Powered By Blogger

Jumat, 01 Februari 2008

PERMAINAN CINTA

Kata orang-orang, janganlah mudah percaya pada sesuatu. Tidak juga terhadap penampilan seseorang. Di mata keluargaku, aku selalu tampil hangat dan penuh ceria. Begitu pula anak-anak kami, semua bisa seperti pelakon dalam panggung sandiwara keluarga Pak Awal dan ibu Marlia Hardi di TVRI pada tahun 70-an dulu. Aku tampil sebagai ibu yang sempurna, dikaruniai kesabaran dan konon "talenta" di dalam membesarkan dan mengasuh putra-putriku sehingga semua jadi anak baik-baik yang tidak pernah mendatangkan masalah. Bapaknya pun demikian, imam yang sempurna di dalam rumah tangga kami. Selalu giat bekerja menafkahi kami dengan semangat pengabdian ynag tinggi, sekaligus mendampingi anak-anak di saat mereka memerlukan bimbingan ayahnya.

-ad-

Nyaris sempurna tanpa cacat. Bahkan sekalipun hanya bisa melahirkan sederetan anak-anak lelaki, tetapi kami toch dikaruniai anak-anak perempuan juga. Aku lebih suka menyebutnya sebagai perempuan, bukan wanita. Karena aku tahu anak-anakku sudah kami tata dengan baik sehingga tidak perlu menjadi "wani ditata' lagi. Mereka sudah bisa menampilkan diri sebagai "empu" alias "ibu-ibu bangsa" pelahir generasi baru yang baik.

Dari mana datangnya dua anak perempuan kami? Sering orang bertanya demikian. Yang biasanya kujawab dengan senyum dan ucapan ringan "dari hati Allah". Beliau. dzat Yang Kuasa dan Maha Sempurna itu memberikan kedua perempuan cintaku dengan caraNya sendiri yang ajaib.

Anak-anak itu terlahir dari kakak kandungku yang sibuk dengan urusan hidupnya sejak mereka baru lahir. Waktu itu aku dan suamiku masih di SMP. Kakakku yang tertua mempunyai pekerjaan sebagai guru, sedangkan suaminya sering bekerja di luar kota. Dengan sendirinya anak-anak itu tumbuh hanya dalam asuhan dan pengawasan ibu kami yang ketika itu sudah mulai sakit-sakitan. Akibatnya, mereka lebih banyak berada dalam tangan Yem, pembantu kami yang sedikit hilang ingatan. Dan sebagai bibi mereka, aku merasa harus turun tangan sendiri mengasuh mereka di waktu-waktu luangku. Untung pada jaman itu belum marak bermunculan bisnis bimbingan belajar dan macam-macam kursus di luar sekolah, sehingga aku punya banyak sekali waktu luang. Aku hanya perlu mengikuti les tambahan aljabar di rumah Ibu Waway guruku yang kecil mungil dan cantik khas Priangan di daerah Tanjakan Pala seminggu sekali diikuti les ilmu ukur di rumah bu Wiwiek di daerah itu juga.

Anak-anak itu sering bersamaku, menghirup wangi rambutku, menyusup di bau nya tubuhku dan menikmati segala apa yang ada padaku. Mulutku yang bawel adalah "radio" yang pertama bagi mereka. Kutidurkan mereka dengan nina bobok yang tidak "kacangan". Sehingga "Timang Si Buyung" dan "Babendi-bendi" akrab di telinga mereka, sama akrabnya dengan lagu "Taman Kanak-Kanak" sebelum mereka betul-betul menginjakkan kakinya di TK Pertiwi di sebelah rumah kami. Mulut ini juga yang menyentuhkan cerita-cerita serta pesan moral ke jiwa mereka. Dan mereka pun merasa memiliki ku, seperti halnya mereka memiliki ayah-ibu mereka sendiri.

Bersama mas Dj kami tuntun langkah-langkah kecil mereka yang masih tersuruk-suruk ke dunia yang luas. Kami perekenalkan tumbuhan dan binatang di alam terbuka dengan membawa mereka ke Kebun Raya, Kebun Binatang atau berjalan kaki menyusuri perkampungan menyeberangi Cisadane yang deras menuju desa Purbasari di Gunung Batu melewati Kebon Kopi terus ke Sindangsari. Anak-anakku yang cantik, mereka tidak pernah mengeluh lelah. Semangat mereka tetap membara sekalipun sesudahnya kami hanya mampu membelikan sepotong dua potong es mambo serta semangkuk bakso atau sepiring nasi uduk. Anak-anak kebanggaanku.

-ad-

Hingga mereka dewasa dan bisa mencari jalan hidup sendiri, mereka tetaplah selalu datang kepada kami, sekalipun kakakku yang kini sudah ditinggal ke alam baka oleh suaminya masih ada. Dari tangan ibu kandungnya dan suamikulah anak kami melangkah menempuh hidup baru, diiringi doaku. Dan mereka jualah yang menghadiahi kami 'bidadari" kecil yang di mata kami nampak sempurna. Miranda kecil kami, si gadis mata bola yang hitam dan lincah. Dahinya yang lebar tidak pernah berhenti berpikir dan minta mulutnya menanyakan apa saja yang ada di sekitarnya pada orang tuanya. Itulah sebabnya, di usianya yang kelima dia sudah lancar membaca dan selalu mengajak aku membeli setumpuk buku-buku cerita di Gunung Agung sambil minta ijin memilih yang dwi bahasa. "Aku pengin bisa bahasa Inggris seperti simbah," rajuknya ketika aku memilihkan buku-buku yang melulu berbahasa Indonesia. Dan dia pun mulai mengejanya dengan gagap, sehingga menimbulkan gelak dan menggerakkan aku untuk mengiyakan permintaannya. Rambut keriting warisan menantuku kemudian diusap-usapkannya ke dadaku yang berjongkok membungkuk di sampingnya. Meletupkan segala rasa cinta yang ada di dalam sana, di balik relung-relung dadaku.

-ad-

Dua anak lelakiku yang kulahirkan dengan susah payah setelah aku kehilangan si sulung berikut beberapa siblings mereka juga mencintai kakak-kakak mereka dan anaknya. Semua tampil menyatu dalam rumah tangga kami, sehingga anak-anak lelakiku punya pengawas saat kini aku yang sibuk dengan duniaku sendiri sebagai istri pendamping suami yang pegawai negeri. Alhamdulillah, mereka juga bisa meneladani gaya hidup rakyat yang kami tanamkan. Tidak ada rengekan minta diantar ke sekolah dengan mobil, dan semua tidak merasa malu ayah mereka jadi pelanggan setia angkot serta KRL untuk mencapai tempat tugasnya di Jakarta. Inilah nikmat dalam kehidupan kami, yang membutakan mata orang bahwa sesungguhnya akhir-akhir ini kami mulai "kering" terpengaruh oleh irama kerja suamiku yang seakan-akan tidak mengenal kata istirahat.

Hari ini akan kutinggalkan mereka berempat menuju tempat kerja suamiku yang baru di negeri singa. Telah kami atur dulu segalanya, untuk memudahkan mereka merawat rumah dan mengelola rumah tangga sepeninggal kami, sebab kali ini aku hanya pindahan berdua dengan suami. Si bungsu akan menyusul enam minggu lagi setelah selesai ujian kenaikan kelas.

"Ibu titip adik-adikmu ya mbak," pesanku di pintu rumah. "Sekarang kamulah yang mengambil alih semua peran rumah tangga kita tentu bersama ibu kandungmu," lanjutku lagi seraya menatap kakak sulungku ibu mereka yang hingga mencapai usia ke-enam puluh masih juga setia mengajar di instansinya. Mereka mengangguk mengiyakan, disertai penyataan tulus kakakku agar aku rela menyerahkan anak kandungku di bawah pengawasannya yang super sibuk. Kami tersenyum mengiyakan dan mengangguk lega. Dunia yang bulat sedang menunjukkan permainannya, sekarang giliran beliau yang mengawasi anak-anak kandungku. Dan hatiku pun lega.

-ad-

Kelegaan yang tidak seratus prosen, sebab aku masih merasakan kehambaran rumah tangga kami yang tidak nampak dari luar. Walau kami senantiasa menghadiri berbagai acara bersama-sama, tapi kualitas dan kuantitas pertemuan kami semakin ringan saja. Kami hanya bertemu di meja makan, masih yang dulu, warisan mertuaku yang terbuat dari kayu jati kukuh. Tapi, kami hanya makan dalam diam tanpa obrolan-obrolan pelepas lelah apapun. Kami juga masih pergi setidak-tidaknya berbelanja bersama, tapi sudah tanpa keinginan untuk berlama-lama di luar. Suamkiku selalu ingin segera pulang menyelesaikan berbagai pekerjaannya. Dan aku harus menarik nafas panjang, menggali kesabaranku.

Seperti kesabaran di rumah baru kami ini. Kesabaran berwujud kesetiaan akan kesibukan suamiku yang semakin menjadi-jadi. Kesabaran ketika aku harus menerima malam-malam yang dingin tanpa kehangatan tubuhnya. Kesabaran yang kutelan sendiri ketika penyakitku sedang menghebat melumpuhkan segala aktivitasku bahkan sistem pernafasanku. Dia seperti tidak mau tahu dan tidak pernah tahu, dibiarkannya aku menderita sendiri.

-ad-

Tadi pagi kami baru melakukan serah terima jabatan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab kami masing-masing kepada dinas. Dia sebagai pejabat, dan aku sebagai Ketua Dharma Wanita, yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Menurut tata aturan organisasai yang baru, memang aku dimungkinkan untuk menjabat Ketua. Tapi aku sangat sadar, itu tak mungkin terjadi. Sebab di mata suamiku aku bukanlah orang yang patut untuk "ditampilkan ke permukaan". Sehingga dia dalam posisinya tidak akan mengizinkan aku menjadi Ketua Dharma Wanita, masih ada istri pimpinan yang patut menduduki jabatan itu, bukan diriku seorang nyonya Dj belaka. Nyonya yang pernah dikatakannya dengan sadar sebagai "bukan pendamping suami yang baik."

Tapi entah apa yang terjadi, permainan nasib mengayunkanku ke atas, menjadikan aku sebagai seorang Ketua Dharma Wanita -organisasi istri yang memegang peranan penting di garis belakang sebuah kantor pemerintah-. Istri pimpinan suamiku menempelkan pipinya ke pipiku sambil mendekap aku erat. Tangan itu terasa begitu tulus menyampaikan rasa syukur dan doanya untukku di dalam menjalankan tugas Ketua yang akan segera kuemban. Kemudian ibu-ibu lain juga mengekor dengan gaya serupa. Semua terasa membebani alam pikiranku. Maka mataku berkaca-kaca ketika mulutku harus membuka dengan salam perkenalan kepada mereka. Suara bergetar tercekat di kerongkonganku, campuran antara manis dan pahit, haru-birunya perasaan hatiku.

"Terima kasih dan puji syukur atas kepercayaan yang dibebankan ke pundak saya untuk mengemban tugas berat dan penting ini," ucapku membuka salam. Semua mata tertuju padaku yang menatap lantai dingin yang nyaris menggigilkanku tanpa sebab di udara Singapura yang terik. "Sungguh tak pernah terbayangkan diri saya masih bisa berdiri di tengah-tengah teman-teman semua sebagai salah seorang istri dari pegawai disini," lanjutku lagi. Kuhirup dalam-dalam bersihnya hawa pagi sekedar meredakan keteganganku. Aku tidak tahu, kenapa aku begitu bodoh mengucapkan itu semua. Tapi di sisi lain aku begitu sadar, aku harus mengucapkannya sebagai ungkapan ketidakpercayaanku akan statusku sebagai pendamping suamiku. Sudah lama aku tidak merasakan lagi kebutuhan dirinya untuk ku dampingi. Seperti yang sudah kusampaikan, dia asyik dengan dirinya sendiri dan dengan dunia luar yang tidak kuketahui pasti apa isinya. Maka berguliranlah air mataku mengaliri pipiku yang lembut.

Dia tidak pernah tahu aku telah mengucapkan itu semua. Dan aku pun tidak pernah bisa berterus terang padanya mengungkapkan semua perasaanku. Aku merasa selalu terganjal oleh keinginan untuk memosisikan diri di bawah dirinya, di belakang bayang-bayangnya. Menjadi bayang-bayang dari bayang-bayang dirinya. Menjadi sesuatu yang sangat ruwet dan sangat maya untuk tampil di alam nyata.

Pagi itu semua mata menghunjam padaku. Dengan beribu tanya, seperti tanyaku pada diriku sendiri, apakah jawabanku jika mereka menuntut penjelasan dariku. Tapi aku tidak bingung, sebab tubuhku yang kian lemah didera sakitku selalu bisa tampil menolongku. Maka akupun tersenyum sendiri, menghapus galau, risau dan sejuta tanya.

-ad-

Dan kuhabiskan juga hari-hari pertamaku di Singapura dalam sepi. Tanpa dia menemani malam-malamku. Kalaupun ada, tangannya disibukkan dengan mengetik sesuatu yang tidak kutahu seberapa pentingnya. Bahkan ketika sakit di perutku mulai menggigit lagi. Mencubitiku di dalam tidur. Dia tidak pernah menanyaiku. Seakan-akan dia sudah kebal terhadap sakitku yang dulu dianggap mengganggu nikmat tidurnya. Sekarang sepertinya semua sudah jadi bagian dari keberadaanku yang tidak perlu dirisaukan lagi. Maka, temanku pun hanyalah ayat-ayat Tuhanku yang kulantunkan dalam diam.

Seperti malam itu ketika kurundukkan mukaku ke tanah, Ke haribaan Allah semata. Aku tiba-tiba terjaga dari tidurku karena rasa sakit itu. Baik sakit pada perutku maupun pada paru-paruku. Di sekitar paru-paruku ada jantung yang tertusuk. Oleh "bisikan tengah malam" yang secara ghaib kini sering mengganggu ketenanganku. Maka kuluapkan dalam puji-pujianku yang mengarah ke sorga, ke taman Illahi yang penuh nikmat.

-ad-

Entah siapa di luar sana, di balik dinding yang mengurungku, yang menjadi pemisahku dengan suamiku. Dia datang tanpa mengucap salam. Serunya yang halus mendayu-dayu, membisikkan padaku bahwa "rumah kami akan terbelah". Aku terjaga, terpaku merenunginya. Akankah pohon yang kutanam sendiri bibitnya dan kusiram dengan air kaldu yang lezat serta susu murni berwujud cinta daunnya berguguran satu demi satu? Lalu kemana anak-anak kami akan berteduh? Melawan sengatan panas? Memayungi diri dari hujannya badai kehidupan? Kukembalikan semuanya pada Mu ya Allah. Sebab kutahu dan kuyakini Engkaulah di balik semua ini.

Air mata itu terus saja tumpah tak terbendung. Membasahi telekungku dan tikar sembahyang yang dibelikan suamiku dengan cucuran keringat serta ridhanya. Tikar merah berwujud permadani yang sangat kusukai. Bulu-bulunya walaupun kasar, tapi menghangatkan tubuhku, terutama di Eropa sana di saat-saat winter. Aku betah berlama-lama di atasnya, memasrahkan nasib pada Sang Maha Kuasa.

-ad-

Saat itu menjelang winter. Angin musim gugur mulai menerbangkan dedaunan kering ke segenap penjuru bumi. Dan kota Wina yang bersih pun berubah kotor. Aku baru pulang dari Algemeene Kranken Haus di Spitalgasse. Rumah Sakit Pemerintah yang telah merawatku tujuh hari lamanya karena kasus pada kandunganku. Calon anakku yang ke-empat menolak untuk kukandung, menyakitkanku dan hampir saja mencabut nyawaku. Darah mengalir deras tanpa terbendung ketika aku harus "dilarikan" ke kamar bedah untuk yang kesekian kalinya. Padahal di saat yang sama suamiku juga sedang bergulat melawan asmanya yang tiba-tiba kambuh kembali. Untunglah Tuhan masih sayang kepadaku. Dan suamiku pun belum terlalu disibukkan oleh berbagai hal yang mengganggu kebersamaan kami. Maka dia pun sangat bersyukur dan mendorongku untuk segera mengucap syukur beralaskan permadani merah tebal dengan hiasan gambar masjid yang klasik. Permadani Turki yang kami beli di sebuah toko di daerah Guertel. Permadani inilah yang menemani sujudku malam ini di Singapura.

Sayang suamiku sangat lena. Sikapnya menyayat hatiku. Tapi sekaligus membuka mataku bahwa cinta adalah semacam permainan belaka. Tepatnya bagaikan sebilah papan ayunan. Di satu saat kita terayun ke atas, mengangkat diri dalam kenikmatan. Tapi di lain waktu, kita nyaris berada di titk nadir tanpa perasaan apa-apa. Tidak nikmat, bukan pula senang.

-ad-

Isakan ku yang panjang pada akhirnya memaksa dia untuk terjaga. Tepatnya "menjagakan diri". Dia menatap padaku dengan pandangannya yang dingin. Lalu bibir yang pernah sangat hangat mengecupku ketika aku muda dulu merekah dengan sepotong tanya, "kenapa?" Tak sanggup aku mengatakannya. Kutahan semua air mataku. Kutelan semua perasaanku. Kutajamkan pikiranku untuk mengasah lidahku menyampaikan apa yang perlu kubunyikan. Lalu semuanya mengalir begitu saja, menciprati hatinya yang mulai beku.

Entah malaikat mana yang mendengar puji-pujian dan doaku tadi. Tiba-tiba suamiku yang telah kukenal luar dalam, menatapku lembut. Dihampirinya aku dengan tangan kokoh yang dulu setia membimbing setiap langkah kami anak-beranak. Lalu dibaringkannya aku kembali di sisinya. Tangan itu juga yang menarikkan selimut untuk menutupi tubuhku. Tangan itu juga yang kemudian mengelus anak rambutku, menyibakkannya menjauhi dahi. Lalu dia berkata lewat matanya, perkataan jujur yang kusadari setulusnya, dia minta maaf. Perlahan-lahan hidung itu mampir di dahiku. Berhenti di sana cukup lama, menghabiskan semua aroma keringatku. Di telingaku dia berhenti, dikatakannya dengan lembut, "maafkan aku sayang, engkau tak pernah lepas dari hatiku. Aku ingin pengertianmu. Di sini, di dada ini, masih ada engkau, bunga cintaku." Lalu malam pun kian larut, memagut cinta kasih sayang kami sampai jauh menenggelamkannya dalam kemesraan yang kini jadi kemewahan istimewa buat kami berdua.


 

Seperti ketika malam itu perutku seperti teriris. Hanya ada air mata dan desah dari bibirku yang nyaris tertahan. Di sampingku dia tergolek, pulas, dengan mata yang mengatup rapat, menyungging senyum yang tak kutahu entah untuk siapa.

27 komentar:

  1. Ibu Julie, tinggalnya di Cape Town atau Singapore?

    BalasHapus
  2. Aku nangis..boleh ya mbak? Ingin rasanya memelukmu saat ini....ingin sekali.

    BalasHapus
  3. Ibu Julie... Rasulullah saw bersabda:

    "Barang siapa yang bersabar atas kejelekan budi pekerti istrinya, Allah akan memberinya pahala seperti apa yang diberikan kepada Ayyub. Dan barang siapa yang bersabar atas kejelekan budi pekerti suaminya, Allah akan memberikan pahala seperti pahala Asiyah istri Fir'aun."

    Mudah-mudahan ini menghibur. Aku berempati karena pernah merasakan sakit menahun yang tak kunjung sembuh bahkan tidak tahu sakit apa sebenarnya. Aku juga pernah mendampingi Ayah yang sakit kanker ganas (Lymphoma = kelenjar getah bening) dan proses mendampingi beliau sungguh menguras banyak tenaga dan pikiran.

