Aku harus mengakui, bahwa diriku seorang manusia kuno, produk jaman dahulu. Aku menjadi semakin banyak tidak tahu dan salah menerapkan istilah jika sedang berbicara menceritakan masa kini. Anakkulah yang mengatakan itu.
Beberapa hari yang lalu anakku meralat tulisanku yang mengatakan tentang nilai-nilaniya pada semester ini. "Itu nilai Indeks Prestasi (IP), bukan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). IP adalah perolehan nilaiku semester ini saja, sedangkan IPK adalah nilaiku nanti sejak semester pertama sampai terakhir pada saat aku lulus," tulisnya. Kujawab dengan pernyataan maaf, disertai penjelasan bahwa aku rancu sebab tidak mengalami sepenuhnya sistem semester.
Akulah generasi pertama yang memulai sistem satuan kredit semester di perguruan tinggi. Ketika suamiku masuk dua tahun sebelumku, universitas masih memberlakukan sistem gelombang yang setara dengan sistem catur wulan di tingkatan-tingkatan sekolah yang lebih rendah. Sudah begitu, aku tidak menamatkan sekolahku pula dan menghentikan langkah di ujung semester sepuluh tanpa karya tulis. Sebab saat itu orang tuaku sudah sangat sakit dan mengharapkan aku segera menikah begitu suamiku lulus pendidikan di kantornya dan siap ditugaskan kemanapun. Ibuku berharap aku menikah dengannya dan mengabdi di dalam rumah tangganya.
Aku sepaham dengan beliau, sebab sebagai istri seorang diplomat tentunya aku akan keluar-masuk negeri dan sebagai akibatnya pasti akan keluar-masuk pekerjaan juga. Tak mengapa, batinku, aku berhenti disitu tapi yang jelas ilmu sudah kuserap semuanya.
Kini aku menanggung akibatnya. Menjadi si bebek jelek betulan, yang serba tidak tahu di tengah orang-orang yang menjadi semakin pintar akibat perubahan jaman. Ha....ha....ha...., bebek jelek!
-ad-
Ke-"tua"-anku menjadi pertanda bahwa anakku sudah bertumbuh pesat. Bukan lagi si kecil itu. Walaupaun sifat aslinya tetap sama, berperasaan halus seperti keluarga bapaknya. Di waktu kecil selain dia sering iba melihat orang susah, dia juga pandai menghargai jerih payah bapaknya. Dia jarang sekali menuntut minta dibelikan ini-itu. Karenanya dia pernah merajuk ketika suatu saat ayahnya menolak menyewa "delman Eropa" dalam suatu acara pesiaran kami.
"Bapak, bolehkah kita naik delman?" tanyanya polos selepas kami keluar dari halaman rumah tinggal W.A Mozart di jantung kota Salzburg yang cantik. Di sekitar sana berombongan wisatawan mencari tujuan wisata berikutnya dengan dirayu oleh para sais delman yang tidak agressif seperti d negeri kita. Suamiku melihat brosur wisata di tangannya, medisukusikannya denganku lalu memutuskan untuk mengitari pusat kota terlebih dahulu. "Kita jalan kaki ya nak, keliling kota dulu sebelum nanti naik funicular ke arah bukit sana," kata suamiku sambil mengajak melangkah. "Ya, bapak, gitu ih," kudengar dia mengeluh lirih. Dihembuskannya nafasnya seperti mengusir kecewa. Dia berdiam diri mematung sambil terus berkata, "naik delman saja kok tidak boleh?" Kuperhatikan wajah suamiku, sepertinya dia teguh pada keinginannya untuk berjalan kaki saja dulu.
Maka kugenggam tangan anakku dan kuusap kepalanya yang ditumbuhi rambut lebat, "nanti dulu ya mas, kita naik ke bukit di sebelah sana dulu, pulangnya baru naik delman ke restoran, naik delman kan biasa. Di kampung kita nanti juga bisa," bujukku. Dia melenguh lagi membuang muka ke tanah. "Ih, naik delman saja tidak boleh," gerutunya sambil tetap memaku diri di tempatnya berpijak.
