Seharian ini aku bingung tidak tahu harus melakukan apa. Semua sendi-sendi tangan kiriku seperti malas diajak bekerja sama. Lemah dan ngilu pada tulangku. Belum lagi sudah dua hari nafsu makanku berkurang jauh. Rasanya semua makanan yang masuk ke perut tidak mau bertahan disitu. Aku bingung sendiri.
Sebentar aku menyalakan komputer mengecek e-mail dan sapaan-sapaan sayang yang masuk dari kawanku di seluruh dunia. Tapi, sebentar itu juga kuhentikan kegemaranku yang satu ini. Rasanya aku ingin berbaring-baring saja dan membaca buku seperti biasanya. Kuhabiskan membaca novel trilogi "Ibu Maluku" yang menggigit jantungku. Kisah pengabdian seorang bule Belgia campur Belanda dimasa awal abad ke duapuluh di pedalaman Maluku sana. Dimulai dari kisah masa kecilnya yang kurang kasih sayang disebabkan rumah tangga orang tuanya yang tidak sempurna, dilanjutkan dengan perjumpaannya dengan seorang pria Belanda yang kemudian melamarnya untuk jadi "Ibu Sosial" di Maluku sana.
Aku terhenyak sendiri membayangkan predikat "Ibu Sosial" yang melekat pada Mevrouw Van Diejen Roemen alias ibu Jeanne. Buku itu memang mengisahkan kehidupannya yang serba minim. Pertama beliau tiba di Maluku, adalah sebagai seorang calon pengantin yang menyusul perjakanya naik kapal berbulan-bulan dari negeri seribu cahaya di Eropa sana, menuju ke kegelapan abadi di timur Nusantara. Dengan apik beliau menuturkan pengalaman pertamanya berkubang di lumpur dalam, dan merebahkan diri di bilik bambu tanpa pelita di tengah hutan yang dibuka suaminya menjadi ladang damar. Dengan baik pula diungkapkannya semua pengalamannya menjalani sakit dan celaka di tengah hutan tanpa fasilitas tenaga medis. Dan dengan tegar diceritakannya pula semua kepahitannya menanggungkan kodrat sebagai perempuan "mandul" disebabkan ketiadaan tenaga medis yang mampu menangani kehamilannya dengan cakap.
Rangkaian operasi kandungan di awal abad ke duapuluh yang harus dilaluinya seorang diri di Surabaya yang jauh dari kebun suaminya di Tobelo, Maluku Utara, menggetarkan hatiku. Mengecilkan jiwaku. menegurku yang cengeng. Seharusnya aku malu, sebab aku hidup di era abad ke duapuluhsatu dengan fasilitas yang serba canggih, di luar negeri pula, tetapi aku masih senantiasa mengeluhkan keadaanku yang sesungguhnya tiada seberapa dibandingkan dengan keadaan Mevrouw Van Diejen. Inilah yang mengakibatkan aku ingin segera menuntaskan buku bacaannku.
Perempuan perkasa itu telah melewati sebagian besar hidupnya dalam kesulitan. Medan perang juga jadi bagian dari romantika hidupnya, sehingga beliau terpaksa berpisah dengan suaminya untuk selama-lamanya tanpa pernah diberi kesempatan melihat jasadnya. Namun, beliau tak pernah sampai jatuh terpuruk. Semangatnya senantiasa tinggi, mengangkat beliau kemudian menjadi warga negara kelas satu di propinsi Maluku pada waktu Indonesia baru merdeka, sampai tiba masanya pengusiran warga Belanda dari bumi pertiwi.
-ad-
Beratnya buku tebal itu menyingkirkan minatku untuk membaca.Tanganku tak kuat menyangganya. Terpaksa kuletakkan kembali di meja sekenanya. Kemudian kubaringkan tubuhku yang lemah sambil memejamkan mata.
Aku masih teringat kakangku serta keluarga mereka. Apalagi Indra kemenakanku yang bagiku sangat baik. Kucermati lagi segala pembicaraanku dengannya. Membuatku angkat topi. Ingin kusampaikan kepadanya, bahwa aku bahagia memiliki kemenakan seperti dirinya. "Aku belum sempat membahagiakan papa Bul, maklum rumah tangga baru," katanya. "Tapi ijinkan aku mendoakan ketentraman dan kebahagiaan surgawi untuk papaku,' pintanya. "Indra, aku tidak pernah membencimu," tegasku. "Aku cukup mengerti akan semua keterbatasanmu, bersabarlah dan banyak berbuat baik. Teruskan berdoa, dan kutitipkan mama padamu," kataku lagi. "Bul, hatiku tenang, dan aku terharu membaca semua kenangan manis bulik dengan mama dan papa. Kurasa papaku tersenyum dari alam baka membaca semua penuturan adik yang kutahu dikasihinya," katanya.
