Powered By Blogger

Kamis, 28 Februari 2008

BUAH KESABARAN

Mengalah untuk menang adalah suatu keharusan yang utama di dalam hidup ini. Ini bukan sekedar slogan semata. Aku mengalaminya di dalam realita. Bertahun-tahun aku "ditinggalkan" seorang diri oleh suamiku karena kesibukannya. Bahkan di saat sakit pun, semuanya praktis kulalui sendiri. Dia ada di belakangku, siap menolongku secara finansial karena memang aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa  tanpa penghasilan apapun. Selepas sekolah yang tidak dapat kuselesaikan tuntas hingga mengantungi ijazah, aku hanya berkurung diri di rumah. Sibuk dengan urusan rumah tangga dan membantu-bantu di organisasi istri di kantor suami. Sekolahku hanya sampai di semester ke sepuluh. Setelah menyelesaikan mata kuliah seminar yang juga tidak kuikuti ujiannya, aku meninggalkan kampus penuh kesadaran disertai tanda tanya teman-temanku.

Tak satupun temanku yang mengira bahwa aku akan menikah. Sebab memang tak banyak yang tahu bahwa lelaki yang selama ini mendampingiku dan sibuk merawat sakitku bukanlah kakak kandungku. Sekalipun aku selalu memperkenalkannya sebagai kakakku. Kakak dalam arti yang sesungguhnya, karena hanya dialah satu-satunya yang mengerti isi hatiku dan mau memahaminya. Dia pulalah satu-satunya lelaki yang tahu semua kekurangan dan kelebihanku -seandainya ada-, tanpa mengeluh atau merasa tersaingi. Bahkan, ketika aku lulus SMA dan akan mulai dengan pendiikan tinggi di Bandung, aku sengaja dipasrahkan bapakku ke tangannya. Setiap bulan semua uang sakuku akan diserahkan kepadanya untuk dikelola, supaya cukup tidak saja untuk membayar kebutuhan harian, melainkan juga untuk ongkosku berobat rutin ke dokter. Karena itu dia menjadi bagian dari diriku sendiri, sehingga aku tidak pernah menganggap dan memperkenalkannya sebagai calon suami. Dia ada di hatiku, di tengah-tengah keluarga besarku seakan-akan dia bagian dari kami tanpa harus dipertanyakan asal-usulnya. Dan kami saling merasa ikhlas menjalaninya.

-ad-

Perubahan itu baru terasa setelah suamiku menapaki tengah-tengah jenjang kariernya. Sebagian besar teman-temannya beristri sarjana. Sebagian dari mereka malah sempat berkarier sekalipun putus-sambung. Sebagian malah melengkapi diri dengan mengikuti berbagai macam kursus yang aku tahu membutuhkan modal tidak sedikit, sehingga memaksa keluarganya untuk berbagi demi menyisihkan biaya pemenuh kebutuhan kursus dan selera hidupnya. Sedangkan aku, masih saja seperti dulu. Seorang perempuan rumahan yang sibuk dengan urusan anak semata. Sebab dalam batinku, aku harus menghasilkan anak-anak yang berbudi pekerti luhur sebagai persembahan kepada bapaknya. Yang alhamdulillah sudah tercapai. Yang ditandai dengan pergaulan lurus anak-anak kami serta pujian-pujian guru-guru atas sikap mereka.

Tapi justru suamiku kurang menghargai upayaku. Dia ingin aku tampil sebagaimana istri-istri modern yang lain, yang trendy dan bukan semata-mata ratu rumah tangga yang senang berkurung. Perubahan ini tak bisa kumengerti, sehingga kerap memunculkan 'konflik tertutup" yang semakin menjauhkan suamiku dari diriku. Sehingga dia "lari" ke pekerjaan-pekerjaan kantor yang menurutku kadang-kadang berlebihan.

