Powered By Blogger

Kamis, 23 Agustus 2012

"RANGKAIAN MELATI DI HARI NAN FITRI"

Melati, puspa bangsa yang selalu saya kenang sebagai hiasan di sanggul ibunda. Dulu sekali, selalu saya merangkainya sehabis memetik di halaman, untuk saya sangkutkan di rambut lebat yang mengilap hitam milik perempuan sejati yang telah melahirkan saya. Harum rambut itu campuran minyak kelapa dengan irisan pandan wangi, mawar, melati serta cempaka tak ada bandingannya. Begitu khas menciptakan nuansa magis yang menggeret rasa kagum saya pada keistimewaan halaman rumah kami. Ibu meramunya sendiri dari hasil bertanam sehari-hari.

Bertahun-tahun kemudian, setiap malam takbiran tiba, melati akan jadi salah satu keharusan yang saya hadirkan di rumah tangga saya atas permintaan mantan suami saya. Dia akan mencampurkan dengan berbagai bunga lainnya yang disebut orang sebagai kembang setaman sebagai pelengkap sesaji yang biasa dipersiapkannya menurut aturan cara kepercayaan orang Jawa, nenek moyang kami. Tak tahu apa yang kemudian dilakukannya dengan sesaji itu, saya tak pernah ikut-ikutan karena memang tak sesuai dengan keyakinan yang saya miliki. Yang jelas, saya lah yang berada di belakangnya untuk mempersiapkan keinginannya itu.

***

Tahun ini gema takbir berkumandang lagi. Tapi sudah tiga hari raya tak pernah saya menyiapkan kembang setaman itu karena ayah anak-anak saya sudah memilih hidup baru, meninggalkan kami. Namun Rangkaian Melati tetap hidup di dalam jiwa saya, karena saya mendengarkan alunan nada keroncong yang digubah Raden Maladi itu di dalam kamar pribadi saya. Selalu lagu ini menyentuh jiwa saya, membuat saya terbuai dalam tekad untuk tetap menyimpan rangkaian bunga wangi itu selamanya sebagai tanda kesetiaan saya kepada apa yang dinamakan cinta kasih yang hidup. Tak peduli apa pun kendala yang menghadangnya kemudian, ketika kereta perjalanan keluarga saya melaju di tengah belantara kehidupan, saya akan tetap menyimpan rangkaian melati saya dengan setia.

Saya membiarkan bebungaan bermekaran di tangkainya, di halaman rumah yang pernah jadi kebanggaan ayah anak-anak saya dulu. Tak sekuntum pun saya bawa ke dalam rumah, membuat wangi srigading bercampur dengan kemuning masuk ke dalam digiring angin sepoi-sepoi yang muncul pagi hari.  Maka diiringkan harum semerbak itu, melangkahlah kami menuju jalan raya yang dijadikan tempat sembahyang hari raya di wilayah kami. Saya, bersama kedua lelaki belia yang kini menjadi tambatan hati dan sandaran hidup saya.

Pagi itu tak juga sama dengan pagi-pagi Idul Fitri ketika keluarga kami masih utuh. Kami tiba di tempat shalat kesiangan, karena anak-anak saya selalu kelihatan malas bangkit dari pembaringan mereka. Saya menduga, mereka kehilangan sosok pemimpin yang biasa mengajak kami bersama-sama menghadiri jamaah shalat Idul Fitri. Tapi toch saya masih bisa menyimak dan  menangkap makna khotbah yang disampaikan sebagai pesan kebaikan. Bahwasannya di hadapan Allah semua manusia adalah sama. Karenanya semangat tolong-menolong, saling mengasihi dan saling peduli hendaklah diutamakan, sebab tak ada bedanya satu manusia dengan manusia lainnya, termasuk orang-orang suku Rohingya dari Myanmar. Ajaran mulia yang dilatihkan kepada setiap ummat di masa Ramadhan harus menjadi spirit yang hidup sepanjang zaman, melewati batas-batas waktu yang ada. Begitu pun dengan kebiasaan memperbagus ibadah yang telah dijalankan semasa puasa berlangsung, tak boleh kemudian diputus begitu saja atas nama bulan Syawal yang telah mengakhiri Ramadhan. Manusia hendaklah meneruskan kebiasaan baik itu atas kesadaran diri untuk menjadi ummat yang beriman. Saya tercenung mencermatinya. Sebab saya teringat akan diri sendiri, yang kerap lalai di luar bulan suci. Siraman rohani di bawah siraman matahari pagi yang hangat itu membuat saya merasa belum cukup baik sebagai ummat Islam. Padahal agama Islam itu indah, seindah kehidupan saya yang tak pernah lupa dihiasi dengan barokah dan rahmat Illahi bagaimana pun wujudnya.

