Powered By Blogger

Sabtu, 30 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (39)

Pagi ini, Sabtu terakhir di bulan Maret adalah kali kedua saya memeriksakan diri pasca kemoterapi pertama saya ke dokter bedah. Seharusnya saya mengunjungi klinik dokter onkologi, tetapi dokter onkologi saya masih di luar negeri mengikuti workshop dalam kaitannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). 

Dokter spesialis bedah umum yang menggantikan beliau untuk sementara adalah orang yang sama dengan yang membiopsi jaringan tumor saya, pun mengawasi pelaksanaan kemoterapi saya yang pertama, sehingga beliau betul-betul tahu kondisi saya. Saya malah merasa lebih aman di tangan beliau, sebab beliau setiap memeriksa tumor saya selalu ingin melihat sendiri bagaimana wujud lukanya bahkan menyuruh perawat membersihkannya sambil mengedukasi saya. Termasuk tadi pagi. Beliau meski mengetahui tumor saya tidak mengecil tetapi nampaknya cukup puas dengan kondisi lukanya yang terawat baik sehingga tidak lagi menebarkan bau yang amat menyengat. Maka beliau tak lagi banyak mengingatkan saya soal perawatan luka itu. Lebih tepatnya beliau cuma berkonsentrasi mempersiapkan fisik saya menghadapi kemoterapi kedua yang ternyata dijadwalkan tanggal 16 April nanti, sehari setelah dokter onkologi saya kembali bertugas.

Mendengar laporan saya bahwa saya sama sekali tak mengalami gangguan sakit mual dan pusing serta kerontokan rambut yang berarti pasca kemoterapi, dokter merasa puas. Selanjutnya saya diminta memeriksakan darah saya ke laboratorium untuk diketahui kondisi kadar kimianya. Karena kalau berada di bawah batas minimum kadar yang normal, pasien dianjurkan untuk memperbaikinya dulu dan kemo ditunda. Alhamdulillah ternyata semua berada hanya sangat sedikit di bawah normal. Bahkan thrombosit saya normal. Barangkali saja itu adalah efek dari obat-obat herbal pemberian sinshe saya yang masih rutin saya makan meski saya kurangi dosisnya dengan sendirinya. Saya sekarang bahkan mengira seandainya dosis aslinya masih saya ikuti, semua kadar kimia darah saya pasti normal. Tapi saya tetap tak mau gegabah makan obat banyak-banyak meski cuma obat herbal begitu.

Jadi hari Rabu kemarin jadwal ke sinshe saya lewatkan begitu saja. Saya memilih tidak diterapi dan menambah persediaan obat. Atas persetujuan sinshe yang kemudian menelepon saya menanyai kondisi saya yang sesungguhnya, saya cuma memperbanyak istirahat serta mengonsumsi buah-buahan dan air bening saja. Itulah yang membuat saya merasa senang berobat di sinshe yang satu ini. Orangnya begitu penuh perhatian dan pengertian. Apalagi ongkosnya tidak semahal sinshe-sinshe yang dulu rajin mengiklankan diri di televisi itu.

 ***

Tapi kepuasan saya tak berlangsung lama. Ketika saya bersisir sehabis mandi, saya dapati rambut mulai berkumpul di sisir serta bertebaran di sekitar tempat saya berdiri. Saya mencermatinya. Ah ya, ini dia, kata hati saya. Maka saya pun semakin cermat mengamati rambut. Tak hanya di sisir, ketika saya secara tidak sengaja mengelus juntaian rambut saya yang menutupi sebagian mata, di jemari saya juga nampak helaian-helaian itu. Lalu semakin jelas waktu saya mengikat rambut untuk mandi dan melepasnya kembali, di karet pengikat rambut banyaknya yang tertinggal menyangkutkan diri tidak seperti biasanya. Kali ini semakin menghitam. 

Saya tersenyum sendiri. Lalu bangkit dari tempat duduk saya dengan berdiri mencondongkan wajah ke cermin. Ya, rambut saya dengan cepat kelihatan jelas sekarang dwi warna. Walau tentu saja bukan merah-putih seperti bendera kebangsaan kita, tapi rambut saya sudah juga disebari putihnya uban. Dan saya tahu, akarnya rapuh jua.

Saya katakan kepada anak-anak saya untuk mencermati kasur serta bantal yang habis saya pakai tidur siang. Lalu laporan mereka benar belaka, ada bekas-bekas guguran rambut meski sedikit. Sehingga mereka mengizinkan saya untuk menghabisi saja rambut saya mulai saat ini. Sebab mahkota yang indah itu pasti masih bisa tumbuh lagi. Itu yang bersama-sama kami baca pada pengalaman pasien pasca kemoterapi. Bahkan anak-anak saya bilang, saya akan jadi punya wajah baru nantinya. Gundul itu yang akan datang dalam waktu dekat, disusul dengan rambut lebat yang bergelombang lebih bagus daripada apa yang melekat di kepala saya selama ini.





Begitulah kondisi saya sekarang ini. Lihat saja kalau saya sudah pulang dari rumah tetangga yang akan menghabisi rambut saya, pasti saya tidak akan kalah seksinya dari Barbie mainan kesayangan para gadis cilik yang saya ambil gambarnya di atas. Senyum........

Mari, saya permisi dulu, akan saya buang rambut-rambut tua yang sudah kelelahan nangkring di kepala saya, ya. Sampai jumpa nanti kalau saya sudah siap memamerkan wajah baru saya.

Selamat akhir pekan! Salam manis!

(Bersambung)
 

Minggu, 24 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (38)






Konon orang-orang bilang Kemoterapi dan penyakit Kanker amatlah menyiksa. Selain rasanya yang menyakitkan, pasien pasca kemoterapi pun punya berbagai keluhan. Pusing dan mual-muntah adalah keluhan utama mereka. Belum lagi kulit menjadi kering, berikut rontoknya rambut. Efek samping dari kemoterapi inilah yang dijejal-jejalkan ke otak saya oleh banyak orang yang bersimpati kepada saya. Itu dilakukan baik lewat buku-buku maupun bahan bacaan yang berisi pengalaman pasien kanker maupun lewat telepon yang panjang-lebar mengungkapkan cerita mereka seputar pengalaman pasien kanker yang dikemoterapi.

Berhasilkah saya ditakuti-takuti begitu?  Nampaknya tidak. Sebab sampai seminggu setelah kemoterapi, saya alhamdulillah masih normal-normal saja. Hanya mengalami sedikit penurunan nafsu makan yang berakibat melorotnya lagi timbangan badan saya, serta rasa letih-lemah yang membuat kaki saya malas melangkah lebar-lebar. Sudah cuma itu pada mulanya.

Pada mulanya? Ya, selama seminggu kemarin saya tidak merasakan gangguan yang dikemukakan pasien pada umumnya. Sehingga saya masih bisa beraktifitas dengan normal. Terlepas dari nyeri di tumor saya, tak ada rasa lain yang minta perhatian.

Bahkan ketika saya berkunjung ke klinik dokter bedah umum yang menangani kemoterapi saya untuk pertama kalinya disebabkan dokter onkologi saya sedang bertugas ke luar negeri untuk enam minggu lamanya, saya dinyatakan sebagai pasien yang tangguh. Ketika saya minta penjelasan mengenai efek samping kemoterapi yang biasa muncul itu, dokter mengatakan biasanya sudah terasa segera setelah obat kemo masuk ke tubuh pasien. Artinya, dalam minggu pertama pun saya merasakan keluhan-keluhan itu. Termasuk rambut yang akarnya menjadi rapuh itu.

Tapi sebetulnya saya pun mulai mengalami gangguan juga, yang sayangnya terlupa untuk saya sampaikan kepada dokter saya itu. Yakni saya mulai terserang batuk-batuk di waktu tidur. Saya mencurigai ada bakteri yang masuk ke tubuh saya entah dari mana, sebab anak-anak saya alhamdulillah semua dalam keadaan sehat-walafiat. Boleh jadi bakteri itu terikut ketika saya pergi ke sinshe menumpang kendaraan umum beberapa hari yang lalu. Sebab waktu berobat ke sinshe, saya sama sekali belum batuk-batuk. Batuk-batuk ini biasa terjadi, begitu dulu saya diberitahu mantan penderita kanker payudara yang sudah menjadi seakan-akan kakak kandung saya, yu Wiwiet. Waktu bicara begitu, yu Wiwiet menyuruh saya untuk memakai masker penutup hidung dan mulut setiap hari baik di rumah apalagi di luar rumah. Sebab kondisi tubuh pasien memang rawan sakit akibat melemahnya sel-sel sehat yang ikut tergempur obat kemoterapi juga sel darah merah yang turun drastis.







Pagi hari kesembilan sehabis kemoterapi saya terbangun dengan nyeri di tenggorokan saya. Tapi saya tidak batuk-batuk hebat, pun hidung saya tidak berair. Meski begitu saya tahu, saya terserang virus influenza akibat saya tak menjaga diri dengan baik. Padahal saya sudah tidak melakukan perjalanan ke luar rumah sama sekali, bahkan hanya sekedar untuk urusan ke warung di seberang halaman.

Salah saya juga, selama kemoterapi ini onkologis saya menganjurkan saya untuk makan buah banyak-banyak dan minum air putih. Begitu juga soal asupan juice buah yang saya konsumsi sejak pertama saya berobat ke sinshe tetap dianjurkannya. Namun saya keliru jalan. Saya tetap makan buah dalam kondisi didinginkan terlebih dulu di koelkast. Begitu pun dengan juice buah yang saya asup selalu saya simpan di dalam koelkast sebelumnya. Sebab entah mengapa, saya lebih suka dalam keadaan dingin yang menurut saya menyegarkan untuk melawan  rasa panas di tubuh saya. Oh ya, kata mereka yang pernah menjalani kemoterapi apalagi radiasi untuk membabat habis sel-sel kanker, tubuh pasien sering terasa panas. Konon menurut tulisan yang pernah saya baca, hal demikian juga terjadi terhadap orang-orang yang mengonsumsi ekstrak daun sirsak (teh sirsak) seperti yang suka saya minum. 

