Mengenang dirinya, si bungsu anakku Haryadi, aku senantiasa tersenyum simpul. Lelaki jantan di atas kamar tidurku ini, memang senantiasa menyenangkanku sejak aku menimangnya yang pertama kali hampir dua puluh tahun yang lalu.
Banyak nama alias diberikan orang kepadanya. Yayang, kata kakaknya. Haryo, kata ayahanya. Namun cukup Yadi atau Adik bagiku.
Apapun namanya, dia tetaplah seorang lelaki yang tangguh. Maksudku, sikapnya sangat dewasa. Bahkan sejak usianya belum lagi remaja. Dia terbiasa menyimpan semua rahasia untuk dirinya senfiri, dan baru akan membukanya dikala dia sudah benar-benar terdesak. Bayangkan, seorang bocah SD mampu melakukan itu untuk menenteramkan hatiku dan ayahnya. Bagiku, sungguh luar biasa karena aku sendiri yakin bahwa diriku tak akan mampu melakukannya.
-------
Dia kulahirkan di ranjang Rumah Bersalin Azra yang kini sudah bersalin status menjadi Rumah Sakit Azra. Di kota Bogor, kampung halaman kami, rumah sakit ini sangat populer bagi kalangan selebritis mengingat dialah satu-satunya rumah sakit modern di awal tahun 90-an. Karenanya tak heran hingga sekarang RS Azra tetap jadi favorit para pengisi panggung hiburan dari kota Bogor.
Masa kecilnya kami habiskan dimana-mana, karena dia merayakan ulang tahunnya yang pertama sehari setelah kami mendarat di kota Vienna, Austria guna mengikuti kepindahan tugas ayahnya. Di situ jugalah pada usia tiga tahun kami mendapati kelainan herediter pada matanya yang menyebabkan kacamata hingga kini tak pernah bisa lepas dari wajahnya yang bulat telur.
Wajah yang selalu tersenyum untukku. Wajah yang menjadi penghapus duka dan gundah gulanaku adalah miliknya semata. Anakku sayang si bungsu yang kukagumi sekalipun di saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar bahkan Taman Kanak-Kanak di kota kami, aku sering mendapat teguran dari guru yang membimbingnya.
Semua guru menganggapnya terlalu pendiam, dan kurang inisiatif pula. Bahkan gurunya di kelas 1 SD sering mengolok-oloknya sebagai "raja bengong" sebab dia punya kegemaran menonton orang lain melakukan pekerjaannya, sampai dia lupa mengerjakan pekerjaannya sendiri. Dan sebagai akibatnya dia akan selalu keluar kelas sebagai murid yang terakhir. Bahkan tak jarang gurunya terpaksa menghukumnya untuk menulis sambil berjongkok di muka kelas.
Meskipun demikian, aku merasa yakin bahwa dia punya suatu kelebihan yang mungkin tak kami miliki dan belum terdeteksi sebelum dia mencapai usia dewasa. Karenanya kubiarkan dia berjalan dan berkembang apa adanya serta tumbuh menjadi anak bawang di kelasnya.
Naluriku benar semata. Di SMA kelas 1 tiba-tiba dia tampil secara mencengangkan di hadapan publik pada kesempatan mengisi acara Resepsi Diplomatik HUT RI di kantor ayahnya. Disitu, lelaki kesayanganku memegang instrumen melodi arumba yang aku sendiri tak pernah tahu bagaimana wujudnya. Dan dialah band leader dari Arumba Band Sekolah Indonesia Singapura tanpa sepengetahuanku. Padahal di tahun sebelumnya, dia hanya kuanjurkan untuk tampil sebagai salah satu penyambut tetamu di resepsi yang sama selagi guru kesenian mereka kebingungan mencari murid yang mau dilatih memegang instrumen musik itu.
"Ibu, saya sangat tidak percaya waktu tiba-tiba di suatu siang secara tidak sengaja melewati aula sekolah tempat instrumen-instrumen arumba diletakkan dan mendengar melodi dibunyikan orang mengalunkan lagu yang akan saya latihkan untuk resepsi," tutur Pak Budi Hartiana gurunya.
Aku tersenyum dan menimpali dengan tanya yang sama tidak percayanya, "Memang apa yang terjadi pak Budi, apakah arumba bisa bunyi sendiri?" selidikku.
