Kendaraan Kijang yang di Republik Afrika Selatan berjuluk "Condor" datang menghampiriku. Halaman kedatangan Bandara Soekarno Hatta, Tangerang penuh sesak. Meskipun pagi belum lama bangkit, tapi hilir mudik pengunjung sudah luar biasa padat.
Kusandarkan pungungku yang kaku kena imbas perjalanan hampir seharian tadi malam di bangku mobil biru sewaanku pagi itu. Mataku nyalang berbelanja pemandangan Asia yang lama tak nampak di pelupuk. Di sisiku bu Rini kerabat kami mulai bercerita tentang Indonesia sepeninggalku satu setengah tahun yang lalu.
-ad-
"Alhamdulillah saya nggak terlambat sampai Cengkareng," mulainya seraya mengarahkan pandangan ke tempat duduk sopir yang mengendarai kijang biru tua ini. "Biasanya jalanan macet, terutama dari rumah saya di Cilandak," sambung bu Rini.
"Kenapa bu?" tanyaku terbangkit ingin tahu. "Kami berangkat kesiangan tadi pagi, maklum agak susah mencari mobil sewaan di kampung," sahut bu Rini dengan senyum mengembang lega. Gigi-gigi putih sebesar biji mentimun berbaris rapi walau di deretan samping sudah nampak tak lengkap lagi. Aku mengangguk-angguk dan menarik nafas lega.
Inilah Indonesia dengan segala keadaan dan rutinitasnya. Aku adalah bagian daripada kehidupan disitu. Dulu aku terbiasa berpanas-panas naik turun angkutan kota untuk menjalankan segala tugas rumah tanggaku. Berbelanja, mencucikan pakaian dinas suamiku di penatu, bahkan ke sekolah anakku nun jauh terpencil di desa pinggiran kota Bogor. Bagiku tak aneh jika aku harus berebut kendaraan dengan orang lain, bahkan juga tiba terlambat di suatu tempat. Semua kunikmati saja apa adanya, karena Indonesia memang begitu. Tak perlu malu berada di dalamnya.
-ad-
Gedung-gedung megah berdesakan menjulang tinggi seakan-akan berebut memamerkan kemewahannya. Aku menggigit bibir, menahan ngilu di dada. Di kampungku yang hanya berjarak limapuluhempat kilometer dari ibu kota negara, jangankan gedung tinggi gemerlapan, pusat perbelanjaanpun sangat apa adanya. Sekelas pusat perbelanjaan di daerah perkampungan Jakarta. Lalu, jalanan mulus yang kini kulalui dengan nikmat, seperti sedang mengejek diriku. Disana, di kampungku, bahkan di tengah-tengah kota yang padat dan hiruk-pikuk, kubangan kerbau masih dibiarkan setia menganga menghiasi aspal jalanan. Lagi-lagi aku tersenyum getir.
Bu Rini masih terus asyik dengan dongengannya diselingi pertanyaan tentang Republik Afrika Selatan tempatku bermukim bersama suami kini. Telinganya asyik menyimak, selagi mindanya mencerna dan mencermati semua kata-kata yang meluncur dari bibirku. "Disana sepi, tenang dan sejuk, jauh dari bayangan orang mengenai Afrika," uraiku. Lalu terbayang lagi suasana di perkampungan tempat tinggalku yang baru kutinggalkan sehari. Nikmat, namun tak berhasil menjeratku untuk mencintainya sebaik aku mencintai tanah airku.
-ad-
Jam sebelas siang kuinjakkan kaki di bumiku. Pada selapis lantai semen yang menjadi alas carport rumah BTN hasil kerja keras suamiku seorang pegawai negeri. "Assalamu'alaikum," seruku sambil membuka pintu ruang makan yang ajaibnya tidak terkunci seakan-akan menunggu aku masuk sejak pagi.
Tak ada seorangpun di rumah, selain perempuan paruh baya kurus tinggi yang kemudian kukenali sebagai pembantu rumah tangga kami. Sambil berpelukan dia menjelaskan bahwa kakakku sedang ke pasar. Nampaknya hari ini jadi hari besar untuk kakakku. Dia sangat bahagia dan sudah berharap akan segera berkumpul kembali denganku.
Anakku langsung masuk ke dalam kamar sambil mengangkuti semua barang bawaan kami. Rumah terasa hening, sebab tak ada erangan kucing-kucing pejantan kesayangan kami yang biasa menjerat kaki-kaki kami begitu mendengar kami membuka pintu.
"Mira dimana?' tanyaku pada Nur pembantu kami tentang cucuku. "Ikut eyang ke pasar, " jawab Nur sambil mengaduk kopi tubruk yang harumnya langsung menyengat hidungku. Dia hafal betul kopi merek apa kesukaanku, dan seberapa pula takarannya.
Kupersilahkan bu Rini dan sopir mobil sewaan kami duduk di dalam. Mereka menolaknya dan memilih teras rumah kami untuk bercengkerama. Aku menemani sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Ada kedai-kedai baru di seberang rumah kami, menggantikan kedai empek-empek milik pak Ramelan yang dulu jadi andalan kami menjamu tetamu. Tapi kedai sate Mang Maman yang harum bakarannya menimbulkan lapar masih tetap berasap di samping kedai nasi Padang. Dalam setahun kampungku sudah berubah.
-ad-
Ketika angkot hijau muda itu berhenti tepat di mulut gangku, segera aku terlonjak. Aku yakin dia menurunkan kakakku dan cucu kami. Tanpa ragu-ragu segera aku menghambur ke pintu pagar dan menebarkan kedua lenganku menyongsong orang-orang kesayangan kami.
"Mbah putri........," teriak lantang gadis kecilku menghambur ke dalam dekapanku. Tingginya sudah mencapai bahuku sekarang. Kakakku mengulang dari belakang, memelukku dengan getaran haru pada bibirnya. Mata tua itu berkaca-kaca.
Kami lima bersaudara perempuan. Aku terlahir sebagai anak bungsu, selagi kakak tertuaku hidup berdua bersama putrinya sambil mendampingi dan melayani semua kebutuhan orang tua kami.Selisih usia enam belas tahun di antara kami, menjadikan aku sebagai anak baginya, selagi dua kemenakanku begitu dekat denganku sehingga menganggap aku ibu bagi mereka. Kini setelah kepergian bapak, kami berkumpul kembali. Tepatnya kakakku tinggal di rumah kami anak-beranak sehingga kami tak perlu bersusah payah mencari penyewa saat rumah kami tinggalkan berdinas di luar negeri. Begitulah ajaran orang tua kami dulu, hiduplah saling membantu dan saling memikirkan kebutuhan sesama.
-ad-
Aku menyeberang jalan ingin mencicipi kembali lezatnya sate kambing dan nasi goreng Mang Maman yang memang kurindukan sejak di jalan tadi. Dia tersenyum begitu nampak wajahku. Buru-buru dinyalakannya api arang sambil mencatat pesananku. Mang Maman masih sebagai dulu, tetap tersenyum walau kutahu sekarang sulit mencari gas untuk memasak hidangannya. "Moal nyobian sop-na?" tanya mang Maman menawarkan sup kambing yang mengepul-ngepul di panci raksasa di dapur mungilnya. Harumnya menggelitik juga, tapi kutepis dengan sopan seraya mengatakan aku rindu nasi goreng dengan satainya yang belum pernah kutemukan saingannya dimanapun. Dia tersenyum senang, "ah si ibu mah tiasaan," balasnya seraya menghitung tusukan satai untukku.
-ad-
Bau tanah terasa menyergapku ketika shalat dhuhur baru selesai kutunaikan. Hujan membasahi halaman rumahku yang sarat bebungaan, menciptakan rasa bahagia tersendiri padaku. Baru kusadari, kini cemara-cemara yang kutanam dulu sudah menjulang menjangkau kabel-kabel telkom minta perhatianku. Juga tanaman hias semarak warna-warni berserakan menuruti selera kakakku. Sebetulnya bagiku terasa agak kurang cantik. Tapi aku tak peduli, yang penting, kemuning pesanan almarhum ayahku sudah tumbuh rapat melapisi pagar rumah kami. Bapak bilang, kemuning adalah pagar yang rimbun namun sekaligus menyenangkan karena wanginya yang khas. Dan suamiku, pemilik rumah ini setuju.