Sirsak baik buahnya apalagi daunnya telah diakui sebagai salah satu bahan kemoterapi yang cukup ampuh. Sebagaimana halnya dengan kulit manggis yang ekstraknya dibuat sedemikian rupa sehingga kemudian diproduksi massal dan dijual sebagai minuman sirup maupun kapsul obat tradisional.



Kedua buah-buahan itu merupakan buah tropikal yang amat mudah didapat sekarang ini karena sedang musimnya. Setahu saya sih, sirsak berbuah sembarang waktu. Tapi buah manggis memang musiman. Jika sedang banyak begini, sekilo harganya sekitar tujuh ribu lima ratus hingga sepuluh ribu saja, tergantung besar-kecilnya buah. Saya cenderung menyukai yang kecil-kecil sebab sekalipun kecil rasanya manis dan tentu saja bijinya pun kecil.

Seorang teman saya yang bersuamikan tentara punya cara untuk mengawetkan kulit manggis ini agar siap dibuat ekstraknya kapan saja. Menurutnya, kulit manggis dicuci bersih kemudian dijemur hingga kering. Jika kelak akan digunakan tinggal direbus dengan banyak air hingga surut dan cukup untuk diminum. Sebagai pemanisnya dia biasa menggunakan madu. Meski begitu yang terbaik tentu saja dari kulit manggis segar, bukan yang diawetkan begitu.

***

Dari dokter saya cuma memperoleh obat penahan rasa nyeri (pain killer), obat anti mual dan asam folat yaitu vitamin B-6 yang berguna untuk menjaga kondisi sel darah merah (Haemoglobin/Hb) di dalam tubuh pasien kanker. Sebab katanya, obat-obat kemoterapi cenderung merusak sel darah merah meski manfaatnya untuk membunuh sel kanker baik. Karena itu, saya tetap pergi ke sinshe untuk diterapi sekaligus makan obat-obat herbal pemberiannya yang jelas-jelas tak diberi oleh dokter onkologi.

Waktu selesai menerapi saya dengan totok syaraf, dia mengatakan Hb saya masih sangat baik. Tapi bengkak tumor saya tidak kunjung mengecil, bahkan cenderung membesar. Untuk itu saya diberi obat penghambat bengkak tumor saya serta vitamin penambah stamina saya. Obat yang terakhir ini sejak dulu memang sudah rutin saya minum sehingga hasil test laboratorium sebelum saya dikemoterapi baik semua. Di samping itu, saya tetap mengonsumsi obat yang diklaim sebagai anti kanker oleh sinshe. Hanya saya mengonsumsinya berselang dua jam setelah saya makan obat dokter. Ini terbukti tak membawa pengaruh buruk terhadap badan saya. Begitu pun yang terjadi pada pasien kanker indung telur yang sudah dinyatakan sembuh yang saya baca dari buku yang disusunnya sebagai penyemangat para penderita kanker lainnya. Meski herbal yang dikonsumsinya bukan herbal Cina, tetapi katanya dia tetap segar dan siap menghadapi kemoterapinya yang panjang itu.

Hari ini saya istirahatkan saja tubuh saya baik-baik di atas kasur. Saya tetap berharap bahwa saya tidak jadi batuk-batuk. Dan karenanya saya siap menahan keinginan saya untuk melawan penyakit mengerikan ini. Ayo, siap tempur dan siapkan semangat hidup baru yang jauh lebih sehat selagi kita masih boleh menginjakkan kaki di dunia ini!

(Bersambung)

Jumat, 22 Maret 2013

PARIPURNA SUDAH





Menulis sejak dulu menjadi kebiasaan yang tak pernah bisa saya tinggalkan. Ketika saya belum mengenal teknologi komputer, menulis berarti menggunakan pena maupun pensil dengan lembaran kertas. Lewat perantaraannya saya luahkan semua perasaan hati saya. Saya catatkan perjalanan hidup ini dari hari ke hari, susah maupun senang. Dengan menulis saya beroleh kepuasaan batin, juga persaudaraan lewat persahabatan yang terjalin kemudian berkatnya.

Ini berlangsung setelah saya mengenal dunia maya melalui layar komputer di rumah. Tapi sebagai bagian dari generasi tua, tentunya saya sudah sangat terlambat berkecimpung di dalamnya. Baru enam tahun hingga sekarang saya mengganti alat-alat tulis saya ke dalam metoda baru yang kita kenal sebagai blog.

Di jejaring sosial Multiply, 1 Januari 2007 saya mencatatkan diri saya sebagai blogger. Meski ketika itu saya masih "mundur-maju" disebabkan keterbatasan pengetahuan, keterampilan dan kemahiran saya menggunakan teknologi internet, tetapi saya upayakan untuk terus berkecimpung di dalamnya. Hingga kemudian satu demi satu penghuni alam maya yang satu itu datang menyapa saya, kemudian mengulurkan tangan persahabatan sambil membesar-besarkan hati saya melalui serangkaian pujian mereka atas isi blog saya yang katanya sarat dengan pengalaman hidup.



Multiply, dia tempat saya belajar menulis untuk bisa dinikmati khalayak. Dia juga tempat saya menenggang rasa untuk tak mudah menyakiti orang lewat kata-kata. Di Multiply juga saya benar-benar merasa menjadi seorang tua yang dituakan oleh para penghuninya, sebab mereka menyebut diri saya sebagai bunda. Hingga suatu kesempatan datang tak dinyana, nama saya tercatat sebagai blogger dengan catatan pengalaman hidup yang terbaik di seantero jagad maya Multiply. Dan saya dengan senang hati menyimpan sepenggal kenang-kenangannnya di dalam ingatan dan lubuk hati yang terdalam.

Di tempat yang satu itu kesabaran saya ditempa, untuk tidak mudah marah-marah menghadapi suatu keadaan. Pasalnya suatu ketika para penghuninya yang masuk kategori sebagai blogger diberitahu untuk bersiap-siap meninggalkan rumah mayanya. Pihak pengelola tidak lagi menyediakan fasilitas pertemanan di situ, sebab mereka ingin bertukar haluan murni berniaga. Waktu pertama kali menghadapi peringatan itu, para blogger tentu saja terkejut dan kecewa. Reaksi kekecewaan mereka tertuang dalam berbagai perilaku. Mengumpat, mengomel, mencela, jadi suatu sifat yang kerap mereka perlihatkan. Walau nyatanya itu semua tak membuahkan hasil positif apa pun.

Sebagai blogger tua, saya selalu mengedepankan pikiran panjang dan perasaan saya. Menurut saya, di situ saya cuma berposisi sebagai pendatang, bukan pengelola apalagi pemilik modal. Sama halnya saya di sini, di rumah baru yang akhirnya menjadi tempat tinggal saya sekarang dengan harapan untuk selamanya. Saya tak mengeluarkan uang satu sen pun pembangun atau sekedar pemelihara rumah saya. Karena itu saya tidak mengeluarkan reaksi bernada kekecewaan. Saya tetap menikmati hidup di sana sambil menyiapkan diri untuk kelak betul-betul pergi. 

Lewat kebiasaan saya mencatatkan perjalanan panjang hidup saya, terus saja saya blogging di sana. Tak ada satu momen pun yang terlewatkan. Tak ada jeda yang membuat kesia-siaan. Dari hari ke hari, ada maupun tidak ada yang datang mengunjungi apalagi membaca blog saya, saya tetap menulis. Hingga tiba harinya.

Pagi itu, 20 Maret 2013 dunia menjadi sepi. Di layar komputer pribadi saya tak lagi ada tulisan-tulisan saya, juga milik sejumlah kecil teman yang masih mau menemani saya bergaul di rumah maya sana. Putih, hanya lembaran tanpa tanda-tanda yang terpampang di hadapan saya. Multiply benar-benar telah menceraikan kami lewat 110 hari dari waktu yang mereka canangkan sendiri.

Kami telah bubar. Tapi tak akan selesai persaudaraan kami karena perpisahan itu. Di masing-masing lahan baru yang telah kami pilih sendiri-sendiri kami tetap bisa menjalin ikatan silaturahmi. Sekuat dan sehebat ketika Multiply menaungi kami dan menahbiskan kami jadi blogger sejati. Tak ada air mata, sebab keikhlasan sudah merajai perasaan kami. Selamat menempuh hidup baru, Multiply. Semoga keberhasilan yang kau impikan segera terwujud adanya. Lihatlah kami, kau telah berhasil meluluskan kami semua menjadi blogger sejati yang punya rasa persaudaraan yang tinggi dan kasih sayang yang tulus. Terima kasih untukmu............





~ Bogor, dua puluh dua Maret dua ribu tiga belas ~


Minggu, 17 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (37)




"Another "C" came into my life. Yesterday was my fist "Chemoterapy"! A Road to happinness and beautiful life ever after!" Begitu yang ada di benak saya siap hendak saya tuangkan dalam bentuk tulisan di buku harian elektronik saya. Pasalnya saya sangat bahagia bisa mencicipi "C" yang kedua, yang juga bisa dikatakan sebagai "K" karena mengandung makna yang sama. Kanker dan kemoterapi.

Waktu menerima instruksi dari RS untuk dikemoterapi pada hari Rabu minggu lalu, sedih sekali saya. Pasalnya anak saya tidak siap untuk mengantar, sedangkan saya sendiri belum sempat diperiksa dokter internist. Padahal hasil pemeriksaan beliau ini yang akan dijadikan acuan layak tidaknya pasien dikemoterapi. Belum lagi ketika kemoterapi diundur dan saya dipersilahkan memeriksakan diri ke internist, kedapatan tekanan darah saya naik sangat tinggi yakni mencapai 170/110. Padahal selamanya selalu berada dalam takaran normal walau orang tua saya adalah penderita darah tinggi yang bersambungan dengan penyakit jantung serta stroke sekalian hingga mengakhiri hidupnya.