-ad-

Karenanya aku justru pernah terpuruk sendiri. Marah dan menyesali sikapnya. Aku menjadi manusia yang tidak bisa mengerti dirinya. Untung aku segera sadar dan menyerahkan semua simpul kemarahanku yang membara kepada Allah, sehingga kini dia bisa kumengerti. Lalu komunikasi kamipun melancar kembali. Mengguyur jauh-jauh sumbatan masalah yang pernah tercipta. Dan melayarkannya di lautan luas.

Kini aku sangat menyukuri buah kesabaranku. Suamiku tetap melaju dalam kariernya sementara terpaan angin mulai mengguncang satu demi satu orang-orang di sekitar kami. Dan syukurku yang terutama, akulah perempuan yang berhak menjadi ratu untuk dirinya dan boleh bertahta di hatinya selama-lamanya. Siang-malamku senantiasa cerah dan menjanjikan kenikmatan karena dia.

-ad-

Di sini di balik punggung Table Mountain aku merasa bahagia bersamanya. Merasa hidup kembali sekalipun malaikat maut pernah singgah dan hampir menjemputku dalam arti yang sesungguhnya.

Kupandangi suamiku yang sibuk dengan pekerjaannya di muka komputer. Setumpuk kertas dan text books tebal bertebaran di sekitarnya. Telepon genggam juga berada dalam jangkauan. Sekarang aku mulai bisa melihat dengan jernih segala kesibukan suamiku. Aku menghargai semua "kesendiriannya" karena aku sudah merasakan manfaat kesabaranku menghadapi semua itu. Allah telah menempatkan suamiku di tempat yang baik, di rumah ini, di tanah yang sangat memukau. Aku tersenyum sendiri, dan mulai dengan kesibukanku pula, mengetik di ruang lain menyelesaikan naskah-naskah proyek pribadiku, curahan segala rasa yang mengganjal di pikiran yang sibuk berebutan minta dituangkan.

-ad-

Di muka layar komputerku terbayang semua masa lalu. Saat kami masih remaja. Ketika seragam pramuka kami membawa kami berkelana di alam terbuka. Kadang membawa kami duduk-duduk merendam kaki di derasnya Ciliwung. Di sisiku dia berkata, "air ini mengalir jauh sampai ke Jakarta. Dia memberi penghidupan pada masyarakat." Kudengarkan semua pembicaraannya yang diselingi kicau murai di pucuk kenari. Dan kelebat sayap-sayap kelelawar yang menggantung di dekatnya. "Suatu hari nanti kita juga akan pergi, mengalir jauh seperti Ciliwung ini. Kita akan memberi penghidupan pada orang lain," lanjutnya lagi. Mata itu menerawang ke kejauhan mengikuti riak-riak kecil yang mengombak berkejaran dengan ranting-ranting yang dihanyutkan angin.

Aku seperti kembali menghirup bau keringatnya, yang keluar dari semangat tinggi pantang menyerah yang dipunyainya. Nikmatnya menyentuh hati, membuka kenanganku kembali.

-ad-

Suamiku memang seorang petualang sejati. Dia selalu ingin berlari dan berlari sejauh yang dapat dikerjakannya. Dia pejuang yang pantang menyerah. Di balik keterbatasan kami, dia senantiasa punya semangat tinggi. Tiba-tiba scene di otakku berputar ke masa silam, di tahun enampuluhan.

Seorang bocah sepuluh tahun duduk sendiri di kereta tersore yang melaju dari kampung kami ke Jakarta. Niatnya cuma satu, ingin menikmati kemegahan Jakarta yang berulang tahun. Tanpa sepeser uang pun di sakunya, dia ingin menjelajah ibu kota, mencicipi pesta yang digelar di arena Djakarta Fair. Kaki kecil itu melangkah mantap, hanya berbekal sehelai karcis masuk yang sudah dibelikan orang lain terlebih dulu.

