Powered By Blogger

Kamis, 14 Februari 2008

TERPAUT KEMBALI

Mimpi indah itu pernah jadi kenyataan. Dulu, duluuuu sekali. Ketika anak-anakku masih remaja. Satu demi satu dua anak gadisku membawa teman-temannya ke rumah. Si sulung agak lebih lambat daripada adiknya, sekalipun dia cukup "manis". anak-anakku tidak ada yang cantik. Tapi kedua-duanya senantiasa ramah pada siapapun saja dan tidak pilih-pilih derajat dalam bergaul.

Salia, si sulung agak pendiam. Boleh dikatakan dia judes, dan tidak semanis adiknya. Tapi hatinya bersih. Dia punya sekelompok teman akrab, yang tentunya sulit kukenali satu demi satu. Tapi bagiku tidak mengapa, karena dia memang bukan anak kandungku dan lagi orang tuanya ada di sisinya. Tentu mbakyuku, ibunya, yang lebih berhak mengetahui siapa teman main anak-anakku. Lalu Lany adiknya, dengan mulut yang tak henti-hentinya senyum, sudah sejak kecil disenangi orang. Mereka bersekolah di Taman Kanak-Kanak di sebelah rumah kami, dan dialah pemimpinnya di situ. Setiap pagi serombongan anak-anak lelaki dan perempuan akan berlari menemui anakku Lany sambil meneriakkan namanya keras-keras di depan pintu, "Mbak..... mbak Lany......." Ah, lucunya kenangan itu. Kenangan tentang mulut-mulut kecil yang mengoceh lebar-lebar serta kaki-kaki penuh lumpur yang mengotori teras rumah kami. Kemana mereka sekarang pergi?

-ad-

Kedua anak gadis kakakku beribu padaku dan berayah pada suamiku sejak kecil. Ayahnya sendiri ketika itu sering meninggalkan mereka untuk urusan tugas yang kadang tak dapat diterima nalar, Sementara ibunya sibuk dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Aku selalu senang mengantar mereka kemana saja. Tidak hanya melangkah pertama kali ke sekolah mereka, melainkan juga ke toko, ke rumah teman dan ke tempat-tempat mereka beraktivitas. Tak satupun kegiatan mereka yang lolos dari pantauan kami, sehingga aku kenali satu demi satu teman akrabnya.

Begitupun ketika aku asyik "mengobrol" dengan kerabat-kerabat Mp-ku, rasanya mereka ada yang merupakan teman-teman main anakku. Sangat kuyakini, karena komunitas Mp-ers sebagian besar adalah orang-orang muda sebaya mereka. Para eksekutif muda maupun ibu-ibu rumah tangga yang gemar menghabiskan waktu di muka layar komputer. Aku pun tersenyum, mengingat akan diriku yang jauh lebih maju dibandingkan dua anak perempuanku. Setidaknya begitu menurut mereka sendiri.

Sehari-hari anak-anakku sibuk dengan kegiatan rutin mengurus rumah dan ke kantor. Si sulung harus menghabiskan waktu lebih dari dua jam mencapai tempat kerjanya di daerah kabupaten yang berbatasan dengan Bekasi. Waktunya habis di jalanan di dalam angkutan kota sebagaimana yang dibiasakan dan dicontohkan oleh suamiku, kepala rumah tangga kami. Ketika pagi merebak, dia sudah selesai mandi dan mengaji. Lalu mennghirup kopinya dari mug kesayangan yang dibelinya sendiri sambil menggigit sepotong roti. Lepas maghrib baru dia tiba kembali di rumah, nyaris berturut-turut dengan adzan isya.Tubuhnya yang kecil langsing, alhamdulillah tidak pernah mengeluh apapun. Tahan bantingan, tak surut oleh godaan. Senantiasa siap menyangga kakinya kemanapun dia bergerak. Cintaku yang satu ini adalah sumber kekuatan bagiku.

