Perawat fisioterapi membaringkan saya di kubikel khusus seraya mengajari saya menggerak-gerakkan tangan dan bahu saya di sisi yang sakit, untuk meminimalisasi rasa kaku serta kebas yang biasa menyertai pasien pasca operasi pengangkatan payudara. Selain itu otot-otot yang mengeras di area bekas pembedahan juga diurut-urut. Rasanya memang nikmat sekali, membuat saya ketagihan difisioterapi. Tapi saya pun sadar, saya mesti juga melatih diri sendiri di rumah setiap hari.
Tadi pagi saat saya sedang mencobanya, tiba-tiba anak saya mengabari dari luar rumah bahwa dia bertemu teman-teman SMP saya yang katanya akan menengok saya ke rumah. Berita ini mengejutkan dan tak terduga, sebab saya pikir di hari kerja sulit untuk orang-orang meninggalkan pekerjaan mereka hanya demi perkara sepele menjenguk saya. Lagi pula saya pun tak pernah mengharapkan dijenguk siapa-siapa lagi. Sebab, walau pun hati saya senang tapi artinya saya bangkit mengorbankan waktu untuk duduk menemani mereka. Padahal istirahat masih penting untuk saya. Apalagi sejak kemarin perut saya mulai berulah. Ada rasa nyeri yang membuat saya tak bisa jauh dari kamar kecil, yang mengingatkan saya akan efek kemoterapi yang mestinya saya jalani hari Sabtu akhir pekan ini, tapi telah saya tolak.
Kemarin waktu saya ke RS untuk memeriksakan lagi luka sayatan operasi saya kepada onkologis sebelum beliau bertugas ke luar negeri untuk beberapa hari ke depan, saya sampaikan bahwa saya belum siap dikemoterapi lagi. Selain urusan surat-menyurat saya dengan pihak pemerintah guna mendapatkan legalisasi sebagai pengguna jasa Jamkesda masih tertahan di Kecamatan, pembuluh nadi saya pun belum sembuh kembali. Di beberapa titik krusial yang biasa jadi nadi alternatif untuk memasukkan jarum infus luka lebamnya belum sembuh. Selain meninggalkan parut dan bengkak, warna kebiru-biruan lebamnya masih nyata menimbulkan nyeri. Dokter saya menyatakan kemoterapi boleh diundur hingga seminggu berikutnya. Dengan syarat saya harus benar-benar mempersiapkan diri. Agaknya beliau kasihan juga melihat kondisi saya.
Luka dan jahitan saya kini sudah benar-benar sembuh sempurna. Kering meninggalkan parut persis parut di bagian bawah perut saya yang sudah berulang kali dibuka. Ini pertanda baik, meski jujur saja saya masih ngeri kalau harus melihatnya. Yang saya lakukan selama ini ketika mandi dan berpakaian adalah mengalihkan pandangan mata saya ke arah dinding atau kejauhan agar tak bertumbukan dengannya.
Sampai hari ini saya tetap belum bisa menaklukan kengerian itu, meski fisioterapis menertawakan saya. Masa bodoh dengan tawanya. Yang punya badan dan perasaan toch diri saya sendiri, begitu pikir saya.
Adapun soal obat kemoterapi saya yang resepnya sudah lama dibuatkan oleh dokter spesialis bedah umum, kemarin sempat saya mintakan legalisasinya kepada onkologis saya sebagai dokter yang berwenang mengeluarkannya. Sebabnya saya pernah ditegur kemenakan saya yang perawat serta perawat kepala, karena membiarkan dokter bedah umum menggantikan onkologis menuliskan resep. Padahal itu di luar kemauan saya, dan saya yakin beliau sudah menimbang-nimbang dengan baik. Tidak akan gegabah meresepkannya tanpa melihat cara dan takaran dokter onkologi menuliskannya untuk saya sebelum ini. Menurut perawat-perawat itu, pihak Dinas Kesehatan Kota tak akan mengizinkan saya mendapatkan obat kemoterapi itu.
Nyatanya obat sudah ada di lemari penyimpanan apotik RS seperti yang dikatakan perawat kepala itu sendiri sejak lama. Artinya semua tak ada masalah. Namun supaya lebih pasti lagi, saya tanyakan keabsahan resep itu kepada onkologis saya. Perawat kepala agak ambigu di dalam menetapkan apakah obat di lemari apotik itu memang jatah saya.