Suamiku nampak luluh, segera disikapinya dengan mengabulkan permintaannya. "Oh, ya deh, kalau begitu kita naik delman ke bukit, tapi sambil keliling zentrum ya?" kata suamiku pada akhirnya sambil melambai ke salah sebuah delman di dekat kami. Sinar wajah anakku berubah ceria. "Asyik, terima kasih bapak," serunya riang sambil menunjukkan sikap tak sabar ingin buru-buru melangkah ke atas delman. Selanjutnya sepanjang perjalanan matanya asyik menerawang mengamati keadaan di sekeliling kami dengan senyum lebar dan celoteh yang tiada henti.
Anakku, betapa aku akan selalu mengingat episode itu. Saat kau sangat berbahagia dengan menumpang delman Austria. Dan menikmati liburan kita dengan kebahagiaan yang penuh.
-ad-
Di umur itu juga dia sudah pandai makan sendiri dengan sumpit seperti masyarakat Cina. Semangkuk nasi goreng yang mengepul habis disantapnya di restoran. Dia kelihatan sangat terampil menggunakan alat makan yang bagiku saja masih terasa asing. Betul-betul mencengangkan, sehingga kerabatku yang kebetulan menyaksikan mengatakan bahwa anakku memang unik. Dan akan kusimpan dalam ingatanku bahwa apapun adanya, anakku memang seorang pencinta nasi goreng dengan lauk bebek panggang.
"Aku mau makan banyak supaya aku kuat," katanya disetiap perjalanan wisata kami. Dan dia memang membuktikannya. Meskipun dia penderita asthma yang kambuh setiap menjelang pagi, tapi dia tidak pernah "layu" di perjalanan panjang kami, serta menikmati semua kunjungan itu. Termasuk ke tempat-tempat bersejarah semisal istana, museum terbuka bahkan gua es yang luas dan dingin di ketinggian puncak pegunungan Alpen itu.
Di sinilah minat anakku akan sejarah mulai tumbuh. Pada setiap museum, dia akan berhenti serta menunjukkan minatnya. Di setiap patung yang didirikan di taman-taman kota, diapun menunjukkan ketertarikannya. Mata itu akan mengawasi kemudian merabai permukaannya. Anakku memang beda, persis cerita "The Ugly Duckling' yang sering kututurkan kepada keempat buah hatiku. Maka tak berlebihan jika aku mengistilahkannya sebagai si bebek jelek.
-ad-
Satu hal yang tidak bisa kulupakan dari anakku adalah kecintaannya terhadap musik. Acara lipsing anak-anak di stasion televisi Jerman menjadi salah satu agenda favoritnya. "Minnie Playback Show", demikian judulnya, selalu ditontonnya dengan penuh nafsu. Namun entah mengapa, anakku tidak pernah tertarik mempelajari musik. Padahal aku amat mendorongnya untuk belajar setidak-tidaknya keyboard terlebih dulu. "Aku tidak mau belajar musik," katanya. Sebab ternyata di dalam hatinya dia punya cita-cita yang sama uniknya untuk anak-anak lelaki. Menjadi guru.
Maka sejak saat itu, kapur tulis menjadi salah satu benda kegemarannya yang dipakainya untuk mencoret-coret papan-tulis seakan-akan guru sedang menerangkan pelajaran di dalam kelas. "Kamu mau jadi guru?" tanyaku memancing. Dia mengangguk dalam-dalam dan berkata, "guru adalah orang yang paling pintar."
Cita-citanya yang mulia tak padam hingga dia di SMA. Hanya guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolahnyalah yang bisa membelokkan minatnya. "Jangan belajar sejarah dan jadi guru sejarah, belajarlah ilmu politik dan hubungan internasioanal. Kamu lebih cocok disitu," pesannya. Maka sejak kelas tiga SMA dia menekuni semua pelajarannya agar bisa diterima di perguruan tinggi yang ditujunya atas saran sang guru.
-ad-
Aku hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Sekarang semakin kusadari adanya. Apalagi ketika aku mengenangkan kembali masa kecil anakku, yang ternyata sudah lama berlalu. Bukankah berarti aku harus mulai bersiap-siap "masuk kotak"? Wayang akan berganti pemain. Anak-anak muda itulah yang akan tampil di pentas tentunya dengan segala kebaruan yang mereka peroleh berkat kemajuan jaman.
