Ketika saya tersakit-sakit, banyak orang menari di atas penderitaan saya. Itulah yang saya rasakan akhir-akhir ini. Sebab di saat hati saya sedang menangis, di seberang rumah saya orang asyik berpesta pora sambil mempertontonkan kehidupan mereka yang penuh kemudahan. Jadi saya merasa mereka kurang bisa berempati atas nasib saya. Sejujurnya saya tidak akan pernah mengatakan Allah telah berlaku tidak adil kepada saya dan anak-anak saya.
Sebagian orang mencibir ketika saya menyampaikan keluhan saya. Mereka bilang saya terlalu sensitif. Sebab saya sedang dalam keadaan tidak berdaya. Lebih daripada itu, pihak lain yang sedang menggelar pestanya itu adalah orang-orang budiman yang amat terhormat, sehingga mereka layak menggelar pesta mereka disertai keriuhan yang tiada tara. Toch mereka tak berniat mengganggu saya serta melakukan semuanya secara mandiri pula. Apa salah mereka? Begitu komentar orang-orang yang mendengarkan jeritan hati saya sewaktu mereka datang menengok saya ke rumah.
Saya akui sekali lagi, sejak jatuh sakit saya memang amat perasa. Akibatnya saya seperti terpojok dan ditinggalkan orang. Pasalnya mereka tak pernah berada di posisi saya, sehingga empati mereka nyaris tak ada. Doa yang telontar bersama simpati mereka hanyalah ucapan semu, begitu menurut saya. Sebab ketika saya butuhkan bantuan mereka ~di mana saya amat jarang minta bantuan~ satu demi satu memilih menghindar dengan tak menghubungi atau menengok saya lagi.
Tapi secara tak terduga kemarin kakak kandung saya datang menengok bersama sahabatnya seorang duda yang sangat akrab dengan keluarga kami. Semula saya duga kakak saya punya hubungan khusus dengan lelaki itu, tetapi ternyata dugaan saya keliru. Sebab lelaki itu bukan satu-satunya teman dekat lelakinya. Sedangkan para lelaki itu juga membawa banyak teman-teman wanitanya bersama-sama dengan kakak saya. Rupanya persahabatan yang mereka jalin semasa sekolah dulu abadi hingga tua.
Abang R, sahabat kakak saya ini bercerita bahwa mendiang istrinya juga berpulang ke haribaan Tuhan akibat penyakit kanker payudara. Waktu itu mereka tinggal di Pulau Bangka. Namun sampai mereka pindah ke Jakarta, si istri tetap saja takut jika harus berhubungan dengan dokter dan rumah sakit. Karenanya penyakit si istri hanya dibawa kepada pengobat alternatif yang saya anggap lebih mirip paranormal dalam keadaan yang sudah sangat lanjut.
Setiap bulan bang R membawa istrinya berombongan naik kendaraan sewaan dari Jakarta bersama para pasien pengobat paranormal itu ke suatu daerah di Jawa Tengah. Di sana, para pasien akan diterapi dengan menggunakan alat-alat, kemudian dibekali sebotol air yang katanya sudah mengandung khasiat.
Nyonya R perempuan berusia lima puluh tahun yang beranak empat itu dibedah menggunakan peralatan yang bukan peralatan medis. Suaminya menyaksikan darah berceceran di pembaringan sang pengobat meski katanya si istri tidak meronta-ronta kesakitan. Darah itu serupa cairan hitam pekat, namun si pengobat memastikan bahwa itu adalah kanker payudara yang sudah lanjut. Diprediksi pasien ini tak berumur panjang, sebab sang pengobat pun menyerah ketika selesai menangani luka si pasien yang diakibatkan oleh torehannya sendiri. Hanya tiga kali pasien ini ditangani si pengobat. Itu pun tanpa dibekali jamu atau ramuan herbal sebagaimana yang saya terima dari sinshe saya. Sepanjang sakitnya itu pasien sama sekali menolak ditengok siapa pun juga termasuk saudara-saudaranya. Sebab, cerita bang R, dia sangat kesakitan hingga tak mampu lagi mengaduh.
Kedatangan bang R ke tempat saya, selain ingin menengok kondisi saya, juga memastikan bahwa saya tidak keliru memilih pengobatan. Demi mendengar penjelasan saya bahwa kanker tak boleh dilukai, dan juga saya menerima obat-obat herbal, legalah hati beliau. Dia sepakat dengan teori sinshe saya. Kanker dalam kondisi lanjut seharusnya memang dihambat dengan tumbuhan herbal tanpa dibedah.
***
Lelaki berperawakan tinggi yang sekilas mirip penyanyi dari tanah Batak itu mengingatkan saya akan teman lama saya yang memiliki putra penderita kanker darah (leukemia). Dulu sekali di tahun 1991 saya sudah melihat sendiri penyakit yang melumpuhkan aktivitas serta semangat hidup anak-anak itu. Karena waktu itu saya sedang mengikuti penempatan mantan suami saya di sebuah Perwakilan RI di luar negeri. Seandainya saya sedang tidak di sana, belum tentu saya mengerti sendiri tentang leukemia dan penderitaan anak-anak yang terserang itu.
Rocky nama anak lelaki itu baru saja lulus SMP dan sedang menikmati hidupnya di sebuah SMA di luar negeri. Karena belum lama tiba dari Indonesia, maka dia harus mengikuti kursus intensif bahasa setempat supaya bisa mengikuti pelajaran sekolahnya. Anaknya cenderung pendiam, lagi pula rajin. Jadi si bungsu dari empat bersaudara lelaki ini memang disukai banyak orang.
Pada suatu hari dia ditugasi untuk menjadi petugas pengibaran bendera pada salah satu upacara hari nasional Indonesia di kantor ayahnya, KBRI. Bersamanya ada tiga orang anak lagi, dua wanita, satu di antaranya adalah kemenakan mantan suami saya. Latihan keras untuk upacara itu senantiasa diikutinya sore hari sepulang sekolah dan kursus bahasa. Semula semuanya berlangsung mulus. Saya pun kerap kali ikut menunggui mereka yang berlatih sambil menyiapkan minuman serta makanan kecil pengusir haus dan kelelahan mereka di siang hari musim panas yang tak pernah mendatangkan keringat itu. Seperti diketahui, di negara bermusim empat udara cenderung kering sehingga orang tak bisa berkeringat.
Sore itu tepat menjelang hari "H" Rocky mengeluhkan sakit perut ketika dia bercanda dengan temannya seorang pemuda remaja Tapanuli juga. Tanpa disengaja, perut Rocky terkena tendangan temannya. Seketika itu dia mengaduh, memegangi perutnya yang katanya menjadi mual, lalu nyaris jatuh pingsan. Kulitnya kelihatan pucat tanda sakit. Dia tak sanggup melanjutkan latihannya.
Keesokan sorenya begitu selesai menjalankan tugasnya di upacara bendera, dia dibawa orang tuanya memeriksakan diri ke dokter keluarga kami, seorang berkebangsaan setempat asal Indonesia. Sebab kami memang merasa aman dan nyaman jika berkomunikasi dengan dokter dalam bahasa Indonesia. Tentu saja disebabkan penguasaan bahasa setempat kami yang amat minim serta terbatasnya kosa kata bahasa Inggris kami yang berkaitan dengan deskripsi rasa sakit.
Ketika meraba bagian perut anak itu, dokter merasakan adanya pembengkakan di sekitar hati. Kemudian beliau mencermati kulitnya dan menemukan pendarahan di bawah kulit. Kata orang tuanya, anak itu juga sering mengalami perdarahan dari gusinya.
Dokter yang berasal dari seputar pantai utara Jawa Barat ini amat lemah lembut. Dengan hati-hati beliau menyampaikan kecurigaannya tentang penyakit kanker darah yang mengerikan. Karena itu anak tersebut segera dirujuk ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Tentu saja teman saya, orang tuanya, amat terkejut. Dia tetap bersikeras bahwa anaknya baik-baik saja dan menganggap dokter kami berlebihan. Namun upaya lembut yang terus menerus dari dokter akhirnya membawa langkah mereka langsung menuju rumah sakit. Dalam pada itu si sakit memang kelihatan semakin layu. Tak ada makanan yang berhasil masuk ke perutnya, karena dia mengeluhkan rasa mual dan perut kembung.
Untungnya petugas rumah sakit di Eropa tempat kejadian berlangsung sangatlah cepat tanggap. Tak menunggu lama, dalam dua hari sudah dapat dipastikan anak itu menderita leukemia. Lalu dia dirawat di rumah sakit khusus yang menangani anak-anak penderita kanker. Karena letaknya berdampingan dengan rumah sakit anak-anak tempat anak saya dirawat penyakit asthmanya, saya sering melihat para penderita kanker yang masih di bawah umur itu. Rata-rata mereka tak punya rambut, sebagian pipinya bulat montok yang merupakan efek dari obat-obatan yang mereka terima (moon face). Bahkan kebanyakan nampak amat kesakitan meski mereka sedang dibiarkan bermain di area ruang bermain atau perpustakaan yang merupakan bagian dari rumah sakit itu. Kursi beroda ada di mana-mana dengan pasien lemah lesu berkulit nyaris seputih kertas.
Menurut penjelasan dokternya leukemia terdiri dari beberapa jenis, sebagaimana halnya kanker payudara. Jadi gejala yang dirasakan pada setiap pasien tidak akan selalu persis sama. Selanjutnya pasien menerima regimen kemoterapi diikuti radioterapi seperti pada kanker jenis lainnya. Cukup lama Rocky menghuni rumah sakit, sehingga kelas yang diikutinya terpaksa ditinggalkan begitu saja. Namun di waktu-waktu tertentu, seorang guru datang ke rumah sakit untuk membantunya belajar dalam batas-batas tertentu. Tentu saja demikian karena pasien kanker jenis apa pun mudah sekali merasa letih. Dan obatnya antara lain adalah beristirahat total.
Ketika rambut Rocky telah habis kena obat-obat kemo dan radiasi, dokter menyarankan keluarganya untuk memeriksakan darah serta sel sumsum tulang belakang mereka. Dikabarkan bahwa Rocky bisa tertolong seandainya keluarganya ada yang bersedia mendonorkan sumsum tulang belakang mereka. Nantinya akan dilakukan penyedotan sumsum tulang belakang dari bagian pinggul pendonor menggunakan jarum suntik raksasa yang selanjutnya dipindahkan ke dalam tulang belakang si pasien. Pekerjaan ini termasuk pekerjaan besar, sehingga baik pasien apalagi pendonornya tentu saja harus dibius total terlebih dulu.
Beruntunglah salah satu abang Rocky mempunyai sel sumsum yang cocok sehingga tak perlu mencari pendonor lagi, operasi ini bisa segera dikerjakan. Si abang ikut menginap selama beberapa hari bersama adiknya sampai dia merasa pulih kembali. Dan ketika pada akhirnya penderitaan Rocky berakhir, rumah sakit yang telah menjadi rumah keduanya selama berbulan-bulan ditinggalkannya dengan langkah ringan dan semangat hidup yang tinggi nyaris seperti ketika dia belum sakit.
Kemarin air mata saya menggenang mengingat secara tidak sengaja episode sakitnya Rocky akibat kedatangan abang R sahabat kakak saya. Bang R mengira saya amat kesakitan dan takut menghadapi kematian seperti almarhumah istrinya yang tidak pernah kami kenal. Dia mengajak bicara saya dari hati ke hati. Matanya di arahkan ke jantung hati saya, menembus baju, kulit dan daging saya. "Dik Lik, jangan putus asa berobat. Abang tahu, kanker itu menyakitkan. Tapi adik sudah membuktikan bahwa adik bisa tegar melawannya. Bahkan di tengah guncangan badai kehidupan yang maha dahsyat pula. Bertawakkallah. Akan abang bantu doakan adik. Teruskan pengobatan itu, jangan pernah menyerah. Dan tuntaskan air matamu untuk mengurangi rasa yang amat menyiksamu. Tak perlu kau malu untuk melakukannya, abang sadari, kanker itu jahat dan tak kenal belas kasihan......"
Seketika mata abang R diusapnya sendiri. Di lehernya saya lihat jakunnya naik-turun selagi bibirnya tergetar oleh suaranya sendiri yang meluncur nyaris tercekat-cekat. Ya, kanker memang jahanam!
(Bersambung)
Saya akui sekali lagi, sejak jatuh sakit saya memang amat perasa. Akibatnya saya seperti terpojok dan ditinggalkan orang. Pasalnya mereka tak pernah berada di posisi saya, sehingga empati mereka nyaris tak ada. Doa yang telontar bersama simpati mereka hanyalah ucapan semu, begitu menurut saya. Sebab ketika saya butuhkan bantuan mereka ~di mana saya amat jarang minta bantuan~ satu demi satu memilih menghindar dengan tak menghubungi atau menengok saya lagi.
Tapi secara tak terduga kemarin kakak kandung saya datang menengok bersama sahabatnya seorang duda yang sangat akrab dengan keluarga kami. Semula saya duga kakak saya punya hubungan khusus dengan lelaki itu, tetapi ternyata dugaan saya keliru. Sebab lelaki itu bukan satu-satunya teman dekat lelakinya. Sedangkan para lelaki itu juga membawa banyak teman-teman wanitanya bersama-sama dengan kakak saya. Rupanya persahabatan yang mereka jalin semasa sekolah dulu abadi hingga tua.
Abang R, sahabat kakak saya ini bercerita bahwa mendiang istrinya juga berpulang ke haribaan Tuhan akibat penyakit kanker payudara. Waktu itu mereka tinggal di Pulau Bangka. Namun sampai mereka pindah ke Jakarta, si istri tetap saja takut jika harus berhubungan dengan dokter dan rumah sakit. Karenanya penyakit si istri hanya dibawa kepada pengobat alternatif yang saya anggap lebih mirip paranormal dalam keadaan yang sudah sangat lanjut.
Setiap bulan bang R membawa istrinya berombongan naik kendaraan sewaan dari Jakarta bersama para pasien pengobat paranormal itu ke suatu daerah di Jawa Tengah. Di sana, para pasien akan diterapi dengan menggunakan alat-alat, kemudian dibekali sebotol air yang katanya sudah mengandung khasiat.
Nyonya R perempuan berusia lima puluh tahun yang beranak empat itu dibedah menggunakan peralatan yang bukan peralatan medis. Suaminya menyaksikan darah berceceran di pembaringan sang pengobat meski katanya si istri tidak meronta-ronta kesakitan. Darah itu serupa cairan hitam pekat, namun si pengobat memastikan bahwa itu adalah kanker payudara yang sudah lanjut. Diprediksi pasien ini tak berumur panjang, sebab sang pengobat pun menyerah ketika selesai menangani luka si pasien yang diakibatkan oleh torehannya sendiri. Hanya tiga kali pasien ini ditangani si pengobat. Itu pun tanpa dibekali jamu atau ramuan herbal sebagaimana yang saya terima dari sinshe saya. Sepanjang sakitnya itu pasien sama sekali menolak ditengok siapa pun juga termasuk saudara-saudaranya. Sebab, cerita bang R, dia sangat kesakitan hingga tak mampu lagi mengaduh.
Kedatangan bang R ke tempat saya, selain ingin menengok kondisi saya, juga memastikan bahwa saya tidak keliru memilih pengobatan. Demi mendengar penjelasan saya bahwa kanker tak boleh dilukai, dan juga saya menerima obat-obat herbal, legalah hati beliau. Dia sepakat dengan teori sinshe saya. Kanker dalam kondisi lanjut seharusnya memang dihambat dengan tumbuhan herbal tanpa dibedah.
***
Lelaki berperawakan tinggi yang sekilas mirip penyanyi dari tanah Batak itu mengingatkan saya akan teman lama saya yang memiliki putra penderita kanker darah (leukemia). Dulu sekali di tahun 1991 saya sudah melihat sendiri penyakit yang melumpuhkan aktivitas serta semangat hidup anak-anak itu. Karena waktu itu saya sedang mengikuti penempatan mantan suami saya di sebuah Perwakilan RI di luar negeri. Seandainya saya sedang tidak di sana, belum tentu saya mengerti sendiri tentang leukemia dan penderitaan anak-anak yang terserang itu.