Disusurinya gang demi gang, dimasukinya bilik demi bilik untuk memuaskan keingintahuannya sampai rembulan naik penuh menyinari malam. Lelaki itu tetap pada keinginannya, menyibak pesona ulang tahun kota Jakarta sampai tiba saatnya arena ditutup dan dia tersadar bahwa tak ada tempat untuk menanti pagi.

Digesernya badannya mendekati sebuah pos polisi. Dengan segala keberaniannya untuk berdusta, dia mengatakan bahwa dia tertinggal dari rombongan wisata. Tatap mata yang polos itu begitu mudah menimbulkan iba dan jatuh hati. Malam itu dia diijinkan menunggu kereta pertama dari stasiun Gambir yang akan segera bertolak ke Bogor. Di sakunya terselip sedikit uang untuk bekal disertai pesan agar berhati-hati. Jadilah kali itu dia menonton Djakarta Fair dengan modal petualang. Yang mendebarkan hati kami di rumah. Jadilah hari itu dia sebagai buah bibir karena keberaniannya, yang membuat aku angkat topi dan menyukainya lebih dalam lagi.

Kini aku tersenyum mengenangkan itu semua. Heroku yang membanggakanku ternyata memang unik. Dan aku harus berusaha mengerti sepenuh hati. Lalu aku sampai pada kesimpulanku sendiri, jika bukan karena keunikan dan semangatnya yang pantang menyerah, mungkinkah dia mewujudlkan cita-citanya di tepian Ciliwung itu? Pergi jauh dari kampung dengan memberi penghidupan pada orang lain? Di sini di benua lain yang sangat jauh, kami sudah mencapainya. Di belakang kami, banyak jiwa-jiwa yang menjdi tanggungjawab kami untuk menghidupinya. Tidak hanya dengan materi, melainkan dengan pengabdian yang melegakan jiwa. Keabaranku telah berbuah karena dikawinkan dengan tekad baja suamiku yang tak kenal malu dan pantang menyerah. Di rumah ini, di tepian Atlantik kami telah menjadi sesuatu yang berguna, seandainya aku boleh mengatakan demikian. Alhamdulillah serta puji syukurku pada Tuhan Sang Pengatur. Izinkanlah ya Allah, aku selalu merunduk dan mohon belas kasih serta bimbinganMu.

 

17 komentar:

  1. Ceritanya bagus sekali bu, tapi menimbulkan beberapa pertanyaan buat saya. Memang ibu sakit apa ? dari cerita yg sekarang ini berarti ibu sudah sakit sejak belum menikah ya? Terus ibu bilang pernah berjumpa Malaikat Maut dalam arti sesunguhnya, Lah Pripun NIku bu? Dan yg terakhir. Suami ibu sudah bersama keluarga ibu dari saat beliau berumur 10 th?? wah berarti beliau memang kakak ibu kali ya hehe ( maksudnya saudara gitu )

    BalasHapus
  2. Bu Julie menderita sakit mulai kecil sampai sekarang? Boleh tahu, sakitnya sama atau tidak?

    BalasHapus
  3. Setuju sekali mbak : kesabaran dan kebesaran hati istri + tekad baja suami = sukses:). Memang benar kata mereka, bahwa di balik kesuksesan seorang laki-laki ada (lah) seorang wanita..

    BalasHapus
  4. Kalau suami gagal kariernya apa berarti istrinya yang gak becus ya mbak Dwi? Hehe.....

    BalasHapus
  5. nah itu bisa menjadi bahan introspeksi sang istri, mbak Minet (kaliii), coba kita tanya ke mbak Julie:))

    BalasHapus
  6. bude, kata om agung, pakde itu dulu kuliah di UNPAD Bandung yak..Jurnalistik Fikom? Ibu juga dulu kuliah di situ

    BalasHapus
  7. Bukan cantik, tolong bilangin oom Agung ya dik Obin, yang dari jurnalistik bude. Pakde dari HI di Unpad juga, makanya terus kerjanya di luar negeri mulu,,,,,, kapan atuh ya kita bisa ketemuan di kampung. Bude juga pengen kok ketemuan sama dik Obin dan semuanya (di warung empek-empek Wong Kito aja yuk? Rumah bude di seberangnya tuh).