Kemudian saya mendapat obat penurun tekanan darah yang harus dimakan sehari sekali. Kepala Perawat yang membutuhkan kepastian siap tidaknya pelaksanaan kemoterapi saya, menyuruh saya untuk memeriksakan diri ke Puskesmas atau bidan keesokan harinya, agar jika normal pelaksanaan kemoterapi saya bisa berlangsung hari Jumat. Tapi saya tak melakukannya mengingat saya tak yakin dalam sehari tekanan darah itu bisa kembali normal. Walau kenaikan tekanan darah itu lebih dikarenakan faktor stress menghadapi kemoterapi pertama, serta diambil di tangan yang sakit pula, tetapi saya tetap ingin makan obat dua kali sebelum diperiksakan lagi. Sehingga akhirnya Jumat sore saya baru ke dokter. Di dokter yang merupakan alumnus dari perguruan tinggi yang sama dengan saya dan anak saya, ketegangan segera mencair. Dokter itu bahkan menganjurkan saya mencoba juga pengobatan holistik sambil meminjamkan sebuah buku tentang hal itu. Katanya dengan pengobatan holistik yang artinya kembali kepada alam, saudaranya tertolong dari kanker yang dideritanya. Akibat pembicaraan ringan yang menyenangkan begitu, alhamdulillah tekanan darah saya turun mencapai 140/100 sehingga saya bisa dikemoterapi keesokan harinya, yakni Sabtu.






Entah apa yang ada di dalam jiwa makhluk lemah seperti saya ini, yang jelas saya memang senantiasa memasrahkan diri ke tangan Allah. Dan sebagai imbalannya, saya kok selalu saja merasa berada di posisi yang sangat menguntungkan.

Malam Sabtu itu, anak tertua saya pulang kemalaman dari kantornya di Jakarta. Sebab dia mengerjakan tugas lembur hingga pukul setengah sepuluh malam. Dan begitu dia sampai di halte busway, tak satupun yang mau berhenti menjemput penumpang. Lama berdiri dan lelah menanti, anak saya memutuskan untuk naik busway ke jurusan lain yang kebetulan melewati stasion kereta ke arah Bogor. Dia bersama seorang temannya yang akan pulang ke Cibinong nekad saja. Sayang kereta terakhir telah berlalu. Namun untungnya teman dari teman anak saya itu menerima ajakan temannya bermobil ke Bogor, sehingga anak saya bisa ikut menumpang pulang. Saya yang gelisah serta mengomel-ngomel bisa menebar senyum kembali begitu dia mengetuk pintu rumah lalu menemui saya yang sedang menunaikan shalat malam saya. Sengaja saya tunaikan sebelum mendekati subuh sebab toch saya sudah sempat tertidur sejenak dan takut tak bisa bangun lagi nantinya. Anak saya minta maaf, saya pun juga, lalu perdamaian kami menghasilkan kesepakatan dia sanggup bangun pukul lima pagi untuk bersiap-siap menemani adiknya mengantar saya dikemoterapi.






Pesan yang disampaikan Muadzin di masjid menyuruh ummatNya menunaikan shalat subuh. Bersamaan dengan itu mata saya terjaga bulat. Segera saya beranjak membersihkan diri sambil menguap membuang kantuk. Hari sudah pagi mendekati setengah lima. Tak ada kokok ayam jantan lagi seperti ketika saya tinggal bersama orang tua saya dulu. Sebab sekarang tak mungkin kita memelihara ayam di rumah tangga seperti di masa itu. Tapi masih ada tanda kehidupan dimulai, yakni lalu lalang kendaraan bermotor di jalanan depan rumah.

Rasanya saya seperti akan pergi ke ujian akhir sekolah saja. Sebab ketika bersembahyang, saya memohon-mohon agar diluluskan dari penderitaan saya, terangkat menuju kesenangan hidup. Saya mintakan dengan mengiba agar kesehatan saya dipulihkan demi anak-anak saya yang rela menderita mendampingi saya menjalani penyembuhan penyakit mengerikan ini. Tapi setelahnya saya sanggup untuk segera mengguyur diri di bawah selang shower yang memancarkan air sangat sejuk peredam ketegangan batin saya.

Tepat pukul tujuh, berarti kesiangan dari waktu yang diperintahkan pihak rumah sakit, saya ditemani kedua anak saya keluar halaman. Sudah saya kira akan kesulitan menemukan angkutan kota yang kosong untuk kami sewa. Tapi ternyata Allah berpihak terus kepada kami. Tiba-tiba sebuah angkutan kota berhenti tepat di muka anak saya. Pengemudinya yang sudah sangat akrab dengan keluarga kami cuma membawa seorang penumpang saja lagi sebelum berputar arah kembali ke pasar. "Mas, mau ke mana?" Sapanya ramah. "Ke RSKB mau antarkan ibu, tapi mau nyewa," jawab anak saya. Lalu tanpa panjang lebar dia mempersilahkan kami naik tak pakai tawar menawar. Dan segera pula kami melaju ke RS setelah penumpang yang seorang itu diturunkan di pangkalan angkot.

Hanya perlu dua belas menit untuk sampai di meja registrasi pasien kemoterapi. Saya jadi pasien pertama. Di situ berkas-berkas saya diteliti, dan anak saya menyelesaikan pengisian berbagai formulir cukup lama. Selanjutnya dia diminta untuk menggandakan dulu berkas-berkas itu ke luar RS, sebab agaknya tak ada pengusaha yang pernah terpikir untuk membuka kedai foto kopi di dalam RS. Sambil menunggu selesainya pendaftaran datanglah dua orang lainnya masing-masing ditemani anak-anaknya. Ternyata benar, fasilitas ruang kemoterapi hanya ada 3 tempat saja. Begitu rupanya kendala lain menjalani kemoterapi selain ketersediaan obat di apotik.

Kedua pasien yang datang terakhir bisa selesai lebih cepat, sebab mereka bukan untuk pertama kalinya. Jadi prosedurnya sudah mereka ketahui sejak semula. Namun rupanya begitu sampai di ruang kemoterapi saya lah yang tiba lebih dulu, sebab kata petugas Customer Service yang melayani kami, saya boleh menunggu di ruang kemoterapi sementara urusan administrasi surat-menyuratnya bisa diselesaikan belakangan setelah Andrie anak tertua saya datang menyerahkan foto kopian. Jadilah saya dilayani paling dulu di ruangan kemoterapi, dan karenanya bisa memilih tempat yang paling nyaman.

Ruang yang kecil-mungil itu tidak menjemukan kok. Ada dua buah yang diisi oleh kursi malas empuk sedangkan satunya lagi diisi tempat tidur. Saya memilih di kubikel pertama dengan kursi malas. Di sudut ruangan itu dipasang sebuah bunga hiasan tiruan dalam jambangan besar yang cukup menyenangkan untuk dipandang. Kemudian ada juga meja makan pasien yang biasa ada di setiap kamar perawatan, ditambah lemari kecil yang juga biasa difungsikan sebagai meja itu serta sebuah lagi rak penyimpanan bahan bacaan. Ketika anak bungsu saya melongok ke dalam lemari, ada sebuah alat pemutar DVD yang agaknya dimaksudkan untuk pasien yang ingin menghibur diri dengan berkaraoke selagi dikemoterapi. Sebab, menurut cerita mereka yang pernah menjalani, kemoterapi akan memakan waktu berjam-jam.






Saya memosisikan diri sedemikian rupa, mencoba-coba kenikmatan ruangan itu, sementara kedua pasien lainnya yang sudah tiba juga di ruangan ikut memilih tempatnya masing-masing. Perawat yang bertugas menerangkan bahwa dokter saya sedang cuti hingga pertengahan bulan depan. Duh, batin saya, cuti dokter selama itu? Sudah dua minggu masih akan ditambah sebulan lagi? Seakan-akan mengerti kegalauan saya perawat mengatakan bahwa saya sudah diserahkan ke tangan koleganya, yaitu dokter bedah umum yang dulu juga menangani biopsi saya ketika dokter saya cuti umrah. Lega hati saya mendengarnya.

Perawat kemudian memeriksa tekanan darah saya dan juga suhu tubuh. Untung sudah normal kembali. Bahkan mencapai 110/90 saja, di bawah rata-rata. Agaknya itu disebabkan saya baru makan obat penurun tekanan darah untuk yang ketiga kalinya sehabis sarapan di rumah. Saya dinasehati untuk tidak tegang, mengingat ini kali pertama saya. Bahkan kalau saya mau saya diizinkan mengobrol dulu dengan kedua pasien lainnya yang sudah lebih dulu dikemo. 

Pasien itu kedua-duanya penderita kanker payudara juga. Yang di sebelah tengah berumur di atas enam puluh tahun, menjalani kemoterapinya yang kedua. Sedang yang di tepi dinding kamar, sudah akan mengakhiri kemoterapinya yang semua berjumlah 7 kali. Dia sudah dioperasi terlebih dulu, sedangkan pasien yang di tengah sama seperti saya, belum. Rencananya dia akan dikemoterapi tiga kali saja, sekali lebih singkat daripada kemoterapi saya yang direncanakan empat kali. Tapi dokter kami berbeda. Kedua ibu sepuh itu ditangani dokter lain yang hari itu ternyata juga tidak datang melaksanakan kewajibannya. Padahal dia tidak menunjuk penggantinya sebagaimana kebiasaan dokter saya.

Setelah hari agak siang, barulah dokter jaga RS datang menjenguk. Dia bertanya-jawab barang sejenak serta meneliti berkas medis yang dipegang perawat. Saya pikir setelah itu dia akan memasangkan infus kemoterapi saya. Ternyata keliru, dia tak melakukan apa-apa. Hingga satu jam kemudian benar-benar datang dokter pengganti onkologis saya. Saya menyapanya dengan memperkenalkan diri kembali sebagai pasien yang pernah ditanganinya waktu onkologis saya cuti umrah. Dalam sejenak beliau langsung mengingat saya. Beliau menanyai apakah saya sudah mulai dengan program kemoterapi saya. Ketika saya jawab belum, beliau mengatakan kalau begitu beliau yang akan memulainya. Lalu berkas medis saya ditelitinya, sebelum beliau menyampaikan pertanyaan berikutnya seputar kemoterapi ini.