Guru yang selalu tersenyum dengan penampilan sangat tenang itu tersenyum jua seraya menajwab, "Saya tidak mengira putra ibu memainkannya. Saya malah merasa agak bingung sebab setahu saya tidak ada seorangpun di aula waktu itu." Gigi-gigi yang putih berderet itu diperlihatkannya padaku. "Apakah sebelum ini putra ibu pernah main musik?"
Aku menggeleng keras. "Pak, jangankan main musik. Alat musikpun kami cuma punya keyboard mainan. Itupun hanya kami mainkan melodinya sebab kami orang-orang yang tak bisa baca partitur dan tak punya pendidikan sama sekali apalagi bakat musik, nihil,' sahutku sambil menatap anakku yang baru saja usai mengecek kelengkapan bandnya sebelum dikembalikan lagi ke sekolah.
Pendek kata cerita guru anakku, dia kemudian ditest di situ untuk memainkan lagu asing berjudul "Sway" yang sebetuilnya sangat populer tapi tak dikenali anakku dengan baik. Maka anakku minta gurunya menyanyikan melodinya untuknya. Dan ketika bait pertama lagu itu selesai, dia segera menyahut ringan, "Oh, lagunya Film Putri Duyung yang diperankan Ayu Azhari?" Rupanya itulah yang dikenalinya.
Gurunya mengangguk sambil mulai mendengarkan dengan cermat pukulan-pukulan anakku yang ngawur tanpa membaca partitur, tapi sangat cocok dengan permintaan gurunya. Dan sejak itu tahulah aku bahwa apa yang pernah tersirat di dalam batinku bisa menjadi kenyataan.
Setelah itu, anakku mulai kelihatan menaruh minat dan kemampuan pada bidang lain lagi, yakni Teknologi Informasi. Dia punya beberapa blog yang konsisten dikelolanya hingga sekarang, termasuk Multiply dengan username indoidols yang foto-fotonya sering kuminta sebagai pengisi site-siteku baik yang ini maupun senthong si bundel.
Khusus untuk situs foto, dia mengelola kerenboy-photo.co.nr yang lumayan berisi untuk ukuran seorang pemula. Masih ditambah dengan Theboydimension yang juga telah dikelolanya sejak dia masih di SMP dulu. Itulah kelebihan yang dimiliki anakku tapi tak kami miliki.
Susahkah hatiku mengingat dia tidak begitu berminat pada pelajaran-pelajaran umum yang harusnya dikuasai orang? Kalau itu yang dipertanyakan, maka jawabanku bulat-mutlak : TIDAK! Sebab sekalipun dia pas-pasan di bidang akademik, tapi dia tetap berguna bagi sekolahnya. Baik semasa di Singapura maupun kemudian di American International School of Cape Town, Repbulik Afrika Selatan, dia senantiasa dimanfaatkan guru-gurunya untuk mendisain dan mengelola Buku Tahunan sekolahnya. Dan itulah yang mendapat perhatian gurunya. Ada tertulis di raport terakhirnya kesan gurunya akan buku tahunan yang dikerjakannya. "saya tak bisa menemukan penggantimu dalam waktu dekat sayangku........"
---------
Di waktu orang tua murid kelas terakhir SMA sibuk mengupayakan putra-putri mereka bisa menembus Universitas pilihan terkemuka di tanah air, aku ternyata santai-santai saja. Anakku mengatakan dia akan mengambil jursuan Fotografi di Institut Kesenian Jakarta yang merupakan bagian dari Fakultas Film dan Televisi. "Aku yakin, aku akan dapat menghidupi diri dan keluargaku kelak dari situ," katanya memberi alasan.
Ayahnya tidak mendebat. Sama halnya denganku. Hanya pihak keluarga besar kamilah yang bertanya-tanya, sebab dalam sejarah keluarga kami tak seorangpun yang berminat mempelajari seni sekalipun itu hanya seni foto.
Dan tekad itu dibulatkannya dalam jawaban yang disampaikannya di depan para dosen penguji calon mahasiswa baru FFTv IKJ di kampus mereka Sabtu (01/08) yang lalu. "Fotografi memang kerja berkelompok. Sebab, juru foto tak akan mungkin membawa sendiri lighting-nya, properti-properti pengambil gambar dan sebagainya," katanya membuka jawaban. "Tapi, seni foto -seni foto-," katanya menekankan lagi," bukanlah sebuah suguhan yang sudah jadi semacam film yang memang dibuat lengkap dengan dialog. Dengan memotret, kita bisa menghadirkan gambar yang multi tafsir. Terhidang sebagai sesuatu yang bisu, maka foto bisa ditafsirkan menurut pemahaman penikmat yang melihatnya, tidak harus diterima begitu saja apa adanya seperti film yang jelas-jelas disertai dialog," urai anakku panjang-lebar.
