"Ah, kamu lagi, kamu lagi. Kanker, kamu balik lagi. Kemoterapi, kamu menyambung nyawaku lagi. Dan hari ini, Rabu (10/09) aku harap menjadi gerbang awal dari perjalananku menuju kesembuhan serta hidup sehat selamanya. A road to victory!" Itulah kalimat yang saya gaung-gaungkan terus di dalam jiwa saya. Sebab saya masih ingin hidup, saya tak rela mati sekarang ini.
Maka Rabu pagi (10/09) saya sambut adzan kaji subuh dengan gembira. Saya pun melangkah ringan membasuh tubuh di kamar mandi dengan air sumur yang sejuk, lalu membangunkan anak-anak saya yang sejak sehari sebelumnya sudah sama senangnya dengan saya. Sebab hari ini kami akan ke RSKD untuk sesi kemoterapi yang baru. Siklus kedua dengan koktail obat yang berbeda yang diprediksi akan manjur menjerat pertumbuhan sel ganas di tubuh saya yang selama ini tak habis oleh obat-obat kemoterapi.
Sebelum pukul enam kami sudah berada di jalanan dengan maksud supaya bisa tiba pukul setengah sembilan pagi, sebab perjalanan ke Jakarta selalu serba tak menentu. Untung semuanya lancar belaka mempermudah mang Arifin adik kelas saya di SMP melajukan kendaraan pinjamannya untuk saya. Hari kebahagiaan ini kebetulan tak bisa disaksikan pak Jamil temannya yang setia mengantar saya, karena dia punya kegiatan lain yang tak mungkin ditinggalnya.
Tepat pukul delapan sosok gedung RSK Dharmais sudah menyapa mata saya membuncahkan secercah kebahagiaan. Banyak pasien di dalamnya menandakan aktivitas RS berjalan normal. Anak saya menuju meja pendaftaran pasien disertai pertanyaan saya mengapa dia tak menuju meja pasien rawat inap. Katanya peraturan di situ mengumpulkan pasien rawat singkat menjadi satu dengan pasien rawat jalan. Saya mengangguk-angguk mengerti. Lain RS lain aturan, begitu kesimpulan saya seraya mencoba menghubungi ibu Lita koordinator tim penelitian. Ternyata beliau belum tiba di kantornya atau masih sibuk mengisi absensi, sehingga saya langsung menuju bagian luar RS tempat pintu masuk ruang rawat singkat berada.
Saya disambut perawat lelaki berseragam biru muda yang ramah. Setelah menyebut identitas saya beliau langsung mengerti kemudian meminta berkas Rekam Medik saya kepada temannya. Sambil dicarikan saya dimintai hasil pemeriksaan laboratorium saya yang terakhir. Saya katakan sudah tercakup di RM dicantumkan oleh spesialis bedah onkologi saya. Agaknya lagi-lagi lain RS lain peraturan, padahal saya tak mendapat penjelasan lebih dulu. Di sini setiap pasien masuk ruang kemoterapi harus membawa kopi hasil pemeriksaan laboratorium di tangannya seakan-akan sebagai tanda masuk. Belakangan baru saya ketahui bahwa ternyata sebagian pasien dianggap tidak sehat dan harus ditransfusi darah dulu untuk meningkatkan sel darah merahnya. Itulah sebabnya lembar pemeriksaan laboratorium tidak saja harus disimpan di RM melainkan juga dibawa tangan.
Saya kemudian dipersilahkan masuk ke ruang perawatan 215 yang terletak di tengah-tengah dengan 7 tempat tidur di dalamnya. Di muka sekali ruang-ruang rawat kanak-kanak yang pada pintunya berhiakan tulisan "SELAMAT DATANG" dengan karakter huruf khas bocah yang memikat. Mereka mendapat kursi malas serupa kursi favorit saya di RS di kampung halaman yang sering saya pakai melaksanakan "ritual" kemoterapi saya. Ruangan itu baru terisi seorang pasien. Setelah menyapanya saya memosisikan diri di muka kamar mandi merangkap toilet sebab biasanya pasien kemoterapi sering sekali buang air kecil.