Betapa leganya hati sebab katanya resep itu diketahuinya, tentu berdasarkan laporan spesialis bedah umum yang dititipi saya. Isinya persis dengan resep beliau. Protokol kemonya tidak disalah tafsirkan. Jadi tak ada hambatan saya untuk menggunakannya. Meski begitu, bertanya kepada beliau tentu lebih baik guna meyakinkan para perawat bahwa obat saya tak keliru tulis. Sehingga ketika saya kemudian memberitahu perawat kepala sebagai penanggung jawab pengaturan ruang dan giliran kemoterapi pasien, beliau ganti mengucapkan terima kasih atas kerja sama saya. Saya tegaskan, saya tidak mau main-main, mengingat dokter saya akan ke luar negeri di saat itu. "Ah, pasiennya lebih tahu daripada staf RS," cetusnya mencengangkan.
***
Di antara teman sekolah saya yang datang tadi, ada Ani seorang perawat jiwa. Dia membiarkan saya mengoceh panjang lebar menceritakan riwayat sakit saya dan pengobatan yang dijalani. Belakangan dia menilai bahwa saya memiliki pola pikir yang baik. Sambil memegang kepalanya dia berkata bahwa kekuatan saya terletak pada kepala.
"Maksudnya apa Ni? Memori saya sangat bagus gitu?" Tanya saya tak mengerti mengingat umumnya teman-teman selalu memuji ingatan saya tentang hal-hal yang sudah lama berlangsung.
"Bukan," Ani menggelengkan kepalanya. "Otak kamu. Cara kamu menggunakan otak untuk meyakinkan diri bahwa kamu akan sembuh, itu yang bagus dari dirimu," jawab Ani. Selaku perawat kejiwaan dia tentunya sangat paham mengenai hal-hal yang berhubungan dengan otak manusia. Apalagi tahun depan dia sudah akan memasuki masa pensiun.
Ani berkemeja kotak-kotak bersama Titin, Tati, Mufti dan Hamzah
teman-teman SMP saya
Otak manusia mempunyai kekuatan yang baik untuk mengendalikan penyakit. Demikian kira-kira maksud pembicaraan Ani. Jika kita menanamkan di dalam otak bahwa kita akan menuju kesembuhan, maka sikap dan perilaku kita turut mendukung dengan menampilkan hal-hal yang positif. Misalnya si sakit tak nampak kesakitan, tak mengeluh, serta bersikap seperti orang normal saja layaknya. Dengan sendirinya tubuh akan mengikuti irama perintah otak itu sehingga tak malas menjalankan fungsinya. Akibatnya penyakit akan terkalahkan. Begitu inti pembicaraan Ani.
Agaknya Ani didukung teman-teman untuk melakukan semacam home visit ke rumah saya guna menilai bagaimana pandangan saya menghadapi penyakit berat ini. Bila mindset saya dirasa perlu diubah, Ani bertugas untuk mengarahkan dan menggerakkan perubahan itu.
Teman-teman saya lainnya pun sepakat membenarkan Ani, bahwasannya saya tak nampak seperti orang sakit. Meski mereka juga ingat bahwa sejak remaja dulu saya memang langganan sakit. Namun itulah, saya berhasil melumpuhkan kelemahan fisik saya itu.
Mereka juga sepakat menganggap saya mempunyai ingatan yang jelas, ketika saya menanyakan tentang beberapa orang teman yang bahkan di antara mereka sudah banyak yang lupa. Bahwasannya Endang tetangga Ani yang hitam manis sudah berpulang, hanya Ani yang ingat. Namun Helmy si gadis berkacamata yang terbilang gadis gaul dulunya semua tahu. Innalillahi wa innailaihi raji'un, perempuan itu pun sudah mendahului kami.
Memang kami belum terlalu tua. Boleh dibilang masih muda, kalau melihat bilangan umur kami yang belum mencapai kepala enam. Tapi penampilan banyak yang sudah "uzur". Contohnya Hamzah si tukang ngocol yang bangga memeragakan giginya yang sudah banyak tanggal juga rambutnya yang memutih bak dikotori bunga jambu. Meski begitu, kami cukup percaya diri dengan keadaan fisik kami, termasuk saya yang kini berdada rata sebelah.
"Kamu hebat ya, tangguh menghadapi sakit dan keadaan kamu," kata salah seorang di antara mereka. Mereka menyayangkan mengapa saya harus mengalami semua keadaan ini. Tapi lagi-lagi mereka kembali kepada keyakinan bahwa tidak semua orang dikaruniai kemampuan untuk bisa menerima kenyataan takdirnya. Jadi saya termasuk seseorang yang istimewa. Semogalah, insya Allah.
