Langit mendung di atas kota, pertanda hari akan hujan, Begitu kenyataan yang ada. Seperti hari ini, sejak aku bangun tidur hingga aku selesai dengan tugas belanja dapur kami, hujan terus saja turun sebab langit tidak kunjung "menyala".
Diriku yang malang kini tidak sanggup lagi mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti dulu. Padahal nanti malam kami akan makan bersama dengan tetamu dari Indonesia di rumah. Namun ketiadaberdayaanku memaksa aku untuk berpasrah diri, menurut saja kepada Bu Mintarsih dan bu Titik di belakang sana. Beliau berdua mengatakan akan menjadi pelaksana dari rangkaian menata ruang hingga memasak. Aku hanya diijinkan belanja yang tidak menuntut banyak tenaga, sebab pak Bambang akan menyopiriku serta mengambilkan semua kebutuhan di toko. Aku tinggal duduk di dalam mobil, berjalan kiri-kanan di supermarket, lalu pulang. Sudah hanya itu.
Aku menuruti kemauan orang di rumah. Dengan membungkus badan rapat-rapat serta memasang gendongan pada tanganku, aku ikut pak Bambang ke supermarket. Belum seluruhnya terbeli. kami masih butuh beras dan tahu. Tapi itu semua harus dibeli di toko Cina, karena itu pak Bambang memutuskan pulang dulu untuk menurunkan daging, sayur, telur dan kawan-kawannya. Lagi-lagi aku menurut. Kali ini selain karena keinginan mereka, aku sendiri merasa sudah lelah. Kutarik nafas dalam-dalam sambil merebahkan diri di kursi depan mobil dinas kami. Keringat dingin mulai membanjiri keningku di hawa yang mulai dingin ini. Rasanya sungguh tidak nyaman, membuat aku sedikit gelisah. Lagi-lagi kusadari sekarang aku sudah tua.
"Aku pulang saja, pak Bambang," kataku sambil menyerahkan uang belanja ke tangan pak Bambang yang siap-siap akan menurunkan belanjaan di rumah. Matanya mengawasi aku, seakan-akan meneliti apa yang tidak beres pada diriku. "Nggih, ibu istirahat kemawon," katanya kemudian sambil meraih tangkai pintu yang ternyata juga diraih anakku dari dalam. Dia sedang libur akhir tahun ajaran, dan menghabiskan liburannya hanya dengan membaca dan asyik di depan komputer. Wajahnya tampan menurut ukuranku, karena kami sama sekali tidak ada yang bagus. Tampang pas-pasan, begitulah. Tingginya sudah melebihi tinggiku. Tentu saja, karena dia beroleh gizi yang jauh lebih baik daripada giziku dulu, dan kini umurnya sudah lewat dari angka tujuhbelas. "Kok udah pulang?" tanyanya singkat. "Capek," jawabku tak kalah singkat. Dia turut mengamatiku, lalu membantuku melepaskan mantel musim dinginku dan menggantungkannya di pinggir pintu masuk. "Ya., istirahat deh kalau begitu, jangan sampai tamu datang ibu kuyu," nasehatnya sok tua. Aku tersenyum sendiri sambil berlalu ke dalam kamar.
Gelap melingkupi seisi rumah, sekalipun dinding kaca lebar memenuhi seluruh kamarku. Angin mulai mempermainkan dedaunan di pohon alpukat dan jambu bol yng tinggi rindang. Kurebahkan tubuhku di atas kasur sambil menghela nafas. Ada rasa sakit dan ngilu di beberapa bagian tulangku.
-ad-
Dulu, bagiku hawa seperti ini tak ada artinya. Rumah kami di luar negeri yang pertama kali betul-betul di daerah dingin. Ottawa di Kanada pertengahan tahun delapanpuluhan masih jadi tempat yang sangat menggigilkan. Kesanalah aku pertama kali dibawa suamiku. Aku masih jadi perempuan desa, katrok, yang tidak mengerti apa-apa. Untukku, urusan rumah tangga masih barang baru. Lebih-lebih dengan perangkat listrik. Jangankan melihat, membayangkannyapun aku tak pernah.
Namun, di Coronation Avenue nomor 642 di daerah Alta Vista yang berkelas, semua peralatan adalah listrik. Rumah kami terdiri dari tiga kamar tidur di atas, yang dilengkapi oleh sebuah kamar mandi dengan bath-tub yang baru pertamakali itu kusentuh. Di bawahnya adalah ruang tamu, ruang makan dan dapur serta di bassement ada garasi ruang keluarga yang menghubungkan penghuni rumah dengan garasi.
Kompor kami listrik, yang sangat mudah untuk dinyalakan, sekaligus sangat aman untuk pernafasanku. Mesin cuci kami tentu saja listrik juga. Semua adalah pengalaman baru untukku. Sangat bertolak belakang dengan kehidupoanku yang sederhana, semi primitif. Aku biasa menyalakan kompor minyak tanah, dan memanggang semua kueku di oven kaleng made in Cibinong, serta mencuci baju-baju kami di lantai kamar mandi dengan bantuan papan cucian yang terbuat dari kayu yang bergelombang. Rasanya, aku seperti mendapat berkah sekaligus bingung. Aku sering tergeli-geli sendiri mengenangkan pengalaman pertamaku hidup di luar negeri, jauh dari Kanaal Cidepit yang bau anyir dan sampah busuk di muka rumah kami.