Kata beliau, obat saya akan diganti dari rencana semula, bukan lagi Herceptin, karena dokter onkologi yang memerintahkannya. Alasannya tak dijelaskan, tapi mengingat saya menggunakan SKTM saya bisa menerka sendiri. Agaknya jatah dari Dinas Kesehatan tidak mencukupi untuk membeli Herceptin, yang konon selain mahal juga langka di pasaran di Bogor sini. Saya tetap akan diinfus dengan tiga jenis obat berbeda, sebagaimana rencana semula. Tak ada jalan lain selain menyetujuinya dengan kebulatan syukur sebab apa pun obat itu, saya sudah banyak mendapat pertolongan. Kemoterapi saya digratiskan sepenuhnya!

Perawat kemudian mulai memasangkan infus di tangan saya. Tentu saja saya sodori tangan yang sehat, yang artinya tangan kanan saya. Biarpun kelak saya tidak akan bisa menggunakannya selama beberapa jam, tapi itu tentu yang bagus. Tusukan jarum tak lagi jadi masalah sebab perawat mudah sekali menemukan pembuluh darah di tangan saya. Kantung infus pertama adalah cairan garam sebagai pembilas darah di tubuh saya. Jumlahnya setengah liter. Sehabis itu, ternyata tidak langsung dimulai dengan obat. Sebab masih disambung dengan cairan garam kedua yang di tengah-tengah dimasuki dengan obat yang disuntikkan lewat infusan. Perawat mengingatkan saya bahwa akan terasa pegal-pegal sedikit. Saya jawab saya sudah terbiasa, sebab saya hampir menjalani operasi yang kedua belas kalinya kelak. Perawat itu terperangah, namun pernyataan saya justru berkembang menjadi obrolan yang menyenangkan. Katanya saya termasuk pasien yang paling fit yang ditanganinya selama ini. Alhamdulillah, batin saya.






Sikap saya pun dinilai tenang oleh perawat-perawat di sana. Bahkan ketika obat kemoterapi yang pertama mulai dimasukkan, saya tak nampak ketakutan. Padahal mereka tahu saya sudah mendengar dari mana-mana bahwa obat-obatan itu akan membawa efek samping menyakitkan. Memang demikian kenyataannya, seperti yang dituturkan pasien-pasien di samping saya serta kakak saya yang mengantarkan almarhum suaminya berobat dulu.

Semua obat-obatan kemoterapi ini dibungkus oleh lapisan kertas alumunium foil yang tebal. Katanya supaya tidak rusak oleh cahaya, sebab sifatnya sangat sensitif cahaya. Dalam hati saya, kira-kira seperti bola mata yang akan sakit silau oleh matahari atau sinar lampu terang kiranya. Jadi alumunium foil ini berguna seolah-olah sebuah kaca mata rayban.

Obat pertama berwarna bening, begitu juga obat ketiga. Tapi obat kedua warnanya agak mengerikan, merah meski tidak pekat seperti darah. Ketika semula saya melihat pasien di sebelah saya dialiri cairan itu, saya pikir itu adalah darah yang berbalik arah menuju ke tabung infus. 






Di antara pergantian obat-obatan, selalu diselingi oleh cairan garam lagi. Jadi agaknya agar masing-masing obat lancar diserap oleh aliran darah, maka tak boleh tercampur dengan obat berikutnya. Saya menikmati semua proses itu tanpa mengeluh, hanya terganggu oleh rasa ingin buang air kecil yang sering. Sama halnya dengan para pasien lain. Mereka bahkan lebih sering daripada saya menggunakan bilik pertapaan yang bersih dan nyaman karena merupakan kloset kering seperti di luar negeri. Bahkan selain buang air, pasien-pasien itu juga memuntahkan isi perutnya. Padahal, kami di situ diperlakukan lebih istimewa dibandingkan pasien-pasien di RSCM yang pernah saya tanyai. Di RSCM pasien tak mendapat makanan dari RS sehingga harus membeli sendiri di luaran. Sedangkan di RSKB yang merupakan bagian dari misi sosial Partai Golongan Karya sejak dulu, pasien tanpa terkecuali mendapat makanan. Pada pukul sepuluh sebelum kemo dimulai saya sudah menyantap sepotong cake caramel yang lezat. Lalu di waktu makan siang, hidangan lengkap berikut potongan buah honeydew atau yang di Indonesiakan menjadi melon. Belum lagi sore harinya datang seiris pudding pandan yang tidak mengecewakan rasanya. Diakhiri oleh tawaran makan malam yang saya tolak saja, sebab sudah hampir pulang.

Waktu obat kemoterapi ketiga dimasukkan, perawat mengingatkan saya untuk tidak terkaget-kaget kalau merasakan sensasi aneh nantinya pada bagian bawah perut saya. Sebab biasanya pasien akan merasa seakan-akan di situ banyak semut yang menggerayanginya. Semula saya sama sekali tak merasa apa-apa. Namun ternyata benar, setelah obat yang ditambahkan lewat suntikan itu mencapai sasaran yang dimaksud perawat tiba-tiba saya tahu apa yang dimaksudkannya. Ya, seperti saya sedang dicumbu oleh semut-semut nakal yang ingin tahu apa yang sedang saya lakukan di ruang yang sejuk dan sepi nyaman di sudut rumah sakit ini.

Infusan terakhir adalah cairan garam yang menjadi tanda pembukaan dan penutupan terapi. Jumlahnya sekitar lima ratus mililiter alias setengah liter lagi. Tapi perawat menghentikannya di bilangan empat ratus liter karena sudah pukul setengah enam sore. Matahari sudah mau berpamitan. Tak jadi soal karena saya pun tetap gagah perkasa, tak perlu menggunakan tangan orang lain untuk beranjak ke luar gedung. Subhanallah, betapa mudahnya proses yang digambarkan mengerikan oleh orang-orang lain itu. Saya jadi sangat berbesar hati akan menghadapi hari-hari kemoterapi selanjutnya. Saya tutuplah "hari besar" ini dengan langkah tegap dan senyum yang mengembang sempurna layaknya bulan empat belas di langit sana.

(Bersambung)

Selasa, 12 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (36)

Penyakit enam huruf yang persis sama dengan rasi bintang saya kian menunjukkan kesewenang-wenangannya. Setelah saya tidak sempat bertemu dua minggu dengan dokter onkologi yang merawat saya dengan alasan beliau cuti, tadi pagi luka di tumor saya mengucurkan darah segar yang sangat masif. Cairan merah cabai itu dengan semena-mena memancar membasahi kasur, kemudian lantai rumah hingga bathtub saya ketika akhirnya saya memilih berbaring di kamar mandi untuk meredakannya. Untung hari ini hari libur nasional sehingga anak bungsu saya ada di rumah untuk menolong saya. Lebih bersyukur lagi dia cekatan merawat luka saya, tanpa ngeri dan jijik pula. Darah yang banyak itu dilapnya dengan kain pel, kain pelapis tempat tidur saya dicucinya, bahkan badan saya pun dimandikannya kembali dengan hati-hati. Bahkan saat luka saya dibalutnya, tanpa mengeluh atau menyeringai dia menekan sumber keluarnya darah itu perlahan namun kuat. Sehingga dalam sekejap kapas menjadi merah berlumuran dan perlu segera diganti dengan yang bersih. Nyaris segenggam kapas dihabiskannya yang saya tahu pasti amat menjijikkan, meski tidak untuknya. Aduhai berbaktinya anak ini kepada saya, yang katanya adalah asal mula kehidupannya di dunia ini. Saya pun menelan keharuan saya karenanya, sebab saya takut dia mengira saya menangis kesakitan. Saya tak mau dia tahu apa yang saya rasakan saat itu.

Cancer atau kanker, kemoterapi dan mastectomy atau pembuangan payudara dan jaringan kelenjar getah bening di ketiak adalah "hantu" yang merajai setiap perempuan dengan benjolan di dadanya. Meski pada diri saya cuma satu, sebelah sisi dada saja, tetapi "kejahatannya" menyiksa saya. 

Memang salah saya terlambat mengobatkan diri ke Rumah Sakit pada seorang dokter ahli bedah kanker atau onkologis. Tapi salah rumah sakit juga yang membuat nyali semua orang menciut ketika mendengar deretan angka yang menandai ongkos berobat para pesakit kanker. Kemoterapi itu berbilang puluhan juta untuk sekali berobat, yang artinya memakan biaya ratusan juta sampai pengobatan tuntas. Mastektomi juga tidak murah, meski di luar negeri saya melihat ada pasien-pasien kanker payudara yang menginap di RS cuma semalaman saja. Di samping itu ada biaya kontrol rutin ke klinik serta perawatan luka dan obat-obatan penahan nyeri, anti muntah dan sebagainya yang menunjang kenyamanan pasien selama sakit. Memang begitu kenyataannya, banyak pasien yang dikemoterapi kemudian merasa pusing, mual-mual serta letih-lemah. Walau yang nampaknya baik-baik saja pun tak kalah banyak. Pokoknya pengobatan kanker itu mahal. Saya mengalaminya di masa lalu ketika bertumbuhan jaringan-jaringan liar di alat reproduksi saya yang meski bukan jaringan ganas alias kanker, tapi perlu juga diobati dengan tuntas. Walau nyatanya tak kunjung tuntas hingga menjadi ganas seperti sekarang berpindah tempat ke daerah lain yang masih bisa diserangnya.

Untunglah akhirnya kemarin siang saya ditelepon pihak RS tempat saya terdaftar sebagai pasien. Katanya kamar untuk kemoterapi saya sudah ada. Semula dikira kepala perawat kamar kemoterapi saya sudah memeriksakan kesehatan saya secara lengkap. Begitu saya katakan saya belum pergi ke internist alias dokter spesialis penyakit dalam, beliau mempertanyakan apa sebabnya.

