"Sahabatku Elis, ijinkan aku mengenangmu dalam senyap, dalam kegundahan yang dalam, waktu kuterima e-mail dalam milis berantai yang persis sama dengan postingan salah satu kontakku di Multiply kemarin dulu. Ada bayanganmu disana. Ada lesung pipitmu yang manis menggoda. Juga ada tutur katamu yang lembut. Aku ingat masa-masa itu. Saat kita berdua-dua menyusuri pusat kota dan aku menemanimu masuk ke gereja tua disana. Kau katakan, kau mau berdoa untuk sahabatmu, seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya. Elis, betapa mulianya hatimu. Kau hidup tak hanya untuk dirimu sendiri, melainkan juga untuk menyinari orang-orang di dekatmu. Semoga di sisi Tuhanmu kini kau reguk nikmat kebahagiaanmu, sebagai balas atas kebaikanmu di dunia."
Sejak kemarin betapa ingin rasanya aku menuliskan ini. Sebuah memori yang tercerabut tiba-tiba dari dasar hatiku. Tentang sahabat karibku yang mati muda ketika dia harus melahirkan anak pertamanya ke dunia.
-ad-
Elis perempuan itu kukenal baik melalui temanku Yati. Yati bekerja padanya di Jakarta, selagi Elis mengelola usahanya di luar negeri.
Elis perempuan cerdas dengan pendidikan tinggi tempaan salah satu universitas papan atas di Eropa, memanfaatkan harta kekayaan orang tuanya untuk membuka usaha jasa. Dan Yatilah tangan kanan Elis di Jakarta.
Nasib mempertemukan ku dengan Elis di negeri orang. Waktu itu Yati mengirimkan bingkisan untuk Elis lewat aku yang baru untuk pertama kalinya akan berangkat ke luar negeri. Aku tahu maksud baik Yati, dia ingin memudahkan proses adaptasiku dengan menggunakan jasa Elis yang sudah lama menetap di negeri tempat tinggal baruku.
Kebetulan Elis mempunyai minat yang sama dengan keluarga kami, sehingga kami menjadi cepat akrab. Bahkan Elis sering bertandang dan pergi bersama kami sekeluarga. Bagi kami, Elis yang hidup membujang seakan-akan bagian dari keluarga kami, sebab seluruh kelurgaku pun menyukainya. Betapa tidak, Elis sangat ramah dan gemar menolong siapa saja. Terlebih-lebih orang baru seperti kami.
-ad-
Dalam bus kota yang membawa kami cuci mata, Elis sering bercerita tentang Ami kawannya yang tak begitu kukenal. Menurut Elis, Ami punya dua orang anak ABG tapi merana. Suaminya tak banyak bicara, dan membiarkan dia sendiri terkurung sepi di rumah.
Di mata Elis, ada yang salah dalam pola hubungan Ami dengan suaminya, seorang birokrat yang cenderung workaholic. "Sejak saya mengenal Taufik, saya sudah mengendus bahwa hubungan mereka berdua hambar," papar Elis padaku membuka percakapan tentang Ami ketika kami tiba di halaman sebuah gereja tua. Lonceng berdentangan keras, menyeret langkah orang-orang tua yang berdandan rapi memasukinya.
Hanya Elis satu-satunya kaum muda yang duduk menyimak khotbah pastor di gereja itu. Aku meninggalkannya ke pertokoan tak jauh dari situ sambil berjanji kembali sebelum pukul sebelas saat dia selesai dengan misa Minggu paginya. Sedangkan suamiku asyik dengan kelompok olah raganya membakar energi di tubuh mereka hingga tiba saat kami makan siang nanti.
Aku melongok ke dalam waktu jam menunjukkan pukul seebelas kurang lima menit. Barisan jemaah masih mengantri roti dan anggur suci. Elis ada pada antrian terdepan, aku mengenalinya dari gaun merah yang dipakainya pagi itu. Wajahnya segar dengan senyum sempurna. Matanya menyala-nyala bening mengingatkanku pada bola lampu mercuri di taman dekat sekolah anakku.
