Jadi nenek zaman sekarang beda lagi modelnya dengan nenek zaman dulu. Setidaknya begitu menurutku setelah aku mengalami mengurus sendiri cucuku yang kini duduk di kelas 3 SD.
Dulu, seorang nenek hanya harus siap meladeni keinginan cucunya bermanja-manja misalnya minta ditemani tidur sambil didongengi. Sekarang, lebih dari itu, untuk urusan sekolahpun nenek masih diperlukan oleh sang cucu. Terlebih-lebih di sekolah-sekolah di perkotaan yang metode pengajarannya sudah luar biasa mencengangkan. Bantuan nenek tentu sangat diharapkan menggantikan peran ibu mereka yang sibuk mejadi mesin pencari uang di kantor-kantor entah di pabrik-pabrik.
Itulah yang kualami dengan cucuku Rahmaghina Miranda Permana tadi pagi.
Sebagai murid kelas 3 di sebuah Sekolah Dasar Negeri yang Kepala Sekolahnya pernah mendapat anugerah guru teladan tingkat nasional, SDN Sukadamai 3 Kota Bogor menerapkan cara pembelajaran yang sangat maju, setidak-tidaknya begitu menurutku. Ada pelajaran-pelajaran yang diberikan dalam Bahasa Inggris, sehingga di kelasnya dia menerima pelajaran IPA Bilingual (yang tidak dilafalkannya dengan lafal Inggris, melainkan lafal Indonesia seperti contoh dari gurunya), dan Mathematika Bilingual. Selain itu, tentu saja ada pelajaran Bahasa Inggris dan pelajaran-pelajaran standard lainnya seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah manapun.
---------
Pagi tadi dia datang membawa tasnya yang cukup berat. Kuperiksa isinya satu persatu. Selain buku-buku dan berbagai alat sekolah, ada telekung serta roti tawar sebagai bekal dari ibunya. Ini merupakan hal yang baru saja terjadi, sebab biasanya anakku hanya memberinya uang barang beberapa helai atau beberapa keping, kira-kira cukup untuknya membeli minuman di sekolah, sedangkan aku akan membekalinya dengan kue donat dari pedagang keliling langganan keluargaku.
"Tumben, ibu memberimu roti," komentarku pada cucuku.
"Iya," katanya sambil memperlihatkan gigi-giginya yang besar-besar seperti gigiku.
"Untuk kau makan di rumah sini?" tanyaku ingin tahu.
"Bukan, untuk dibawa sebagai bekal sekolah. Kata ibu aku dilarang jajan," jawabnya menjelaskan.
Bagus, batinku. Anakku sekarang sadar bahwa di sore hari anaknya masih perlu mengunyah mengingat dia masih dalam masa pertumbuhan dan butuh enerji sebagai pengganti yang hilang terserap berbagai aktivitasnya sebab dia bukan tipe perempuan yang lembut.
"PR mu sudah kau kerjakan? PR apa?" tanyaku lagi sambil terus meneliti bawaannya.
"Sudah, TI, tapi ibu belum tanda tangan hanya diperiksa. Semua sudah betul," jawab si peri kecilku.
"Teknologi Informasi?" tegasku sambil mencari-cari buku yang dimaksudnya.
Dia mengangguk lalu mengeluarkan sebuah buku cetak bergambar perangkat komputer. "Ni, disini," katanya sambil membuka halaman buku yang berisi PR yang dimaksudkannya.
Aku mengambilnya dari tangannya. Tampak isian cucuku dengan menggunakan pensil di soal yang cukup banyak, tak kurang dari 30 saja. Kuteliti satu demi satu sebelum kububuhkan tanda tanganku seperti biasanya, "ya, sudah betul semua."
"Terima kasih ya mbah," katanya senang dan memasukkan kembali buku itu.
Batinku lagi, anak sekecil itu sudah harus mempelajari sesuatu yang sulit dijangkau orang kebanyakan terutama di pelosok-pelosok desa yang catu daya listriknya masih sangat terbatas. Apalagi istilah-istilah yang dipakai dalam pelajaran itu berbahasa Inggris semua. Wah, bukan main pendidikan dasar kita sekarang dibuat pemerintah. Hanya sekedar untuk membingungkan rakyat kebanyakan semacam kami saja rupanya.
"Kau ada pelajaran apa hari ini? Sudah belajarkah semalam?"
"Sudah. Ada ulangan PKn," jawabnya.
"Dari halaman dua sampai sepuluh lho," katanya lagi memicuku untuk melihat bahan ajar yang dimaksudkannya.
"Mana,mbah lihat, kita ulangi lagi belajar nanti ya? Sekarang mbah selesaikan pekerjaan rumah tangga dulu sebentar," kataku pada si peri yang dengan sigap menyodorkan bukunya untuik kuamati.
Sebuah buku berukuran cukup besar hampir menyerupai majalah terbentang di hadapanku. Walaupun isinya ditulis dengan huruf besar-besar, tetapi tampak cukup padat dengan materi yang berat sekali menurut pendapatku.
"Ya sudah, tunggu sebentar ya," seruku sambil berlalu mengambil sapu yang kutinggal di dekat pintu masuk waktu aku membukakan untuknya tadi. Cucuku mengangguk dan berlalu ke dalam kamarnya.
---------
"Sini Mir, ambil buku PKn-mu," seruku setengah memerintah kepada si peri kecil yang biasanya agak rewel dengan aturan belajar yang kubuat.
"Nasib baik buatmu, simbah malas naik ke ruang belajar. Kita duduk di meja makan ya, karena simbah masih harus menunggu tukang sayur lewat," begitu kataku memberi alasan.
Dia mengangguk senang dan mengambil posisi nyaris berhadap-hadapan denganku di sudut meja. Buku itu dibukanya menghadap ke arahku. "Ni, yang ini sampai halaman sepuluh," tunjuknya.
"Oh, sejarah Indonesia, kamu sudah baca semalam?" tanyaku memastikan.
Cucuku mengangguk.
"Kamu mengerti? Sudah tanya-jawab dengan ibumu atau ayah?" desakku.
Mulutnya membuka lebar, "sudah, tapi nggak ada tanya-jawab," katanya tegas.
"Ayolah kalau begitu. Simbah baca dulu, nanti bergantian denganmu ya?" perintahku.
Mira kecil mengangguk memperhatikanku. Telinganya dipasang baik-baik, setidaknya begitu menurutku melihat bentuknya yang seakan-akan tegak lurus disertai mata yang memancar terang.
Habis satu paragraf aku menanyakan isi pokok bahasannya pada Mira-ku. Dia nampak bisa menjawab dengan baik menandakan dia betul-betul menyimak. Kemudian kuminta dia untuk membaca lanjutannya pada paragraf kedua. Setelah itu dia kusuruh menanyaiku.
Tentu saja dia kebingungan, sebab gaya bahasa dan bahasan materi pelajaran itu tidak sesuai dengan nalar anak sekecil cucucku yang umurnya belum cukup di dua rentangan jari-jari di tangannya.
"Simbah aja deh yang tanya, aku nggak bisa tanya-tanya," protesnya.
Aku cukup mengerti, maka kuambil alih bagian cucuku dengan memberinya penjelasan materi yang memang kutahu sama sekali tak mudah dipahaminya sebab bertaburkan kata-kata abstrak yang terlalu sulit ditangkap nalar cucu kecilku.
Begitu seterusnya, dalam lima paragraf dia hanya mampu membacanya tanpa bisa memahaminya. Sebab disana dikisahkan mengenai perjuangan bangsa Indonesia memerdekakan diri dari penjajah Belanda lengkap dengan istilah-istilah yang sulit bagi cucuku dan anak-anak sekecilnya. Ada istilah Nusantara, Ibu Pertiwi, patriot, ekonomi, politik bahkan juga nama-nama organisasi pemuda sebelum kemerdekaan RI. Segala macam Jong-Jong dan Bond ada di kertas putih yang nyaris tanpa makna bagi cucuku yang membacanya sebagai "jong" seperti seharusnya ejaan Bahasa Indonesia bukan Bahasa Belanda yang dilafalkan dengna "y".Belum lagi ada kata ras dan suku yang dipakai bersamaan dalam satu kalimat, yang membuatnya kebingungan seperti kebingungan saya menjumpainya sambil menjelaskan bahwa antara ras dan suku tak ada perbedaan makna sama sekali. Walaupun secara fisik ciri-ciri sebuah ras bisa saja berbeda, tapi apalah bedanya suku dari ras?
"Nusantara itu apa mbah?" tanyanya polos sedikit melompong.
"Oh ya, Nusantara itu negara Indonesia. Negara kita itu terbentuk dari banyak pulau di lautan yang letaknya ada di antara dua daratan besar. Di utara daratan Benua Asia, di selatan daratan Benua Australia. Nusantara itu terdiri dari dua kata bahasa lama yaitu nusa yang berarti pulau dan antara. Jadi pulau di antara dua daratan besar tadi, disebut Nusantara atau resminya Republik Indonesia, negara kita, mengerti?" jelasku.
"Oh, ya, ya, tapi Ibu Pertiwi itu ibunya siapa?" tanyanya kemudian membuatku hampir tergelak.
"Oh, itu bukan ibunya siapa-siapa. Itu adalah nama lain untuk tempat kelahiran kita atau tanah air kita yaitu negara Indonesia ini," jelasku sambil berharap dia tidak menanyakan mengapa dinamai Pertiwi sebab jangankan aku, rasanya gurukupun dulu tak pernah tahu mengapa disebut Pertiwi. Untung dia mengerti, sehingga aku cukup bernafas lega.
Ketika pokok bahasan mengacu kepada berdirinya perkumpulan para pemuda daerah, aku mendapati penggunaan istilah ekonomi dan politik. Celaka dua belas, batinku. Apa yang harus kujelaskan kepadanya? Mengertikah dia jika aku bicara begitu saja?
Kupandangi wajah hitam manis itu. Di matanya sorot minta penjelasan dan penuh pengharapan menjeratku. Aku merasa berdosa jika meninggalkannya tanpa bicara. Kutelisik taplak mejaku yang kusam sekedar mencari inspirasi, yang alhamdulillah kutemukan juga.
"Mira pernah dengar kata ekonomi dan politik?' selidikku.
Gerak kepalanya yang menggeleng ke kiri ke kanan menyadarkanku bahwa masalah ini cukup sulit baginya.
"Begini, ekonomi itu adalah kegiatan yang berhubungan dengan uang. Contohnya, kamu lihat budhe menjual kerupuk Kenny?"
Mira-ku mengangguk.
"Nah kamu tahu budhe dapat kerupuk dari siapa?" tanyaku lagi.
"Beli dari tante Anneke, enak ya mbah?" katanya sedikit melenceng tapi benar belaka.
Kini giliran aku yang mengangguk setuju sambil terus menjelaskan lebih rinci. "Nah, dari tante Anneke harganya limapuluh ribu sekilo. Di kooperasi kantor budhe dijual enampuluh ribu sekilo, berarti jadi lebih......?"
"Mahal sepuluh ribu," katanya tangkas.
"Nah, itu yang namanya ekonomi. Budhe jualan kerupuk tante Anneke tapi dapat untung sepuluhribu. Jadi artinya budhe melakukan perbuatan ekonomi, budhemu disebut pelaku ekonomi, ngerti?"
"Oh gitu ya?"
Aku mengangguk senang sambil ikut-ikutan memamerkan senyumanku yang agak basi. Tinggal aku memutar langkah menjelaskan kata politik.
Untung segera terbayang hiruk-pikuk Pemilu yang baru lalu dan serangkaian peristiwa terorisme yang mewarnai wajah televisi yang ikut ditongkrongi cucuku.
"Kau tanya politik nggak?" pancingku sambil mengelus anak rambut di dahinya.
Dia mengangguk lagi.
"Politik itu adalah kegiatan yang ada hubungannya dengan negara dan orang-orang yang mengurus negara. Kau ingat Pemilu? Kau ingat bom di Jakarta? Itu namanya kegiatan politik. Memilih Presiden itu politik, membicarakan keamanan negara itu juga politik, ngerti ya?"
Lagi-lagi kepala kecil itu mengangguk-angguk bagaikan kena tenaga mekanis. Aku pun tersenyum senang menyadarinya.
"Mir, kau tahu jang disebut Jong Java, Jong Islamieten Bond dan lain-lain tadi? Juga Boedi Oetomo?" tanyaku kemudian.
