Rabu, 11 September 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (109)
Seumur-umur saya belum pernah merasakan bahwa tanda tangan saya begitu berharga. Apalagi dikaitkan dengan segenggam nyawa. Sebab saya hanyalah insan biasa, pengangguran yang menyandang status tak lebih dari sekedar seorang ibu rumah tangga. Namun itulah kenyataannya. Kemarin siang Senin (09/09) saya menandatangani "Form of Consent Informed" (Persetujuan Perjanjian) saya dengan pihak RS yang menjadi penyelenggara penelitian obat yang akan diberikan kepada saya. Perjanjian itu membawa saya kepada harapan baru bahwasannya saya akan sembuh asal saya bersungguh-sungguh menata diri dan gaya hidup saya selanjutnya. Maka rasanya perjuangan babak baru akan segera saya mulai kembali, membuat saya amat menghargai setiap detik dan langkah dalam kehidupan saya.
Mendapat obat terbaik dan tercocok untuk kondisi saya adalah impian yang sulit untuk diwujudkan. Saya harus melalui serangkaian pemeriksaan fisik terlebih dulu, selain mematuhi keinginan para dokter yang bertanggung jawab terhadap pengobatan ini. Untuk itu dibutuhkan modal yang tak sedikit serta tekad yang kuat menggapainya. Dengan menggalang dana dari berbagai pihak saya berhasil membayar test medis yang mahal-mahal itu sambil menutup muka menahan malu. Sebab bayangkan saja, uang yang saya pakai ikut test ini tidaklah sedikit bagi kalangan kami. Tapi berhubung saya menjanjikan untuk gigih merebut kembali kesempatan mendapat perpanjangan nyawa, maka mereka yang menaruh belas kasihan kepada saya akhirnya datang mengulurkan bantuan dengan sendirinya.
Foto roentgent, ultrasonografi, pemindaian tulang (bone scanning), roentgent kepala (fluoroscopy) hingga Magnetic Reonance Imaging (MRI) yang mahal itu sudah berhasil saya lalui dengan bantuan dana teman-teman serta kerabat. Untungnya semua menampilkan hasil baik. Bagaimana jadinya seandainya ada kecenderungan buruk yang bisa menggagalkan raihan perolehan obat itu?
Setelah kondisi saya dinyatakan prima, dokter kembali memeriksa fisik saya dengan rabaan untuk memastikan bahwa tumor saya tidak menyebar ke organ tubuh lainnya. Ini pun alhamdulillah berhasil saya capai dengan sempurna, sehingga saya mendapat lampu hijau untuk dikemoterapi. Namun dengan satu syarat lagi, yakni saya dinyatakan memiliki kondisi jantung yang sehat oleh konsulen dokter ahli jantung.
Celakanya, kondisi jantung itulah dulu hambatan saya. Saya dinyatakan lemah jantung karena kena dampak dari obat-obat kemoterapi yang pernah saya terima sebelumnya. Untung dokter segera memperbaiki keadaan ini dengan memberikan obat-obatan yang sesuai sehingga saya bisa mengulang pemeriksaan jantung kembali segera. Lebih beruntung lagi saya diberi lampu hijau untuk memeriksakan diri ke RS Jantung dan Kardiovaskular oleh dokter ahli kemoterapi saya, sehingga saya bisa mendapat pemeriksaan ulangan yang teliti dan akurat. Hasilnya amat menggembirakan, membawa saya duduk sebagai pemenang menyisihkan banyak pasien yang juga berminat mendapat kesempatan menerima obat yang tengah diteliti itu.
Kemenangan ini tentunya merupakan kemenangan untuk banyak pihak. Tak hanya untuk keluarga saya, tetapi juga untuk tim medis yang memperjuangkan kesembuhan saya dan segala terapi yang mungkin saya coba. Juga bagi sahabat-sahabat yang sigap memantau kondisi saya lalu menyodorkan bantuan di saat diperlukan.