Zuster menyusul masuk menanyai identitas saya, dan lagi-lagi meminta hasil laboratorium. Darinya saya peroleh penjelasan bahwa berhubung banyaknya pasien, maka rekam medis pasien sering bertumpuk sehingga menyulitkan perawat untuk mencari dengan segera. Itu sebabnya dibuat peraturan pasien diminta menyerahkan hasil laboratorium yang terbaru dengan tangannya sendiri. Lagi-lagi saya mengangguk mengerti. Kemudian tekanan darah saya diukur. Untungnya normal tak seperti kekhawatiran saya penderita tekanan darah tinggi. Setelah itu suhu tubuh saya pun diambil, yang juga normal. Berdasarkan pengalaman saya, hanya tinggal menunggu pemeriksaan tubuh oleh dokter jaga saja supaya saya bisa segera dikemoterapi.
Tak lama infus dipasangkan perawat ke tangan saya yang walau sudah membaik tetapi venanya terlanjur pecah-pecah dan memang tipis serta bengkok. Peristiwa pemasangan jarum infus ini memang selalu mengerikan saya karenanya. Kepada perawat yang akan mulai saya berpesan agar berhati-hati. Dia membenarkan seraya mencari di sana-sini di bagian mana kiranya saya bisa ditusuk mengingat lengan kiri saya sudah cacat dan sedang sakit. Dia menemukan sebuah titik yang paling saya takuti. Celakanya, titik di bagian samping tangan saya justru saya tarik sendiri secara tak sengaja ketika jarum mulai menusuknya membuat vena itu tak lagi bisa dipakai. Sambil memperingatkan saya untuk tidak lagi berulah seperti itu, perawat menepuk-nepuk bagian-bagian lain tangan saya hingga dia kewalahan sendiri. Akhirnya dia meminta tolong perawat yang lebih senior untuk menangani saya. Untung perawat ini berpengalaman banyak sehingga dia cuma perlu sekali tusuk saja untuk membuat jarum infus menancap sempurna. Lalu melajulah cairan garam yang biasa dipakai untuk membilas darah pasien dengan lancar. Dan saya sadari lagi perbedaan di RS ini dengan RS di kampung saya. Cairan pembilas yang digunakan sangatlah sedikit, kira-kira sepertiga botol saja. Bandingannya, dengan sebotol penuh yang biasa masuk ke tubuh saya di kampung sini.
Selanjutnya dokter jaga masuk diiringi perawat. Setelah memperkenalkan diri dan menanyai saya, beliau memeriksa tubuh saya. Tak ada bedanya dengan dokter di kampung saya. Catatan perawat pun dibacanya dengan cermat. Sejenak saya duduk menunggu datangnya ibu Lita serta dokter peneliti itu yang akan memulai kemoterapi. Duduk menyenangkan untuk saya, karena saya tidak merasa sebagai orang sakit. Berbeda rasanya jika saya terbaring, seluruh tubuh saya akan terasa lunglai jadinya. Meski begitu saya perhatikan pasien-pasien yang mulai berdatangan mengisi ruangan semua langsung membaringkan diri. Seorang nenek yang rambutnya sudah memutih semua serta habis tergerus obat kemoterapi bahkan terus berbaring seorang diri hingga sore ketika saya pulang. Namun meski begitu luar biasa sekali semangatnya. Beliau berjalan cepat dan gagah setiap akan menggunakan toilet. Sama seperti pasien-pasien lain kecuali saya yang tak bisa menggunakan kedua belah tangan saya karena kondisi yang tak layak.
Saya dengar dokter mengomentari para pasien yang tak semuanya fit. Ada yang harus ditransfusi terlebih dulu, membuat saya menyukuri keadaan saya yang alhamdulillah sehat saja. Untuk mereka ini kemoterapi harus ditunda dulu sampai menmbaik.
Kira-kira pukul sepuluh barulah dokter datang bersama seorang dokter muda yang tak dinyana ternyata pernah tinggal di perumahan saya semasa SMP dulu. Dokter yang memperkenalkan dirinya bernama Fira ini tak menyebalkan karena keramah tamahannya. Entah posisi dan tugasnya di RS sebagai apa, yang jelas beliaulah yang menyuntikkan obat yang tengah diteliti itu disertai petunjuk penggunaannya disaksikan dokter saya. Agaknya meski peneliti utama, tetapi dokter saya masih cukup asing dengan peralatan suntik yang bentuknya lain daripada biasanya itu sehingga saling melengkapi bersama dokter Fira. Alat bundar itu mempunyai jarum suntik halus yang tersembunyi yang dijalankan secara mekanis dengan tenaga baterai. Tapi jarum suntik di mana pun sama rasanya, menimbulkan nyeri yang berusaha saya tahan sekuatnya. Kemoterapi memang demikian, selalu melibatkan jarum suntik.