"Nggak, tapi Boedi Oetomo itu nama orang kan ya mbah?"
Aku nyaris tergelak, tapi kutahan. Mira kecilku sama sekali tidak bersalah jika dia keliru menafsirkan. Sebab seingatku di SD kelas 3 dulu pelajaranku hanya soal Pendeta Durna, Bala Kurawa dan sejenisnya.
"Bukan sayang. Boedi Oetomo dan Jong-Jong itu adalah nama perkumpulan seperti partai yang kemarin ada waktu Pemilu. Kamu dengar 'kan ada PDIP, PAN, PKS, Demokrat, Hanura, Gerindra, Golkar dan banyak lagi lainnya? Ya, itulah Boedi Oetomo dan Jong-Jong itu, partai juga........."
"Oooh.......," bulat dia menjawab lega.
Tinggal satu pertanyaanku, "Patriot itu apa artinya ya Mir?"
"Nggak tahu, kasih tahu dong mbah, simbah 'kan pinteran," rajuknya memaksa aku mengajari semuanya.
"Ah, siapa bilang simbah pinter? Simbah nggak sekolahan Mir, bukan sarjana," balasku sungguh-sungguh.
Dia menengadahkan wajahnya menatapku juga sungguh-sungguh. "Ih, nggak mungkinlah simbah nggak sekolahan........ kok serba tahu seperti guru? Guruku aja nggak tahu......."
"Oalah, cucuku nggak percaya amat sih. Ya sudah, patriot itu adalah kata lain dari pahlawan, jadi andaikata waktu ada bom kemarin terus ada tentara atau polisi yang meninggal kena bom waktu mau mengejar si pembom, dia itu disebut patriot, karena dia nggak kenal kata takut melawan penjahat. Begitu lho," jelasku sambil melirik ke jam dinding yang hampir berdentang sepuluh kali.
"Tuh, kan, pinter?" komentarnya memekarkan pucuk hidungku yang memang lebar typikal hidung Indonesia pribumi.
"Ya udah, kalau begitu kamu juga harus pinter seperti simbah. Simbah minta dikasih tahu isi Sumpah Pemuda yang tadi kita pelajari, ayo........" ledekku.
"Hih, susah. Panjang amat sih kalimatnya.," katanya mengelak.
Aku tersenyum gemas sambil meraih kepalanya dan menciuminya sampai puas sebelum bau matahari lengket di situ sore nanti. Dia membalasnya dengan gelayut manja yang hanya aku yang sanggup merasakan kehangatannya. Ah, cucuku, berat benar beban pelajaranmu sekarang. Akankah kamu menjadi lebih maju dibandingkan aku? Matanya nyalang menembusi seluruh permukaan mukaku yang mulai panas-dingin menahan malu.
Kasihan Cucu2 kita,Harus mengerti dan mempelajari banyak sekali pengetahuan2,yang kadang2 belum waktunya.Pak Mendiknas,tolong dong tiru systim belajar di negara2 maju,Kwantitasnya sedikit,tetapi kwalitas dan mutunya tinggi.
BalasHapusklo gitu nitip binar sekalian ti..hihihi..
BalasHapusbunda di bogor sekarang? baru mudik???
harusnya bunda bilang, uti pinter karena udah pengalaman, sambil multiplyan..hihihi
mbahnya pinter...cucunya pun bakal pinter niyy....
BalasHapustapi memang gitu kali ya bun, dirumahpun yang sempat ajarin anak yachhh kakeknya, hehehe...karena ibunya jadi mesin pencari uang (pinjam istilah bunda ahhh).
Hihi mba Julie jadi bu guru...
BalasHapusEnaknya, materi pelajarannya dibuat lebih menarik dengan banyak gambar (kayak komik) dan kata2 yg sederhana....
Dunia pendidikan kita sekarang ini memang di ambang segala ketidakjelasan.
BalasHapusPendidikan sekarang membuat anak-anak menjadi robot yang tidak mempunyai kreatifitas.
BalasHapusNenek yang penuh perhatian ya :). Ingat nenek saya yang guru, sabar juga kasih pengertian soal pelajaran sekolah...
BalasHapusSoal bekal, mama saya dulu juga kasih bekal sehingga saya jarang sekali jajan.