    Aku merasakan keduanya sebagai penderita sakit dan pendamping orang sakit. Dan kedua peran tersebut sama-sama butuh kesabaran yang luar biasa. Tidak mudah berperan keduanya. Dua peran itu bikin lelah batin. Tidak hanya yang sakit. Yang mendampingi sakit juga lelah.

    Jalan terbaik memang benar yang dilakukan ibu Julie... memohon kepada Illahi. Mohon dikuatkan untuk ujian yang diterima. Semoga kuat ya bu..:-)

    BalasHapus
  4. mampir dulu neh lom baca semua...............ntar ya komennya...

    BalasHapus
  5. Jeng Mien, asww. Saya orang Bogor asli, suami saya PNS yang pernah pindah ke Ottawa, Wina, Brussel, Singapura dan sekarang kami di Cape Town. Terima kasih atas perhatian jeng Minet. Saya sekedar kepengin menularkan apa yang pernah saya alami dan saya lakukan untuk mengatasinya kepada orang-orang lain. Karena menurut anak-anak kami (dan suami saya juga), saya selalu punya solusi bijak. Ada satu SMS anak saya sebagai ungkapan selamat hari ibu yang menggambarkan itu. Dan saya tidak juga menghapusnya setelah sekian lama, sekedar untuk mengingatkan bahwa saya harus menulis dan menyebarkan "gaya" saya kepada orang banyak yang mau memetik manfaatnya. Gimana ayahnya sekarang? Semoga semua berlangsung dengan baik ya jeng Mien. Salam kangen dan peluk hangat dari Cape Town.

    BalasHapus
  6. Why.....? Ayo belajar nulis bu. Dibumbuin dikit biar gurih...........

    BalasHapus
  7. bukan aku dah nulis.............ayu dunk di baca n di komen.....

    BalasHapus
  8. Saya pernah menginap ke rumahnya Dubes Austria yaitu Kel. Dadang Sukendar, kira-kira tahun 1989, di ajak ibu kos saya.

    Kalau ke Antwerpen, Brussel menginap di rumah teman dan jalan-jalan beberapa kali.

    Nah.. Singapore bolak-balik saja, ngurus almarhum ayah berobat di sana. Meninggal awal tahun 2006 di Jakarta selatan.

    BalasHapus
  9. Nulis yang di blog baru? Ada bedanya nggak dengan yang di Mp? Oke deh aku meluncur kesana.

    BalasHapus
  10. blog baru? blog 360? itu blog lama......sebelum pindah ke mp.........tapi ternyata pembaca nya masih setia/banyak walau gak ada komen so jadi aku posting juga yang di mp, kecuali poto karena gak ada fasilitas...........

    BalasHapus
  11. maksutku aku baru nulis/posting di blog MP kayaknya yulie lom komen ya? belom dateng pula nampaknya.....

    BalasHapus
  12. Oh ya, nanti malem ya, soalnya sekarang mau ke nursery dulu cari taneman buat halaman depan. Thanks.

    BalasHapus
  13. memang bu julie kalao menulis seperti temannya pak chairil anwar yg menulis layar terkembang itu lho hehe,,, sedih bu saya bacanya. memang ada apa dengan kandungan ibu, sampai begitu menderitanya.

    Kalo saya mengeluh suami saya selalu bilang " Semakin kamu menderita di dunia ini dosamu juga akan selalu berkurang dan kalo kamu sabar insaAllah, Allah akan memberikan imbalan yg jauh lebih baik di akherat, yaitu Surga. Dan jangan berharap dapat surga didunia dan di akherat pula, itu tidak mungkin driyah,,""
    saya cuma diam kalo suami sudah bilang begitu,, iya nih saya juga masih kayak anak2 suka mengeluh, belum bisa seperti ibu julia yg bisa menahan dan menelan semua sendirian. semoga Allah selalu mengasihi ibu dan akan memeberikan Imbalan yg jauh lebih baik di akherat kelak,, amin,,

    BalasHapus
  14. ....(ikut sedih....) depan monitor sambil dagu dipangku tangan...rembay cai panon.