Pengalaman itu adalah guruku yang terbaik dan setia. Yang tak akan pernah bisa kubuang demikian saja, sebab telah mengajariku untuk menjadi manusia yang lebih cermat dan rapi.
Ingatan itu selalu hadir, jika aku menghadapi sebuah mesin cuci berpintu di samping depan. Ketika itu aku baru saja memutuskan keluar dari bangku sekolah. Bahasa Inggrisku masih seadanya. Sebetulnya ada keinginan untuk belajar lagi dengan intensif. Tapi aku terlanjur hamil dan haru sangat berhati-hati menjaganya, karena kehamilan pertamaku di kampung telah menghadirkan peristiwa tragis. Anak kami kembali kepadaNya sebelum aku sempat untuk menimangnya, karena kelainan pada kandunganku.
Ibu Julie, saya pernah juga mengalami sakit yang harus bed-rest paling tidak 5 hari dalam seminggu. Setiap keluar rumah, ngilu luar biasa. Usia saya waktu itu masih usia produktif sekitar 23-28 tahun lah. Tapi aku gak bisa pergi lama-lama, jadi harus jaga kondisi. Yang aku rasakan pada saat itu, aku ini masih muda tapi badan kok rasanya sudah gak kuat... ke dokter gak ketahuan sakit apa dan lagi saya uangnya masih pas-pasan. Jadi mau berobat lebih mendetail, perlu uang atuh... dan gak ada. Akhirnya ya resep traditional aja :-) sambil menerima nasib.
BalasHapusTapi saya yakin semua pasti akan berakhir. Entah berakhir lebih sehat atau menghadap Allah.
sama tehhh, badanku juga sekarang udah mulai cepet capee... artinya kalo alarm badan udah mulai berbunyi harus segera meluruskan kaki n beristirahat sejenak, enggak seperti dulu yg selalu sigap n gesit.... makin bartambah umur kekuatanpun makin barkurang, mungkin itu pertanda kita semakin tua yahhh.... berusaha untuk dimengerti n diselami.... juga dinikmati... tetep semangat yukkk tehhh.... *berpelukan*
BalasHapusceria atuh........jangan mendung muluuuu....
BalasHapustak selamanya mendung itu kelabu lho........
Iya, ya. Gimana sekarang? Semoga udah nggak sakit-sakit lagi. Ini sebetulnya belum selesai "curhat". Tapi tadi pagi (saya biasa deh jam 3 udah kebangun), mau ngedit, mau didraft dulu, kesalahan mencet publish, halah.........
BalasHapuskita sama-sama menyukuri aja masih bisa bertahan di umur yang kelimapuluh, walaupun pernah lolos dari lubang jarum di makamr bedah dan ICu......... mujur, ya?
BalasHapusNyanyi yuk, "tak selamanya mendung itu kelabu, nyatanya........?" Apa kabar bu? Semoga bahagia terus kayak biasanya. Aku seneng kalo lihat postingannya jadi ikutan bahagaia.
BalasHapushihi... Saya gak seneng ngeluh sebenarnya bu Julie... sampai sekarang masih ada yang harus di periksakan ke dokter, di terapi dan dioperasi. Cuman itu, belum ada dana ke dokter, di sini juga bayar sendiri, jadi alhamdulillah... begini aja... hehe...
BalasHapusTapi badan sih antepin ajalah... kalau capek ya tidur. Kalau sehat ya jalan. Harus optimis... kalau gak kuat ya minta tolong sama Allah. Gitu deh bu Julie...
Iya udah ngelakonin yang begitu lamaaaa jeng Minet. Sampe capek (walaupun nggak bosen-bosen minta sama Allah). Saya kemarin sampe bilang, ini harus jadi operasi yang terakhir karena udah bosen ngadepin meja bedah (udah 11X dalam hidup saya). Nasib.... Trima kasih moral supportnya. Ada apa di tangannya jeng? Kalo saya sih di bahu, penebalan otot yang bikin cedera tulang akromiom, sampe saya nggak bisa pake baju sendiri. Hayo, bayangin, bikin stress nggak sih!
BalasHapusbunda
BalasHapusga bosan kan kalau sy bilang SAYA MENDOAKAN bunda
:)
plis deh jangan merasa diri menjadi orang malang......pan urang bogor hehehhehe
BalasHapuskalu kita merasa diri jadi orang malang........kita menjadi malang terus....happy happy, lupakan penyakit, lupakan kesedihan hidup untuk dinikmati dan kita akan happy terus..........amin.
tugas rumah tangga walau bukan kita yang ngerjain tapi kalu bisa me manage/mendelegasikan nya berarti itu juga hasil kerja kita juga, karena tetap kita yang ngatur kan.........
Ya Bu Julie, bisa bayangin. Insya' Allah diberi kekuatan. Amin!
BalasHapusTengkyu nak. Bunda juga mendoakan Dedek lho!
BalasHapusha...ha....ha.... iya, pinter. Cerdas si ibu yang satu ini. I love you ya Ly!
BalasHapuswah pengalamannya rada2 mirip dengan saya, waktu penempatan pertama tahun 90 awal januari, pokoknya masih kampungan dan katrok dan baru pertama kalinya liat microwave, masa masak air pake ketel yang terbuat dari bahan almunium saya masukan ke microwave, untung aja belum terjadi percikan api yang keluar. betul2 norak deh. tapi dari semua pelajaran yang pernah dialami di LN banyak sekali manfaatnya.
BalasHapusSiiiip deh! Berarti aku gak sorangan he...he....he.....
BalasHapus