Suntikan itu berlangsung singkat, lima menit saja. Tapi terasa lama karena saya cenderung cengeng dan penakut. Tapi kami menyelesaikannya sambil mengobrol. Dan di antara obrolan tim medis saya itu tertangkap kesan bahwa dokter puas terhadap saya. Sebab ada peneliti lain yang hingga saat itu belum mendapatkan pasien yang cocok terkait dengan kegagalan test kesehatan pada hatinya. Lagi-lagi saya merasa harus bersyukur karenanya.
Dokter ahli kemoterapi saya sekarang memang sudah melimpahkan saya kepada sejawatnya, sang peneliti utama. Ini terlambat saya sadari. Ibu Lita lah yang mengungkapnya ketika menunjuk dokter lelaki itu sebagai pihak yang berhak memeriksa saya seminggu pasca kemoterapi nanti. Tapi dengan pesan untuk membahas hal-hal yang bersifat kewanitaan saya dipersilahkan tetap berkunjung ke klinik bu Doktor. Lagi-lagi kini saya menemukan perbedaan sistem berobat di kedua RS yang saya datangi. Di RS besar dan khusus ini tentu saja setiap penyakit memiliki para pakar masing-masing yang didukung oleh tenaga-tenaga spesifik yang handal guna saling melengkapi. Jadi selain mempunyai dokter utama seorang dokter spesialis bedah onkologi, juga dokter ahli jantung dan penyakit dalam yang bertugas memantau kesiapan fisik pasien, ada lagi dokter lainnya. Yakni ahli kemoterapi dan juga ahli radioterapi bagi pasien yang harus menjalani program pengobatan dengan penyinaran. Bagi pasien-pasien tertentu yang membutuhkan terapi fisik disediakan jasa dokter ahli rehabilitasi medik. Maka bertambah luaslah pengetahuan saya berobat kini.
Diselingi makan siang saya menghabiskan waktu hingga sore seperti biasanya. Bahkan satu-dua jam lebih singkat karena pemasukkan obat ke tubuh saya dipotong dengan metoda baru yang sedang dicobakan dan diteliti itu, yang jelas mengurangi stress pada penderita.
Ya, faktor stressor untuk penderita kanker menyumbang depresi terbesar bagi kami. Penyebabnya selain masalah pembiayaan pengadaan obat dan perawatan juga adalah ketakutan menjalani proses dan efek kemoterapi. Sebab seperti umum diketahui, kemoterapi mendatangkan sakit fisik seperti mual-muntah-diare dan pusing kepala serta sariawan di rongga mulut hingga kerongkongan. Untuk itulah dunia medis terus mengupayakan untuk membantu meringankan kami melalui berbagai studi.
Siang itu datanglah seorang gadis perawat yang tengah menyelesaikan pendidikan sarjana II nya di luar negeri ke tempat saya dan satu dua orang pasien lainnya. Dia membawa lembar kuesioner yang diminta untuk kami jawab sejujurnya. Intinya dia ingin mengukur tingkat kecemasan pasien. Dia terpana ketika melihat tingkah dan sikap saya yang ceria mirip gadis yang sedang menerima hadiah ulang tahunnya yang ketujuh belas. Ya, bagi saya kemoterapi dengan obat baru ini adalah rizki tak terkira yang membawa saya kembali memperpanjang nyawa saya. Insya Allah. Karenanya menjelang pulang sore itu dia menghadiahi saya sebuah mug sederhana yang dikemas cantik setelah sebelumnya memutarkan video yang meredakan ketegangan syaraf. Dalam video itu dipertontonkan pula bagaimana sikap yang benar di dalam menangani serangan sel ganas ini. Kuncinya pasien harus menanamkan niat untuk sembuh dan menjalani hari-harinya seperti biasa sebelum sakit namun disesuaikan dengan tingkat kemampuan fisiknya. Lalu saya pun berharap bisa memetik kesembuhan saya. Saya terus berdoa serta berjuang.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar