Kamis, 04 Juli 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (83)
Nyeri dan ngeri adalah perasaan yang paling menghantui saya selepas dioperasi besar kali ini. Sebab meski merupakan opersai ke-dua belas sepanjang sejarah hidup saya, tetapi ini adalah operasi pertama dengan sayatan yang mudah kelihatan oleh mata. Dada saya akan pula menjadi datar sebelah karena hilangnya simbol kewanitaan saya.
Jadi ketika kemarin dulu dokter mengelupas plaster di bagian dada saya, mata saya tak mau melihat ke bawah. Tidak juga saat saya bercermin pandangan saya melirik ke dada. Saya benar-benar hanya fokus ke arah wajah saya yang kata orang-orang termasuk para perawat di RS memiliki kulit kencang dan mulus, meski kemoterapi lanjutan saya mau berlanjut lagi untuk setahun ke depan. Pokoknya saya ngeri.
Namun mau tak mau akhirnya saya tergerak dengan sendirinya untuk melihat, sebab hari kemarin semua peralatan yang terpasang di kulit tubuh saya pasca dioperasi sudah dicabut. Artinya saya tidak lagi perlu pertolongan orang lain untuk membersihkan tubuh saya. Saya bebas merdeka untuk mandi sendiri.
Kegiatan saya dimulai pagi-pagi sekali, genap seminggu setelah operasi saya berlangsug. Hari kemarin, saya punya tiga jadwal. Ke Instalasi Rehabilitasi Medik RSKD Jakarta untuk difisioterapi, kemudian ke sinshe untuk treatment dan, kontrol seminggu pasca operasi di RS tempat saya biasa berobat.
Sambil menunggu bagian pendaftaran pasien di RS dibuka, saya memutuskan berangkat pada pukul enam seperempat. Saya berharap akan mendapat nomor antrian kecil. Nyatanya saya keliru. Ataukah Bogor memang kekurangan RS dengan dokter ahli yang lengkap? Saya tak tahu, yang jelas sepagi iru saya sudah mendapat nomor antrian 76, padahal meja pendaftaran pasien baru akan dibuka pukul tujuh pagi.
"Tapi di klinik ibu dapat nomor lima," terang anak saya memperlihatkan lembar antrian di tangannya. Saya tersenyum senang, "alhamdulillah mas, jadi nggak kemalaman," ujar saya. Terus terang saja tubuh saya masih terasa kurang bugar sampai saat ini. Walau menurut kebanyakan orang sih, saya justru istimewa tidak menampakkan wujud pasien pasca operasi berat.
Banyak pasien mengantri ticket antrian di loket Satuan Pengamanan (Satpam). Agaknya tengah terjadi kekisruhan menyangkut pendaftaran ke dokter spesialis penyakit dalam, tetangga saya di rumah yang kami akui sangat populer sehingga meski berpraktek di berbagai RS tetap saja di suatu RS pasiennya membludak. Tapi tak salah juga sih, sebab beliau merupakan satu-satunya internist yang memiliki dua keahlian, yakni merangkap ahli alergi dan asthma. Ibu-ibu tua di samping saya yang sudah lebih dulu duduk di situ melirik ke tangan saya. "Mau ke dokter siapa?" Pancingnya. "Klinik onkologi," jawab saya. "Dokter apa itu?" Tanyanya lagi dengan raut wajah tak paham. "Ahli bedah kanker," lagi-lagi saya menjawab singkat.
"Siapa yang sakit?" Kini dia mulai menyelidik sambil mengamat-amati tangan saya yang masih berpembalut.
"Ya saya sendiri. Minggu lalu payudara saya diangkat, sekarang kontrol pasca operasinya," terang saya.
"Oh?! Ibu?! Kanker apa? Itu tangannya kenapa?" Dia semakin menunjukkan perhatian, lebih tepatnya keingin tahuannya.
"Ya kanker payudara. Sudah menjalar ke ketiak, jadi tangan saya selama sakit bengkak begini. Ini makanya saya pakai verband untuk memulihkannya. Habis mendaftar ini saya ke Dharmais, di sana saya dioperasi sehingga fisioterapi untuk tangan saya pun di situ," kali ini saya menjawab panjang lebar. "Ibu sakit apa?" Ujar saya balik bertanya.