Saya katakan bahwa kemoterapi saya sebetulnya terjadwal untuk tanggal dua Maret yang sudah lampau, tapi belum bisa dilaksanakan karena terkendala masalah administrasi, di antaranya ketersediaan obat. Waktu itu saya sudah pergi ke laboratorium dan akan sekalian ke internist, tetapi ditolak klinik dokter internist mengingat jadwal kemoterapi saya belum jelas waktunya. Kata mereka pemeriksaan internist adalah semacam izin untuk melaksanakan kemoterapi, jadi artinya harus dilakukan sehari atau dua hari menjelang kemoterapi. Untung perawat yang akhirnya berbincang-bincang dengan anak saya bisa mengerti. Kemudian kemoterapi saya dijadwal ulang. Hari Kamis lusa (14/03) saya diminta memeriksakan diri ke internist, sehingga hari Sabtunya saya bisa dikemoterapi. Anak saya menyetujui keputusan bijaksana tersebut. Dan saya pun bisa bernafas lega karena jalan menuju kesembuhan saya semakin terealisasi.

Begitulah pengalaman berobat di rumah sakit kecil atau rumah sakit di daerah. Sarana pengobatannya amat terbatas, tak terkecuali pengadaan obat-obatannya. Saya teringat pengalaman saya merawat ibu saya penderita cirrhosis hepatitis atau pengerutan hati di tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Rumah sakit di kota kami tidak ada, selain RS milik Palang Merah Indonesia yang digunakan sebagai semacam RSU. Artinya setiap pasien yang perlu perawatan hanya bisa dirawat di sana. Begitu juga dengan ibu saya. Waktu dokter meresepkan obat infus, seringkali pihak RS tak bisa menyediakan, sehingga keluarga pasien harus mencari sendiri ke luar RS. Jika beruntung saya bisa membelinya di apotik-apotik besar yang jumlahnya juga sedikit. Tapi jika mereka pun tidak punya, terpaksalah kami berangkat ke Jakarta, ke sebuah apotik di daerah Kwitang yang merupakan apotik swasta dengan persediaan nyaris lengkap.

Namun suatu malam ternyata obat itu tak juga tersedia di sana. Padahal sudah seharian ibu saya mulai tidak sadarkan diri, sebagaimana biasanya terjadi terhadap pasien cirrhosis hepatitis kronis. Kami pun panik karenanya. Untung secara tak sengaja kakak saya yang saya mintai tolong ke apotik melihat papan nama dokter yang menumpang praktek di sana. Dan, secara tak terduga ada dokter ibu kami! Bergegaslah kakak saya menuju ke ruang prakteknya yang sarat pasien. Tanpa sungkan-sungkan lagi kakak saya segera mengatakan niatnya ingin menemui dokter. Lalu dokter itu terpana menyaksikan kakak saya sudah berdiri di hadapannya dengan membawa selembar resep berkepala surat RS PMI Bogor. 

Kakak saya segera mengutarakan permasalahan kami. Dan dokter yang haji itu pun paham kegundahan kami, terutama saya yang diketahuinya setia mengantar ibu saya ke dokter hingga menungguinya di RS. Berdasarkan kenyataan itu dokter segera mengganti resep ibu saya dengan obat sejenis yang ada di stock apotik, lalu menyampaikan salamnya kepada saya yang siang harinya sengaja menghubungi dokter lewat telepon RS untuk menyampaikan kondisi ibu saya yang mulai mengkhawatirkan. Inilah penggalan pengalaman yang sekarang kembali saya alami ketika saya sakit sendiri memerlukan obat khusus.Tak sembarang obat bisa disediakan oleh apotik RS di daerah.

***

Kendala lain lagi yang saya alami berobat di RS di daerah adalah ketidaksiapan dokter melayani pasien. Contohnya dokter saya. Beliau memang warga Bogor, putra dari dokter onkologi pertama di kota kami ini. Tetapi beliau bekerja secara resmi sebagai PNS di RSKD, Jakarta, sehingga prakteknya di Bogor merupakan praktek sampingan. 

Di RS tempat saya berobat jadwal prakteknya dua kali seminggu, yaitu Rabu sore yang praktis dimulai malam, dan Sabtu siang yang seringkali dimulai sore atau bahkan batal praktek sama sekali. Ketidak tetapan waktu praktek ini dikarenakan kesibukan kerja utama beliau di Jakarta. Jika ada pasien yang harus dioperasi, maka beliau bisa mengurungkan niatnya berpraktek di Bogor, lalu mengabari RS dengan alasan beliau mengambil cuti. Itu sangat sering dilakukannya tanpa bisa diprotes, sebab setiap orang pun paham bahwa urusan sakit dan operasi pasien sifatnya tak bisa diprediksi. Pasien gawat darurat tentu mesti segera ditangani. Akibatnya kerja sampingan diabaikan saja. 

Selama dua minggu belakangan ini saya sempat tidak diperiksa dokter sama sekali. Soalnya dokter mangkir praktek dengan alasan cuti itu tadi. Sehingga saya harus menahan nyeri sebab tak ada yang bisa meresepkan obat pemati rasa (pain killer). Tadinya saya sudah kebingungan. Untung anak saya teringat tetangga kami yang berprofesi sebagai dokter gigi bersuamikan internist. Melalui anak saya yang bertandang ke sana, saya memohon dituliskan resep pain killer. Sayang internist itu sedang berpraktek di RS dekat rumah kami. Tapi untungnya sang istri bersedia menuliskannya untuk saya atas persetujuan suaminya yang dihubungi dengan telepon. Saya pun tertolong, sepuluh butir tablet tergenggam di tangan saya untuk menahan nyeri yang tak bisa saya sebutkan rasanya di sini.

Adapun kisah sepuluh butir tablet itu di tangan saya, juga menambah wawasan saya tentang profesi dokter. Ternyata dokter gigi tidak boleh meresepkan obat penahan nyeri banyak-banyak. Kalau dia sampai melanggar ketentuan itu, dia bakal dipertanyakan Dinas Kesehatan dan diperkarakan. Itu sebabnya saya mendapat sedikit saja. Namun alhamdulillah saya masih diizinkan minta resep lagi kepada suaminya lain waktu.

Sekali lagi saya tekankan, sakit kanker itu sangat menyiksa. Apalagi dalam kondisi keterbatasan pasien seperti yang saya alami. Seandainya saja saya punya asuransi kesehatan atau uang yang banyak, saya bisa menentukan ke mana saya akan berobat. Sebab semua pasien dilayani tergantung dana di sakunya. Kenyataan yang saya alami ini membuat saya semakin bisa memaknai artinya nikmat sehat lahir dan batin. Alangkah indahnya dunia di kala kita bisa melakukan semua kegiatan sesuai dengan keinginan kita. Jadi, marilah kita jaga diri kita baik-baik. Bersedialah payung sebelum hujan. Selagi tidak atau belum sakit, perhatikan pola makanan dan gaya hidup anda. Juga jika keuangan memungkinkan, ikutilah asuransi kesehatan. Uang memudahkan segalanya karena uang membeli segala-gala kemudahan yang kita perlukan!

(Bersambung)


Selasa, 05 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (35)

Penyakit kanker payudara yang dihadiahkan Tuhan kepada saya benar-benar membuat saya mengerti artinya berkah. Membawa saya kembali ke titik nol di mana saya belum mengenal sama sekali apa itu hidup dan bagaimana kita harus menatanya.

Bayangkan saja, dulu saya memang sembrono melakoni hidup ini. Seperti pernah saya ceritakan dulu, saya termasuk orang yang tidak suka berolah raga, juga bukan penggemar sayur mayur yang utama. Hidup saya hanya diasup oleh protein baik hewani maupun nabati. Rasanya makan tak lezat kalau tak ada sepotong daging di pinggan. Begitu pun minum, jika saya tidak meneguk kopi barang sehari, maka rasanya dunia belum bersinar terang.

Bahkan ketika ibu mertua saya meninggal mendadak setelah menderita sakit perut yang didiagnosa sebagai kanker hati, saya pun tidak merasa takut akan ancaman kanker itu. Tapi di masa itu saya jadi tahu bahwa makan masakan yang sudah kerap kali dihangatkan, yakni masakan yang sudah berhari-hari akan merusak kesehatan dan membawa kematian. Apalagi jika tubuh yang dimasuki masakan "basi" begitu cenderung kurang beristirahat.

Dulu saya menganggap ringan segala yang badan saya rasakan. Termasuk nyeri di bagian pinggul saya, yang kemudian ternyata disebabkan oleh tumbuhnya jaringan sel yang tidak normal di otot rahim serta kista-kista jinak pada indung telur saya. Saat itu  saya tidak menganggapnya serius. Saya pikir kemajuan teknologi kedokteran mampu meredam sel-sel jinak itu sehingga tak akan pernah bisa bermutasi menjadi sel ganas. 

Saya keliru saudara-saudara semua. Kenyataannya tidaklah demikian. Payudara saya yang ditumbuhi benjolan kemudian terasa sakit dan gatal. Anehnya dengan percaya diri saya menganggap bisa menaklukannya lewat pengobatan herbal. Meski sebetulnya jujur saja saya akui bahwa penyebab utamanya adalah ketiadaan biaya untuk berobat ke Rumah Sakit. Kata-kata kanker, sel ganas, mastektomi, kemoterapi dan radiasi membawa bayang-bayang angka rupiah yang tak mungkin akan pernah mampir di kantung saya guna pengobatan itu. Artinya saya harus memutar otak untuk menyiasati ketidak mampuan finansial saya guna menghentikan penyakit mematikan ini agar saya masih bisa mendampingi anak-anak saya hingga mandiri. Itulah sebabnya saya amat mendewa-dewakan pengobatan sinshe.

***

Sampai saatnya saya merasakan himpitan beban ini terangkat pelan-pelan oleh sesuatu kekuatan yang tak pernah terbayangkan. Seiring dengan menyuburnya penyakit mengerikan ini di tubuh saya, tiba-tiba menyubur juga kasih sayang Illahiah kepada saya dan keluarga. Teman-teman lama yang sengaja saya hindari sejak saya difitnah orang, berdatangan satu demi satu mengulurkan tak hanya senyum sapa persahabatan, melainkan bantuan finansial untuk saya. Lebih dari itu, mereka juga menyiapkan pemikiran mereka untuk memecahkan kesulitan saya. Dengan telaten yang saya yakini disebabkan Tuntunan Allah semata, saya dibujuk serta diantarkan ke dokter di Rumah Sakit besar yang memang merupakan pusat rujukan penyakit kanker nasional. Itu semua tanpa saya harus berpayah-payah memikirkan biayanya.