Rocky nama anak lelaki itu baru saja lulus SMP dan sedang menikmati hidupnya di sebuah SMA di luar negeri. Karena belum lama tiba dari Indonesia, maka dia harus mengikuti kursus intensif bahasa setempat supaya bisa mengikuti pelajaran sekolahnya. Anaknya cenderung pendiam, lagi pula rajin. Jadi si bungsu dari empat bersaudara lelaki ini memang disukai banyak orang.
Pada suatu hari dia ditugasi untuk menjadi petugas pengibaran bendera pada salah satu upacara hari nasional Indonesia di kantor ayahnya, KBRI. Bersamanya ada tiga orang anak lagi, dua wanita, satu di antaranya adalah kemenakan mantan suami saya. Latihan keras untuk upacara itu senantiasa diikutinya sore hari sepulang sekolah dan kursus bahasa. Semula semuanya berlangsung mulus. Saya pun kerap kali ikut menunggui mereka yang berlatih sambil menyiapkan minuman serta makanan kecil pengusir haus dan kelelahan mereka di siang hari musim panas yang tak pernah mendatangkan keringat itu. Seperti diketahui, di negara bermusim empat udara cenderung kering sehingga orang tak bisa berkeringat.
Sore itu tepat menjelang hari "H" Rocky mengeluhkan sakit perut ketika dia bercanda dengan temannya seorang pemuda remaja Tapanuli juga. Tanpa disengaja, perut Rocky terkena tendangan temannya. Seketika itu dia mengaduh, memegangi perutnya yang katanya menjadi mual, lalu nyaris jatuh pingsan. Kulitnya kelihatan pucat tanda sakit. Dia tak sanggup melanjutkan latihannya.
Keesokan sorenya begitu selesai menjalankan tugasnya di upacara bendera, dia dibawa orang tuanya memeriksakan diri ke dokter keluarga kami, seorang berkebangsaan setempat asal Indonesia. Sebab kami memang merasa aman dan nyaman jika berkomunikasi dengan dokter dalam bahasa Indonesia. Tentu saja disebabkan penguasaan bahasa setempat kami yang amat minim serta terbatasnya kosa kata bahasa Inggris kami yang berkaitan dengan deskripsi rasa sakit.
Ketika meraba bagian perut anak itu, dokter merasakan adanya pembengkakan di sekitar hati. Kemudian beliau mencermati kulitnya dan menemukan pendarahan di bawah kulit. Kata orang tuanya, anak itu juga sering mengalami perdarahan dari gusinya.
Dokter yang berasal dari seputar pantai utara Jawa Barat ini amat lemah lembut. Dengan hati-hati beliau menyampaikan kecurigaannya tentang penyakit kanker darah yang mengerikan. Karena itu anak tersebut segera dirujuk ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Tentu saja teman saya, orang tuanya, amat terkejut. Dia tetap bersikeras bahwa anaknya baik-baik saja dan menganggap dokter kami berlebihan. Namun upaya lembut yang terus menerus dari dokter akhirnya membawa langkah mereka langsung menuju rumah sakit. Dalam pada itu si sakit memang kelihatan semakin layu. Tak ada makanan yang berhasil masuk ke perutnya, karena dia mengeluhkan rasa mual dan perut kembung.
Untungnya petugas rumah sakit di Eropa tempat kejadian berlangsung sangatlah cepat tanggap. Tak menunggu lama, dalam dua hari sudah dapat dipastikan anak itu menderita leukemia. Lalu dia dirawat di rumah sakit khusus yang menangani anak-anak penderita kanker. Karena letaknya berdampingan dengan rumah sakit anak-anak tempat anak saya dirawat penyakit asthmanya, saya sering melihat para penderita kanker yang masih di bawah umur itu. Rata-rata mereka tak punya rambut, sebagian pipinya bulat montok yang merupakan efek dari obat-obatan yang mereka terima (moon face). Bahkan kebanyakan nampak amat kesakitan meski mereka sedang dibiarkan bermain di area ruang bermain atau perpustakaan yang merupakan bagian dari rumah sakit itu. Kursi beroda ada di mana-mana dengan pasien lemah lesu berkulit nyaris seputih kertas.
