Minggu ini rasa sakit saya memuncak. Tumor di payudara saya pecah mengakibatkan pakaian yang saya kenakan lengket di badan. Soal rasanya, jangan ditanya. Sungguh seperti daging saya dikuliti, mengakibatkan akar rambut saya ikut-ikutan pedih serasa tercerabut juga. Akibatnya saya mesti mengenakan pakaian yang serba longgar termasuk kaus dalam yang sekarang jadi pelapis tubuh saya. Dan karenanya tadi pagi saya terpaksa mencari tambahan pakaian sehari-hari yang baru di pasar dengan berusaha menekan rasa sakit itu semampunya. Jejalan orang memaksa saya menggunakan tangan saya sebagai pelindung tubuh dengan cara mengangkatnya menyiku di depan dada saya.
Meski dulu saya kerap juga sakit bahkan hingga mencicipi ranjang ruang perawatan intensif di rumah sakit, tapi saya memang belum pernah merasakan sakit saya yang ini. Jadi, pengalaman kali ini adalah keadaan baru. Saya harus bisa menahannya, sebagaimana dulu saya menahan rasa nyeri di bagian bawah perut saya. Dulu saya berjalan amat pelan, layaknya kura-kura sambil terbungkuk-bungkuk. Bahkan saya pernah terjatuh lemas akibat kelelahan menahan nyeri dan tumpukan beban pekerjaan saya sebagai istri pendamping suami. Kini, saya tak lagi begitu. Langkah saya tegap, lagi pula anak saya setia mendampingi bahkan menuntun saya ketika saya nyaris kehabisan daya di jalanan. Inilah nikmatnya sakit ketika saya sudah bukan istri seorang abdi negara lagi.
***
Minggu lalu anak-anak saya bertemu teman lama saya, seorang politisi perempuan di Senayan yang dulu kerap berhubungan kerja dengan kantor mantan suami saya. Berhubung lama tidak bertemu saya, dia tak tahu kabar saya sekarang. Kemudian dia menanyai anak-anak saya.
Mendengar cerita anak-anak saya, perempuan itu sempat terkejut-kejut. Dia tercenung dulu sebelum kemudian menanyai anak saya lebih lanjut. Sebetulnya dia ingat bahwa semasa di Singapura dia tahu bahwa saya adalah pasien rumah sakit yang berkeliaran ketika sedang merasa mampu mengerjakan tugas-tugas sebagai pendamping abdi negara. Dia pun cukup tahu apa penyakit saya, tapi dia tak menyangka apa yang menjadi penyebabnya, sebab ketika kami berhubungan dari Afrika dulu kelihatannya saya baik-baik saja, sehat lahir dan batin. Dulu beliau pernah menyampaikan penghargaannya atas kerja sama yang terjalin di antara kami. Bahkan menurutnya, saya sudah bisa diandalkan kalau dalam keadaan terpaksa untuk menjalankan tugas promosi Indonesia di luar negeri.
Anak saya tersenyum kecut seraya membenarkan pernyataannya. Tapi anak saya terus saja menceritakan keadaan saya yang sesungguhnya. Sehingga teman saya semakin terdiam. Hanya satu yang ditegaskannya, yakni bahwasannya saya bisa melalui semua kesulitan dan cobaan yang saya alami mengingat saya sudah berhasil melampauinya dulu. Kini giliran saya yang tersenyum kecut mendengar cerita anak saya.
***
Teman saya tadi kebetulan berteman baik sejak sangat lama dengan penyanyi diva Titiek Puspa. Di dalam E-mailnya kepada saya yang menyemangati, dia menceritakan soal penyakit kanker payudara yang diderita sang diva. Kata teman saya, seharusnya saya berobat ke dokter lagi, dan tak mencemaskan kemoterapi. Sebab meskipun mahal dan kemungkinan kekambuhan penyakit itu ada, tetapi kemoterapi menurutnya tidak menyakitkan dan mampu mempertahankan nyawa seseorang seperti pengamatannya terhadap sang diva.
Saya mengomentari sarannya dengan satu pandangan yang saya harap bisa diterima olehnya. Yakni bahwasannya kondisi saya dan sang diva berbeda dalam segala hal. Saya sudah masuk stadium III dengan tumor yang sudah besar serta mudah diraba dari luar, sedangkan sang diva masih di stadium awal. Adapun kemoterapi sekali lagi meski menyembuhkan penyakit sang diva, tapi belum tentu menyembuhkan semua orang. Saya ingatkan bahwa teman satunya lagi yang pernah saya ceritakan di salah satu episode terdahulu ternyata tak bisa bertahan. Sebabnya karena obat kemoterapi yang dipakainya dari kelas yang terbilang murahan meski toch tetap saja mahal. Ini saya dengar dari pengakuan teman kami itu semasa akhir hayatnya, yang menceritakan bahwa dokter di Singapura yang merawatnya menawarkan beberapa harga obat kemo. Lalu dia memilih yang termurah sesuai dengan dana yang tersedia di kantungnya. Nah, dalam hal saya, andaikata saya dioperasi, sudah barang tentu saya akan mengambil paket kemoterapi termurah itu juga, sehingga hasilnya belum tentu seperti pengobatan sang diva.