Ketika di bangku Pujasera TIM dia menceritakannya kembali padaku, terbit rasa kagumku yang mendalam padanya. Entah apa pula yang jadi pemikiran pengujinya tadi. Apakah kira-kira sama dengan pemikiranku, wallahu alam, aku tak tahu.
"Terus, apa reaksi pengujimu, dik?" pancingku ingint ahu.
Dia hanya mengangkat bahunya, "nggak tahu ya. Mreka langsung beralih topik menanyakan kelengkapan fotoku dan contoh foto yang kubuat."
"Ada kamu bawa?"
Anakku kembali menggeleng lagi, "nggak, habis waktu pendaftaran mereka nggak bilang harus bawa contoh hasil karya," katanya santai. "Dan mereka bisa mengerti, kok. Mereka akan melihatnya di web siteku. Sudah kuberikan alamat-alamatnya," sambungnya lagi diiringi anggukan paham dariku meski ketar-ketir di dalam hati mengingat salah satu temanku mengatakan sekarang cukup sulit menembus test masuk IKJ. Bahkan salah satu peserta test hari itu mengaku sudah pernah ikut di tahun sebelumnya tapi gagal.
"Mereka kebanyakan mendaftar ke jurusan Film dan jurusan Televisi. Yang ke jurusan foto hanya tiga orang termasuk aku. Ibu nggak usah panik, santai sajalah. Kalaupun aku gagal diterima, aku upayakan langsung kerja dulu sambil mencari tempat di universitas lain," tutur anakku seakan-akan bisa membaca kegundahanku.
Betapa tidak gundah? Anakku termasuk sudah cukup umur. Tahun ini dia akan jadi sembilan belas tahun, sebab dia pernah diminta mengulang kelas ketika di Belgia dulu sebab kami tiba di negeri berbahasa Perancis yang asing untuk anak-anak kami hanya beberapa bulan sebelum ujian kenaikan kelas. Apa jadinya kalau dia gagal diterima di IKJ pada tahun ini? Wah, tua dan semakin tua di jalan.
----------
"Tenang ya bu, perjuangan itu memang menegangkan dan melelahkan. Tapi aku barjanji akan menghadiahkan hasil yang memuaskan untuk ibu yang telah menyemangatiku sejak dulu," tegasnya di atas KRL Ekonomi yang membawa kami pulang dari Cikini siang terik itu. Di sampingku seorang ayah sibuk menenangkan tiga orang balitanya yang gelisah kepanasan selagi bau keringat berratus-ratus penumpang di gerbong kami menyeruak meniti bulu-bulu hidungku.
"Dik, kalau kamu diterima, berarti kamu akan mengalami yang namanya berjuang itu sendiri. Seperti ini. Berjejalan di atas KA Ekonomi, menanggung kewajiban bangun pukul empat fajar, mandi, sembahyang subuh dan seperti ayahmu dulu bergegas mengejar kereta ke Jakarta. Ibu tetap tidak akan mengizinkan ayahmu membelikanmu kendaraan pribadi atau motor. Terlalu beresiko. Lebih baik semacam ini," kataku menekankan arti perjuangan yang sesungguhnya baginya.
"Empat tahun lamanya tidak kurang dik. Belum lagi kalau kereta mengalami gangguan listrik atau sinyal seperti waktu kita berangkat tadi pagi, kau harus siap berganti angkutan. Tadi pagi Allah telah mencontohkannya padamu. Kita terpaksa turun di tengah perjalanan dan cari kendaraan alternatif," lanjutku lagi sambil menatapnya yang berdiri perkasa di depanku sambil bergelayutan di gelang-gelang gerbong.
Kepala yang dulu sering menyusupi dadaku itu mengangguk-angguk setuju. "Aku paham bu. Sekarang tolong ibu teruskan do'a-do'a ibu untukku ya?" pintanya.
Giliran aku yang mengangguk. Sebab tak pernah aku lupa menyebut namanya dalam setiap ritualku berkomunikasi dengan Allah Swt. Dialah gantungan hidupku kini, sejak aku menjadi tua dan semakin tak berharga. Sejak penyakit kerap menggerogotiku dan melumpuhkan dayaku. Aku terus juga mengangguk-angguk seirama bantalan kereta yang diinjak roda di gerbong-gerbong abu-abu berkarakter huruf kanji Jepang yang kami naiki ini.