Dia mengisyaratkan padaku untuk duduk di pew -bangku gereja- terbelakang di dekat pintu keluar. "Tunggu sebentar ya, aku mau berdoa dulu khusus untuk Ami dan Taufik," pesannya. Kaki itu kembali memutar, meninggalkanku sendiri, melangkah ke arah deretan lilin di altar di seputar ruang gereja.
Elis melipat tangannya ke dada mengepal setelah menyalakan lilin-lilin berbentuk bunga yang indah. Satu merah, dan lainnya putih. Lalu dia berlutut di situ sambil mengatupkan matanya. Dari jauh nampak setangkup bibirnya yang lebar basah mengilat oleh ungkapan-ungkapan doa yang dilontarkan dari mulutnya, Aku tak tahu apa yang dikatakannya pada Tuhannya. Tapi kuyakin, melihat ketulusan hatinya selama ini terhadap kami, apa pun yang diucapkannya pastilah hal-hal baik yang akan dikabulkan Tuhannya.
-ad-
Kami naik kereta bawah tanah menuju ke rumahku. Keranjang belanjaan di kiri-kanan tanganku berpindah ke tangan Elis sebagian, selagi aku menyeret shopping cart kami dari kain terpal kotak-kotak cokelat muda. Ada bahan masakan untuk besok, sekaligus juga buah dan makanan segar kesukaan anakku untuk disantap sebentar siang.
"Kenapa kamu mendoakan Ami dan Taufik?" tanyaku penasaran sambil merebahkan tubuh di sisinya menempel ke jendela mengarah ke selatan, ke rumahku. "Aduh, kamu lucu," reaksi Elis sambil mengelus pipiku dengan jari-jarinya yang panjang halus. Maklum dia tidak pernah ke dapur sama sekali, mengingat dia hanya seorang diri. Karenanya di waktu akhir pekan aku senang mengundangnya ke rumah kami untuk makan siang. Jari-jari halus itu, hanya digunakannya untuk mengetik. Sebab mengetik adalah pekerjaan utamanya selama ini.
Aku terperangah, menggeser kepalaku bersandar ke dinding kereta sambil mengamatinya serius. Elis yang cantik nampak seperti pualam di meja penjual karcis museum di dekat gereja tadi. Begitu kuning langsat dan mulus. Elis begitu menawan, hingga ke lekuk di pipinya semua punya daya tarik untuk dinikmati.
-ad-
Taufik merupakan salah satu pengguna jasa kantor Elis. Dan hubungan mereka bermula dari situ. Ami yang lugu dan sederhana selalu membiarkan suaminya berdua-dua berlama-lama di telepon yang tidak hanya membicarakan masalah pekerjaan saja, melainkan juga diselingi obrolan ringan. "Ami tahu itu," kata Elis tanpa malu-malu dan tak merasa bersalah. "Bahkan kami bertiga jadi akrab.Sebelum kedatangan kalian, aku sering bertandang dan berakhir pekan di apartemen Ami," sambung Elis.
"Oh, jadi, kehadiranku merusak hubungan baik kalian ya?" tanyaku polos. Elis menggelengkan kepalanya sebelum menjawab ramah, "no...., no...., no.... bukan. Justru aku harus berterima kasih padamu. Engkau telah melepaskan aku dari jeratan hubungan tak sehat itu. aku seharusnya berterima kasih padamu Nonik." Senyum itu tersungging lagi kali ini disertai cubitan pada pipiku.
-ad-
Taufik dan Ami sudah menikah lebih dari sepuluh tahun. Bahkan kedua anak-anak mereka sudah duduk di kelas lima dan dua SD. Mereka anak-anak yang manis, tipe anak-anak rumahan yang tak merepotkan.
