku dan sekali-sekali membelai pipiku yang dingin dengan punggung tangannya.

Rasanya kejadian itu belum lama berlalu. Bayi lelakiku yang cuma dua kilo lima setengah ons telah merajai hatiku. Membuat hari-hariku terpaku padanya dan menjadikannya sebagai pengobat dinginnya winter di belahan bumi utara.

Sering dia kubaringkan di dadaku, lalu kami bercakap-cakap. Aku dengan segala ceritaku, dan dia dengan gumaman bayinya yang membuncah bersama serpihan-serpihan ludahnya. Juga kaki-kaki kecil itu, begitu senang menendang-nendang tak tentu arah, seakan meluapkan semua enerjinya. "Peek-a-boo....." katanya dari balik pintu sambil menyembunyikan tubuhnya di situ. Lalu teriakan-teriakan melengking yang sangat nyaring akan terlontar kalau aku berhasil menemukannya dan menangkapnya ke dalam pelukanku. Ah, hari itu. Kemesraan yang selalu terjaga bersama keceriaan anakku.

-ad-

Ayahnya sendirilah yang menggendongnya ketika pulang dari Ottawa General Hospital. Dan ayahnya pula yang memberinya nama dipetik dari nama ayahnya sendiri. "Nama yang janggal," begitu kata Yang Mulia Duta Besar Adiwoso Abubakar, pimpinan kantor kami berikutnya. Tapi suamiku tak peduli. Baginya suatu keinginan besarlah untuk memberikan nama sang ayah pada anak kami. Selain itu kami memang ingin sesuatu yang lain. Sesuatu yang dapat menjadi ciri khas pada anak kami.

Keinginan kami sudah terbukti. Saat bayi-bayi sebayanya mulai berjalan dan memanjat-manjat, anak kami cenderung duduk dan asyik dengan mainan di sekitarnya. Jika didekatkan kepada sebuah tape recorder, dia akan duduk menikmati, memperhatikan, bertepuk tangan sesuai dengan irama lagu yang terdengar. Seringkali diikuti dengan memencet-mencet berbagai tombol di situ. Tak jarang cassette kami rusak karenanya. Tapi kami tak pernah berkeberatan. Aku justru menaruh kebanggaan atas ketertarikan bayiku.

Juga di saat anak-anak sebayanya asyik berlari-lari dengan temannya, anak kecilku baru tertatih-tatih dan sering menyeret siapa saja untuk menemaninya belajar jalan. Sehabis itu duduk santai dan memperhatikan orang-orang dewasa mengobrol. Mulutnya yang mungil sering berceloteh sendiri menimpali segala pembicaraan kami sehingga meninggalkan gelak tawa. "Kamu kayak orang dewasa ya," komentar tante Wieke sahabat kami yang kebetulan putri Duta Besar kami. Diciumnya pipi anakku yang membulat merah dengan gemas. Dicubitinya sampai puas. Kemudian, dia menghadiahkan sepotong baju biru muda bergambar layang-layang sebagai hadiah tanda cinta pada anakku. Baju yang kemudian kerap aku kenakan pada tubuh anakku sebab senantiasa menambah seri pada wajah bayinya.

-ad-

Kami berganti mobil segera setelah Andri lahir. Dari Honda Accord hatchback dua pintu, jadi Toyota Camry empat pintu putih cemerlang. Sebagai ungkapan kebahagiaan hatiku, kata suamiku waktu itu. Dengan mobil itu kami bawa dia berkeliling ke desa-desa di sekitar Ottawa menikmati tenangnya alam. Kadang mobil kami parkir di tepian Saint Lawrence River. Kadang juga di Ottawa River sambil mencoba naik perahu yang akan berputar-putar mengelilingi belakang Gedung Parlemen hingga mencapai Wisma Duta di Rockliffe. Gemericik air menimbulkan perasaan senang di hati. Sejuk menyirami jiwa. Lebih-lebih ketika kubiarkan bayiku ikut menjajal lapisan tebal salju di Gatineau di seberang Ottawa River pada ketinggian sebuah bukit bersama para pemain ski. Matanya yang kecil akan membelalak bola, atau bahkan meredup dan berkejap-kejap seiring dengan jatuhnya serpihan es di wajahnya. Tapi kaki dan tangan itu tak pernah kehilangan ceria geraknya. Senantiasa terus bergejolak sambil mulutnya menggumamkan sesuatu.