Adiknya akan sibuk dengan urusan mempersiapkan keperluan suaminya, kemudian keperluannya sendiri sebelum mengurus anak mereka satu-satunya. Lalu berturut-turut mereka akan meninggalkan rumah menuju tempat aktivitas masing-masing sampai tiba saatnya mentari jatuh ke pangkuan bumi dan burung-burung pulang kandang.

Di waktu akhir pekan, mereka akan menghabiskan masa di seputar mesin cuci dan urusan rumah tangga lainnya sehingga nyaris tak punya waktu untuk sekedar menjenguk kotak surat mereka di internet. Kusadari itu, sebab jika aku mengirimi mereka e-mail, jawabannya baru akan kuperoleh lewat akhir pekan. Begitu juga jika bapaknya minta dikirimi sesuatu, selalu dijanjikan akhir pekan yang kadang "janji tinggal janji" yang nyaris terlupakan.

Kami tidak marah pada mereka. Bahkan kami bangga, anak-anak kami punya etos kerja yang tinggi. Lagi-lagi seperti yang dicontohkan suamiku, "bapaknya", yang diadopsi dari ayahku, kakek mereka. Anak-anak itu sangat tahu pentingnya kerja keras dan hidup sederhana. Bukan munafik jika mereka jadi sederhana, sebab dalam kamus keluarga kami, "jalan" selalu harus "menunduk." Karenanya mereka punya empati terhadap masyarakat asli kampung BTN kami yang nyaris harus minggir terkalahkan oleh pendatang yang umumnya jauh lebih sejahtera dibandingkan mereka.

-ad-

Sebetulnya perkenalanku dengan Mp dimulai oleh keisenganku menggoda si bungsu yang memang sudah sangat lama jadi komunitas Mp-ers. Kalau tidak salah malah dia masih di SMP. Dan situs Mp-nya yang menurutku cukup berisi untuk anak seusianya, memicu semangatku untuk "nongol" tiap hari, hingga tiba-tiba muncul keisenganku ingin mengomentarinya. Tanpa identitas apapun aku menyusup masuk hingga menggemaskan dia. Aku baru berhenti setelah dia berhasil menguak siapa jati diri si penggoda diiringi senyum simpul dan gelengan kepala yang panjang. "Ampiyuuuuuuun......" serunya.

Cukup lama aku berhenti. Aku memang tidak berniat jadi "jurnalis" atau "sastrawan" Mp. Juga tidak berniat untuk sekedar ngobrol iseng-isengan. Aku ingin jika mengisi Mp memberikan manfaat untuk yang membacanya. Karenanya aku tidak pernah menghampiri Mpku lagi. Hingga tiba suatu saat, ketika iseng-iseng aku memasukkan suatu kata kunci di dalam mesin pencari google, mataku tertumbuk pada site seseorang yang berisi foto-foto teman-teman masa mudaku. Dan kenanganku terbangkit kembali. Iseng-iseng kukomentari gambar-gambar hidup itu satu demi satu. Ada rasa rinduku pada mereka. Pada tubuh gemuk Wilda Hindriani sahabatku dan bang Ichal suaminya. Sebab dulu kami pernah sangat akrab, melebihi akrabnya sebuah keluarga. Semua rahasia hatiku tersimpan padanya, begitupun rahasianya nyaris semua ada di kalbuku. Menghuni sudut terdalam hatiku untuk selamanya. Kami tidak pernah saling bermusuhan, bahkan sekali-kali suamiku masih mengontaknya melalui pesan-pesan singkat untuk saling bertukar kabar. Tapi tempat dan kesempatan jualah yang merenggangkan hubungan kami.

Ada lagi sosok yang sangat kukenali. Seorang lelaki yang sangat tidak berubah wajahnya. Penampilannya meyakinkan bahwa dia orang cerdas. Dan seingatku dia dulu punya prestasi luamyan bagus di kelas kami di SMP. Aku tidak akan pernah lupa nama dan wajahnya. Adi. Seorang-dua juga masih bisa kukenali. Semua menyiratkan kebahagiaan di sisa-sisa masa dewasa muda mereka. Sangat cantik, tampan, modis dan cerah-ceria.