Memang jauh dalam hatiku ada terbersit keyakinan bahwa dia akan diterima mengingat karya fotonya sering dilirik orang dan diminta untuk mengisi media mereka setelah lebih dulu berpamitan padaku. Meskipun tanpa diupah, kemunculan karya anakku di media daerah dan nasional sja sudah cukup menyemangati anakku untuk terus menekuni kegemarannya akan fotografi.
--------
"Bu Julie, sudah keluar lho majalah yang ada foto anak ibu........." Demikian penggalan komentar di blog fotoku di site ini yang memang pernah diketuk oleh sebuah penrbitan Islam di Jakarta. Aku tercenung sebab nyaris lupa foto apa yang mana.
Segera kupanggil anakku yang ikutan surprise sambil membantu mengingat-ingat. Kami klik alamat yang disertakan si penulis komentar tanpa wajah itu. Sayang kami tidak dapat menemukannya. Sehingga kuputuskan untuk mengirimnya Personal Message, yang baru dibalasnya dua hari kemudian, yakni hari kemarin. Dia menjanjikan akan mengirimi kami majalah itu satu eksemplar sebagai bukti dan tanda terima kasih.
Sekalipun majalah itu mungkin baru akan kami terima minggu depan, tapi rasanya message si pengelola majalah cukup menjadi penanda kegembiraan kami. Sebab, alhamdulillah! Tadi pagi di sela-sela tugasku membimbing cucuku belajar, anakku menghampiri sambil membawa telepon geggamnya. Matanya berbinar-binar dengan nuansa bahagia. Diambilnya tanganku dan dikecupnya sebelum dia menghujaniku dengan pelukan hangat yang bertubi-tubi.
"Terima kasih, terima kasih ya bu. Alhamdulillah do'a-do'a ibu terjawab sudah. Ini, IKJ menelepon........"
Belum tuntas dia mengucapkannya, terbaca sudah olehku kesyukuran kami. "Kamu diterima jadi mahasiswa disitu?"
Senyum itu mengembang lebar seperti rembulan empat belas merekahkan sinarnya di langit malam. "Ini persembahanku untuk ibu, terima kasih atas dukungan dan dampingan ibu untukku," katanya sumringah. "Seandainya tidak karena restu ibu, barangkali sekarang aku ada di barisan para putus sekolah yang berkeliaran tak tentu mencari jati dirinya.........."
Merebaklah keharuan di bola mataku. Anakku benar. Aku tak boleh melarang minatnya dan tak boleh menyetirnya menjadi apa yang kumaui, bukan yang dimauinya. Dan hasilnya, anugerah terindah pertama dari Allah bagi kami berdua.
Mulai bulan depan anakku akan merintis kariernya sebagai calon fotografer professional. Lalu tiba-tiba berkelebatan di mataku, anakku dengan gagah dan tanpa takut-takut keluar masuk istana negara dengan menenteng peralatan kerjanya. Dia jadi fotografer orang nopmor satu di negeri ini, suatu hari kelak. Ah, semoga Tuhan meridhai kami!
aaamiin. beruntungnya si adik punya ortu yang demokratis
BalasHapusikut berbahagia atas kabar itu bunda...
BalasHapuswah..selamat ya hary..*ikut2an bapak ah*
btw, yang diatas itu sama bapak?
btw, foto masa kecilnya kok lucu bangettt..kayak orang jepang..jadi pengen nyubitt
:0 smoga sukses dunia akherat, amin Ya Allah
BalasHapuswahhh....anakku boleh dong belajar sama si "adik" yaaa...tentang Teknik Informasi, biar pintar juga :)
BalasHapussukses terus buat mr. haryadi
BalasHapusweb nya bagus sekali :)
i'd be really glad if he could come to visit my page too
www.geloranusantara.deviantart.com
Itu kan kuncinya membahagiakan diri teteh. Sebab dulu tante juga nggak mau dipaksa ortu tuh hehehe.......
BalasHapusIya itu foto sama bapake mbak, waktu dia baru pake kacamata dan kami merayakan Idul Fitri. Terima kasih ya mbak Indah. Salam sayang untuk dik Shafa dan dik Hilamn.
BalasHapusAminj-amin-amin. Terima kasih ya kak Ayay. Yuk main ke Bogor, ada liburan nggak?