Ah, itu lagi. Kakang dan kakang selalu yang ada di dalam pembicaraan dan pikiranku hari-hari terakhir ini. Bagiku rasanya berat ditinggal kakangku. Di balik kekurangannya sebagai manusia, toch bagiku kakang punya segudang kebaikan yang membekas di hatiku. Dan suamikupun mengakuinya, sebab kami tumbuh bersama-sama sejak muda.
-ad-
Heningnya rumah ditinggal suamiku ke kantor menyebabkan aku bisa sedikit terlena. Dan dalam nyenyak tidurku aku seperti berhadapan dengan Mevrouw Van Diejen. Gambaran kehidupannya di tengah pedalaman Maluku nyata-nyata hidup dalam tidurku. Episode ketika beliau berperahu ke tengah laut luas untuk memberantas penyakit kusta, juga kecintaan beliau kepada rakyat yang menderita. Serta rangkaian pengorbanan dan pengabdian di kamp konsentrasi Jepang itu. "Ibu Sosial", itulah kata yang layak diberikan padanya dan kudengar berulang-ulang dalam mimpiku. "Bangkitlah pemimpi, lupakan sakitmu. Banyak pekerjaan menunggumu," begitu kata beliau di telingaku. Lalu kedua tangannya yang perkasa mengangkatku berdiri di sebelahnya. Aku menggeliat menahan nyeri.
Bayangan itu hilang begitu saja. Tidak ada Mevrouw Van Diejen. Disini, di kamarku di Edniburgh Drive 56 hanya ada aku dan bayangan diriku di cermin. Di situ kulihat prempuan kuyu kurang semangat. Rambut sebahu yang dulu terkuncir rapi kini berserakan kusut masai. Pipi itu juga kehilangan serinya. Hanya ada setangkup bibir yang nyaris pudar tanpa warna.
Aku malu menyaksikan dirku sendiri. Ibu rumah tangga yang tak berguna. Segera kucuci mukaku. dan kusisiri rambutku dengan sebelah tangan saja. Lalu seulas lipstik merah tua yang lama kusimpan keluar dari tempatnya menyerikan wajahku. Sedikit segar rasanya. Kemudian ingatanku kembali sempurna. Aku harus bangkit dan mencoba berlatih enam lagu yang akan kubawakan untuk pelucuran programma bahasa Indonesia di Radio "Voice of the Cape" akhir pekan ini. Masih ada waktu empat hari untuk mempelajarinya, sekalipun kekuatan kantongku yang ikut sakit tidak bisa mendatangkan "inang pengasuh"ku, mas Papang yang setia pemain organ tunggal yang biasa menemaniku di Singapura dulu.
Ada yang masih bisa kulakukan unuk mengharumkan nama bangsaku. Aku akan bangkit dengan lagu-lagu itu semampuku, sekalipun lusa aku akan tampil seperti badut dengan balutan pada bahuku yang terpaksa kugendong. Dari laci ruang keluargaku kuambil sejumlah VCD dan kuhidupkan mesin karaoke untuk mencoba bernyanyi sebisanya. Aku hanya berharap akan kasih Tuhanku saja. Semoga Beliau berkanan mendampingiku mengangkat diri menjadi makhluk berguna, seperti Mevrouw Van Diejen Roemen alias Ibu Sosial itu.
aku tertarik dengan buku ini bunda, bolehnya ngasih detail infonya?, dan di tulis dalam bahasa apa..? aku lama juga di Maluku bunda, sekitar 16thn an..makasih
BalasHapusmbak Jullie kapan performancenya???? Semoga sukses dan cepat sembuh .....
BalasHapusAhh...ini yang diceritain tempo hari ya Bun :)
BalasHapusayo semangat Bun! ... semoga sukses!
BalasHapusDalam bahasa Inggris. Judulnya "Ibu Maluku" penerbitnya SidHarta tahun 2004, jadi termsauk buku baru. Tebalnya sebantal nak. Carilah mudah-mudahan ketemu. kalau dirimu deket sini aku kasih pinjam bukuku *nyoh, jupuko*
BalasHapusWeek-end ini tanggal 20-21. Tapi bingung nggak punya duit buat ndatengin "inang pengasuhku". Jadi ngandelin karaoke doang. Terima kasih doanya.
BalasHapusBetul, very inspiring Ca. Nanti kalo aku balik ke kampung boleh pinjem. Hoi, tapi masih bertahun-tahun tuh......
BalasHapusitu dia masalahnya pengiring nggak ada, penyanyinya lagi "handicapped", wis pasrah nasib. Aku maunya ada yang nggantiin aku, tapi nggak ada yang bersedia. Jadi?
BalasHapustehhhhh semangaattttttt.... !!!!
BalasHapuspengen atuuuhhh dengerinnn... *berfikir keras kumahanya carana*
keukeuuuup !!!
Waduh kaleng rombeng ulah didangukeuna tuh..... *isin bari nutupan raray*
BalasHapusbudhe ... semangat ya ....
BalasHapusSemoga nyeri ditangannya segera berkurang dan menghilang ....