Dalam balasannya kemudian, teman saya ini mengatakan bisa mengerti. Bahkan dia turut prihatin pada keadaan saya. Dia mengharapkan saya terus berusaha bertahan dengan terapi herbal sinshe pilihan saya dan mendoakan kesembuhan. Dia mengingatkan, apa pun pengobatan yang saya jalani, dia menyarakan agar saya mengikuti diet tinggi antioksidan seperti yang dijalani sang diva atas saran dokternya. Ternyata nasehat dokter dan sinshe sama saja. Pasien dilarang mengonsumsi daging-dagingan terutama daging merah dan ayam broiler, tapi disuruh makan banyak buah dan sayur yang mengandung antioksidan. Selain itu teman saya bilang, sang diva tetap rajin berolah raga ringan semampunya. Sehingga dia pun mengharapkan saya melakukannya.
***
Siapa orang yang tak kenal penyanyi kawakan Titiek Puspa itu? Saya sendiri pun terkagum-kagum akan staminanya di balik usianya yang sudah uzur. Ternyata tak hanya itu, semangat tinggi untuk hidup sehat menjadi pelawan penyakitnya yang ampuh.
Titiek adalah nenek ajaib yang selalu menyunggingkan senyum, lalu menyapa dengan wajah ramah siapa pun yang berada di dekatnya. Saya menduga, senyum merupakan bagian dari keceriaan hati dan keikhlasan di dalam menjalani takdir nasib. Jadi, saya pun akan mulai terus ceria memandang hari depan dan saat-saat yang saya lalui bersama anak-anak saya. Apalagi tanpa terduga, seperti sebuah anugrah, tiba-tiba ayah anak-anak saya seakan-akan tersadar bahwa dia harus rela berbuat sesuatu demi membahagiakan darah dagingnya sendiri. Dan itu artinya, dia harus mencarikan banyak cara bagi pemeliharaan kesehatan saya.
Secara tak terduga itu, akhir pekan lalu dia tiba-tiba menggenggamkan makanan suplemen berupa bubuk beras merah yang berwarna ajaib, putih, ke tangan anak-anak saya. Tanpa sepengetahuan pasangan barunya, dia menugaskan anak-anak untuk merawat saya sebaik-baiknya dengan menghidangkan air seduhan suplemen itu setiap hari dua kali kepada saya. Petunjuk penggunaannya berikut penjelasan mengenai manfaat dan nilai gizinya dipaparkan kepada anak-anak. Bahkan keesokan harinya dia mengecek apakah anak-anak sudah melakukan apa yang ditugaskannya, sambil mencari tahu apakah saya bersedia mengonsumsinya. Setiap hari itu dan itu saja ditanyakannya kepada anak-anak dalam komunikasi mereka yang selalu singkat melalui jaringan internet mengingat kendala komunikasi dari negara tempat tugasnya di Afrika sana ke tanah air. Bahkan terakhir kali, kemarin dia masih mengajari lagi bahwasannya cara menyeduh bubuk beras merah itu adalah dengan memakai peralatan plastik, bukan logam.
Sungguh, di balik keterpurukan saya, ternyata ada secercah sinar menerangi gelapnya hidup saya. Di situ, pada alurnya yang keemasan, saya seperti menemukan lagi benih-benih kasih sayang yang hilang. Meski tak teraba dan nyaris tanpa wujud, tapi saya sudah menyukurinya. Begitulah jalan Allah, senantiasa tak terduga, tanpa bisa dimengerti. Adakah kasih sayang bisa membantu meredam rasa lelah yang diakibatkan luka lahir dan batin yang saya alami? Wallahu alam bishshawwab. Hanya pada Allah sajalah tertera apa jawabannya.
(Bersambung)
mbak Julie, selamat tahun baru hijriyah, semoga tahun ini diliputi banyak kedamaian.
BalasHapusSaya terharu baca di dua akhir paragraf.
Selamat tahun baru juga dik Iwan, semoga tahun ini barokahnya banyak untuk kita semua, juga kesuksesan mengikuti putri dik Iwan yang sedang giat berlatih piano.
HapusTernyata setelah sempat bicara dari hati ke hati antara anak-anak dengan ayahnya enam mata saja, beliau mulai memahami buah dari persoalan yang pernah ditimbulkannya sendiri. Jadi, akhirnya meski hanya karena perbincangan singkat itu, tiba-tiba dia minta anak-anak untuk merawat saya sebaik-baiknya. Saya sih tetap berdoa semoga Allah membalikkan hatinya :-) Kalau dipikir-pikir ajaib juga, baru aja dia mengecewakan anak-anak dengan kejutannya, sekarang kok jadi berbalik seratus delapan puluh derajat hehehehe..... ah alhamdulillah aja lagi ya?!
speechless ndak bisa komen..
BalasHapusNggak 'pa'pa juga kok nak Zen. :-D
Hapussemangat bundaaa
BalasHapus#hugs
Insya Allah, saya kalau lihat anak-anak saya memang kasihan, dan saya ingin sehat untuk mereka. Terima kasih ya jeng, pelukan balik, udah jadi pindah ke seberang pulau ya kok jadi jarang updating blognya? Semoga banyak barokahnya dan betah.
Hapusuwaaaaa.... sing enggal damang...
BalasHapustentu saja kasih sayang itu tak mungkin hilang begitu saja...
aduh, saya jadi ngembeng cipanon...
Hatur nuhun geulis ka deudeuh uwa.
HapusKasih sayang itu bisa saja hilang, tapi entah kenapa kadang-kadang seperti mempermainkan manusia, tiba-tiba datang kembali.
*nyodorin selampe buat ngelap ci panon reumbay*
masih banyak yang sayang m.julie nih..
BalasHapusair seduh beras merah? mmhh kaya apa ya..
Kayak tepung beras biasa aja kok, cuma yang ini lebih putih bersih walau di keterangannya terbuat dari beras merah.
Hapus