Semua yang bernyawa hanyalah milikNya semata, dan kepadaNya kita akan dikembalikan. Itu hakikat hidup ini. Dan itu yang terjadi di sekitar saya sekarang. Guru aljabar saya di SMP dulu wafat tadi pagi akibat serangan stroke. Saya belum sempat menjenguk beliau, sebab kabar sakit beliau pun baru saya dengar kemarin pagi di RS.
Ceritanya kemarin pagi saya kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam yang menjadi konsulen onkologis saya. Jika kedapatan tubuh saya kurang fit, maka kemoterapi tak boleh dilakukan. Pasien cukup banyak pada hari itu meski di akhir pekan. Saya menunggu cukup lama namun lega, karena tekanan darah saya normal juga hitung darah saya di laboratorium dalam keadaan baik. Saya berharap boleh langsung melanjutkan kemoterapi minggu depan.
Sambil menunggu giliran saya menyempatkan diri menjenguk kakak saya dulu ke ruang perawatannya. Sejak dibedah malam sebelumnya saya belum menemui beliau. Meski belum tiba jam kunjungan tetapi Satpam di pintu bangsal rawat inap agaknya mengenali saya dengan cukup baik. Saya diizinkannya masuk setelah mengucap salam tanpa sepotong pertanyaan pun.
Kakak saya kedapatan sedang berbaring dalam kesadaran yang penuh. Beliau tersenyum menyambut saya. Katanya kepalanya masih pusing dan juga masih sedikit mengantuk serta mual. Saya lihat siang harinya beliau memang muntah-muntah, sedang matanya selalu berair. Jauh berbeda dengan saya yang hanya merasa lemas dan letih belaka dulu.
Ruang perawatan kakak saya meski di kelas I tidak menyenangkan bagi saya, karena tidak mengesankan RS modern. Jadi saya senantiasa terbayang-bayang suasana ketika harus menunggui ibu saya sakit tiga puluhan tahun yang lalu. Di dalam hati saya bersyukur telah diberi kemewahan dirawat dokter saya di Jakarta. Karenanya saya tak berlama-lama di situ lalu segera kembali ke klinik dokter.
Pengunjung RS semakin padat, di antaranya ibu tua yang saya hafal wajahnya dan kerap kelihatan di situ mengantarkan seorang kakek renta yang saya duga orang tuanya. Saya duduk di bangku terdepan sambil merebahkan kepala dan bahu ke sandaran bangku tunggu, Tubuh saya boleh dikata memang masih lemah. Apalagi perut saya sedang berulah.
Nyaman sekali disain bangku itu membuat saya agak terkantuk-kantuk. Tiba-tiba saya dibangunkan sentuhan tangan dan suara kemenakan saya yang berpamitan sambil lalu menitipkan ibunya di dalam sana kepada saya. Belum juga saya bertanya banyak dia mau ke mana, tiba-tiba dia sudah mengobrol dengan ibu di belakang saya, yang sudah sering saya temui di situ.
Setelah saya simak sambil diperkenalkan kepada beliau, ternyata mereka mengobrolkan guru aljabar kami di SMP. Perempuan itu adalah koleganya, guru SMP yang mulai mengajar ketika saya sudah kuliah. Guru aljabar kami lelaki asal Aceh yang terkenal keras sudah tak berdaya di kediamannya akibat penyakit stroke yang mendera ditambah usia tua. Terbayang wajahnya yang dingin berupa seraut roman berbentuk kotak dihiasi sepasang mata setajam milik elang.Seketika berdiri bulu roma saya, sebab teringat suasana di kelas ketika saya jadi murid terdungu.
Guru kami ini menikahi muridnya sendiri, kakak kelas saya. Jadi sewaktu beliau jadi pengantin baru dulu, murid-murid sering meledek dengan mulut usil yang seharusnya tak pantas ditujukan bagi guru yang terhormat.
Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba pasien paruh baya di dekat kami berdiri menghampiri dan menyapa saya. Agaknya dia tahu persis siapa saya. Tapi otak saya terpaksa mundur-maju berbelit-belit memeras ingatan tentangnya. "Kita dulu sama-sama di SMA, berteman di Pramuka," ujarnya membuka diri. "Saya tidak satu SMP dengan ibu, tapi dengan suami ibu," sambungnya lagi.
Masya Allah, batin saya. Ini pasti Nina teman saya semenjak SD yang juga sesama anggota DWP Kemenlu tetapi tak pernah berkesempatan bersama-sama sejak dulu. Dia membenarkan, sejurus kemudian kami berpelukan meleburkan persahabatan yang terputus. Saya mengoreksi ucapannya, bahwa saya sudah tak lagi bersama suami yang saya tahu bukan rahasia lagi di kalangan pegawai di kantornya. Saya tegaskan bahwa saya disebut-sebut sebagai musuh semua orang.
Nina membelalak terkejut! Itu fitnah, katanya. Dia tak pernah tahu perpisahan kami, apalagi sampai aroma permusuhan yang disebut-sebut itu. Lagi-lagi seperti teman-teman yang lain, sahabat saya ini pun tak habis pikir. Kemana larinya cinta yang dulu selalu kami pelihara itu.
Menurut Nina, penyakit saya sekarang boleh jadi bersumber pada kejadian-kejadian itu. Namun dia pun bersyukur serta memuji-muji teman-teman satu angkatan saya di Kemenlu dan dokter Maria yang mengorbankan segala-galanya atas nama kepedulian serta kemanusiaan dalam mengobatkan saya. Katanya, angkatan-angkatan lain sebaiknya pun meniru sikap kesetiakawanan kami. Menurut Nina sulit mempercayai dugaan orang bahwa saya adalah orang yang suka keonaran. Apalagi begitu saya menanyai kabar teman-teman SD kami yang masih bisa saya sebut satu-satu. "Kamu dari dulu 'kan punya banyak teman, bukan musuh," alasannya membuat saya merasa lega.
Sebetulnya wajah kami memang tidak ada yang berubah. Hanya dihiasi kerut-merut wajah yang menyiratkan ketuaan. Meski begitu Nina tetap cantik, cerdas cemerlang dan enak diajak mengobrol hingga tak terasa tiba saatnya nama saya dipanggil masuk. Kami kembali berpisahan entah hingga kapan.
***
Dokter spesialis penyakit dalam nampak gusar ketika saya mencoba mencandainya dengan pernyataan bahwa saya sudah dieksekusi onkologis saya di Jakarta dan kini minta persetujuan untuk memulai kemoterapi lanjutan. "Dieksekusi, maksudnya apa?" Tanyanya sambil mengangkat wajahnya menatap saya.
"Dimastektomi dok," sahut perawat yang mengasisteninya yang sudah melihat kondisi terbaru tubuh saya ketika memeriksa irama jantung saya dengan mesin elektro kardiogram
Saya tertawa membenarkan, sekaligus memberitahukan bahwa kakak saya pun baru menjalaninya semalam di RS ini dengan sepengetahuannya. Seperti biasa saya kemudian diminta berbaring supaya bisa segera diperiksa. Ternyata alhamdulillah semua dinyatakan baik, termasuk nadi saya yang kemarin masih bengkak. Tapi soal sakit pada perut saya entah mengapa dokter tak mau memeriksanya. Beliau langsung menyetujui dugaan kekambuhan penyakit Irritable Bowel Syndrome saya karena saya tak muntah maupun mual. Maka pemeriksaan pun selesai disertai ucapan selamat menunaikan kemoterapi dari dokter itu. Insya Allah saya siap menjalaninya akhir pekan ini.