BalasHapusTante Kris........ please deh jangan ngeledek! Bukannya sekarang bang Qq justru lagi belajar di tempat yang beneran dan sangat oke? Nanti didatengin ah, buiar Yadi ikutan belajar. Boleh ya, ditunggu lho!
BalasHapusTerima kasih banyak mas Gupta. Iya deh annti disampein bair disamperin. Selamat siap-siap untuk konser di Nalar. I'm really glad to hear you join Andrie's perform (soalnya tahu sendirilah dia mah pan suka ke-pede-an hehehe......)
BalasHapuswah, sebuah kisah panjang 'pendewasaan'...namun masih lebih panjang kiprah yg akan menantinya...semoga Tuhan berkenan mengabulkan. Amiinn
BalasHapusAmiiiin .....
BalasHapusselamat ya bu julie untuk putranya yang telah di terima di IKJ, semoga apa yang dicita2kan bisa berhasil.
usianya sama dengan putri saya yang pertama
Mohon do'anya ya lik Suga. Saya sih cuma bisa mengamini apa yang dicita-citakan anak mas. Daripada kuliah tapi nggak tekad, nanti saya kelamaan nunggu dia bisa kerja dan mandiri. Mending saya nurut apa maunya aja deh. Terima kaish banyak atas semangat yang dipompakan kepada kami. Salam dari Bogor.
BalasHapusTerima kasih atas dukungan semangat dan doanya. Putrinya lahir di Bogor atau Washington nih?
BalasHapuslahir di washington bu,
BalasHapussekarang udah semester 3 di UI ambil sastra jepang (kata bu julie gak nanya hehe...)
haduuh..terharu saya...semoga sukses terus buat anak2nya ya bunda...semoga saya juga bisa membesarkan anak2 saya seperti bunda...
BalasHapusAh ini cuma caratan harian saya aja kok sebetulnya. Anak-anak saya nggak ada apa-apanya, cuma sekedar amnusia biasa yang saya kasih kebebasan tapi dengan pengamatan kami. Mbak Ita nanti pasti lebih berhasil membesarkan dan mendidik putra-putrinya lho.
BalasHapusSalam hangat dari Bogor. Apa kabar ibu-ibu di Singapura? Salam buat bu Titik Hendra.
Amin Ya robal alamin.Semoga sukses semua cita2 dan keinginannya baik cita2 adik dan ibunya.
BalasHapusFoto adik waktu kecil cakep sekali seperti anak Jepang,dan bapaknya juga........ he he.Makanya banyak yang meng.......... he he juga. Salam He he he jeng yuli.
BalasHapusTerima kasih banyak budhe Adi. Kami memang sedang emnajring do'a dari segala arah. Do'a yang baik tentunya hehehe......
BalasHapusKayak bukan anak sasya 'kan ya? ah nggak dong, biarpun maknya jelek idung pesek, dia tetap permataku lho mbakyu.
BalasHapusBundaaaa............. kisahnya bikin terharu........
BalasHapusah..pengen bisa seperti bunda kelak...jadi orangtua yang domokratis... :-)
Aduh, maaf ya mbok, bukan mau bikin mbok Arni terharu. Cuma mau cerita aja soal dia. Saya demokratis? Kayaknya memang seharusnya begitu deh biar yang sekolah senang, yang ngongkosin juga nggak ngedumel melulu hehehe...... Semoga ya anda berdua bisa jadi orang tua yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan saya. Salam kangen, kemana aja?
BalasHapusibu apa kabar lama saya ngak main ke sini ternyata banyak banget tulisan ibu baru baca sebentar aja saya udah mengharu biru hik hik...ampe nyesek didada, pingin nangis...
BalasHapusamiin....ajari sy mendidik anak hingga begitu lembut hati dan dekat dg ibunya ya, bu...
BalasHapusKuncinya, setiap hari kita meluangkan waktu bersama si kecil, membaca bersamanya dan mendengar semua cerita yang dibawanya dari luar rumah pada hari itu. Rasanya cuma itu yang saya lakukan mbak Wiwik. Selamat membesarkan Ririen cantik.
BalasHapusSampai sekarang saya masih biasa makan bersama anak-anak setidak-tidaknya sehari sekali di waktu malam dan kebiasaan mengobrol itu masih tetap juga kami lakukan. Dengan anak saya di luar kota, setidak-tidaknya chatting atau SMS-an sekejap sekedar berbagi kabar hari itu, tidak lebih mbak.