Seiring dengan itu, teman-teman dekat semasa sekolah pun bermunculan satu demi satu mengirimkan bantuan serta terutama doa-doa baik mereka demi menyemangati saya melawan penyakit ini. Lalu masih ditambah dengan bantuan teman-teman pena saya yang berasal dari pertemanan maya di jejaring sosial turut mengangkat beratnya beban saya. Beban saya? Ah, bukan, lebih tepatnya beban anak-anak saya, karena saya hanyalah seorang pengangguran, tak punya lagi pasangan hidup yang terpaksa ditumpangkan ayah mereka ke tangan anak-anak kami yang belum seorang pun hidup mapan atau mandiri. 

Kenyataan inilah yang membuat saya merasa amat bersyukur sekarang. Persis seperti judul sebuah buku tulisan penderita kanker indung telur yang diberikan kepada saya oleh salah seorang teman maya saya, "Bersyukur atas Rahmat Kanker Indung Telur", maka saya pun bersyukur telah ditegur Allah untuk memperbaiki pola hidup dan diri saya sebelum ajal menjemput. 

Bilakah ajal akan menjemput manusia? Tak akan ada jawabnya, karena kunci semua itu hanya ada di Tangan Allah. Tapi tak ada salahnya manusia bersiap diri dengan tafakur yang dalam.

Tafakur adalah perenungan diri, dengan cara menyerah kepada Allah atas segala hal yang terjadi dengan kehendakNya. Lalu dalam perenungan itu kita mencoba untuk memperbaiki mana yang tak patut dibawa sebagai bekal untuk mencapai surga. Sambil meningkatkan apa-apa yang sudah baik selama ini.

***

Lewat penyakit yang semakin hari semakin menggerogoti ketahanan tubuh saya, saya kini jadi mengerti betapa hidup itu amat berat. Terutama di Indonesia sini dalam posisi sebagai pengangguran atau masyarakat berpenghasilan rendah. Sebab, untuk meringankan beban teman-teman saya yang saya katakan dengan suka rela membiayai saya berobat ke dokter saya terpaksa harus meminta bantuan pemerintah lewat skim pendanaan kesehatan yang dicanangkan pemerintah. Kalau tidak begitu, alangkah malunya saya, berobat dengan mengemis belas kasihan kepada teman-teman yang jadi kena getah dari keadaan saya kini.

Saya berkesempatan bertemu dengan masyarakat luas karenanya. Kebanyakan adalah orang-orang semacam saya yang tidak punya penghasilan tetap. Seorang di antaranya adalah penjaja barang dagangan yang mengidap penyakit melumpuhkan Myasthenia Gravis. Penyakit yang menyerang otot-otot syaraf ini tentu menyulitkan penderitanya dalam segala hal. Di kantor Dinas Kesehatan Kota (DKK) saya temui seorang bapak tua yang seakan-akan melolong-lolong minta dimengerti dan dikasihani oleh pihak DKK agar diberi dana untuk pengobatan anaknya yang penghasilannya tak seberapa dan tak menentu itu.

Selain itu di sisi lain seorang perempuan dengan lelaki yang lebih muda yang patut disebut anaknya juga nampak menunggu dengan pasrah pengajuan dana untuk cuci darah kerabatnya. Saya sudah dua kali berjumpa dengannya. Kali itu saya beranikan diri untuk menanyai siapakah yang sakit. Jawabnya, kakak perempuannya, ibunda dari lelaki yang ada di sampingnya itu. Gagal ginjal terminal yang merenggut seluruh stamina kakaknya membuat perempuan itu setiap sekian waktu sekali harus rela berpayah-payah menunggu dalam antrian membaur bersama saya untuk mengesahkan Surat Keterangan warga Tidak Mampu (SKTM) yang akan dipakai memperpanjang nyawa kakaknya. Jika tidak, nyawa kakaknya melayang, karena tindakan cuci darah adalah hal terpenting bagi pasien gagal ginjal terminal. Saya pernah menyaksikan bocah berumur tiga belas tahun yang nampak tambun dengan pipi bulat sebulat kepalanya tapi berkulit amat pucat. Kata orang tuanya, dia menderita gagal ginjal yang menyebabkan dia sulit untuk berkemih serta lemah. Sayang sekali sebab seharusnya dia bisa hidup normal bersekolah dan melakoni semua kegiatan yang bersifat senang-senang sebagaimana anak lainnya.

Ada lagi lelaki paruh baya yang kelihatan lusuh dan tua tak terawat. Seraya mengobrol dengan saya, akhirnya saya ketahui bahwa dia berada di situ untuk mengurus pengobatan kemoterapi istrinya yang sama halnya dengan saya adalah juga penderita kanker payudara. Sebagai seorang pemburu berita di media lokal yang tentunya bertiras kecil bisa dibayangkan beratnya mendanai ongkos pengobatan itu. Mulutnya bertutur bahwa dia sampai harus menghadap berbagai pihak termasuk orang nomor satu di kota kami guna minta diluluskan mendapat SKTM. Lalu berbekal catatan tangan si pejabat, pihak DKK memberikan kepadanya. Apakah masyarakat dengan penghasilan yang tak seberapa harus mati karena tidak berhak memperoleh bantuan negara? Miris saya membayangkan jawabannya.

***

Hari ini saya menerima balasan E-mail dari teman DWP saya yang menjadi penanggung jawab urusan medis saya selama berobat ini karena merupakan dokter di RSKD atas pertanyaan saya mengenai penggunaan SKTM di luar wilayah kota Bogor. Dokter itu bilang, di Jakarta SKTM dari kota Bogor hanya bisa berlaku di RSUPN dr Tjipto Mangunkusumo dan RS Fatmawati. 

Saya mengerti, RSKD penuh pasien seperti yang saya saksikan sendiri dan saya dengar keluhan-keluhan tentang lambannya pelayanan selagi saya sendiri berobat jalan ke sana. Sebab itu jumlahnya harus dibatasi antara lain dengan pembatasan pasien dengan jaminan SKTM.

Haruskah saya bersedih karena artinya saya hanya akan dikemoterapi di Bogor pada RS yang kecil dan tak punya staff khusus yang ditugasi mengawasi kemoterapi? Di satu sisi jujur saja, rasa tersisih itu memang ada. Tapi saya tak langsung jadi kecewa. Sebab dengan jernih saya bisa berpikiran bahwa di Bogor sini meski tak bisa sebaik di RSKD tapi mudah dijangkau dari rumah. Artinya memudahkan anak saya dalam mengantar dan menunggui proses kemoterapi saya. Syukuri saja semuanya, sebab aturan itu Allah juga lah yang menetapkannya, yang jika kita terima dengan lapang dada, hasilnya insya Allah adalah kesembuhan belaka. Insya Allah, semoga Allah mengabulkannya.

(Bersambung)

Sabtu, 02 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (34)

Saya sudah menerima hasil pemeriksaan cancer profiling test saya yang ternyata mengejutkan minggu lalu. Walau sesungguhnya saya bisa membacanya sendiri, tapi jujur saja, saya tidak mau mengatakan yang sesungguhnya kepada anak-anak saya. Sebab kalau sampai jiwa mereka terguncang karenanya, saya tidak akan mampu menenangkannya. Jadi saya biarkan amplop dari laboratorium anatomi RSKD yang lama kami nanti-nanti hasilnya itu tertutup rapat hingga saya serahkan sendiri ke tangan dokter yang menangani saya.

Lelaki muda yang tampan, smart dan tampil ramah itu membacakannya untuk kami dengan hati-hati. Tapi beliau tahu saya sudah sangat siap untuk menerima kenyataan terburuk ini, jadi beliau secara lugas menyebutkannya. Sambil duduk di samping anak saya menghadap pada beliau, saya sandarkan tubuh saya ke kursi yang dingin. Ada kepasrahan di dalam dada. Pasrah akan garis takdir yang dicadangkan Allah untuk saya. Kalau artinya saya diprediksi sulit disembuhkan, maka itu adalah bagian dari takdir saya yang tidak boleh saya sesali apalagi hingga menghujat Tuhan. Maka jalan satu-satunya untuk mengatasi keadaan itu adalah mencoba melawan dengan mengikuti semua pola hidup sehat serta aturan yang ditetapkan dokter maupun sinshe yang selama ini merawat saya. Kemoterapi yang konon menyusahkan itu akan saya jalani dengan tekun. Tak perlu takut menjadi kurus kering, kehilangan gairah hidup dengan rambut yang licin tandas di kepala. Toch saya masih punya mahkota lain, yang biasa dikenakan para muslimah, yaitu tudung kepala alias jilbab.

Di dalam jaringan sel kanker saya diketemukan virus Her2 yang agresif, menandakan kanker saya berjalan sangat cepat dan ganas. Seperti yang pernah saya baca di media massa, saat ini memang sedang digalakkan penelitian mengenai virus penyebab kanker terutama kanker payudara yang paling sering diderita orang dibandingkan kanker lainnya. Tentu saja untuk melawan virus itu dicarikan obatnya. Pada saat ini di RSKD sebagai pusat penanganan penyakit kanker nasional diadakan penelitian, yang dipusatkan pada penggunaan obat kemoterapi jenis baru yakni Herceptin atau Trastuzumab. Obat ini diharapkan akan sangat membantu penderita kanker payudara yang sudah mengalami penyebaran penyakit (metastase), walau nyatanya pada diri saya, berdasarkan pemeriksaan penunjang yang sudah saya jalani secara lengkap, alhamdulillah tak ada penyebaran. Adapun menurut hasil pemeriksaan laboratorium kanker saya tak ada pengaruhnya terhadap unsur-unsur hormonal, seperti yang sudah saya duga sebelumnya secara asal-asalan. Sebab saya merasa percuma menggunakan obat yang dimakan (per oral) berupa obat hormonal tanpa perubahan apa pun pada penyakit di payudara saya ini.