Anakku pasti salah satu diantaranya. Si unik yang lembut yang terasah oleh kegemarannya terhadap musik dan bercita-cita mulia. Aku hanya bisa turut mendoakan. Semoga kelak Allah memudahkan semua usahanya menuju tempat yang baik di masyarakat, sebagai salah satu di antara para pemimpin bangsa itu. Tapi ini semua cuma harapan seorang ibu.
Mudah-mudahan suatu saat nanti aku bisa kesana. Amin!! Aku punya VCDnya Sounds of Music di rumah bu Julie, ... kereeeeeeen banget yah Salzburg.
BalasHapusAnak memang bagaimana orang tuanya. They are the way that you nurture them. It's true!!
BalasHapus"The Ugly Duckling" ... oh dari sini toh sejarahnya... tapi kasihan deh bu.. :-D
Anak akan selalu butuh orang tuanya. Terlebih do'anya. "Masuk kotak??" Hmm, tidaaaaak la yaw!! Kalau di Indonesia, Insha Allah ilmunya bermanfaat untuk membuka wawasan generasi penerus, tapi biar menarik, di format sesuai dengan jaman. So, you will be a worthed person in new era.
BalasHapusAmalan terbaik adalah membuat generasi penerus menjadi lebih baik daripada generasi kita... Hayooo bu Julie... semangat, jangan di kotakkan hahaha...
Hmm, the ugly duckling ya Bunda :). Ikut mengaminkan doa Bunda... Zaman memang berubah, tapi ikatan kasih sayang juga makin erat, kan? Bahkan meski terpisah jarak sekalipun.
BalasHapusSaya lebih suka menyebut putera Bunda: Si Bebek Cakep... he he...
BalasHapusAyo jeng Julie (Andrews) ... jangan pernah berhenti belajar. Sebagai ibu kita juga harus "gauL" lhooo jadi kalau diajak diskusi sama anak-anak tetap bisa 'klik' dan nggak malu-maluin gitju looh.... hehehee.
BalasHapusIya, aku juga beli. Bagus deh pemandangan disana. Nggak cuma di luar kotanya. Di dalam kotanya juga sangat bagus. Tapi menurut aku, semua kota di propinsi Voralberg, Tyrol dan satunya lagi (aku kok tua banget sekarang, lupa propinsinya tapi ibu kotanya Klagenfurt yang berbatasan dengan wilayah Itakia), cantik semua. Ayo-ayo ngumpulin duitkesana. Jangan lupa ke gua es Werfen. Apa perlu aku ceritain dulu di Bundel ya mengenai keindahan Austria? Kasih saran jeng Minet........
BalasHapusOh, kasihan ya? Lha wong unik, lain daripada anak-anak pada umumnya sih. Dan bedanya dia tuh udah kelihatan sejak kecilnya.........
BalasHapusMana ada anak-anak suka nongkrong aja di rumah, asyik main sendiri, dan punya cita-cita cuma jadi guru thok (secara doi tuh lelaki gitu lho.........)
Alhamdulillah nggak putus cinta dengan saya tuh. Tiap hari juga dia ikutan baca memoirnya ini, cuma nggak mau komen aja, Tapi saya lihat ada tuh dianya disini.
BalasHapusDia juga kelihatan udah kepengin ketemuan lagi dengna kami. Insya Allah lebaran ini dia datang. Doain aja kesampean. Soalnya dia lagi penuh dengna program yang disusunnya sendiri di kampus.
Nuwun ya mbak. Yang penting bagi saya, cakep atinya. Itu aja udah jadi sumber kebahagiaan terbesar buat saya.
BalasHapusSecara walopun saya jeng Julie gini, tapi jeng udah tua. Mungkin duapuluh tahun lebih tua dibandingkan kebanyakan saudara-saudara Mpers disini.
BalasHapusGaul........
"mari kita ......gauuuuuuuuuuuul..."
BalasHapustapi bukan mba ul loooh...
hihihi...nyamber aja nih...
Ibu Julie, itu bagus banget. Soalnya kan pengalaman pribadi, pasti ada ruh di cerita tersebut, bukan sekedar membaca dan memberikan resensi, tapi juga pengalaman disana.
BalasHapusUntuk lebih hidup, ditambahin visualisasi berupa foto di sananya. Bila tidak ada foto pribadi bisa masuk search-engine google, trus tulis aja building atau kota yang akan dicari. Nah diatas kiri google kan ada image, jadi sebelum klik search dan write something, itu dulu yang perlu dilakukan. Nah, kalau udah nemu gambar atau foto yang sesuai, baru di copy trus paste di file ibu. Demikian. Biar lebih hidup ceritanya...