Amin-amin-amin. Itu juga yang jadi harapan saya bu. Semoga Mendiknas yang akan datang berkenan mendengarkan rintihan nenek yang kecewa ini.........
BalasHapusGenah mbahe bodho mbak Indah, mulane dadi melu-melu ngempi, ben bisa nuturi elmune wong akeh seka pirang-pirang blog kuwi......... hihihihi........
BalasHapusMbesuk nek mbak Indah sing dadi simbah-simbah mesthi pintere lho!
Duh nasib para orang tua ya mbak? Mesati turun tangan utnuk si cucu. Tapi ikhlas kok!
BalasHapusBukan jadi guru sih. Cuma kasihan lihat cucu saya kebingungan gitu. Alhamdulillah saya tanya waktu pulang sekolah, katanya dia bisa jawab ulangannya tadi. Guru itu kalau kata orang Sunda terdiri dari akta-kata diguGU jeung ditiRU alias dipercaya dan dicontoh. Mestinya saya juga harus bisa jadi gitu ya? Tapi berat tuh mbak hehehe....
BalasHapusBukan jadi guru sih. Cuma kasihan lihat cucu saya kebingungan gitu. Alhamdulillah saya tanya waktu pulang sekolah, katanya dia bisa jawab ulangannya tadi. Guru itu kalau kata orang Sunda terdiri dari akta-kata diguGU jeung ditiRU alias dipercaya dan dicontoh. Mestinya saya juga harus bisa jadi gitu ya? Tapi berat tuh mbak hehehe....
BalasHapusBetul itu, serba nggak jelas maunya apa dan mendorong anak untuk jadi apa gitu.
BalasHapusMemang. Ada yang salah pada sistem belajar-mengajar kita kayaknya mbak Evie. Lha saya dibandingkan anak saya aja, mendingan saya kalau soal kreativitas. Dia sendiri yang aslinya pernah jadi guru BP di sebuah SMA bilang, nggak sanggup ngajari anaknya dengan metoda seperti yang saya lakukan itu tadi. Walah-walah, repot!
BalasHapusIni kewajiban saya terhadap cucu mbak. Karena saya lihat anak-mantu saya pada keteteran ngurus anaknya sendiri. Apa boleh buat, daripada diambil alih orang lain yang bukan apa-apa kami, mending saya turun tangan sendiri.
BalasHapusSaran saya kalau sudaha da momongan nanti, mbak Leila harus tinggal dekat orang tua yang bisa dititipi anak dengan sadar tanpa terpaksa gitu lho. Bisa nggak ya?
Wah pelajaran anak sd kelas 3 kok seberat itu sih?? seingatku yg seperti itu dulu aku dapat waktu kelas 2 SMP, wah bahaya nih,,, hihi. Kalo bekal sekolah, Raina saya bekalin terus dari rumah bu, kalopun bukan makanan mengennyangkan, biskuit dan susu juga harus saya yg beli, kalo beli di abang2 lewat wah,, serem.
BalasHapussimbah yang hebat! hehe, saya dapet murid baru nih budhe, buat dilesin privat. kakak beradik cowo semua kelas 1, 2, dan 3 SD... Kebayang kan gimana ributnya? hehe, seru ya nemenin anak jaman sekarang belajar.. lumayan, kadang jadi hiburan di tengah2 kuliah
BalasHapusBener mbak, saya nggak bohong. Bujubunet! Nanti kalau ananda yang sekola mungkinmalah lebih susah. Siapa tahu toch?
BalasHapusWah, yang hebat nak Luluk. Gimana bisa ngajari anak-anak kecil tur lelaki semua? Semoga sukses!
BalasHapusSimbahnya nggak hebat lho, yang hebat itu Mendiknas. Lha bocah cilik-cilik dikasih pelajaran yang berat. Saya sampe ngurut dada. Ada abad ditulis dengan huruf (angka Romawi). Saya suruh baca, cucu saya ya belum bisa tuh karena ternyata memang belum dpat pelajaran membaca angka Romawi. Jan, hebat tenan 'kan?! Ya sudah saya bacakan, terus di bawahnya saya suruh tulis dengan angka biasa. Itulah dia negeri ktia yang maunya serba hebat tapi njur kebablasan.........