"All across the nation, such a strange vibration.... People in motion, people in motion...... Gentle people with flower in their hair.....". "Bu, iku lagu apa sapa penyanyine sih? Aku samar-samar rada kelingan......."
Seberkas kalimat kembali muncul di layar ponselku. Hari masih pagi. Pengirimnya siapa lagi kalau bukan Andri-ku. Anak itu selalu datang padaku dengan pertanyaan macam-macam. Seringkali dengan sepenggal syair lagu seperti ini. Tidak penting untuk dijawab. Tapi bagiku sudah menimbulkan rasa senang, karena berarti dia tidak pernah lupa kepada kami, orang tuanya.
"San Fransisco, sung by The Bee-Gees, nek ibu ora salah ya nak," jawabku segera. Walaupun aku tidak begitu suka dan karenanya tidak mahir menyanyikan lagu itu, tapi aku ingat syairnya. Sering kudengarkan dulu dari Studio Radio Voice of Children atau Mustang, atau Padjadjaran Kelelawar, favorite mbakyuku, Iene. Bahkan akhirnya aku juga memiliki kasetnya di jaman tahun delapanpuluhan, sekedar untuk mengenang jaman dulu yang jadi kesenanganku.
"Matur nuwun. Aku lagi inget aja sama lagu itu," balasan anakku dari sana. Tergambar di benakku rambutnya yang mencapai dada melambai-lambai digoncangkan tubuhnya yang sering bergoyang sesuka-sukanya, selagi mulutnya menyanyi keras-keras. Bibirku tersenyum sendiri.
Rambut itu harusnya sudah dipangkas. Dia kini sudah melanggar janjinya sendiri. Dulu, waktu aku ribut mulut dengannya gara-gara rambut itu, dia berkilah, "Ini bentuk protesku terhadap kekejaman selama Ospek, dan aku sedang berjuang dengan caraku sendiri menghapus kekejaman dan pelecehan harga diri yang dilakukan senior terhadap para mahasiswa baru," jawabnya.
Tapi, kemarin dulu kubaca di koran lokal, Rektor di Universitas tempatnya belajar telah menyatakan memerangi kekerasan dalam Ospek. Siapapun pelakunya akan berhadapan dengan hukum sesuai dengan peraturan yang ada di Indonesia. Dan konon, beliau tidak akan ragu-ragu untuk membawa pelanggarnya ke depan penegak hukum.
Maka kukirimkan sepenggal SMS pada anakku untuk menagih janji. Jawabnya, seperti sudah kuduga adalah penolakan. "..... aku tadi nanya pas makan siang di kampus. Ospek sudah beres, tapi masih ada kekerasan lho. Yang dimaksud pak Rektor bagus, tapi sulit menjerat/menghukum karena yang dilakukan bukan kekerasan fisik tapi kekerasan mental alias bentak-bentak. marah-marah.Nah itu mah susah untuk dibuktikan.." Intinya anakku teap menolak cukur rambut. Keras kepala persis kebiasaan waktu kecil dulu.
-ad-
Sebetulnya dia bukanlah anak pandai dalam arti yang sesungguhnya. Dia tidak bisa berhitung. Dan itu masih terjadi sampai dia kelas enam SD. Dia selalu ragu dan kebingungan jika aku menyuruhnya belanja. Takut uangnya tidak cukup, atau bahkan takut uang kembalinya kurang.
Di satu sisi harus kuakui dia memang suka keteraturan. Tapi, pada dasarnya, dia memang tidak bisa menghitung. Dan ini diungkapkan oleh ibu temannya di SD kelas dua ketika suatu hari aku meninggalkannya di sekolah. Dia dengan kepolosannya menghampiri deretan ibu-ibu penunggu murid dan memperlihatkan uangnya. "Tante, tadi aku belanja, di mang Aning. Uangku sehabis belanja jadi banyak," katanya sambil membuka genggaman tangannya yang dipenuhi uang recehan."Tadi uangku satu, sekarang jadi banyak......" tegasnya lagi waktu ibu Yenny memandanginya dengan heran. "Satu berapa?" tanya temanku itu. "Ya satu lembar, uang biru," celotehnya lagi. Teman-temanku segera mengerti dan tertawa tergelak-gelak. "Oh, ya, ya, kamu tadi punya uang seribu, sekarang jadi sembilan ratus. Banyak sekali ya?" timpal mereka sambil mengelus anakku yang tertawa senang. Sesudahnya ganti mereka sendiri yang tertawa tak habis-habisnya sambil menceritakan kembali padaku.
Sampai besarpun anakku memang tidak begitu mengerti hitungan. Dia hanya cakap dalam hafalan, seingga aku dulu kerap memarahinya dan mengancamnya akan menjadikan kuli pengangkut belanjaan di pasar dekat sekolahnya jika dia tidak mahir-mahir juga mengerjakan hitungan sederhana.
Selalu kukatakan dalam rentetan teriakan yang memekakkan, "Mau jadi apa lelaki tidak bisa berhitung? Tidak akan ada orang sudi menerimamu bekerja di tempatnya kalau kau tidak pandai berhitung." Atau lain kali kulontarkan "jurus saktiku" yang rupanya terus diingatnya sampai sekarang, "Kamu akan jadi pemimpin di keluaargamu. Kalau kamu tidak bisa menghitung, bagaimana kau akan bekerja dan mendapat uang untuk keluargamu kelak? Kalaupun kamu bekerja, kamu akan ditipu orang terus. Gajimu dikurangi tanpa kau sadari karena ketidakbisaanmu menghitung. Ingat itu....!! Belajar baik-baik, atau tinggallah di pasar menjadi kuli angkut. Kau tidak perlu pandai berhitung. Cukup kau siapkan tenagamu yang kuat, besok ibu tinggal kau di pasar," belalakku sambil menunjuk ke luar rumah.
Menghadapiku dia akan diam menunduk dalam-dalam dan menjadi salah tingkah. Jahatnya diriku yang ketika itu masih menderita PMS dan suatu penyakit kandungan, disaat anakku ketakutan, aku justru merasa semakin berkuasa. Dan baru kini kusadari, bahwa perbuatanku menimbulkan dendam yang panjang di hati anak-anakku sehingga mereka jadi membenci bentakan-bentakan sekalipun sudah hilang bentakan-bentakan yang dulu kulontarkan kepada mereka.
"Mas, kamu membenci ibu karena bentakan dan ancaman dulu itu?" pancingku suatu hari saat kami berdua-dua, Dia di sisiku menemani aku memulihkan tubuh sehabis operasiku yang kesekian di ranjang Raffles Hospital Singapura dulu. Dengan ketenangan sikapnya, dia meraih tanganku, membelainya dan menjawab dalam senyum, "Nggak. Aku nggak benci. Aku tahu ibu sayang padaku." "Betul?" pancingku lagi sambil menatapnya lekat-lekat. Bola mata itu turut tersenyum dan lagi-lagi dia menjawab tenang, "Untuk apa aku benci?" Kemudian kami saling menggenggam. Terasa kehangatan cinta-kasih-sayang kami yang ternyata memang tak pernah putus. Seperti tak terputusnya kebenciannya pada sikap orang marah-marah hingga saat ini rupanya.......
-ad-
Ramadhan bulan mulia sudah di depan mata. Aku harus menghapus dosa-dosaku sebelum mulai beribadah. Termasuk dosaku kepada si "Bebek Jelek". Terbayang betapa aku bukanlah seorang ibu yang baik. Hanya manusia biasa yang selalu merasa punya kekuasaan untuk menindas anak-anakku. Dengan bentakanku, dengan pemaksaan kehendakku, bahkan juga dengan candaku yang melampaui batas.
Alangkah hinanya diriku. Tapi alangkah beruntung pula. Allah mengaruniaku anak yang penuh pengertian. Suami yang juga sabar. Sehingga sering aku ungkapkan sendiri bahwa mereka adalah harta karunku yang tiada berbanding. Sesuatu kekayaan tak ternilai dalam hidupku karena mereka selalu mempunyai pengertian dan maaf seluas samudra untukku yang seharusnya patut dibenci. Ya Allah, terima kasihku padaMu jua. Karunia ini begitu berarti bagiku.
Segera kujulurkan sajadahku ke langit ke tujuh. Kubaringkan tubuhku disana, memintakan maaf atas semua ketidaksempurnaanku dalam mendampingi suami dan melayani anak-anak kami, Ingin rasanya aku terus disitu sampai Allah membisikkan ke hatiku bahwa pintu taman firdaus terbuka lebar bagiku selagi anak-anak dan suamiku ikhlas memaafkan diriku dalam senyum yang tulus lagi hangat.
Selamat beribadah sayangku. Nikmatilah Ramadhan yang suci ini dengan menempatkan dirimu di dekat Raja Yang Mulia, Allah Subhanau Wa Ta'ala sang pengampun sejati.........
Aku tunggu Ramadhan berikutnya, barangkali Allah mengabulkan keinginanku untuk merayakannya bersamamu. Menyiapkan segelas air jeruk dan makanan-makanan pembuka kesukaanmu sebagaimana biasanya dulu. Aku rindu padamu, pada kebersamaan kita di jam-jam bedug ditabuh orang dari masjid-masjid di sekitar kita.