Menurut Elis, keduanya sama-sama cinta pertama bagi masing-masing pihak. Dua remaja yang kemudian menggabungkan diri untuk selamanya. Ami yang cenderung lincah serta ramah, menjadi mentari dalam kehidupan Taufik yang berasal dari keluarga tak bahagia. Dia sudah jadi yatim sejak kecil serta diasuh ibu dan seorang pamannya sebagai anak tunggal. Karenanya Taufik jadi pendiam dan butuh seorang Ami untuk mencerahkan hari-harinya.
"Taufik bilang, Ami begitu mengerti dirinya, dan mau menerima dia apa adanya," lanjut Elis lagi. Di luar jendela, dinding gelap terus memanjang menembus lorong menuju stasiun berikutnya.
Singkat kata, Taufik tak bisa meninggalkan Ami apa pun adanya. Sekali pun dia tahu bahwa Ami sangat lugu dan sederhana, bahkan dalam caranya berpikir, begitu menurut Taufik pada Elis.
Ami tak sempat menamatkan sekolahnya di perguruan tinggi karena terlanjur dinikahi Taufik, hamil, dan kemudian mengikuti kemana pun Taufik ditugaskan. Tapi sesungguhnya menurut Elis, Ami cukup cerdas. "Enak mengobrol dengannya, wawasannya luas dan dia pandai merangkai kata-kata," celoteh Elis tanpa kuminta.
Keadaan itu semula disetujui Taufik, namun pada akhirnya dipermasalahkan pula. "Aku malu punya istri tak berpendidikan dan tak ada keinginan untuk maju," begitu curhatan Taufik suatu hari ketika Elis berlama-lama duduk di kantor Taufik untuk urusan pekerjaan mereka. Sehabis itu, mereka jadi kerap pergi berdua-dua entah untuk menyelesaikan pekerjaan maupun hanya sekedar untuk makan siang. "Mungkin aku juga yang salah ya?" tanya Elis seperti minta penilaianku.
Tiga stasiun sudah terlewati. Masih cukup waktu untuk mengobrol sebelum sampai di rumahku pada stasiun yang terakhir. Kulihat Elis menggeser kakinya memberi kesempatan kepada orang yang lewat di depannya dengan keranjang belanjaan besar.
"Kemana saja selama ini kalian menghabiskan waktu berdua?" selidikku.
"Kadang-kadang kami duduk mengopi di down-town, Adakalanya cuma di dekat rumahku sambil Taufik mengantarku pulang,"
"Mengantarmu pulang ke rumah?" sergapku kaget. Degupan jantung ini terasa begitu tegas. Bagi agamaku, seorang yang bukan muhrim tentu tak dihalalkan berjalan bersama berdua saja, apalagi sampai mengantar ke rumah. Mataku mungkin nampak membelalak selagi mulutku menganga. Itulah sebabnya kemudian Elis segera menatapku tajam, "ya, mengantarku. Aku bersalah 'kan ya?!" tanyanya polos.
Di usianya yang naik merambat ke angka tigapuluh Elis memang belum pernah berpacaran secara serius. Dulu dia punya cinta monyet yang kemudian merenggang ketika pacar SMA-nya mendapat bea siswa di luar negeri dan menetap di sana. Setelah itu, dia cukup dekat dengan Robert lelaki Eropa mitra kerjanya di luar negeri sekaligus penyandang dana terbesar perusahaannya di tempat kami berada. Elis memang butuh jasa Robert, sebab tanpa seorang warga negara setempat sulit bagi Elis untuk membuka usahanya disini.
Namun Robert bukanlah kekasih Elis. Dia punya istri di Inggris sana yang telah melahirkan anak-anak yang cantik. Ann-Mary istrinya biasa datang sebulan sekali naik kereta bawah laut atau Robertlah yang pulang kampung. Suatu hubungan yang intens untuk kalangan bule yang dimasa ini terkenal sebagai penganut faham bebas.