***

Selepas menyediakan hidangan sarapan untuk kami sekeluarga, kami saling bermaafan. Saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih saya yang banyak kepada kedua anak saya yang merupakan rahmat Allah dalam kehidupan saya. Bagaimana tidak, mereka selalu ada ketika saya menghadapi kesulitan hidup. 

Semasa saya terpuruk, mereka berdiri menopang saya, lalu membantu saya untuk menyukuri kesulitan itu sebab di baliknya saya menemukan anugrah yang luar biasa berupa kehidupan yang damai. Kini ketika Allah kembali menguji saya dengan penyakit yang tak bisa dikatakan ringan, mereka jugalah yang berada di sisi saya menyuntikkan semangat hidup serta merawat tanpa pamrih. Sebagai manusia, saya tak luput dari dosa salah dan khilaf karena sering tak bisa menghargai usaha dan upaya mereka. Dan di hari yang fitri ini saya tegaskan niat saya ingin menjadi lebih baik supaya anak-anak tak terpaksa merawat dan mendampingi saya. Pun terlantun doa pengharapan supaya mereka berolah banyak barokah karena keikhlasan mereka itu.

***

Ini adalah lebaran paling kelam di dalam kisah keluarga kami sebab tak seorang pun keluarga inti kami yang bisa pulang mudik. Anak-anak almarhumah kakak kedua saya di Bandung sakit, bahkan seorang di antaranya sedang terus berjuang menyelesaikan perlawanannya terhadap penyakit kanker seperti yang menyerang saya. Dua tahun lebih sudah dia mengidap kanker yang berawal di payudara hingga akhirnya merambat ke tulangnya. Kini setelah kemoterapi dan radioterapi panjangnya selesai, tulangnya menjadi begitu rapuh. Sebuah peristiwa sepele meretakkan tulang punggungnya, menjadikannya separuh lumpuh tanpa daya. Sedangkan adik-adiknya menggalang solidaritas untuk bersama-sama merayakan hari raya di rumahnya di Bandung sana atas nama kasih sayang sepenanggungan walau tentu saja tidak senasib dengannya.

Kakak saya ketiga merayakan Idul Fitri bersama keluarga besar almarhum suaminya, setelah dijemput anak-anaknya di Panti Wredha. Mereka berniat langsung berziarah ke makam sang ayah yang terletak tak jauh dari rumah besar keluarga mereka di Indramayu.

Sedangkan kakak keempat saya juga tak bisa mudik walau sekedar menziarahi makam suaminya. Sebab dia sendiri terkendala penyakit parkinson yang membuat kemampuan fisiknya amat mundur. Dalam pada itu anaknya berlebaran di tempat mertuanya karena akan memperkenalkan bayinya yang baru lahir bulan lalu. Maka jadilah lebaran kami sepi pemudik.

Namun tak dinyana, sedang saya menyantap sarapan pagi tiba-tiba telepon genggam saya berdering. Seseorang yang tak terduga menyatakan diri ingin bersilaturahmi ke rumah saya karena sedang berada di tempat keluarga istrinya tak jauh dari rumah saya. Kiranya kedatangannya akan jadi satu pengobat kesepian bagi keluarga saya. Maka saya pun menantikan kedatangannya sepenuh hati.