Sebelum beranjak pulang untuk bertukar rumah menjenguk teman lain lagi yang juga sakit, Tati yang sangat dekat dengan saya minta izin untuk memberikan nomor telepon dan alamat rumah saya kepada Boetje, juara kelas kami yang sebenarnya tinggal tak jauh dari rumah kami. Sebab Boetje berkeinginan menengok juga. Bahkan semalam kata Tetty teman saya yang lain lagi, Boetje dan kawan-kawan ingin menggelar doa bersama untuk membantu saya. Tak dinyana, tadi siang itu, ternyata rombongan teman-teman saya sehabis menengok kami yang sakit masih singgah di rumah Tetty untuk berdoa bersama juga bagi kami. Itu saya ketahui malam harinya dari Tetty yang menjawab SMS saya yang menanyakan mengenai keberadaan kakak iparnya yang kemarin dulu sangat surprise menemukan saya kembali tapi dalam keadaan sakit.
Indahnya persahabatan kami ini tak terkira. Silaturahmi yang terputus segera bertaut kembali, dalam keadaan banyak di antara kami yang sedang kemalangan. Barangkali saja itu sudah kehendak Allah untuk mengingatkan manusia agar tak lalai menjaga dirinya serta menjaga persaudaraan dengan siapa pun juga. Saya bahagia telah dikaruniai sejumlah teman-teman yang begitu peduli kepada saya. Semoga selamanya kami akan berteman. Tak ada yang perlu dijauhkan di dalam pergaulan ini. Itu inti dari pertemanan kami.
(Bersambung)
baru lihat lagi blognya bu.. udah operasi ya.. selamat semoga bersih dgn baik ^____^
BalasHapusSelamat jumpa di pertapaan saya jeng Onit. Selamat menunaikan Ramadhan yang panjangnya minta ampun. Saya terkenang masa-masa dua puluh enam tahun yang lalu, duh Ramadhan panjangnya menguras enerji. Semoga jeng Onit lulus dalam ujian ini lalu menerima barokah yang banyak.
HapusYa, saya sudah dioperasi, tapi masih ada sel ganas yang nggak bisa terambil, 2% lagi. Pengobatan saya baru separuh jalan, masih akan dilanjutkan kemoterapi setahun.
Terima kasih ya jeng, semoga jeng sehat selalu!
Bunda..apakabar? selamat ramadhan...
BalasHapusSaya masih belum fit kok nak, tapi saya upayakan untuk terus bangkit. Apa kabar si kecil? Lagi mulai ngguling-ngguling dan ngoceh ya? Titip cium manis untuknya ya, juga untuk ibunya pastinya.
HapusSelamat Ramadhan juga, semoga kita semua lulus dari ujiannya.
"Otak kamu. Cara kamu menggunakan otak untuk meyakinkan diri bahwa kamu akan sembuh, itu yang bagus dari dirimu," jawab Ani. Selaku perawat kejiwaan dia tentunya sangat paham mengenai hal-hal yang berhubungan dengan otak manusia. Apalagi tahun depan dia sudah akan memasuki masa pensiun.
BalasHapusspertinya pernyataan teman bunda ini menjawab pertanyaan kenapa bunda survive. salut bunda...
salam
/kayka
Kata Zuster Ani dan dokter Maria, dokter paliatif, sih begitu. Barangkali ada benarnya.
HapusTerima kasih kak Ika, saya akan coba pertahankan ya.
zuster ani bener ya, apa yang kita pikir sehat akan selalu sehat.. semoga segera disembuhkan ya mbak.. efek reuni itu seru, bikin kita jadi happy..
BalasHapuspelukpeluk..
Dia perawat RS Jiwa sih. Yang jelas reuni bikin nama saya melambung lagi he...he....he......
Hapusya ampun temen2 sekolah bunda masih pada inget dan terhubung satu sama lain, saya malah sudah ga ada kontak sama sekali dengan teman2 sekolah.
BalasHapusoya bun, mau tanya ya, kalo bekas operasi yang sudah sembuh dan kering itu masih meninggalkan rasa sakit ga? karena ibuku bilang bekas operasi usus buntunya yang sudah dinyatakan sembuh itu kadang masih menimbulkan rasa sakit, kata ibu seperti ditusuk2 jarum, apa ini wajar ya bun?
Kebetulan banyak yang nggak pindah ke luar kota, jadi kami masih kontak satu sama lain. Malah hari ini ada bapak teman saya yang wafat, kami ya melayat.
HapusBekas luka memang biasanya meninggalkan sakit. Terutama di perut karena kan perut itu daerah yang kena tekanan baik kalau kita mau bangkit dari berbaring atau sekedar batuk dan bersin. Jadi kayaknya wajar kalau masih ada rasa sakit. Kalau nggak tahan bisa minta resep pain killer dari dokter lho. Salam untuk simbok ya. Semoga selanjutnya sehat selalu.