Powered By Blogger

Jumat, 22 Februari 2008

CIBEUREUM, 1993

Sampaikan salamku lewat rembulan yang mengangkasa

Kepada sumber penghidupan nun di tanah kelahiran

Adakah kau tangkap gemanya

di kemersik angin sejuk pegunungan

yang menari gemulai di pucuk-pucuk rumpun teh?

 

Hari-hariku telah binasa

Harapan cerah kini kelam semata

Siapa mampu menafkahi aku lagi

Kelak sepanjang hayatku di bumi Priangan yang juwita?

 

Hatiku luruh dalam kepahitan begitu dalam

Sebab esok kerongkonganku cukup terguyur air mata

yang mengalir bening dari bola matamu yang kuyu

Luruh tanpa harap ditelan angkara

Dan perutku menggeliat tersentuh bola

yang dipukul kaum penyandang kejayan

Koloni orang yang melarangmu menafkahi aku,

anakmu, darah dagingmu

 

Ibunda,

aku tak punya apa-apa sekedar membantu

menafkahi jutaan anak manusia terlantar

Yang bergantung padamu

Dan menjadi tanggung jawabmu

Hanya ada satu rasa

Kepedihan dalam sebentuk doa

Dan semangat serta harapan

Semoga Prianganku yang juwita

Tetap jadi tempatku menggantungkan hidup hingga akhir masa

Pun andai aku harus terlahir kembali

Seperti dulu di bumimu yang hijau dan menjanjikan

Kehidupan gemah-ripah-kerta raharja

Kembali sepnjang masa!

 

(Werthemstein Park di Wina, suatu pagi enam juni sembilan tiga dengan tempo di tanganku)

 

 

2 komentar:

  1. Terima kasih, saya hanya mengungkapkan apa yang ada dalam perasaan saya sehabis baca berita di Tempo waktu itu.

    BalasHapus

Pita Pink