Iseng-iseng pula kukontak sang pemilik situs. Dan kontak ini menumbuhkan pertemanan yang alhamdulillah cukup mesra. Aku patut berterima kasih padanya. Pada semangatnya mengisi Mp dan menularkanmya padaku pula, hingga aku bisa bertemu lagi dengan teman-teman anak-anakku.

-ad-

Pertama aku mengenali nama seorang lelaki yang sangat popular untuk suku kami. Bagdja. Bayanganku langsung tertuju pada teman masa kecil anak sulungku. Apalagi dia berasal dari kampung halaman kami dan bersekolah di sekolah yang sama dengan anak-anakku. Iseng-iseng juga kutanyakan barangkali dia teman anak-anakku. Ternyata dia menyebut tahun yang berbeda. Dia berada satu tingkat di atasnya. Lalu ingatanku segera melayang ke satu sosok yang sangat kurindukan. Sahabat karib anakku.

Kami menjulukinya dengan panggilan khusus. Sebab pemuda itu begitu sederhana sebagaimana impianku. Aku selalu bermimpi anakku punya teman-teman pergaulan yang sederhana, yang tidak materialistis dan menjerumuskan anak-anakku kepada kehidupan yang penuh nafsu konsumerisme semata. Rumahnya di daerah "kulon", di sebelah barat kota. Konon orang tuanya merupakan orang terpandang, namun dia tidak sombong. Sebagaimana halnya anakku dia selalu menggunakan kedua kakinya untuk berjalan kemana-mana dan menikmati hidup yang apa adanya. Sekalipun nenek-kakek yang mengasuhnya terbilang cukup berada di kampung mereka. Pemuda yang santun dan sangat kusayangi.

Aku tidak pernah mengharapkan dia jadi calon menantuku. Aku hanya suka dia memperlakukan anak gadisku dengan sopan. Dan aku lebih suka lagi karena dia tidak membawa anakku ke pergaulan yang penuh hura-hura dan dunia gemerlapan. Aku bersyukur ketika anakku rela menjadi sahabatnya. Sahabat dalam artian yang sesungguhnya, yang tulus ikhlas tanpa didasari nafsu birahi.



Seiring berjalannya waktu pemuda itu menemukan pelabuhan hatinya, dan menepi, menjauhi "kolam cinta" keluarga kami. Undangan pernikahan itu kami terima dengan penuh syukur dan bahagia sekalipun kami tidak mungkin menghadirinya, sebab dia menikah di ujung sana, di perbatasan dengan propinsi tetangga yang makan waktu setengah hari perjalanan dari kampung kami. Hanya uluran senyum dan doa bahagia yang kami kirimkan kepadanya, menutup lembaran kebersamaan kami.

-ad-

Anak gadisku tidak terpengaruh. Dia teguh pada komitmennya menggauli pemuda itu sebagai sahabat karibnya belaka. Dan anakku tetap terbuka, dia tetap punya banyak teman baik sejenis maupun lain jenis. Sampai satu demi satu juga meninggalkannya menuju jenjang kehidupan baru. Berkeluarga.

Kadang terlintas juga dalam benakku, kapan saatnya anakku akan memperkenalkan calon suaminya. Terlebih-lebih ketika adiknya sudah membawa calon dan minta pertimbangan untuk segera menikah. Lalu dengan restu ibu kandungnya dan suamiku dia melangkah mantap ke pelaminan serta menghadiahi kami seorang bidadari kecil yang cerdas dan lincah.



