Rumahku senyap. Lelaki itu tak banyak bicara. Namun kupahami jua apa maunya, segala sifat-sifatnya.
Lelakiku, pusat selutuh hidupku satu-satunya sejak dulu memang apa adanya. Tapi dia keras hati, tak patah semangat dalam mencapai idamannya. Itulah yang membuatku terkagum-kagum kepadanya.
Lebih dari duapuluhlima tahun aku bersamanya. Bahkan ketika aku belum lagi layak untuk dimiliki. Tak malu-malu selalu kami pamerkan kehadapan khalayak bahwa kami berniat untuk bersatu selamanya. Maka Allahpun menjatuhkan kodrat itu pada kami.
Sejak kembali dari tanah kelahiranku, kudapati suasana muram. Sekalipun kehangatan dan sinar musim panas menyengat Afrika Selatan, tapi rumah kami temaram. Suamiku lebih banyak sibuk dengan pekerjaannya, selagi anakku kembali ke sekolah. Aku sendiri belum mulai berkatifitas, karena aku harus menyesuaikan diri dengan irama hidup masyarakat yang belum sepenuhnya bangun, demi mengikuti libur sekolah setempat. Hanya sekolah Amerikalah yang sudah mulai dengan proses belajar-mengajar. Aku terdiam sendiri di sudut ruang kehidupanku, menyimak dan menikmati keheningan yang terasa jadi suatu kemewahan sehabis aku pulang kampung ke Bogor tempo hari.
-ad-
Derum mobil yang melintas cepat senantiasa mengoyak gendang telingaku, menerbangkan debu-debu yang kemudian hinggap sesukanya di kusen-kusen jendela rumahku. Tak ada lagi kokok ayam seperti dulu biasa kudengar. Hingar-bingar yang ada kini, jauh berbeda.
Rumah ini kami peroleh berkat cucuran deras keringat suamiku. Lelaki yang penuh tanggungjawab itu. Ketika meninjau lokasi untuk pertama kalinya, aku masih mendorong anak bungsuku yang belum mampu berjalan dalam kereta bayinya. Sepetak tanah yang luas terlihat menjanjikan untuk kehidupan kami selanjutnya.
Suamiku segera jatuh hati mengingat tanah sisa bangunan masih cukup luas untuk menambah ruang serta memberi lahan bermain anak-anak kami. Walaupun letaknya di ujung jalan, tapi aku kurang tertarik. Aku lebih suka mengambil dua bidang lahan di tengah-tengah perumahan itu. Maksudku, kelak kedua lahan dan bangunan itu bisa digabungkan sehingga luasnya pun memadai.
Tapi suamiku berpandangan lain. Lebih baik membangun ruang tambahan sendiri daripada menyatukan dua bangunan jadi tanpa halaman sama sekali. "Anak-anak kita tidak akan punya lahan bermain," alasan suamiku sambil menggandeng salah satu anakku. "Aku ingin semua yang baik, nyaman dan pasti aman untuk mereka," tegasnya lagi memaksaku.
Aku berhenti sejenak dan memutar pandangan mengelilingi calon rumah kami. Luasnya memang tak terkira, bahkan dibandingkan dengan dua lahan di tengah-tengah yang kami tinjau sebelumnya. Lalu tergambar kaki-kaki kecil itu berlarian kesana-kemari dengan bebas, selagi aku memasak di sudut sana. "Ya, aku sepakat dengan bapak," jawabku tegas menyetujui ketepatan pikiran suamiku. Dan dari situlah kehidupan kami bermula.
-ad-
Angkutan kota senantiasa siap menjemput kami kapanpun, nyaris duapuluh empat jam, memudahkan mobilitas kami keluar rumah. Sebagaimana kesepakatan kami, kami memilih untuk tidak menyumbang keruwetan di jalanan dengan menumpang angkot kemanapun kami pergi. Bahkan dari rumah kami ke kantor suamiku di pusat kota Jakarta, kami hanya memerlukan waktu satu setengah jam saja. Sungguh kenikmatan yang istimewa, mengingat suamiku tak perlu mengendarai sendiri tunggangannya, bahkan bisa melanjutkan sosialisasinya dengan teman-teman lamanya dulu di atas Kereta Listrik.