    BalasHapus
  8. Menurut pengamatan saya sih ada benernya jeng. Kadang-kadang istri juga yang kebanyakan tuntutan sehingga mengganggu konsentrasi kerja suami. Sebab kan akibatnya suami mesti memecah konsentrasi dengan hal mencari tambahan buat memenuhi tuntutan istrinya. Tapi jangan lupa, di lain sisi, suami kalau kepengin sukses berkarier juga mesti memotivasi diri untuk terus belajar sampai tua, karena terus terang aja, anak-anak muda sekarang ilmunya lebih banyak dan lebih canggih daripada generasi yang tuaan. Jadi, kalau nggak mau meng"up grade" diri, ya gatot lah, keterjang-terjang pendatang baru yang memang cerdas dan punya kelebihan. Mudah-mudahan bener ya asumsi saya.

    BalasHapus
  9. Bin, bin, salam kenal buat ibumu ya. Dulu ibumu angkatan berapa? Pasti guru-guru ibumu di Fikom temen bude deh.

    BalasHapus
  10. ibu angkatan 94 bue, jurusan humas. dosen2nya tuh bu susan dida, pak eddy yehuda, pak soleh sumirat en pastinya bu nina, hihihihi...tapi tau juga bbrp dosen jurnalistik bu betty, pak deddy, pak sahat sahalatua...bude angkatan brapa?

    BalasHapus
  11. Pak Eddy ngajar ilmu penerangan dulunya, terus pak Soleh ngajar pengantar purel, bu Nina ngajar pengantar komunikasi (eh, bude pernah ditengokin bu Nina waktu di Singapura lho Bin), bu Betty masih rajin SMS-an sama bude, pak Deddy setahun di ats bude, beliau sama bu Ninis, pak Sahat setahun di bawah bude, Lha bude berarti sama bu Neneng Komariah, itu sohib bude dulunya. Oh ya ada lagi bu Wanti kalau bude nggak salah, sama pak Deddy Jamaludin yang sekarang anggota DPR. Gitu lho Bin.

    BalasHapus
  12. wow kata ibu..real fikom....untuk anak jurnalistik cewek istilahnya apa yak..oya..jurnil, hehehe.. bu ninis yg manis en putih itu kan,..jadi kenal ama pak agus ya bude..dosen perpustakaan yg sedikit kemayu, tapi straght, hihihi..klo bu wanti, ibu ga tau..pak deddy yg punya stikom itu kan..eh ngomong2, ponakan ibu betty, bosnya ibu di kantor, hihihi, tapi jangan dibilangin yah...klo pak sahat, pernah bantu ibu waktu skripsi..meski ibu anak humas, waktu skripsi ambil pendekatan jurnalistik..jadi minta bantuan pak sahala deh

    BalasHapus
  13. Bude nggak nipu 'kan Bin. Iya bu Ninis cantik dengan "andeng-andeng"nya itu ya? pak Agus bude nggak tau. Maklum dulunya bude kuper. Daaag Obin!!

    BalasHapus
  14. pantas aja tulisannya bagus-bagus mbak, basicnya...jurnalistik .....

    BalasHapus
  15. Ah, kebetulan. Aslinya memang saya suka nulis, makanya masuk jurnalistik. Bukan karena saya anak jurnalistik jadi bisa nulis. Terima kasih komennya.

    BalasHapus
  16. lha maksudnya Lely begitu mbak kan tdk mungkinlah masuk jurnalistik kalo tdk suka nulis ......(ngotot mode on), maaf mbak cuman pengen menggoda aja.....
    sudah suka terus di asah yach tambah hebat aja .......

    BalasHapus
  17. Ah, tulisan saya sih apa adanya, nggak berkualitas. Kalo hebat udah bikin buku dunk.

    BalasHapus

Pita Pink