Sampai kemarin pagi kami masih berkutat dengan pemikiran bahwa saya harus menyediakan sejumlah besar dana untuk membeli obat-obatan kemoterapi yang tidak diteliti pihak Kementerian Kesehatan. Jadi karena berangkat ke RS dengan kantung kosong, tenang dan senangnya hati saya akan menerima persetujuan mulai kemoterapi tidaklah membuncah. Kelebat ingatan akan Yayasan Kanker Indonesia yang saya dengar bisa membantu kesulitan penderita kanker serta pesan singkat tentang bantuan serupa yang saya terima dari dua orang teman mewarnai pagi beraroma hiruk pikuk itu. Dua nama yayasan sosial itu tercatat baik-baik di memori saya. Ke sana nanti saya harus minta bantuan untuk membeli obat-obatan saya, begitu pikir saya. Meski terus terang saja yayasan lain yang namanya saya peroleh secara tidak terduga itu bagi saya keberadaannya meragukan. Pasalnya nama pengurus yayasan yang tertera di pemberitahuan itu ketika saya telusuri di internet menunjuk ke situs seorang pedagang.
Antrian kendaraan yang mengular dan berjalan melambat di kilometer 8 tol Jagorawi menyadarkan saya bahwa semalam sebelumnya di lokasi itu telah terjadi kecelakaan yang mewrenggut nyawa 6 orang serta mencelakai 9 lainnya. Penyebabnya adalah tabrakan yang diakibatkan seorang anak kecil yang lepas dari pengawasan orang tuanya lalu membawa mobil di jalan raya. Agaknya mobil-mobil yang lewat di situ penasaran menyaksikan bekas-bekasnya. Maklum bocah penabrak itu putra artis ternama. Jadi tak heran jika mobil kami pun ikut tersendat-sendat membuat jadwal di RS terpaksa harus diundur sejenak.
Saya masih berharap akan bisa bertemu dengan teman saya yang akhir pekan lalu memeriksakan diri ke RS ini. Saya ingin tahu benar kondisinya serta rencana pengobatan beliau. Sebab beliau dulu merupakan salah satu teman saya yang amat mendesak saya untuk berobat ke RS. Sayang saya agak kesiangan. Sehingga saya tak melihat beliau sama sekali.
Saya segera mendaftarkan diri untuk klinik dokter ahli kemoterapi meski kegiatan hari itu kami mulai dengan kunjungan ke Instalasi Rehabilitasi Medik. Sebab sudah dua minggu saya tak sempat menghadap dokter ahli rehabilitasi medik yang memantau cacat pada lengan saya. Bu dokter Indri mengindikasikan perburukan yang membuat nyali saya ciut. Tadinya saya berharap untuk bisa berhenti diterapi di RS ketika kemoterapi saya nanti sudah berjalan. Tapi dengan semakin membengkaknya bahu serta pangkal lengan saya oleh tumor yang mengganas lagi itu, maka saya bahkan tidak diizinkan mangkir barang sehari pun sejak saat ini.
Saya menelan ludah pahit. Terbayang kesulitan saya kelak. Tak hanya soal waktu saja, pendanaan pun mesti dipikirkan baik-baik. Ongkos pergi-pulang ke Jakarta nyaris setiap hari ditambah biaya klinik juga tak sedikit. Sesak otak saya yang cuma sejumput ini memikirkannya. Saya perhatikan anak saya pun menghela nafas susah. Memang betul, hidup itu tidak mudah.
Tak dinyana, begitu kami tiba di hadapan Doktor ahli kemoterapi yang menjadi peneliti utama itu kami mendapat kabar baik. Tak hanya obat yang ditelitikan yang akan didanai pembeliannya, melainkan termasuk kedua obat pendamping lainnya yang merupakan padanannya. Mereka berkomitmen untuk menolong saya sehabis-habisnya dengan mengatur dana penelitian sedemikian rupa sehingga seluruh kebutuhan obat-obatan saya tercukupi. Alhamdulillah. Lega rasanya hati saya bagaikan tersiram air panas yang melelehkan kebekuan pikiran. Tak henti-hentinya saya mengucap terima kasih seraya mendoakan semoga misi penelitian tercapai lalu saya sembuh kembali.