Pada umur setahun, aku mencobakan sebuah lagu anak-anak yang sering kudendangkan dengan menekan-nekan bilah keyboard sebisaku. Tak dinyana, mulut mungil anakku segera bersenandung sambil tak lupa bertepuk-tepuk tangan kecil "Anambul, anambul, ......" serunya menatap padaku dengan sorot mata berbinar. Aku menghentikan permainanku dan menatapnya takjub. Mulut itu turut berhenti, kemudian menjerit meraung-raung sambil menendang ke sana-ke mari. Dia baru berhenti dan kembali berlagu ketika aku mengulang permainanku sampai selesai. Lalu dia menangis lagi dan minta aku mengulanginya, "lagi, lagi, lagi....." Aku terpana! Anakku mengenali lagu "Ambilkan Bulan" yang biasa kudendangkan menjelang dia tidur. Dan dia begitu menikmatinya.

Sejak itu anakku dan keyboard nyaris tak pernah lepas. Dia mempermainkannya baik dengan jari-jari mungilnya, bahkan sekali-sekali dengan menginjaknya. Aku tidak pernah memarahinya. Kubiarkan dia berpuas-puas diri dengan keyboard itu sekalipun pada akhirnya rusak ketika dia sudah betul-betul bisa memainkannya.

Anakku. Dia memang lain dari teman-teman sebayanya. Dengan mudah dia akan menerima ajakan kami makan bersama dengan didudukkan pada high chair, kursi makan bayi yang khusus kami beli untuknya. Dan piring bergambar snow man pemberian kakek Millar tetangga di sebelah rumah kami di Coronation Avenue, Alta Vista, Ottawa jadi saksi matanya. Sepiring nasi dengan lauk-pauk Indonesia lahap disantapnya dari sana. Termasuk rendang dan gulai otak yang atas keinginannya sendiri masuk ke dalam mulut mungilnya.

Sampai sekarang Andri-ku adalah lelaki yang tak rewel. Dia sanggup menjalani hidup macam apa pun dan makan dengan gaya apa pun. Betul-betul cerminan dari seorang lelaki Indonesia yang tangguh. Dan sepanjang masa akan kuingat bahwa kegemaran anak lelakiku ini adalah perkedel jagung ditemani sayur lodeh atau urap yang selalu dipelesetkannya menjadi "yurep". Kadang aku harus menahan sebak setiap aku menghidangkannya di meja makan keluarga kami kini. Teringat anakku yang harus keluar rumah mencari makan malam yang disukainya sendiri.

-ad-

Kami membawanya pulang ke Indonesia ketika umurnya menjelang dua tahun. Di rumah sewaan kami dia menghabiskan hari-harinya seorang diri. Bernyanyi dan membuka-buka buku itulah kegemarannya. Walaupun ada satu-dua jenis mainan anak-anak, tapi dia nampak tak begitu tertarik. Hidupnya hanya diisi dengan menyetel cassetes yang tidak saja berisi lagu kanak-kanak, melainkan juga lagu-lagu dewasa dari koleksi Koes Plus dan Koes Bersaudara. Kalau sudah begitu, dia akan asyik sendiri. Bergoyang-goyang di muka cermin, menepuk-nepukkan tangan mungilnya ke kedua sisi telinganya sambil mendendangkan "Oh penyanyi tua......" terus-dan-terus berlagu. Seringkali aku terkikik geli dan menjadikannya sebagai penghibur hati. Maklum saat itu hidup sedang terasa berat seiring dengan kehamilanku yang ketiga.