"Sakit gula. Itu yang kisruh antrian untuk klinik dokter internist. Ngomong-ngomong kakak saya dulu meninggal karena kanker payudara juga," tiba-tiba dia bercerita sendiri sambil terus mengawasi saya. Rasanya dia sedang menelusuri lekuk-liku tubuh saya, terpusat di dada. Seperti menelanjangi diri saya.
"Kenapa nggak tertolong, bu?" Sahut saya.
Perempuan tua yang datang bersama-sama suaminya itu cuma mengangkat bahu. "Padahal sudah dikemo lho sampai badannya kurus kering," terangnya. Saya pun cuma mengangguk-angguk seakan-akan mengerti. Sebab nyatanya kanker memang penuh misteri. Ada yang bisa sembuh total, ada juga yang tak mampu melawan. Walau menurut analisa dan asumsi saya, sikap penderita dalam menghadapi sakitnya berpengaruh sangat besar. Pasien yang merasa sedih, murung akan sulit menyesuaikan diri dengan takdirnya menjalani pengobatan melelahkan dan menyakitkan ini. Sedangkan mereka yang menganggap matahari sedang mengintai di atap ruang kemoterapi serta bulan-bintang berseri di ruang bedah, akan merasa hidupnya diangkat dari kubangan duka.
***
Sehabis meletakkan lembar antrian pasien ke klinik onkologi yang kebetulan dijaga saudara saya, kami sarapan di kantin. Ingin rasanya saya mencoba nasi goreng di situ yang jadi menu favorit anak-anak saya. Karena selama ini saya hindari disebabkan kandungan daging ayam dan telurnya yang pasti bukan dari ayam kampung. Baru kemudian mobil meluncur ke Jakarta. Saya pesankan pada sopirnya untuk tak tergesa-gesa sebab saya cuma mau ke klinik fisioterapi saja, bukan bertemu onkologis muda yang sibuk itu. Tumben sekali, hari itu jalanan malah lengang tak seperti ketika saya mesti "kontrol klinik".
Pukul setengah sepuluh kami sudah di dalam ruang fisioterapi yang juga lengang. Anak-anak diminta masuk memperhatikan kerja perawat supaya bisa menerapi saya setiap hari di rumah. Sedangkan kakek di sebelah bilik saya kedengarannya ditemani perawat pribadinya, meski menurut anak saya si nenek pasangannya tadinya juga kelihatan mengantar. Mungkin saja beliau juga akan diterapi sendiri. Kakek itu penderita stroke, sementara pasien di sisi bilik saya sebelah kiri adalah pasien pasca operasi kanker payudara. Kedengaran instruksi perawatnya persis dengan instruksi kepada saya.
Belum selesai diterapi ponsel saya dipanggil bibi mantan suami saya. Terpaksa anak saya yang mengangkatnya. Beliau ada di tol menuju ke Bogor akan menjenguk saya. Untung belum di luar Jakarta sehingga beliau akhirnya berputar arah, memutuskan untuk bertemu di RS. Sungguh tak terduga lagi, keluarga mertua saya ternyata amatlah sayang kepada kami. Cuma ketika minggu lalu menengok ke RS, terlanjur keduluan saya pulang. Kata beliau sih itu artinya saya pasien istimewa. Subhanallah!
Perawat bilang, bengkak sya boleh jadi akan menetap selamanya. Ciut hati saya menerimanya. Tapi akal sehat saya mengatakan saya mesti berpasrah diri. Ya, akan saya terima KetetapanNya dengan ikhlas sambil terus diterapi sampai dokter ahli rehabilitasi medik menghentikannya.
***
Siang itu sehabis makan kentang keju yang nikmat, meluncurlah kami ke sinshe meski semula saya minta izin tidak datang terapi sebab harus membayar ongkos fisioterapi yang tak didanai Jamkesda. Tapi setelah dipikir ulang saya ingin juga melihat reaksi sinshe pasca seminggu operasi.