Anak maya saya yang satu ini ternyata datang seorang diri. Jadi saya menggunakan telepon untuk bermaafan dengan istrinya, Yanti yang dari penampakannya di koleksi foto Tiar suaminya, secantik cahaya gemilang. Yang membuat saya tercengang adalah, Tiar menggunakan kesempatan Idul Fitri ini untuk mengamati serta menggambil gambar beberapa sudut ruang tamu kami. Entah apa maksudnya, yang jelas saya melihat sekilas bahwasannya beberapa bagian tertentu dari benda milik saya jadi punya kesan yang menarik setelah dijepret dengan kamera milik ananda Tiar Rahman.

Bang Tiar, begitu saya membiasakan diri memanggilnya cukup betah berlama-lama mengobrol dengan saya, sehingga ketika sepupu ibu saya datang dengan keluarganya dia sempat saya perkenalkan. Tante saya terheran-heran mendapati saya sedang duduk mengobrol dengan seorang lelaki. Meski sudah dijelaskan bahwa dia adalah teman yang saya kenal dari jaringan sosial di internet, tetapi senyum nakal di bibir tante dan para sepupu saya membuat label "brondong" melekat padanya :-D Ah, tak mengapa lah toch saya tidak pernah punya hubungan intens dengannya. 

Ketika tante saya berpamitan, bang Tiar masih saja asyik mengamat-amati segenap penjuru ruang tamu saya. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk minta tolong membuat dokumentasi keluarga. Di teras rumah kami, keluarga saya dan keluarga besar Wijono berfoto bersama.

***

Begitu menjelang waktu Ashar, bang Tiar pun minta diri juga. Sebegitu selesai mengantar hingga ke jalanan, saya bersiap-siap shalat lalu mengarahkan kaki menziarahi makam orang tua dan mertua saya di TPU Blender. Ini adalah juga kesempatan ziarah yang baru sekali ini kami ambil, sebab biasanya kami datang di makam pagi. Tapi sudah barang tentu ziarah kami tidak pernah bisa khusyu mengingat banyaknya peziarah serta para penduduk di sekitar makam yang biasa memanfaatkan waktu lebaran sebagai lahan mencari rizki baik dengan berjualan bunga taburan maupun membersihkan nisan. 

Dalam perjalanan ke makam, ingatan saya kembali ke tahun lalu dan tahun sebelumnya ketika mantan pasangan saya melarang saya menziarahi makam orang tuanya dengan alasan yang dibuat-buat. Dan dalam pada itu, dia menghindari pertemuan dengan saya di sana sehingga selalu berziarah di waktu-waktu yang tak terduga.

Angkutan Kota yang kami bertiga tumpangi benar-benar sepi, menandakan kota sedang ditinggalkan penghuninya yang agaknya kebanyakan justru masyarakat pendatang di Bogor. Seorang ibu nampak akan berziarah juga, dan katanya sama dengan alasan saya, dia ingin mencoba mendapatkan kekhusyukan karena berharap pemakaman sudah sepi. Dan itu betul, sebab perempuan itu ternyata turun di muka pemakaman tanah wakaf tak seberapa jauh dari kampung saya. Begitu juga dengan pemakaman keluarga saya, tinggal beberapa penjual bunga tersisa, melayani sedikit keluarga yang berziarah. Makam sudah sepi, meski tentu saja tak sunyi dikarenakan dari kejauhan kedengaran anak gadis kecil dengan lidahnya yang masih belum jelas melantunkan shalawat yang nadanya naik-turun tak beraturan. Tetap tegap langkah saya mengikuti anak-anak menyusuri makam batu yang berderet padat di sana.