Menurut pendapat saya, orang yang sudah fokus dengan keinginannya mulai kecil itu jarang. Dan saya mengamati, ternyata orang-orang hebat itu orang yang fokus dibidangnya, bukan orang yang pintar di segala bidang. Karena dengan sedikit kemauan, tapi manfaatnya untuk orang lain. Mungkin role-modelnya para penemu (inventors).
BalasHapusAku seneng kok disamber bu Dedeth. Apa kabar bu? udah nego soal ticket kesini dengan pak supir angkot belum?
BalasHapusYa deh, suatu hari nanti saya tulis. Banyak yang sangat menarik di Austria. Saya memang udha nggak punya gotonya karena udah "nginep" di gudang rumah. Tapi kalo tanpa wajah keluarga saya juga oke, saya cari deh di google. Terima kasih masukannya.
BalasHapusSetuju. Kalo fokus kan berarti ditekuni dan hasil orang tekun tentu bagus.
BalasHapusTosh!!! Gicu donk..
BalasHapusAku yakin, gak Austria aja... tapi di tempat ibu pernah tinggal... pasti menarik untuk di tulis dan di kemas dengan era kita... Pasti Bisa deh!! Stimulate your brain, jadi enerjik nantinya. Nenek yang fresh-brain, inner-beauty and full of enthusiam.
BalasHapuskabar bae2 ajeee..
BalasHapusni lagi nego yang deket2 dulu nih..
mau ktemuin mper Fauziah van Taiwan..
yang jauh mah abis taun baru kali yeee..
secara keluarga supir angkot kalo lagi high season dilarang jalan2
nomor satuin yang bayar dunkks....
cita-citaku dari kecil cuma mo jadi arkeolog kaya Indiana Jones, tapi ga kesampean. hihihihihihihihi...
BalasHapusMinnie Playback Show.........jadi ingat acara kesukaan anak2 saya waktu di Jerman.16 tahun yll,rasanya baru berlalu saja,tapi kalau lihat anak2 kita,wah jadi sadar diri,emak2 nya sudah mulai dapat ijazah S2 alias Sampun Sepuh,nggih mboten jeng?????????
BalasHapusWah mas Andri bakalan jadi penganti Ayahnya juga dong bu hihi,,,,, Selamat dan semoga berhasil ya,,
BalasHapusHa....ha....ha..... insya Allah!! Biar nggak pikun ya?
BalasHapusNggak 'pa-'pa kok bu. Salam aja buat mbak Fauziah. Salam kenal gitu, soalnya saya malah belum kenal.........
BalasHapusYa udah, sama deh sama anakku. sekarang, tidurlah dan mimpilah jadi Indiana Jones. Anakku malah nggak suka sejarah purbakala. Tapi dia kalo diajak bicara masalah perang paling seru ngomongnya.........
BalasHapusBetul mbakyu, kira-kira 16 tahun yang lalu, kita masih seger dan muda. Oh, mbakyu saya inget sekarang sedang di Bonn dengan bu Hasyim kan?!
BalasHapusKita sudah tua mbakyu, mungkin sudah harus siap-siap pamit mundur.......
Nggak mau tuh mbak. Dia tetap mau menekuni dunia dan pekerjaan yang berbeda dengan bapaknya....... Tapi terima kasih doanya.
BalasHapusaih, Tante... indah benar kalimat ini.
BalasHapussemoga generasi muda kita tahu dan memahami harapan generasi terdahulunya. semoga putra Tante Julie menjadi yang terbaik sesuai harapan ibundanya. amin...
salam dari Indonesia :-)
Amin mbak Rieke. Ini hanya sepenggal harapan seorang ibu yang menjelang tua. Semoga terkabul. Terima kasih.
BalasHapusibu masih awet muda koq...doain ya bu..biar generasi muda indonesia mjd harapan bangsa..Amin..
BalasHapusTerima kasih. Iya kok tahu, setiap saya berdoa saya selalu mohon kepada Allah untuk menjadikan generasi anak-anak saya sebagai pemimpin yang peka terhadap rakyat dan berkualitas. Sebab kenyataannya kita butuh itu.
BalasHapus