Sinshe saya sedang duduk minum kopi susu di teras seraya menunggu pasiennya. Ah, ternyata saya pasien pertama di hari itu. Sinshe tersenyum lebar menyambut saya. Lalu tanpa meraba dia bilang kondisi saya fit, hanya kadar darah merah dan darah putih saya melorot drastis. Untuk itu saya diberi obatnya tanpa ditotok syaraf. Katanya totok syaraf hanya boleh sebulan setelah dioperasi yakni ketika jaringan luka saya pulih kembali. Kelihatan betapa berhati-hatinya beliau. Saya diminta banyak beristirahat, makan protein, buah, sayur dan minum air putih supaya siap tempur untuk kemoterpi yang akan dilanjutkan. Kata sinshe sih, sel kanker saya masih ada. Itu harus ditumpas baik dengan kemoterapi di RS maupun dengan jejamunnya yang selama ini saya makan namun sempat terhenti seminggu sebab saya dalam masa operasi. Percaya lah, deteksi sinshe saya persis sama dengan keterangan onkologis segera setelah selesai mengoperasi saya.
Kami tiba di rumah sudah mendekati senja. Waktunya untuk kontrol ke klinik RS. Tapi saya nekad berisirahat barang satu jam setengah sekalian bersembahyang Ashar. Maka hujan sore hari pun keburu turun menemani perjalanan kami ke RS. Kali ini tentu saja naik angkot seperti biasanya, sebab mobil pinjaman sudah saya kembalikan.
Sedikit berbasah-basah kami tiba di klinik. Kata kemenakan saya, dokter sudah datang sejam yang lalu, tepat waktu. Saya segera masuk. RS memang sepi, saya duga pasien onkologis saya banyak yang putus asa karena dokter memutuskan untuk praktek cuma seminggu sekali.
Kali ini kateter saya dicabut, sebab slangnya sudah kering sama sekali meski menurut catatan harian terakhir sekresi darah luka saya masih 35 Cc, jauh di atas batas aturan pencabutannya. Dalam pada itu dokter memperingatkan akan terjadinya penimbunan cairan di kulit bekas sayatan dan tusukan jarum. Itu hal yang lumrah. Dan seandainya terjadi, nanti akan ditolong dengan teknik pengisapan.
Betul saja, hari ini terjadi. Untung besok saya ke klinik fisioterapi, jadi tak begitu risau. Di sana pasti bisa ditangani.
Dalam pada itu, untuk selanjutnya saya cukup dikemoterapi saja lagi dengan obat murah meriah itu. Soalnya tawaran menggunakan Herceptin tidak ada lagi. Namun saya yakin bisa menang menghabisi semua sel jahat itu meki dalan jangka waktu lama. Soalnya sudah terbukti, saya bisa mengecilkan tumor sebelum operasi dilakukan hanya dengan obat yang dijatahkan Jamkesda itu. Insya Allah! Ruang kemo pun siap merawat membantu kesembuhan saya tanggal 13/07 nanti, meski onkologis saya pamitan belajar ke luar negeri lagi hingga tanggal 22/07. Alangkah senangnya kalau beliau jadi semakin pintar.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
aha senang deh bacanya.. iya banget tuh mbak, semangat selalu ya agar bisa menang melawan kanker..
BalasHapusoperasi ke12 justru yang paling kelihatan nih.. udah kering jahitannya?
kog dokter onkologinya belajar cepat sekali? cuma sampe tgl 22/7?
Tadi siang teman saya yang perawat senior di RSJ bilang, melihat saya dia yakin saya sembuh karena katanya saya menggunakan "mindset" saya sebaik-baiknya dengan menanamkan di situ keyakinan bahwa saya akan sembuh. Dia sampai megang-megang kepalanya menyatakan apa maksudnya.
HapusKelihatan apanya? Jahitan saya udah kering sempurna kok. Subhanallah, yang sekarang keringnya jahitan cepat jeng Tin.
Dokter onkologi saya ikutan short course sambil jadi speaker di suatu pusat penelitian penyakit kanker di negara tetangga. Alhamdulillah, dia masih muda udah kepake. Saya bangga jadi pasien sekaligus tetangganya.