Selepas dari apotik saya kembali ke tempat Nina untuk bertukar nomor ponsel, lalu ke kamar perawatan kakak saya. Kebetulan sekali onkologis beliau sedang memeriksa, sehingga saya berkesempatan berkenalan juga. Seraya mengucapkan salam saya berterima kasih atas operasi yang dilkakukan kakak saya sambil memperkenalkan diri bahwa saya adalah saudara kandungnya yang menjadi sumber kekhawatiran beliau.
"Oh, ibu ya? Itu kenapa tangannya dibalut?" Tanya beliau dalam logat Surabaya yang kental meski kata orang beliau berasal dari luar Jawa.
"Ini akibat limfedema dok. Sudah sejak sebelum diradikal tangan saya membengkak," terang saya. "Dan sekarang seminggu tiga kali saya difisioterapi," lanjut saya lagi.
"Ibu nggak usah kuatir, pasien saya tangannya normal kok," sambutbya seraya mempersilakan saya melihat lengan kakak saya. Memang benar, karena tumornya kecil, maka kakak saya tidak sampai bernasib seperti saya.
Dokter yang komunikatif ini kemudian menjelaskan bahwa seharusnya ketika benjolan mulai teraba, pasien dibawa ke dokter. Jika didapati kanker, cara terbaik adalah segera dioperasi. Setelahnya bisa dikemoterapi atau diradiasi. Pasien dijamin aman dan selamat, katanya. Tak boleh takut-takut.
Saya menyadari dulu saya memang terlambat, sebab saya memang ketakutan ke dokter. Tapi, yang menimbulkan ketakutan saya adalah proses pengobatan yang membutuhkan dana yang banyak serta waktu yang panjang. Inilah yang agaknya tak mudah dipahami setiap dokter.
Pada kasus kakak saya itu tak terjadi sebab beliau berpenghasilan dan punya asuransi kesehatan. Jadi meski tumornya baru seukuran 3-4 cm saja tetapi lebih baik operasi dilakukan sekaligus membuang kelenjar getah bening di ketiaknya supaya tak menjadi masalah seperti kasus saya. Adapun penyebab tumbuhnya sel kanker kakak saya tak dijelaskannya. Karena beliau kemudian justru meluruskan istilah saya tentang apa yang saya namai "virus Her2" penyebab kanker saya.
Ternyata Her2 bukanlah virus. Itu merupakan protein yang tumbuh pada diri seseorang wanita sebagai bawaan. Pada orang-orang tertentu protein itu bisa terpicu menjadi sel yang amat ganas dan memiliki agresivitas yang sangat tinggi. Inilah yang kemudian menjadikan kanker payudara pada saya. Karena bukan berasal dari hormon, maka nampaknya dokter onkologi saya membiarkan saja saya mengistilahkannya sebagai virus. :-D
Senang sekali saya bisa bertemu dengan onkologis kakak saya ini, karena saya juga kemudian melihatnya melayani sendiri pasiennya dalam menguras tabung drainase darah kakak saya. Di sini nampaknya peran perawat amatlah sedikit. Dokter cuma menyaratkan RS untuk memiliki cangkir ukuran guna mencatatkan sekresi darah pasien setiap hari, karena ternyata di situ tak tersedia. Ah, dokter yang baik hati tak suka marah-marah rupanya.
Setelah mengobrol sejenak saya pun berpamitan pulang. Tak dinyana hari itu banyak pengalaman baru saya lagi. Agaknya tak ada hari yang sia-sia untuk saya.
(Bersambung)
ditunggu sambungannya :)
BalasHapus*verifikasi nyala nih
Oh gitu ya? Oke deh nanti kalau udah nggak capek saya terusin, soalnya saya baru masuk ke rumah, pulang dari RS.
HapusSelamat ibadah ya sayangku.
asik ketemu teman lama..
BalasHapussemoga mbakyunya mbakjulie segera sehat lagi ya..
Nina itu dulu jadi barang langka di sekolah saya, karena dia pindahan dari LN. Bapaknya di Bern, diplomat. Tapi dia milih pulang aja.
Hapus