Senin, 19 November 2012
IBARAT CERMIN RETAK SERIBU
Purnama empat belas sudah lewat. Pendarnya menghilang tergantikan kelabunya awan yang menurunkan hujan di atas kota kita. Kau tak akan dapat menyaksikannya, sayangku. Sebab kau telah membawa dirimu pergi menjauh dan tak akan kembali, menurut janjimu dahulu.
November, kurang sebulan dari saat perpisahan kita tiga tahun yang lalu. Perpisahan yang kau rancang agak kurang cermat sebenarnya dengan perempuan yang telah mengetuk pintu hatimu.
Hujan itu, adalah cerita lama tentang deraian air mata yang mengalir ketika kau bersikap begitu arogan, tanpa hati memunggungi kami, terutama para perjaka buah hatimu yang dulu kau titipkan di rahimku. Derasnya tak terkira, seakan-akan mampu membobol bendungan yang mereka jaga kuat-kuat di setiap sudut mata mereka.
Malam ini aku duduk memandangi langit yang bersuara gemuruh lengkap dengan rinainya hujan. Di kelamnya cakrawala tergambar kembali satu demi satu lelakon yang telah lalu, meski tidak kunjung paripurna juga.
***
Dulu, ketika hidup kita baru seregukan air sumur, masing-masing diri kita amat belia. Kebeliaan kita murni diwarnai kepolosan yang menjadikan diri kita insan-insan yang tanpa noda. Kita senantiasa bergandeng tangan, berjalan bersisian tanpa ingin untuk saling menjegal bahkan sekedar mendahului. Tapi begitu langkah kita mulai panjang meninggalkan tanah yang pertama kita pijak tempat tumpahnya darah dari rahim ibunda kita, maka aku pun menyadari bahwa selayaknya kau berada di depanku. Menjadi imam yang bisa memimpinku, agar kaki-kakiku tak salah melangkah bahkan punya penuntun yang bisa membawaku kepada kehidupan di alam luas. Aku hanya inginkan kau saja sebagai tamengku, sebagaimana kau katakan dulu, kau inginkan aku untuk menemani setiap geser langkahmu. Kau inginkan hanya aku yang menjadi rumah untukmu di setiap ujung dari perjalananmu sehari-hari.
Sayangku, aku telah mengikuti maumu, sebagaimana kau pun dengan bangga mengambil peran yang kusodorkan. Lalu lupakah kau kini, bahwa berdua kita menapaki permukaan bumi yang seringkali terjal dan penuh kerikil menyakitkan?
Satu demi satu anak manusia tercipta dari desah nafasmu dan lenguh setiaku. Peluh kita yang mengalir adalah pupuk yang menjadikan mereka insan-insan yang tangguh. Lihatlah pada kedua belah tangan mereka. Tak ada tetesan darah yang merembes dari nadi mereka meski mereka menggunakannya untuk membentengi harga diri mereka dari badai yang kau taburkan bersama para kekasihmu. Sebab, kau harus menukik, mengintai ke dalam dasar hati mereka, supaya bisa kau temukan juga untaian-untaian nama Allah dalam hurufnya yang besar-besar yang senantiasa mereka eja tiap hari untuk membuat Allah berbesar hati telah menciptakan mereka bagi kita.
Menengok ke situ, aku tersenyum kecut. Mereka adalah jelmaan masa mudamu dulu. Namun kau tak pernah lagi bisa melihatnya sendiri. Sebab kau rela meninggalkan kami untuk meraih permata yang menyolok matamu ibarat bintang berjatuhan dengan sudut-sudutnya yang amat tajam.
***
Sayangku, aku tetap menyayangimu. Ikrarku yang kuat laksana benteng besi yang tak tergoyahkan. Tak kuizinkan sedikit pun rasa itu berpindah apalagi sampai mati mengubur diri. Karena itu tak kubiarkan buah cinta kita menaburkan dendam apalagi kebencian tak berujung padamu.
Maka, ketika kau tebarkan kebencian untukku, tengoklah padaku. Lihat kedua bola mataku. Reguk semua senyum setiaku. Maka, setelah itu hanya akan dapat kau baca di sudut bibirku, serangkai tulisan yang mengeja jati dirimu. Bahwasannya, : "Kau kini ibarat cermin retak seribu".
Di jiwamu terpancar kilauan cahaya yang memadu memantulkan bayang-bayang. Kisah kita semasa lalu, ketika belum ternoda debu-debu bumi yang diterbangkan angin dari mana-mana. Lalu terpaan badai menyentuh dirimu. Dan, di situ, kini tinggal bayang-bayang yang terbelah-belah menimbulkan luka di mata batinku. Aku pun akan segera menutupinya, dengan selapis beledu yang indah di pandang mata.
Nanti di sana, di padang itu kubangun kembali hidupku sendiri. Sambil melantunkan doa dan nyanyian pujian untuk Tuhanku. Ah, tak akan kubiarkan cerminku tersentuh lagi olehmu. Sebab aku tak pernah menghendaki cerminku retak jadi seribu. Tabik, sayangku!
~Medio November dua ribu dua belas~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kisah mengharukan Bun, dan dituturkan benar-benar dari hati ini dengan paduan diksi yang manis :)
BalasHapusAh masa' iya sih? Ini cuma catatan harian saya aja sebenarnya nak Von. Soalnya tiba-tiba saya ingin menumpahkan segala rasa yang terbersit di alam rasa saya pada malam itu.
HapusTerima kasih ya, atas apresiasinya walau tulisan saya apa adanya sebab bukan karya seorang penulis. :-)
udah baca di empi..
BalasHapusIya, terima kasih. Padahal Empinya nggak jadi bangkrut hihihihi.......
HapusIni tulisan Bunda terindah dan terbaik menurut saya. Ternyata gaya tulisan semi puitis begini dari tangan Bunda jauh lebih enak dibaca dan menyentuh hati. Sering-sering menulis dengan gaya begini ya Bunda. Ditunggu :)...
BalasHapusAh masa' iya sih?! Terima kasih. Saya kalau nulis ngikutin mood saya aja kok.
BalasHapusBTW jadi kita ini sebenernya udah pernah kenalan belum sih? Komunitas Mper's juga kah mbak? Dulu id nya di sana apa?