*budhe, kalau bisa nanti direkam dan dishare di MP ya.. pengen banget denger suara merdunya*
bunda
BalasHapuskl sy jd pengantin
dtg ya
:D
Mbak....salam atuh nya ka si Mevrouw.... :))
BalasHapusSok atuh geura nyanyi.....*siap2 ngadangukeun*
TEngkyu. Aja direkam, aja dishare, wong kaleng rimbeng. Nanti ndak bikin budeg!! Saya lakukan ini semua karena negara nggak punya duit buat ndatengin artis dari Indonesia.
BalasHapusInsya Allah, kalo situ udah punya pacar. Katanya baru patah hati ditinggal Turini?
BalasHapusAduh, saya juga belum pernah ketemu Mevrouw Van Diejen, da cuma bisa baca bukunya. Anehnya waktu saya posting di PRIME dulu nggak ada masyarakat yang nyebut nama beliau. Suara saya suara kaleng rombeng yang terpaksa dibunyiin koq. Bukannya anda tau, kita istri diplomat kudu siap disuruh ngisi acara? Buktinya anda pinter nari. Lha, saya kalo disuruh nari kaku, jadi saya milih nyanyi aja. Yang penting melakukan tugas dan kewajiban, bukan? Mohon dukungan doanya Maunya mah dalam posisi sekarang tinggal duduk nmanis jadi penonton, tapi kok ya belum kesampean juga..........
BalasHapussemangat bu julie...bu julie bisa jadi ibu sosial juga kok
BalasHapusOh, masa' iya gitu? Doain ya mbak Lia. I love you and si kecil. Much!!
BalasHapusthanks mbak julie! I'll get the book juga!!!
BalasHapustulisan2 bu julie selalu menarik.
BalasHapusYa, tapi sorry, buku itu tahun 2001 jadi udah rada tuaan. Yang jelas inspiratif buat perempauan Indonesia di jaman kita udah meredeka. Ternyata membuka mata bahwa banyak orang yang masih butuh uluran tangn para perempuan (ibu) di pedalaman negeri kita.
BalasHapusAh masa' iya sih? Ini cuma Electronic Diary aja kok. Dulu biasanya saya taruh di dalem lemari karena modelnya masih buku tulis. Jadi malu.....
BalasHapusah jangankan 2001 mbak.. yg taon 1920an aja masih dijual toh. aku udah browsing tadi dapet di toko buku MPH di sini ternyata ada.
BalasHapuseh maksud aku, bisa mesen. kayak kalo di jakarta kan QB ya. di sini yg prominent MPH, dia bisa mesenin.
BalasHapusOh good! Selamat baca. Kalo aku sih seneng aja, jadi tahu bagaimana jaman dulu dan apa aja yang bisa kita perbuat untuk menyenangkan ornag di pedalaman sana (menurut aku sampe jaman sekarang juga kayaknya sih masih relevan). Iya aku dulu jug adi Singapura suka keluar masuk toko MPH.
BalasHapusTeh aku juga pengen baca, tapi lagi sibuk gimana dong................
BalasHapusGak usah baca dik. Aku gpp koq. Aku iseng aja nanya kemana dan gimana kabarmu.
BalasHapusBu Yulie, ibu juga kini tengah menjadi ibu sosial bagi para pembaca MP ibu. Kata-kata yang bernas dari tulisan2 ibu sering secara tak langsung menambah pelajaran bagi kami yang membacanya. Bangkit terus ibu....masih banyak yang bisa ibu lakukan....InsyaAllah.
BalasHapusAh masa' iya sih? Insya Allah saya akan bangkit terus, selagi kaki saya masih mau dipake berdiri. Terima kasih moral supportnya ya bu. Salam untuk keluarga.
BalasHapusSukur Allhamdulillah,ternyata DWP Deplu mempunyai penulis unggul,dengan sederet rangkaian kata yang indah,dgn tuturkata sopan,puitis dan tanpa menonjolkan diri sendiri. Salut deh.Maju terus...........Suka nulis di bulletin DWP kita di Sisingamangaraja nggak Jeng?
BalasHapusMbakyu terlalu berlebih-lebihan. Saya tidak seperti gambaran mbakyu. Cuma perempuan biasa yang "demen nyabalak wak-wak-wak". Saya nggak pernah ke DWP di Senayan karena rumah saya di kampung (Bogor), lagipula tulisan saya tidak masuk kriteria tulisan di bulletin DWP yang berbau formal, singkat dan padat. Ada juga akhir-akhir ini saya kirim serial dari Cape Town, mengenai keadaan disini, tapi dengan catatan belum tentu dimuat sebab saya minta dijadikan serial setahun habis (3 atau 4 penerbitan).
BalasHapushe he he, bulik ku yg satu ini memang jago banget bikin cerita :)
BalasHapussetiap mampir kesini serasa bul, oom & de yayang deket sama kita...
Gw koq dibilang jago? Gemana sih, pan dari dulu juga babon?! BTW kata simbah dulu, kita harus selalu deket satu sama lain, jadi jauh dimata deket dihati. N cerita ini bukan karangan lho, melainkan curhatan saia. Thank's ya mas.
BalasHapus