"Lis," pintaku. "Jangan ulangi lagi kebodohanmu. Kaulah yang membuat Taufik dingin menghadapi Ami," tudingku tanpa ragu-ragu. Kudapati wajah pasi di depanku, yang sinar matanya tertunduk layu sehabis aku menyiraminya dengan air es yang kuguyurkan langsung dari Pegunungan Alpen di timur sana. Di luar lampu stasiun menyala terang. Saatnya kami beringsut ke pintu. Sebab sehabis stasiun ini kami harus turun. Dingin, kami berjalan dalam dingin menuju ke pintu rumahku lima ratus meter dari stasiun itu.
(BERSAMBUNG)
cerita yang menggugah jiwa...terima kasih telah bertutur kembali, selayang pandang yang menggores memori silam...
BalasHapus*turut berduka cita, semoga arwah elis diterima di sisiNya. AMiennn...x333
semoga dia nyaman di sisi Allah...
BalasHapusIni fiksi apa kisah nyata bun??
BalasHapusTak tahu musti komen gimana. Tak sabar menunggu kelanjutan dan ending asmara segitiga Taufik-Ami-Elis. Happy ending kan ya Bun, ya?
BalasHapusAmin. Saya masih selalu pedih kalau mengenang Elis yang tak sempat menimang bayinya. Terima kasih doanya.
BalasHapusInsya Allah nmak, saya juga terus berdoa untuknya. Dia betul-betul orang baik dan tulus kalau dikenang.
BalasHapusIni prosa, pokoknya gitu aja deh........
BalasHapusinnalillah, semoga dapat tempat yang layak.. Amin..
BalasHapussedih bacanya, Bun..
hiks..
Tunggu ya mbak. Saya selang dengan menemani anak saya makan malam sebab dia keburu mau pergi ke theater nonton play untuk memenuhi tugas ekolah. Terus mbukain pintu buat suami baru pulang kerja. Sekarang mau tak stop lagi, makan malam dulu disambung shalat maghrib dan ngaji. Insya Allah selepas isya ada terusannya.
BalasHapusSambungannya bun!! *Ikut bdoa buat elis juga....
BalasHapusSemoga dia diampuni dari segala dosanya. Terima kasih ya bang Arham, tumbenan masuk kesini. Si Harry barusan masuk habis nonton play, dia komen, Tumben si abang nyasar ke ibu," kwakakkak........ angin surga didatengin"penggede" ih. Thank's ya bang!
BalasHapusTuh udah yang kedua. Tapi lanjutannya besok malem lagi aja deh.
BalasHapuslanjuut...
BalasHapusYa, tapi mesti sabar. Soalnya yang nulis bukan pengarang, jadi dicicil wong nggak ngerti kaidah nulis prosa.
BalasHapusapa kabarnya bu julie? masih tetap sehat dan selalu berbagi cerita kan? salam dari kami sekeluarga di bekasi.
BalasHapusMbak'e!!!! Duh aku sampek kangen!!! Masih eksis di dunia maya toch? Ayo dong ke warnet minimal seminggu sekali biar kita ketemu lagi. Mana foto anak-anak di Bekasi? Kepengin lihat dong. semoga cepet beradaptasi dengan keadaan yang panas. Adik masih suka telanjang? Salam sayang dan peluk hangat dari rantau.
BalasHapustante elis ekarang tinggal dimana, tante? saya save smua ceritanya yah... soalnya ini di warnet. hotspot di kampusnya lago errorejing, hehe
BalasHapusTante Elis sudah di surga, insya Allah. Dia wafat waktu melahirkan anak pertamanya karena melahirkan dalam keadaan sakit.
BalasHapuscerita yang bagus bu julie... dan mengharukan, susah untuk dilupakan ya.
BalasHapuspasti sekarang Elis sudah di surga.
Insya Allah, doain aja bu Wati.
BalasHapustapi kan ceritanya belum sampai kematian elis ya. baru seputar perselingkuhan.
BalasHapusIya, sabar ya sayang........