Tarkim, tukang sayur langganan ibu-ibu di kompleks kami juga selalu berhenti tepat di muka pagar rumahku, sekalipun dia tahu aku lebih suka berbelanja di pasar yang menjadi ajangku bersosialisasi. Maklum sebagian besar pedagang Pasar Anyar telah kukenal sejak kecil karena ibuku memberiku tugas berbelanja.
Begitulah adanya, rumah ini terasa begitu nyaman. Terlebih-lebih lahan jagung dan singkong milik Haji Hamid tertebar menghampar di seberang rumah. Apalagi yang kurang pada kehidupan kami? Aku tersenyum lega, dan senantiasa menyukuri nikmat yang dipilihkan suamiku untuk kami.
-ad-
Pagi di Cape Town merebak. Gunung gemunung menjalarkan kabutnya menyentuh permukaan tanah, menyapa mukaku yang mengerut kena sejuknya air tanah diwaktu mengambil wudhu.
Tak ada suara apapun. Mobil-mobil disini tak pernah lewat sepagi ini, terlebih-lebih di akhir pekan. Tapi kokok ayam itu sayup-sayup sampai ke kamarku. Aku ingat, pemiliknya sepasang penduduk kulit putih yang ramah memperkenalkan diinya kepada kami di suatu pesta hampir setahun yang lalu. "Jika anda mendengar celoteh hewan piaraan kami, maafkanlah. Kami memang senang memelihara ayam dan sekawanan burung," cerita mereka. "Semua ini pelepas ketegangan jiwa kami," sambung sang istri seraya menyunggingkan senyum. Lalu jemarinya yang kurus panjang menunjuk arah rumahnya tepat di seberang ruamh kami, di sebelah dinding tetangga yang mengundang kami malam itu. Maka pagi ini aku tersenyum juga, inilah kenikmatan yang didambakan suamiku, pikirku.
Maka, akupun sampai kesuatu titik perenungan, dimana hidup tidak selamanya sesuai keinginan. Ada masa-masa indah yang patut disyukuri, tapi, tak boleh lupa kita diintai pula oleh goncangan-goncangan yang tak diharapkan.
Ibarat roda, begitu kata penyanyi keroncong Annie Landouw kegemaran nenekku dulu, hidup akan senantiasa berputar. Sekali di atas, lalu menerima jatahnya di bawah.
Begitupun hidup dan kehidupan kami. Dulu penuh keindahan, kenyamanan dan nikmat, tapi kini semua berubah drastis. Lahan kebun pak Haji telah berubah jadi deretan warung dan tempat usaha lain. Angkot-angkot itu berebut jalan dengan segala kendaraan yang menyusup masuk mencari jalan pintas termasuk truk-truk pengangkut sayur ke pasar induk. Inilah dunia baru!
Aku menghela nafas. Lalu tersenyum sendiri sambil mematut diri di kaca rias. Wajah tuaku nampak disitu. Tidak lagi dengan kilatan yang dulu. Maka layaklah jika kini aku merasa "ditinggalkan" keluargaku. Suamiku sibuk dengan pekerjaannya, dan anak-anakku sibuk dengan urusan hidup mereka masing-masing.
Dunia memang sudah tua rupanya. Semua orang sibuk mencari bekalnya masing-masing agar dapat menikmati kehidupan dengan bertengger di bagian atas roda. Ya, dulu mereka sudah memberiku kebahagiaan teramat banyak. Sekarang saatnyalah aku menerima semua kesepiaan ini ditemani musik-musik alam yang datang dari desir angin di pegunungan seputar Cape Town maupun unggas-unggas yang bertengger di pohon kami serta kokok ayam jantan di kejauhan, yang baru sedetik yang lalu lewat lagi di telingaku. Inilah hidup yang penuh syukur. Sekali senang, lain kali bersiap-siaplah untuk bersusah.
Dunia boleh tua, kita juga pasti akan menua. Tapi semangat terus muda, dong Bunda!
BalasHapusinyong melu sinau urip yung...
BalasHapusTante..seperti biasa, saya suka detail ceritanya. Begitu hidup..
BalasHapusOh iya ya? Ora kena ketok tuwa ya mbak Niken? Hehehe...... piye ya?
BalasHapusNyumanggaaken nak.... muga-muga ana pitutur sing migunani.