Oleh karena itu dokter semakin ingin segera menjalankan kemoterapi pada saya. Saya kemudian bertanya, apakah saya akan tetap dikemoterapi dengan makan obat per oral, disuntik di permukaan kulit, atau diinfus. Jawab dokter yang agaknya nyaman berbicara mengenai kondisi penyakit dengan saya, beliau menetapkan akan menginfus saya dengan Trastuzumab itu. Harganya konon dua belas juta rupiah setabung. Ini akan dibarengi dengan obat-obat lainnya yang tidak dijelaskan apa saja kepada saya. 

Kemudian saya sampaikan bahwa untuk biaya kemoterapi itu, saya sekali lagi tidak bisa menggunakan fasilitas Jamkesda seperti yang diinginkan beliau guna meringankan saya. Alasan Dinas Kesehatan pada waktu itu adalah program Jamkesda sudah memenuhi quota, lagi pula tidak ada pendataan peserta baru apalagi untuk warga di sekitar tempat tinggal saya. Harus saya akui bahwa kami memang tinggal di perumahan untuk masyarakat kelas menengah ke atas, dengan rumah batu yang kokoh meski hasil hibah ayah anak-anak saya kepada kedua anak kami. Artinya, kami tak menyewa rumah apalagi sampai tinggal menggelandang.

Dokter kemudian mengusulkan saya untuk mengurus Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) saja, karena katanya sebagian besar pasien beliau memang berobat dengan dana Jamkesmas. Nanti biaya kemoterapi bisa dibebankan kepada Dinas Kesehatan, begitu kata dokter saya. Kelihatan benar beliau amat memikirkan bagaimana saya bisa memperoleh dana untuk pengobatan saya. Cara matanya memandang kami anak-beranak, bahasa tubuhnya saat bercakap dengan kami, semua mengandung arti beliau sangat ingin membantu saya. Saya mengatakan akan mencoba mengusahakannya sekali lagi, dengan syarat jika tidak mendapat maka apa pun yang akan terjadi saya minta izin untuk mengumpulkan dana terlebih dahulu yang selama ini memang sudah dilakukan dan dipersiapkan sebaik-baiknya oleh para sahabat dan kerabat kami di Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri. Sebab saya katakan penduduk di kampung kami ~saya dan pak dokter tinggal di desa yang sama~ sama-sama tahu bahwa warga RW saya adalah masyarakat berkecukupan semua.

Sambil menimbang-nimbang obat yang tepat untuk saya dokter menyuruh asistennya menimbang berat badan dan mengukur tinggi tubuh saya. Wah tak dinyana, gara-gara berobat ke sinshe dan taat mengikuti semua anjurannya untuk tak mengonsumsi protein nabati kecuali ayam kampung dengan telurnya, saya menggemuk. Tubuh saya dinyatakan tak kurang dari enam puluh enam setengah kilogram. Sedangkan tinggi badan saya, semakin menyusut saja. Perkiraan saya disebabkan unsur ketuaan yang membuat kalsium di tubuh berkurang terutama setelah pembuangan kedua indung telur saya yang sesungguhnya produsen hormon itu sehingga tulang saya mengerut.

Lalu sambil menulis segala sesuatu tentang rencana kemoterapi yang katanya harus dilakukan segera itu dokter mengusulkan saya untuk dikemoterapi di RSKD saja. Tentu saja hal ini mencengangkan, sebab ketika beberapa minggu sebelumnya saya mengeluhkan jadwal praktek beliau yang tak pernah tepat di Bogor agar saya diizinkan kembali ke RSKD, dokter melarang saya. Alasannya waktu itu, kalau kemoterapi berjalan persiapannya akan butuh waktu dan menguras tenaga saya. Belum lagi harinya kemoterapi. Dokter minta saya bersabar untuk tetap saja diobati di RSKB Bogor tempat saya berobat kini. Semua itu hanya akan menjadi beban dan tidak efisien, pendapatnya waktu itu.

Malam itu beliau tiba-tiba bicara lain. Jelasnya, kalau saya dikemoterapi di RSKD katanya saya akan terawasi dengan baik, sebab di sanalah kantor beliau yang utama sebagai PNS sehingga bisa mengawasi sendiri. Setidak-tidaknya ada satu team khusus yang memang bertugas mengawasi para pasien yang dikemoterapi. Berbeda halnya dengan kemoterapi di Bogor sini. Beliau tak pernah jelas kapan bisa datang berpraktek, juga tak ada satu team yang ditugasi memantau pasien. 

Bertolak dari pemikiran itu, tentu saya pun sepakat untuk dikemoterapi di RSKD saja. Namun lagi-lagi beliau tidak merasa yakin bahwa di RSKD pasien dengan Jamkesmas bisa diterima, meski katanya sih banyak juga yang memanfaatkan Jamkesmas itu. Cuma beliau lupa, apakah di sana atau di RSUPN dr. Tjipto Mangunkusumo. Saya dipesaninya untuk menanyakan hal penggunaan fasilitas Jamkesmas ini kepada teman saya di DWP Kemenlu yang menjadi penanggung jawab medis saya atas permintaan teman-teman karena beliau kebetulan salah seorang direktur di RSKD. Permintaannya ini membimbangkan saya. Kalau demikian adanya, apalagi dengan belum jelasnya saya mendapat Jamkesmas atau tidak, saya memilih untuk memastikan soal siapa yang mendanai saya saja dulu. Di mana akan dikemoterapi biarlah menjadi urusan belakangan hari.

Pernyataan dokter dan perawatnya membuat saya galau kembali. Bayangkan, bagaimana jadinya kalau saya tidak sanggup mendanai kemoterapi, sedangkan Jamkesmas yang saya pun belum yakin bisa mendapatkannya ditolak oleh RSKD. Tapi dengan cepat dokter saya menangkap hal ini, lalu mengusulkan saya untuk mengikuti program penelitian teman sejawatnya tentang virus Her2 dan Herceptin. Penelitian dokter di RSKD itu dijamin menggratiskan seluruh biaya kemo untuk saya. 

Bimbang saya menjawabnya segera. Sebab meski saya melihat sinar terang di balik usulan itu, tetapi saya tak yakin anak-anak saya mengizinkan. Sebab siapa pun tahu bahwa mengikuti penelitian berarti menjadi kelinci percobaan. Saya sendiri ikhlas mempertaruhkan nyawa saya untuk kepentingan banyak ummat manusia itu, tapi apakah anak saya tidak menyesalinya seandainya kelak saya justru terkorbankan? Sekali pun saya beranggapan kematian adalah milik Allah yang bisa dijatuhkan kapan saja kepada ummatNya, namun saya tak ingin dikatakan anak-anak mati sia-sia. 

Menurut saya, logikanya dengan membayar sendiri biaya kemoterapi saya maka saya pun belum tentu akan sembuh total, sebaliknya mengikuti program penelitian yang digratiskan itu saya juga belum tentu mati. Siapa tahu justru saya hidup panjang umur, bukan? Sebab sekali lagi saya katakan, hidup dan mati itu di tangan Allah belaka. Saya pun punya pemikiran lain lagi, yakni andaikata saya mati karena program penelitian itu, maka kematian saya akan jadi suatu sumbangsih bagi kebaikan banyak orang semata. Sebab karena kematian saya nantilah program penelitian virus Her2 dan Herceptin akan terus mengarah kepada hal yang lebih baik. Itulah yang ada di benak saya yang pasti tak sejalan dengan pendapat anak saya. Saya perhatikan dia yang duduk di samping saya agak mengerutkan dahi sewaktu mendengar program penelitian itu ditawarkan kepada saya. Lalu konsultasi kami sudahi dulu.

Malam itu saya dibekali surat pengantar pemeriksaan darah lengkap untuk ke laboratorium, berikut surat pengantar rujukan ke dokter ahli penyakit dalam dan resep pembelian obat-obatan kemoterapi. Dokter berpesan kelak kalau akan dikemoterapi saya harus menjaga stamina, tak boleh sampai lemah, lelah dan akhirnya sakit. Begitu pun setelah dikemoterapi yang akan dilakukan setiap tiga minggu sekali selama empat kali, serta kelak setelah dioperasi selama setahun penuh, saya diwajibkan banyak minum air putih serta mengunyah buah-buahan. Keadaan fisik yang prima menunjang berhasilnya misi mengenyahkan kanker, begitu kira-kira intinya. Saya bersyukur telah bertemu dan dirawat oleh dokter yang sangat perhatian terhadap pasiennya serta komunikatif. Saya tak menyesal pengobatan kanker saya diubah dari neo adjuvant therapy yang berupa minum obat-obatan kepada adjuvant therapy yang berarti diinfus dengan obat-obatan kemoterapi. Dokter pasti lebih tahu mana yang terbaik bagi pasiennya, begitu prinsip saya.

Begitu melangkah ke luar dari ruangan klinik saya pun langsung ke laboratorium yang kebetulan di dekatnya. Sepinya malam membuat saya bisa langsung ditangani. Petugas di situ dengan amat hati-hati mengamati lengan saya yang bengkak, lalu memilih menyuntikkan tabung pengambil darahnya di lengan kanan saya. Kebetulan, di situ venna saya memang mudah sekali dicari tak seperti di lengan yang kiri. Hasilnya bisa diambil keesokan harinya.

Kemudian anak saya membawa resep ke apotik. Di situ mereka mengatakan untuk urusan pembelian obat kemoterapi tidak bisa dilakukan segera. Resep obat akan ditinggalkan di sana, kemudian dicarikan terlebih dulu sambil mereka mengontak perawat di ruangan kemoterapi yang katanya hanya ada 3 tempat saja yang sangat terbatas itu. Nanti bila sudah ada tempat untuk kemoterapi saya, obat dikeluarkan dari gudangnya atau diambilkan dulu ke Jakarta entah ke instansi apa baru diserahkan langsung ke tangan perawat bagian kemoterapi. Begitu penjelasan yang saya terima dari petugas di apotik yang karenanya mempersilahkan kami pulang saja setelah menahan resep obat serta mencatat nomor telepon kami yang bisa dihubungi.