BalasHapusaku tau deh email itu. barusan juga dapat kayaknya 2 hari lalu. soal si meisya itu bukan? biarpun cuman terinspirasi dari sebuah cerita nyata, tapi it happens every here and there ya mbak.. it could happen to us also yg minta2.. jangan deh ya mbak..
BalasHapusIya, Meisya itu. Juga sampe menggugah air mata anak lanangku si sentimental di rumahku ini lho mbak. Pertama aku dapet di blognya orang Bogor. Eh, lha kok dapet lagi bleberan milis dari sepupuku di Bank Mandiri Jakarta. Halah, orang ngantor kok ya sempat-sempatnya ngurus kayak ginian.......
BalasHapusapa tentang email yang judulnya "wanita yang dicintai suamiku". itu ya budhe? perasaan beberapa hari yang lalu dapat juga, ttg cinta segitiga juga, tapi lupa siapa saja pemerannya
BalasHapusAku melewatkan banyak postingannya mba Julie, tau2 udah no. V aja. Jadi baru baca yg I nih. Ceritanya seru kayaknya, seperti biasa.
BalasHapusIya, e-mail itu yang memicu saya kepengin nulis beginian. Pemerannya Mario, Meisya, Rima, kalo nggak salah. Saya dapat dua kali. Pertama postingan salah satu kontak saya. Beliau kalau mau menyempatkan diri baca prosa saya ini pasti nangkep maksudnya. Kedua kalinya saya dapat e-mail dari sepupu saya. Malah suami saya (lha wong laki-laki) juga dikirimin sama dia. Ngapain coba, orang sibuk kerja disuruh baca dan merenungkan yang begitu? Mogha-moga ada manfaatnya juga sih.........
BalasHapusWelcome to my postingan uni! Silahkan disimak yang bagian ke-6 posting tadi malam. Terima kasih udah mau datang. Kritiknya ditunggu ya uni cantik.......
BalasHapusinnalillahi,,,
BalasHapusTerima kasih ucapannya. semoga Allah membahagiakan 'dewi" ku di surganya sana.
BalasHapusnyicil baca dulu sekuelnya mbakyu, lama ga onlen jadi banyak ketinggalan, sepintas saya kagum dengan deretan kata-katanya yg nyaris sempurna, pingin banyak belajar ma mbakyu
BalasHapusMangga, saya juga masih belajar dengan ngintipin sitenya mas Saturindu dan mas Hartono (kadang-kadang nggak pake sign in biar nggak kelihatan lagi niru caranya bertutur hehehe.....)
BalasHapushehehe, masing-masing punya ciri menulis ya mbakyu
BalasHapushmmmm....better late than never....baru mulai baca yang I niyyy...., tapi sudah gak sabar mo terussss....terussss...., bunda pintar sekali merangkai kata, sampai gak terasa sudah selesai....dan penasaran cari terusannya......hoooppp...mo ke page II dulu yaaa... :)
BalasHapusAduh kasihan yang penasaran..........
BalasHapusAlhamdulillah, udah mulai menikmati bagian awal.. sementari mengenali karakternya masing-masing tokohnya dulu.
BalasHapus.
Silahkan pak Iwan, jangan diketawain ya, penulisnya baru belajar sih.
BalasHapusStart !!!
BalasHapussave di ebook ya Bund , biar marem bacanya ...
Nyumanggaaken, tapi aja diguyu, asli ini pekerjaan orang iseng aja kok.
BalasHapusTerima kasih sudah mampir ke rumah saya yang ini.
Hadir.
BalasHapusArham udah menghilang dari mp.
BalasHapusSilahkan bang, terima kasih. Ini awal dari Siti itu.
BalasHapusouwhh ini tah novelnya bunda...
BalasHapusSumuhun, anu bubututan tea.
BalasHapusPan site ieu sanes kanggo ngeblog. Nyaeta ari ngeblog mah di bundel weh sapertos biasana. Janten kontak teu acan, nya?