BalasHapusAh, masa' sih? Justru saya seneng sama tuturan teh Emma.Terutama yang soal bah Iwan tempo hari. Terima kasih banget teh Emma mau mengungkapkannya untuk saya. Cobian geura ayeuna ka wa Ibing, susuganan kita diajari cara mengatur hidup supaya tenang dan barokah. Diantos nya neng?
BalasHapusSubhanallah...bunda bgt menikmati makna hidup ya...semangat terus ya bunda...
BalasHapushidup selalu begitu ya bun...
BalasHapusaini pun sedang belajar memahaminya, menerima dengan penuh syukur saat-saat bahagia dan keikhlasan saat semuanya tidak seperti harapan
insyaallah ditambahkan nikmatnya oleh Gusti Allah
menikmati hidup dan selalu bersyukur memang membuat hidup damai ya bun..
BalasHapusbtw.. bunda ngerasa tua..? saya mah ngeliat bunda awet muda euy..! :)
Tuh kan! Bunda mah slalu ok critanya! Semangat bun!
BalasHapusIya mbak Tattiek, menurut saya, hidup sih harus dinikmati betul, sehingga kita bisa bersyukur selalu atas apapun yang kita terima sebagai jatah dari Allah. Sama-sama ya mbak Tatiek, yuk kita saling emnyemangati diri.
BalasHapusTerimalah apa yang ditakdirkan Tuhan untuk lakon hidupmu, maka hidupmu akan senantiasa terasa indah penuh kedamaian. Buat apa juga capek-capek mikirin apa yang nggak sesuai keinginan kita. Kalo ibu sih gitu Ni. Tapi ibu perhatikan, hidupmu penuh keberuntungan karena dari sononye kau memang pinter dan teguh mencapai apa yang kau idamkan. Ibu bahagia lho Ni lihat dirimu walau cuma dalam cerita-ceritamu aja. Terus raih keberuntunganmu ya nak. Siapa bilang orang daerah nggak bisa maju?
BalasHapusWah teh Ratih sama dengan anak-anak saya, Mereka bilangnya saya belum tua. Padahal udah setengah abad 'kan?! Tua lah, kalau menurut saya sih.
BalasHapusAyo tiru mbak, ceritain aja apa yang kamu alami buat pelajaran bagi orang lain. Semangat mbak!
BalasHapusIya bun, mencoba spt bunda. Ya dgn fasilitas apa adanya! Makasih bun!
BalasHapusnah nah... pengen bisa nulis kayak begini..
BalasHapusmerangkai kata2 nya bagus, jadi satu cerita yang enak di baca...
Terimakasih bund.
BalasHapusJustru karena fasilitas apa adanya nak Lina, orang jadi terpacu untuk memaksimalkan keberadaannya dan memberdayakan dia sebaik-baiknya. Ayo, coba nulis tenan ya? Nanti ibu yang duluan baca, terus dikomentarin apa yang ada. Pe-de aja lagi!!
BalasHapusHayu atuh cobaan, jangan minder duluan. Jangan merasa nggak mampu duluan mas. TAnte ge da bukan cerita, ini mah catatan harian seputar kehidupan tante kok. Ditungguin, jadi moal aya catatan kecil yang ilang lagi.
BalasHapusTErima kasih apane mas? Justru aku yang berterima kasih karena catatan harianku aja ada yang marani hehehe......
BalasHapussaya juga lagi sndiri nih, tapi di temani suara burung2 yang berkicau dan suara pukulan tok...tok...tok. tukang baso lewat.
BalasHapusOh bang Yudi ngurir ya? Asyiiiiiik dong pulangnya dompet loe tebel! Selamat menikmati kesendiran aja deh.
BalasHapusAmiiin. baru aja datang kok udah kurir... pasti banyak yang protes dong. kebetulan waktu saya nulis tadi emang lagi sendiri... soalnya anak2 sekolah dan mas yudi lagi ngantor.
BalasHapusOh, kirain ngurir hehehe.......
BalasHapusAih nggak-lah Mbak. Mbak khan ramah dan semedulur, namanya sepi insyaallah tidak akan hinggap di kehidupan Mbak Julie. Kayak pepatah : Siapa menanam benih (kebaikan, keramahan, etc) nanti akan memanennya. Itu Sunatullah.
BalasHapusMelankolis buanget......seneng aqu buacanya. Edun...euy...akh. Salam ya Teh...dari Bandung.
BalasHapusWa alaikum salam. Terima kasih mau mampir kesini.
BalasHapus