Sampai saat ini sulungku tetap menyendiri. Tapi dari pengamatanku, dia bahagia dalam kesendiriannya. Maka aku tidak menetapkan harga mati. Kubiarkan dia menimbang-nimbang sendiri bagaimana baiknya masa depannya akan diatur. Aku hanya ingin yang terbaik baginya. Ingin kejujuran hati seroang lelaki dan bulatnya cinta untuk anakku semata. Aku ingin kelak berpulang meninggalkan dia dengan segala kedamaian. Bagiku, dia hidup melajang pun tidak mengapa. Asal dia yakin bahwa itu kebahagian utama untuknya. Aku tidak ingin menyiksanya dengan ikatan pernikahan yang terpaksa dan dipaksakan. Yang akan menyakiti batinnya sepanjang masa. Kebahagiaan anakku bagiku ada di atas segala-galanya. Maka kusuntikkan kepadanya kesabaran dan waktu yang banyak untuk merenung dan memilih.

-ad-

Pertemuanku dengan Bagdja menjalin kembali hubunganku dengan sahabat karib anakku. Pemuda itu tidak berubah sejak kami berpisah sepuluh tahun yang lalu. Dia tetap lelaki yang dulu, yang sorot matanya cerdas dan penampilannya tidak berlebihan. Hanya kini, tubuhnya agak menggemuk serta didampingi "biji-biji matanya". Seorang perempuan manis, langsing, dengan sorot mata tajam. Nyaris mirip anakku -walaupun bapaknya mengatakan tidak-. Di pangkuannya seorang bocah lelaki cilik tersenyum manis, sangat mirip bapaknya. Dan dua lagi berada dekat ibu mereka. Alangkah bahagianya. Keluarga sakinah.

Rinduku padanya tak tertahankan lagi. Aku harus menjalin kembali "hubungan di belakang layar". Sekedar ingin minta maaf barangkali dulu anakku ada berbuat kesalahan padanya. Aku ingin minta maaf untuk anakku. Aku ingin dia terlepas dari semua beban -seandainya ada- yang menimpa akibat perbuatannya sendiri.



Alhamdulillah dia masih mengenaliku, dan memanggilku seperti dulu ketika dia sering menghabiskan hari-harinya di rumah kami. Dan lebih alhamdulillah dia menyatakan bahwa antara dia dan anakku tidak ada apapun, tidak juga perselisihan, apalagi permusuhan. Dia bahkan minta maaf telah memutus silaturahmi dengan tiba-tiba. Kini hatiku terasa lega. Lapang, seperti hutan kota di dekat rumah baruku. Semua terasa sejuk, tapi asri berkat bunga-bunga yang bernekaran, bertebaran di setiap sisinya. Di setiap sudut hati kami, yang dipenuhi oleh persahabatan yang tulus. Terima kasih Tuhanku. Engkau Maha Pengampun. Dan Engkau pula Maha Tahu. Bahwa di balik bilik-bilik hatiku masih ada satu niatan, menyaksikan anakku hidup bahagia selama-lamanya bersama orang yang dicintainya. Yang tidak kupilihkan untuknya. Yang datang dari rahimMu yang agung.



 

 

19 komentar:

  1. memang bu internet memudahkan silaturahmi hehe,, walau terbentang miles away tapi klo internet yg bilang,, world just a klick away, selamat bisa ketemu sama teman2 lama lagi,,

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah… kemajuan teknologi memudahkan kita bersilaturahmi.
    Pengalaman kita sama, mbak Julie.
    Baru 4 hari lalu, saya bisa berkomunikasi lagi dengan seorang sahabat yang telah terpisah lebih dari 20 tahun... ya, via internet !!!
    Subhanalloh, Maha Suci DIA yang telah mengijinkan kecerdasan turun pada hambaNYA, demi kebahagiaan umat manusia.

    BalasHapus
  3. Terima kasih adindaku. Begitulah majunya teknologi sekarang.

    BalasHapus
  4. Iya betul diajeng. Hati saya sekarang sedang berbunga-bunga. Terutama sejak saya bisa menjalin silaturahmi lagi dengan sahabat anak saya. Saya berharap dia mendoakan yang baik-baik untuk anak saya.

    BalasHapus
  5. Mak..tularin donk semangat nulisnya ke saya....

    BalasHapus
  6. ".....Pada semangatnya mengisi Mp dan menularkanmya padaku pula"

    hehehhe tiati bu itu virus mp namanya..............emang demen nularin......
    bukan cuma semangat ngisi aja, tapi udah mp oriented neh.........mp addicted.....