Menurut penjelasan dokternya leukemia terdiri dari beberapa jenis, sebagaimana halnya kanker payudara. Jadi gejala yang dirasakan pada setiap pasien tidak akan selalu persis sama. Selanjutnya pasien menerima regimen kemoterapi diikuti radioterapi seperti pada kanker jenis lainnya. Cukup lama Rocky menghuni rumah sakit, sehingga kelas yang diikutinya terpaksa ditinggalkan begitu saja. Namun di waktu-waktu tertentu, seorang guru datang ke rumah sakit untuk membantunya belajar dalam batas-batas tertentu. Tentu saja demikian karena pasien kanker jenis apa pun mudah sekali merasa letih. Dan obatnya antara lain adalah beristirahat total.
Ketika rambut Rocky telah habis kena obat-obat kemo dan radiasi, dokter menyarankan keluarganya untuk memeriksakan darah serta sel sumsum tulang belakang mereka. Dikabarkan bahwa Rocky bisa tertolong seandainya keluarganya ada yang bersedia mendonorkan sumsum tulang belakang mereka. Nantinya akan dilakukan penyedotan sumsum tulang belakang dari bagian pinggul pendonor menggunakan jarum suntik raksasa yang selanjutnya dipindahkan ke dalam tulang belakang si pasien. Pekerjaan ini termasuk pekerjaan besar, sehingga baik pasien apalagi pendonornya tentu saja harus dibius total terlebih dulu.
Beruntunglah salah satu abang Rocky mempunyai sel sumsum yang cocok sehingga tak perlu mencari pendonor lagi, operasi ini bisa segera dikerjakan. Si abang ikut menginap selama beberapa hari bersama adiknya sampai dia merasa pulih kembali. Dan ketika pada akhirnya penderitaan Rocky berakhir, rumah sakit yang telah menjadi rumah keduanya selama berbulan-bulan ditinggalkannya dengan langkah ringan dan semangat hidup yang tinggi nyaris seperti ketika dia belum sakit.
Kemarin air mata saya menggenang mengingat secara tidak sengaja episode sakitnya Rocky akibat kedatangan abang R sahabat kakak saya. Bang R mengira saya amat kesakitan dan takut menghadapi kematian seperti almarhumah istrinya yang tidak pernah kami kenal. Dia mengajak bicara saya dari hati ke hati. Matanya di arahkan ke jantung hati saya, menembus baju, kulit dan daging saya. "Dik Lik, jangan putus asa berobat. Abang tahu, kanker itu menyakitkan. Tapi adik sudah membuktikan bahwa adik bisa tegar melawannya. Bahkan di tengah guncangan badai kehidupan yang maha dahsyat pula. Bertawakkallah. Akan abang bantu doakan adik. Teruskan pengobatan itu, jangan pernah menyerah. Dan tuntaskan air matamu untuk mengurangi rasa yang amat menyiksamu. Tak perlu kau malu untuk melakukannya, abang sadari, kanker itu jahat dan tak kenal belas kasihan......"
Seketika mata abang R diusapnya sendiri. Di lehernya saya lihat jakunnya naik-turun selagi bibirnya tergetar oleh suaranya sendiri yang meluncur nyaris tercekat-cekat. Ya, kanker memang jahanam!
(Bersambung)
harapan itu akan selalu ada jika kita mau....
BalasHapusSeeeemmmmmaaaannnnnggggaaattttt!!!!
Kata yang nengok mesti gini deh, semoga aja beneran ya.
HapusIya, insya Allah saya mau terus menyemangati diri.
bunda....speachless deh saya...
BalasHapusterus semangat ya bunda Julie
Nyatanya memang begini sih pengalaman saya, maaf ya jeng Shanti, jadi blog saya ini kok bikin orang mellow semua.
Hapuspeluk uwaaa....
BalasHapusPeluk balik, tapi maaf baju neng geulis jadi basah kena air mata uwa ya?!
Hapusapakabar ya rocky sekarang?
BalasHapussemangat ya mbak.. harapan selalu ada..
Wah sudah dua puluh tahun saya nggak ketemu, jadi nggak tahu lagi kabarnya. Dua tahun lalu besan ortunya meninggal, saya mengharap ketemu mereka di funeral home, ternyata kata besannya sudah melawat duluan, jadi nggak ketemu. Padahal memang pengin tahu kelanjutan kesehatan Rocky sih.
Hapus