Bu Rini minta diri sebelum sore. Aku mengantarnya ke halaman dengan rasa terima kasih dan senyum termanis yang kupunya. Kami berpelukan sekali lagi sebelum aku mulai bertukar kisah dengan kakakku menunggu sore. Hujanpun reda menyisakan butir-butir air di rerumputan. Menyejukkan, sesejuk hatiku yang dilanda rindu. Inilah kampungku. Bumiku tercinta yang teronggok di balik punggung-punggung bukit. Bogor, aku mencintaimu, batinku.
lagi mudik ya mbakyu
BalasHapus*kangen bogor juga
Wis lunga maneh mas........ maklum bibi dapur ora oleh pamit suwe-suwe.
BalasHapuswah, cepet banget, jd ini cerita waktu pulkam ya
BalasHapusIya, prolognya bibi cuti dari dapur negara mas.
BalasHapusberapa lama di kampung bu?? pasti seneng yaah. se enak2nya tinggal dikampung orang lebih enak kampung sendiri ka buu.
BalasHapusCerita nya tak ada habis nya nieh dari kemaren
BalasHapusHEm....hayo cerita lagi ada apa lagi di sana?
Oya Bu............cerita yang hantu itu dunk !! he he
Tiga minggu di rumah, seminggu di Bandung. Iya tuh un, senengan di kampung sendiri daripada dimanapun juga.
BalasHapusTunggu ya? Ada aja ceritaku nggak habis-habis. Maklum bawel dan nyinyir. Si hantu mah nanti di Bundel aja yu.
BalasHapusduuuh asyiknya mengurai tumpukan kenangan kampung halaman, Selamat Datang di Kampung Halaman dan sekalian Selamat Berjuang di Negeri Orang.
BalasHapusTerima kasih kembali kang. Baisalah nini-nini suka kebanyakan ngoceh kekekeke.....
BalasHapusbunda, aku sangat menikmati ceritamu..
BalasHapusayoo tulis lagi...
Terima kasih. Menikmati, karena aku norak ya? Orang pulang ke rumah sendiri aja bisa jadi cerita gitu, iya 'kan?! Hahaha....... tunggu ya terusannya ada kok.
BalasHapusnorak2 nyastra bun.. sampe ga terasa udah selesai aja di kalimat terakhir...
BalasHapusditunggu sequelnya... hihihihi...
jadi kangen kampung hik hik tiap kali baca cerita bu andra pasti netes nih air mata
BalasHapustanteeee, emang sdh brp lama ga pulang k ind?wah skrng dah pergi lg yaaaa:(
BalasHapusBunda critanya slalu asyik!! *Buat cerpen apa novel aja bun!!
BalasHapusWow! Mampir Solo gak neh?
BalasHapusHalah, mani ngerakeun nya?! Aduh, hampura teteh geulis........
BalasHapusHahaha..... lain kali kalo mau baca postingan saya, sangu handdoek dulu ya, buat ngepel air matanya yang pada tumpah ke lantai. Wis pulang deh nengokin ibu-bapak.
BalasHapusBAru kok, satu setengah tahun. Tapi ternyata kampungku aja udah berubah teteh, gimana atuh ya, mau nggak bingung?!
BalasHapusAh, mbak Lina ajalah yang buat novel. Saya mah nggak pinter bikin novel. Cuma pinter ndongeng ngalor-ngidul yang nyata tapinya..........
BalasHapusNggak mbak, nuwun sewu. Lha kemana-mana juga nggak sempat. Banyak urusan keluarga. Saya cuma ke Bandung aja karena ada anak saya dan urusan keluarga. Habis itu ke Jakarta buat urusan pribadi. Ya sudah, habislah waktuku di dalam rumah tanggaku yang "jelita".
BalasHapuspulang berikutnya kasi kabar yah tante, biar bisa ketemuan sama temen2 MP yg di bogor or jakarta ^_^
BalasHapusInsya Allah, kayaknya kalo pulang lagi berarti pulang habis deh. Kemarin sempat juga ketemuan di BTM tapi sama sebagian kecil aja. Itupun tadinya, karena saya kepengin memeprtemukan anak-anak dengan teman-teman lamanya. Tapi ternyata yang lain-lain pada kepengin ikutan, jadi akhirnya ada yang kenalan baru segala haiya, nenek-nenek pasang aksi kayaknya gitu deh...........
BalasHapuswah asik banget ceritanya, pasti kopinya bu Julie... kopi kapal api ya?
BalasHapussaya belum pernah liat bunga kemuning... jiga kumaha ya? mungkin kalo udah liat wujudnya baru tau deh. kadang suka tau nama bunga tapi gak tau wujudnya. atau sebaliknya. tfs... di tunggu cerita selanjutnya.
Bukan, kopi orang Bogor mah Liong Bulan bikinan Pasar Anyar. Ada sobatnya anak saya orang Ciampea, dia bilagn keluarganya di Ciampea juga peminum Liong Bulan. Enak banget!
BalasHapusBunga kemuning itu kecil-kecil berkuntum-kuntum. Ada di pagar Gereja Immanuel seberang Stasion Gambir. Coba kalo lain kali nyebrang dari Stasion ke kantor suami, diperhatiin pagarnya gereja. Bugna kecil putih, wangi itulah dia kemuning. Masa' nggak tahu sih?
tadinya saya mau bilang liong bulan, takutnya malah bu julie gak tau merk itu, soalnya bapak saya juga minumnya kopi itu, udah gitu dulu saya suka ngumpulin bungkusnya, biar bisa di tuker sama gelas liong yang warnanya choklat. hehehe... kolektor bungkus kopi... jangan di buang ya bungkusnya.
BalasHapusnanti deh kalo lagi ke pejambon saya mau lirik pagernya gereja imanuel.
Oh.... oh.... oh.... ternyata, saya sih kalo beli nggak pernah di sembarang tempat. Mesti ke pabrik penggilingannya yang di pasar itu. Jadi, saya dapet kulalitas nomor 1 yang digiling di depan kita sesuai pesanan kita, tapi tanpa hadiah.
BalasHapusSoal gelas, dulu ibu sama kakak saya demennya ngumpulan gelas dari sabun colek. Makanya dikatain sama kakak saya yang lain, katanya mereka agen sabun ekonomi. Haiya!!
Ya udah kalo penasaran lihat kemuning, jalan deh jemput suami naik kereta. Daunnya kecil-kecil, bunganya gitu juga.
Iya bulan Des 2008 kemaren ketemuan di BTM, sayang agak 'riweuh' - rame teuing maksudnya, sehingga acara formal tak bisa berlangsung penuh...karena rekan rekan bermunculan bertahap...semua ingin ber halo halo dengan bu Julie & family...jadi ya karena kesempatan itu jarang ada kita biarkan semua saling sosonoan (eeh mayoritas baru ketemuan sekali itu kali ya..).
BalasHapusTernyata banyak juga yang bisa diungkap bu Julie dalam 'home coming days' nya itu itu...meski sebagian adalah menyangkut kehidupan beliau dengan latar pengalaman lama dikaitkan dengan yang baru saat ini...
Semua kisah tetap menarik, kalau sudah meluncur kata demi kata dari Bu Julie teh....
Akang......., ulah ngisinkeun wae atuh.
BalasHapusterima kasih kepada dukungan saudara/i sekalian kepada kopi liong bulan. diminta dukungnyna buat join official fanpage kopi liong bulan di facebook
BalasHapushttp://www.facebook.com/pages/Kopi-Bubuk-Cap-Liong-Bulan/125271780816692
terima kasih yah! ;)