    BalasHapus
  7. Wah, gimana nularinnya ya? Pokoknnya mah gitu aja. Emak luangkan waktu buat duduk di depan komputer dan cerita mengenai apa yang ada di hati emak atau pengalaman emak. Terima kasih atas jasamu Aa Bagdja, telah mengenalkan aku pada Mp.

    BalasHapus
  8. Iya, setelah ibu Lily ngenalin saya ke Mp, kok tiap hari rasanya adaaaa aja yang mau ditulis. Udah gitu maksa lagi. Orang suka boleh baca, enggak suka ya saya tetep kepengin nulis. Gimana nih........?

    BalasHapus
  9. haaaaaaaa itu namanya udah kena virus mp........
    pasti banyak yang doyan baca tulisan ibu yang rendah hati dan yang selalu menanamkan nilai nilai kesederhanaan hidup ........saya biasanya kalu baca di compi males yang pj pj......tapi bisa disikapi dengan baca dikit dikit kalu lom selesai ntar dateng lagi........Emang sih konon di MP sebaiknya nulis pendek2 aja tapi yang pj pj menarik, asyik kok...........perbedaan membuat hidup penuh warna (taela bener gak ya?)............keep writing ya.....

    BalasHapus
  10. Betul bu Lily, saya memang tampil beda... karena saya dari sononya udah unik. Insya Allah saya akan terus nulis sesuai prinsip saya (dibaca syukur, enggak ya gpp). Terima kasih atas kebaikannya.

    BalasHapus
  11. Mak, kalo nulis, apa dikonsep dulu di kertas (notepad) sudah punya tabungan tulisan atau langsung saat itu juga ditulis di MP? Soalnya kok bisa yah banyak sekali tulisannya dan idenya mengalir aja.

    BalasHapus
  12. Maaf ya nak, emak kalo nulis memang suka kepanjangan. Tapi bener-bener tanpa konsep. Ya gitu aja apa yang ada di kepala, tangan terus nunjukkin yang mana "toest" nya, udah aja jadi tulisan. Makanya bolak-balik emak nulis, ada yang baca syukur, enggak ada ya nggak 'pa-'pa, wong namanya juga nekad. Jelek ya? Makanya waktu penetapan tanggal ulant tahun kota Bogor tahun 1972 dulu, tulisan emak 9waktu itu masih kelas 2 SMP di SMP 4) terus diambil aja sama panitia untuk menandai semangat remaja Bogor dalam berkarya. Udah ah, malu......

    BalasHapus
  13. samaa donk.... baru baca setengah... anakku udah mau pakai kompinya... ntar balik lagi deh..

    BalasHapus
  14. udah balik nih... dan udah slesai baca...hebat, ibu bisa menulis sepanjang itu..... saya mah gak bakalan bisa kayaknya... benar bu saya setuju MP banyak menyambung dan mempererat tali silaturahim... saya tidak sengaja bertemu teman sepengajian, SMA....juga di MP.. senangnya....

    BalasHapus
  15. Saya dasarnya memang tukang ngoceh bu Nani. Dan betul juga Mp banyak manfaatnya. Saya merasakan, sekarang hati saya lega setelah ketemu sobat anak saya yang "ngilang" dan nyambung lagi. Subhanallah!

    BalasHapus
  16. Alhamdulillah tali silaturahmi terjalin kembali ........berkat MP.
    Tulisannya buagussss, dan enak di baca tdk boseni.....

    BalasHapus
  17. Ah, masa' sih? Pantesan, ada "perjaka cilik" ikutan nongkrongi site nenek-nenek.

    BalasHapus
  18. suer dech..........bukan isapan jempol......

    BalasHapus
  19. Memang nggak ngisep jempol lagi kan? Belum pernah tuh saya tau ibu-ibu ngisep jempol, memangnya si dede bayi?

    BalasHapus

Pita Pink