Lalu di sana, pada dua buah pusara batu yang terawat baik kami berhenti. Seorang perempuan paruh baya mencoba menyapa kami menawari jasa membersihkan pusara. Saya menengok ke segala penjuru untuk memastikan bahwa perawat makam yang sehari-hari kami percaya untuk memelihara makam keluarga kami tak ada di situ. Anak bungsu saya sibuk memunguti beberapa guguran frangipani, si bunga kamboja yang putih wangi kesukaan mertua saya. Konon kisahnya, ibu mertua saya memang tak mengizinkan kami menaburi makam dengan bunga taburan, sebab bunga-bunga itu hanya akan menampakkan kesan kotor saja di pusara yang baru saja dibersihkan. Jadi sebagai gantinya sejak dulu Mama selalu memunguti kamboja yang dulu sekali banyak di sana menaungi tanah makam yang kini jadi gersang.

Ziarah kubur selalu berlangsung lama. Dari satu makam ke makam lainnya yang umumnya adalah makam kerabat mantan suami saya. Tapi saya tak menyesal melakukannya, sebab, saya cukup tahu bahwa suatu saat nanti saya pun akan menjadi seperti itu : Berbaring dengan tenang di alam keabadian. Tapi semoga, insya Allah saya tak membawa kegelapan. Sebab cahaya agama saya yakini akan menaungi saya setelah saya sempatkan untuk memahami bacaan-bacaan yang dikandung kitab suci itu.

***

Matahari yang mulai turun ke arah barat menggusur kaki kami meninggalkan pemakaman menuju ke rumah kerabat terdekat mantan suami saya. Sambil berjalan menuju ke pemberhentian angkot saya mengingat-ingat kenangan lama saya. Dulu titian bambu menjadi penanda jalan masuk ke areal pemakaman. Tapi kini telah berganti jembatan besi. Begitulah dunia, tak ada sesuatu yang akan abadi. Termasuk kita yang sesungguhnya juga sedang dalam proses menunggu terminal kehidupan kita yang selanjutnya. Akan kah kereta kita segera merapat ke sana? Tak ada yang bisa menjawabnya selain Dia, maka seharusnyalah kita senantiasa mengingatNya dan terus bertasbih menyebut namaNya. Semoga pergantian hidup kita kelak akan berlangsung nyaman. Wallahu alam bisshawab.

Syawal 1433 Hijriyah di Kota Kenari

10 komentar:

  1. Selamat lebaran bunda, mohon maaf lahir batin
    pengen juga kesana deh bun, ke rumahnya bunda july ^^

    o iya bun, frangipani itu tanaman apa ya bun?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama ya nak In, sekali lagi di sini saya minta maaf lahir batin. Orang tua kalau guyon kan suka nggak pake rem jadi nyelekit hihihihi........

      Frangipani itu kata mas Nono Priantono adalah bunga kamboja.

      Hapus
    2. ooohh keren ya bun namanya kamboja ^^
      saya punya sabun judulnya frangipani baru tau kalau itu kamboja :D
      g merhatiin gambarnya juga qeqeqe

      Hapus
    3. Iya, namanya kayak mengandung magis kan ya?! Beruntung saya punya banyak kontak yang pengetahuannya luas, jadi ada yang ngasih tahu. Makanya sedih bareng kita ini terpaksa mesti keluar dari kampung kita....... hiks!

      Hapus
  2. bude....... ini aku.... puji......
    aku nangkring di sini yaa bude http://puji-ybed.blogspot.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Okey ya, saya ke tkp sekarang ah, terima kasih ya.

      Hapus
  3. mampir lah...tilik umah anyare biyunge

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh, ana dayoh....... mangga mlebet mawon kang.

      Suwun nggih.

      Hapus
  4. Bunnnn
    Anaz sungkem dulu. Tadi surprise banget bunda ke lapaknya Anaz, sedih juga iya. cerita2 Bunda, Anaz suka membacanya dan terkadang susah untuk komentar apalagi. Suwun njih, Bun, udah kerap membagi cerita yang banyak hikmahnya

    BalasHapus

Pita Pink