***
Bu Lita segera dipanggil dokter untuk menyelesaikan administrasi keikutsertaan saya di penelitian. Tentu saja pertama-tama dokter menanyai saya apakah berkas lembaran "Form of Consent Informed" yang diberikannya sudah saya baca. Tentu saja saya jawab saya pahami, karenanya saya bahkan membuka diri dengan menceritakan riwayat penggunaan obat herbal sebelum berobat ke dokter. Beliau nampak puas atas penjelasan ini. Kemudian beliau memeriksa ulang berkas-berkas pemeriksaan yang harus saya serahkan yang dijawab oleh bu Lita terpenuhi semuanya. Menurutnya, sayalah satu-satunya pasien yang memenuhi syarat serta berada dalam kondisi amat baik setengah tahun terakhir ini. Termasuk dua bulan terakhir. Alangkah bangga dan besarnya hati saya mendengar penjelasan itu, melebihi besarnya hati ketika di sekolah dulu saya menerima raport-raport saya.
Kemudian fisik saya diperiksa dokter sekali lagi. Di situ didapatinya tumor yang semakin membengkak menunjukkan kondisinya yang memburuk. Dengan sikap seorang peneliti yang tidak mau "kecolongan" beliau menginterogasi saya tentang awal timbulnya benjolan itu. Saya katakan itu benjolan yang tak terangkat dengan pisau bedah, yang menyebabkan dokter onkologi saya membawa saya pindah ke Jakarta untuk dititipkan kepada beliau sekaligus menyumbang kasus dalam pelaksanaan penelitian ini. "Oh, jadi ini bukan penyebaran?" Desak dokter itu. "Bukan dok, tumor ini adalah tumor primer yang tak teratasi bersama dengan gumpalan lainnya yang sudah berhasil dibuang," jawab saya seyakin-yakinnya. Mengingat tumor peserta penelitian tak boleh menyebar, dan tumor saya memang berada di lokasi bekas operasi maka dokter pun tak lagi ragu untuk segera menuliskan resep obat-obatan bagi saya.
Saya menyeringai menahan nyeri. Dokter dan bu Lita berharap dengan rutin mengikuti sesi kemoterapi nantinya insya Allah tumor yang menyakitkan itu bisa dibungkam. Tapi saya tak boleh terlalu berharapan penuh, sebab manusia hanyalah manusia yang tak mungkin menguasai Kekuasaan Allah. Ah ya, mereka benar. Saya pun mengangguk setuju meski tetap dengan janji yang saya patri dalam hati sebagai tekad untuk kembali sehat. Mereka membalasnya dengan senyum dikulum. Baru kali itu saya saksikan dokter yang selama ini terkesan dingin mengembangkan bibirnya. Sungguh menyenangkan.
Zuster Yani pun menyalami saya dengan hangat dan tulus. Perawat yang satu ini sejak pertama melihat saya sembilan bulan yang lalu memang selalu memasang muka ramah, meski kalau saya amati justru seringkali ketus menghadapi beberapa pasien terutama yang tidak taat aturan atau tidak sabaran. "Selamat ya bu Julie, semoga lekas sehat kembali, sabar dan telaten ya bu," ucap bu Yani seraya mengarahkan saya untuk mengikuti bu Lita yang akan menjelaskan detail penggunaan obat yang diteliti itu kepada saya. Wah rasanya, dunia menjadi semakin indah dan karenanya saya pun semakin ingin hidup lebih lama lagi untuk menikmatinya. Tersemai sudah harapan baru bagi saya. Insya Allah ujungnya adalah kesembuhan yang saya rindukan itu.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
melu bungah bund...
BalasHapusYa, alhamdulillah sih. Kesuwun nak Emil..........
Hapus*mbungkuk ro ngapurancang*