Di kampung Kebon Jeruk yang masuk wilayah Kedung Halang anakku jadi salah satu kesayangan orang banyak. Mulutnya senantiasa berceloteh bak orang dewasa. Juga ketika dia ikut inang pengasuhnya berbelanja ke warung ibu Suryadi dan ibu Sar Utomo. "Budhe, atu mau beli tempe tiga ratus, itan pindang satu teranjang dengan tantung tiga itat," katanya memesan belanjaan. Lain kali dia menunjuk barisan aneka sayur sambil memerintahkan penjualnya untuk mengambilkan sayur lodeh. Tingkahnya sangat lucu dan mempesona. Apalagi dia tidak pernah keliru melafalkan "R" dan hanya "terpeleset pada huruf "K" yang dilafalkannya sebagai "T". Semua orang seketika jatuh hati padanya. Termasuk gadis cilik bernama Ita dan Lilis.

-ad-

Dua gadis berumur kira-kira delapan dan sepuluh tahun setiap siang pasti nongkrong di teras rumah sewaan kami. Penampilannya sangat berani. Matanya bulat bola dan liar. Mulutnya tak pernah berhenti berceloteh, sekalipun hidungnya sering basah oleh ingus yang meleleh. Kaki-kaki itu kelabu, terbawa oleh udara kering yang menyengat kota Bogor.

Dengan penasaran kudekati mereka. Kubiarkan mereka bermain-main dengan Andriku, sambil kukorek latar belakang keluarganya. Ita yang kecil mengatakan bahwa kedua orang tuanya bekerja. Dia belum bersekolah karena orang tuanya tidak menyekolahkannya. Di rumahnya ada seorang adiknya lelaki yang kadang-kadang memang ikut main ke rumah kami. Konon menurut Ita, rumahnya di Gang Mangga, di belakang rumah kami dekat kantor Polres Kedung Halang. Kadang-kadang aku iba melihatnya, sebab dia sangat menikmati semua mainan anakku yang tak seberasa banyak sambil melirik ke piring makan anakku.

Kata Lilis, Ita adalah kawan mainnya. Dia sendiri bersekolah kelas empat SD sedangkan ibunya bekerja di rumah orang kaya. Lilis senang duduk-duduk membacakan cerita untuk Andri sambil membaca untuk dirinya sendiri hingga terkantuk-kantuk dan tidur mendengkur di lantai teras kami yang sejuk.

Suatu hari kudapati Andri memintakan makan kepada inang pengasuhnya untuk gadis-gadis itu. Ketika kutanyakan padanya kenapa dia lakukan itu, dengan mulut bocahnya dia berkata. "tata-tata belum matan, tasian, ya bu?" Lalu dia berlalu menghampiri mereka kembali. Kuikuti dirinya, dan kusaksikan dia sedang menyuruh dua tetamunya untuk duduk menunggu. Tak terasa hatiku bergetar. Aku semakin merasa bahwa anakku memang unik.

Sayang Ita dan Lilis kemudian tak pernah datang lagi. Menurut ibu Yani tetangga kami yang sangat berkecukupan, orang tua mereka melarang anak-anaknya main jauh-jauh. Entah apa sebabnya. Barangkali mereka pernah memergoki anak-anaknya tertidur di teras kami? Atau justru dia tersinggung sebab ternyata ibunya Lilis bekerja sebagai pembantu padanya? Aku tak tahu, Aku hanya berdoa semoga mereka mendapat perhatian yang lebih baik dari orang tua mereka di balik kemiskinan yang menghimpit keluarga mereka di tengah kota Bogor yang mulai menjadi metropolitan ini.

Andri-ku. Si perjaka yang setali-tiga-uang dengan bapaknya dulu. Selalu memperhatikan teman-teman perempuannya dan bersedia membantu kesulitan mereka. Seperti apa yang dilakukannya padaku. Maka ingatankupun kembali melayang ke masa sekolah. Kepada gadis-gadis berambut panjang. Ira, Lily, Nida, Ida, Euis, Wiwin dan sederet nama lagi yang akan senantiasa lekat dalam ingatanku bersama-sama dengan nama Herry dan Mirza. Akupun tersenyum sendiri. Membayangkan "pola dasar" yang telah terlukis pada anakku yang unik. Buah cintaku dengan mas Dj yang kami "petik" di musim gugur delapanpuluhenam di Ottawa, Kanada.

Pita Pink