    BalasHapus
  15. ulah atuh A, nanti nggantengnya hilang lho.....

    BalasHapus
  16. "Layar Terkembang" mah karangan Sutan Takdir Alisjahbana.

    BalasHapus
  17. Zaman saya, Bu Waway masih ngajar. Saya jadi murid kesayangannya, tapi bukan karena saya pintar, justru karena saya tidak bisa. Makanya, Bu Waway selalu membimbing saya. Terima kasih, Bu Waway.

    BalasHapus
  18. Betul A Dadi. Ternyata murid jurusan sastra juga toch?

    BalasHapus
  19. Ini juga betul A Dadi. Malah dengan bu Resi Pertiwi (yang saya lebih suka memanggilnya mbak Wiwiek karena beliau kakaknya Slamet teman sekelas saya). Beliau berdua mengundang saya ke rumahnya untuk belajar. Waktu itu kedua-duanya tinggal di daerah Tanjakan Pala (belkang Cafe Gumati sekarang).

    BalasHapus
  20. Untuk driyahelmas. Chairil Anwar bukan penulis novel LAYAR TERKEMBANG. Penulis LAYAR TERKEMBANG adalah Sutan Takdir Alisyahbana.

    BalasHapus
  21. Betul sekali pak Harrtoyo. Di jaman sekarang pelajaran mengarang dan sastra sudah "menguap" dari kelas-kelas di Sekolah Indonesia. Terima kasih atas koreksi bapak terhadap teman-teman maya kita yang muda-muda.

    BalasHapus
  22. Mengapa untuk mengerti sastra mesti mengandalkan pelajaran sekolah? Bukankah banyak buku-buku sastra? Bukankah (dulu) juga ada majalah sastra, dan sekarang masih ada majalah sastra seperti HORISON? Malas baca? Itulah salah satu penyakit kronis bangsa kita.

    BalasHapus
  23. Malas baca sudah berlangsung cukup lama, sehingga sekarang kronis. Ketika saya di SMP membaca Horison dan buku Siapa Masih Membaca Sastra atau Gema Tanah Air dan sebagainya juga dianggap "antik". Teman-teman saya tidak membaca itu. Bahkan ketika pergaulan saya tersangkut di tangan Pak Deddy Roamer salah seorang sastrawan lokal di kota kami, mereka juga mengerutkan dahi. Sastra dan membaca sastra rupanya tidak dekat dengan anak-anak muda. Kebijakan pemerintah yang seharusnya dihidupkan adalah memperkuat pelajaan sastra di kelas-kelas sambil menugasi anak-anak mengarang. Dengan demikian, walaupun terpaksa, anak-anak harus bersentuhan dengan sastra juga. Sehingga mengerti sastra. Mudah-mudahan banyak yang sependapat dengan saya.

    BalasHapus
  24. Saya setuju pelajaran sastra digalakkan di sekolah-sekolah. Generasi bapak saya, juga pakde dan paklik saya, bahkan generasi kakak sulung saya, ketika bersekolah di HIS di zaman Belanda diwajibkan membaca 8 buku karya sastra Belanda. Dan hal itu mereka lakukan dengan patuh. Sekarang hal itu mulai dirintis (sejak 10 tahun lalu) oleh penyair Taufiq Ismail dkk dengan membuka program MBSM (murid bertanya sastrawan menjawab), dengan sponsor Asia Foundation.

    BalasHapus
  25. Kalau anak-anak zaman sekarang tidak kenal Chairil Anwar atau Sutan Takdir Alisjahbana, ya keterlaluan. Pastilah mereka juga gak kenal penyair Sutardji Calzoum Bahri, Sapardi Djoko Damono, atau novelis Umat Kayam, Satyagraha Hoerip, Budi Darma. Apalagi novelis Ayu Utami atau penyair Joko Pinurbo. Cilaka dua belas!!!

    BalasHapus
  26. Semoga apa yang dilaksanakan pak Taufiq Ismail bisa mengembalikan lagi pengetahuan dan minat anak-anak terhadap sastra.

    BalasHapus

Pita Pink