Setibanya di rumah menjelang tidur saya mengabari saudara-saudara saya di DWP Kemenlu, juga anak sulung lelaki saya di Jakarta melalui E-mail. Bahkan saya sampaikan kepada mereka semua, seandainya saya tak bisa mendapat dana dari pemerintah melalui program jaminan kesehatan itu, maka saya sudah akan merelakan mengikuti program penelitian dokter RSKD. Bagi saya nantinya saya akan mendapat jalan untuk membalas segala amal kebaikan mereka melalui cara lain, yakni berbuat sesuatu bagi kepentingan para penderita kanker payudara sesudah saya. E-mail itu saya sertai foto kondisi terbaru penyakit saya di antaranya lengan yang bengkak sebelah.




*** 

Keesokan paginya saya kembali ke luar rumah untuk menanyakan kemungkinan mendapat Jamkesmas dari Kelurahan. Di kantor desa kami yang letaknya sejalan dengan rumah saya, saya memperoleh penjelasan bahwa program Jamkesmas pun tak ada lagi. Program itu digulirkan setiap lima tahun sekali, agaknya bersesuaian dengan pergantian Kepala Daerah Tingkat I. Tapi Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat di desa saya bilang, saya tetap bisa berobat gratis dengan menggunakan SKTM yang sudah di tangan saya itu. Dia mencontohkan mertuanya yang menggunakan SKTM untuk berobat di RSKB seperti saya. Untuk itu saya diminta kembali ke kantor Dinas Kesehatan Kota (DKK) dan memohon agar pihak RS ditelepon untuk menegaskan bahwa SKTM saya mencakup biaya kemoterapi.

Akhirnya saya mengerti pemecahan persoalan ini, lalu melaju naik angkutan kota ke DKK. Saya ditemani kerabat mantan suami saya yang selama ini selalu mendampingi saya, bahkan ketika saya pertama kali berobat ke RSKD dulu. Perempuan muda yang satu ini kecil mungil namun sangat enerjik. Berada di dekatnya saya selalu merasa aman dan terlindungi. Sebagaimana jika saya merangkul bahu ibundanya yang bukan sanak bukan saudara mantan suami saya, apalagi saudara saya.

Kebetulan akhir-akhir ini DKK sepi pengguna SKTM. Saya cepat sekali dilayani petugas, bahkan saya sempat bertegur sapa dengan anggukan kepala kepada Kepala Bagian yang kemarin sempat membuat emosi saya terpancing. Kepada mereka saya sampaikan bahwa RS menilai SKTM saya tidak berlaku untuk kemoterapi, hanya untuk perawatan jalan di klinik serta IGD. Mendengar keluhan saya yang nyata-nyata keluhan orang putus asa, perempuan paruh baya yang kira-kira seumuran dengan saya itu kemudian menyuruh anak buahnya untuk menambahkan tulisan bahwa biaya kemoterapi seratus prosen menjadi beban tagihan Dinas Kesehatan. Lalu dikembalikannya SKTM saya. Ah, leganya, dingin terasa menyentuh hati saya, alhamdulillah!

Segera kami menuju ke RS untuk mengambil hasil pemeriksaan laboratorium saya sambil mengajukan klaim pembelian obat kemoterapi dengan dana Dinkes itu ke bagian apotik yang sedang mencarikan obat saya. Rasanya perjalanan ke RS menjadi begitu menyenangkan. Mobil-mobil bisa melaju kencang melewati kijang-kijang yang asyik merumput bermalas-malasan di halaman istana, juga rumah orang tua saya yang kini merana nyaris roboh kami tinggalkan.

RS seperti biasanya sudah ramai pengunjung tentu saja, karena hari sudah menjelang siang, kira-kira pukul sepuluh. Saya langsung menuju ke laboratorium untuk mengambil hasil pemeriksaan semalam yang untungnya memang sudah siap. Sementara itu kerabat saya itu berinisiatif ke apotik. Apa daya mereka bilang, urusan kemoterapi tidak mudah sehingga obat belum tersedia dan belum bisa dibicarakan saat itu. Mereka menyarankan kami kembali ke rumah untuk beristirahat, mengingat saya datang juga ke RS. Padahal seharusnya kata mereka, saya beristirahat saja di rumah mempersiapkan diri baik-baik. Tapi mereka bilang saya boleh menghubungi bagian pendaftaran untuk melaporkan bahwa kemoterapi saya akhirnya akan didanai oleh dana SKTM Dinas Kesehatan. Petugas bagian pendaftaran meneliti berkas saya lalu mengangguk menyetujui. Kemoterapi saya ternyata harus dijadwalkan dulu sehingga tak bisa berlangsung hari Sabtu besok.

Segera sesampainya di rumah kabar baik ini saya beritakan ke saudara-saudara saya yang tersebar di berbagai belahan bumi untuk memperbaiki kabar semalam yang menggalaukan hati. Tak lupa saya kabarkan kepada anak saya juga, seraya mengharap dia pulang ke rumah di akhir pekan supaya kami bisa bicara panjang lebar tentang upaya pendaan kemoterapi dan pelaksanaannya ini. Apa pun juga dia harus diyakinkan bahwa tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Sore harinya saya menyempatkan diri mengecek E-mail. Saya dapati jawaban dari teman yang menjadi koordinator pengobatan saya. Tapi teman kami yang justru dokter itu tak menjawab sama sekali, bahkan hingga hari ini. Perkiraan gadis kerabat saya itu, beliau sibuk berkeliling kota mengunjungi para pasiennya untuk counselling karena beliau memang satu-satunya dokter paliatif yang tugasnya mendamaikan dan menyiapkan hati para pasien kanker serta kerabat yang mendampinginya. Dalam jawaban kepada saya, dikatakan bahwa E-mail saya soal SKTM yang harus ditukar dulu dengan Jamkesmas untuk kemoterapi, membuat mereka melakukan semacam tele confrence lewat jejaring dunia maya. Dari keluarga kami di Perwakilan RI di Jenewa, Swiss terlontar gagasan yang kemudian ditanggapi di berbagai benua, termasuk di benua hitam. Intinya mereka semua ingin mencarikan jalan terbaik bagi pelaksanaan pendanaan kemoterapi saya, meski mereka sesungguhnya sudah juga menyiapkan sejumlah dana untuk kemoterapi tahap pertama saya.

Saya terharu membacanya. E-mail balasan itu segera saya jawab dengan telepon. Kami berbicara panjang lebar. Konon kata si penerima telepon kali ini suara saya nampak jernih dan ceria. Ah, agaknya hati yang lega menyebabkan itu semua. Mereka semua berjaga nyaris semalam suntuk untuk membahas kasus pengobatan saya lebih lanjut karena mereka harus menyesuaikan dengan waktu di negara tempat bermukimnya teman-teman lain di luar negeri sana. Tapi mereka tidak merasa berkeberatan. Alangkah terkejutnya saya karena ternyata perihal pengobatan gratis yang kelak akan saya ambil saja sebagai donor penelitian Her2 dan Herceptin andaikata saya menemui jalan buntu telah memburaikan air mata mereka. Mereka sangat terharu, begitu katanya. Saya pun tertegun dibuatnya. "We are very proud of you sis, we love you with all our hearts," begitu kata mereka.

Tak lama setelah selesai bertelepon, saya menerima telepon dari teman di Jakarta. Istri pejabat penting di Kemenlu ini menanyakan jam berapa besok Sabtu saya dikemoterapi. Saya pikir beliau akan datang ke Bogor menemani saya. Karenanya dengan halus saya nyatakan permintaan maaf saya telah merisaukan hatinya semalam sambil memintanya untuk tidak usah datang ke RS sekaligus mengabarkan bahwa saya belum jadi dikemoterapi hari Sabtu. Demi mendengar jawaban saya, beliau langsung meluruskan. Katanya beliau akan mendoakan saya di misa terpagi di gereja yang biasa didatanginya untuk ibadah Minggu. Tak lupa beliau mengucapkan syukurnya atas keberhasilan saya memperjuangkan penggunaan SKTM saya. Saya merasa bahagia karenanya, walau tak dapat disangkal sebetulnya hari-hari ini saya sedang sangat sering berbuat kebodohan dan kekeliruan. 

Beginilah kejadiannya. Pagi itu saya merasa amat yakin bahwa saya akan dikemoterapi hari Sabtu. Jadi selain mengurus obat ke apotik, saya juga mendaftarkan diri ke dokter ahli penyakit dalam untuk mendapatkan izin kemoterapi. Ternyata dokter yang dulu saya datangi sedang cuti umrah. Sehingga saya berinisiatif ke dokter lainnya. Di sana ternyata saya ditolak sebab mereka bilang, saya tidak dirujuk ke klinik itu. Lagi pula menurut mereka, jadwal kemoterapi saya setelah dicek ke klinik kemoterapi belum ada. Artinya pemeriksaan dokter ahli penyakit dalam belum diperlukan. Nah, bukankah saya telah berbuat dua kekeliruan? Mana pula pagi itu semua berkas RS saya ketinggalan begitu saja di rumah sehingga perlu diambil dulu. Benar-benar pikiran saya kacau mengacaukan gerak langkah saya saja.

Kejadian lebih menyusahkan adalah lepasnya pembalut luka saya di tengah perjalanan akibat saya terlupa untuk menggantinya pagi itu. Sehingga saya terpaksa mengakalinya dengan cara seadanya di toilet RS sambil meremang menyaksikan darah dan nanah saya yang mengalir membasahi kapas dan kain kassa di tubuh saya. Untung saya bisa segera kembali ke rumah dan membersihkan luka saya secara mandiri, karena anak bungsu saya yang setia merawat saya kebetulan sedang ke kampus. Tak ada hari yang paling menyusahkan dibandingkan hari kemarin, begitu ceritanya. Ah, pengalaman saya sungguh beragam bukan? Tapi tanpa pengalaman itu saya rasa hidup saya akan datar-datar saja. Malam ini saya cuma bisa tersenyum mengingatnya. Senyum kecut sekaligus bahagia. Sebab meski belum mendapat jadwal kemoterapi, tapi kemoterapi saya sudah masuk jadwal tunggu di RS. Saya akan menunggu dengan sabar seraya menata hati dan mengistirahatkan tubuh saya yang nyatanya memang lelah. Semoga Allah mendampingi saya sebagaimana biasanya. Insya Allah!

(Bersambung)

Pita Pink