Petang yang teduh dengan sinar mentari condong ke barat selalu mengingatkanku akan anakku. Andri kecil selalu siap mandi pada sekitar pukul empat sore. Lalu berdiri di muka televisi kami yang mungil untuk menantikan siaran pembuka Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang pada masa akhir tahun 80-an masih menjadi pemain satu-satunya di nusantara.
Aku siap menyalakan untuknya, dan asyik pula mengamatinya berdiri menyanyikan Indonesia Raya dengan bahasa bocahnya yang belum sempurna. Sejak pertama menonton TVRI sudah nampak ketertarikannya akan irama lagu kebangsaan kita. Matanya menatap tak berkedip pada bendera merah-putih yang digambarkan melambai tertiup angin, sementara telinganya seperti menyimak penuh. Pada bagian refrain diserukannya "Iraya-iraya merdeta-merdeta-tanahtu-nedritu-yang tucinta......." sambil terus menatap layar kaca penuh minat.
Belum pernah kudapati anak seperti dia sekalipun pada kedua kemenakanku yang dulu kuasuh. Mbakyu-mbakyunya hanya tertarik pada lagu kanak-kanak, tapi dia tertarik pada hampir semua lagu. Tak heran, jika tiba saatnya upacara hari nasional, dia tidak menolak untuk diajak serta. Bahkan dengan gaya kanak-kanaknya dia minta berdiri di barisan anak sekolah. Memang tubuhnya akan condong ke kanan atau kekiri tak beraturan. Tapi dapat dipastikan dia tidak pernah lari menghambur kepada kami orang tuanya. Dia akan tetap berada di barisan anak sekolah sekalipun dengan wajah yang ditolehkan ke kanan dan ke kiri serta kakinya yang tidak mau diam.
-ad-
Kami mengasuhnya sedemikian rupa. Membiarkannya tumbuh sesuai dengan keinginannya sambil mengawalnya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan.
Akulah orang pertama yang mengajarkan kasih sayang padanya. Ketika janin si bungsu mulai bersemi dan bertumbuh di rahimku, kubuka sebuah buku perihal kehamilan. Kutunjukkan gambar janin di dalam rahim ibunda, dan kukatakan bahwa perutkupun akan membesar sebab kami ingin memberinya seorang teman untuk disayang dan diajak bermain. Kepalanya ditolehkan memandangku dengan sungguh-sungguh. Mulutnya separuh terbuka seakan tidak percaya. "Ya, kamu akan punya adik seperti mbak Sitri punya mas Erwin, dan kak Ratih punya Galih," kataku menyebutkan nama tetangga-tetangga kecil kami. "Aku boleh main dengannya nanti?" tanyanya polos penuh harap. Kuanggukkan kepalaku, dan kuraih telapak tangannya untuk kutempelkan di perutku sambil berkata, "sekarang mas kenalan dulu dengan adik, ya. Katakan padanya mas sayang adik." Dia patuh namun menunjukkan raut muka kebingungan, "dimana adik?" tanyanya. Aku tersenyum menyadari "ketololanku" sendiri. "Tentu dia tidak kelihatan mas, dia ada di dalam sini. Tapi dia bisa mendengar karena Tuhan memberinya telinga,' jawabku mantap sambil menepuk-nepuk perutku. Kubelai helai-helai rambutnya yang legam dan lebat. "Hallo adik, salam," katanya kemudian mematuhi permintaanku.
Maka sejak hari itu dia selalu kubawa serta ke klinik kebidanan dan kandungan tempat dokterku memeriksa kehamilan ini. Bahkan atas ijin dokter, dia senantiasa ikut masuk ruang pemeriksaan sambil mendengarkan detak jantung janinku yang terpantau dari sebuah alat kayu berbentuk serupa terompet. Setiap degup jantung itu terdengar, dengan riang dia bertepuk-tepuk tangan dan memanggil "hallo adik, sedang apa?" Sejuk rasanya hatiku mendengarkan dan mengamati tingkah lucu anakku mempersiapkan kelahiran adiknya.
Belum lagi ketika kemudian anak bungsuku lelaki lahir, dengan memaksa Andri-ku berkeras untuk menamakan adiknya Yayang Suryadi, mencomot begitu saja nama pemilik kedai hasil bumi langganan kami. Dia nyaris menangis ketika bapaknya menolak dan mengatakan sudah punya nama lain.
Mendapati raut wajah kecewa anakku, mas Dj memutuskan untuk mengambil nama Haryadi, supaya tak jauh dari keinginan anak kami sekaligus mengadopsi sepotong nama ayahku sesuai janjinya. Dulu sekali, dia ingin anak-anak kami kelak menyandang nama ayahnya dan ayahku sebagai penghormatan kepada beliau yang telah menjadikan kami sebagai makhluk yang tangguh. Andri tertawa lebar, "tapi adik namanya tetap Yayang," tegasnya sambil menggenggam jemari mungil si bungsu. Keteguhannya meluluhkan si ayah, dan ini kelak akan terus berlangsung hingga dia dewasa.
-ad-
Sejak kelahiran si adik diumurnya yang ketiga, Andriku semakin lekat dengan dinding rumah. Sehari-hari dia hanya bermain-main di sekitar makhluk mungil itu. Seperti biasa, berdendang sambil menepuk-nepukkan tangannya. Juga membuka buku dan berpura-pura membaca.
Aku memang membiarkan anakku tumbuh sesuai kodratnya. Tak penah sekalipun aku mengajarinya membaca. Kutebarkan saja buku-buku cerita bergambar itu di pangkuannya, lalu aku membaca untuknya. Dengan segala intonasi yang kadang-kadang naik-turun mengiba atau bersorak-sorai kukisahkan apa yang tergambar di buku itu dengan bahasaku sendiri. Itulah juga yang dilakukannya terhadap adiknya. Dibukanya buku di dekat si bungsu, lalu dia mendongeng dengan gayanya sendiri meniru-niru kebiasaanku.
Dia memang penggemar beratku. Semua keseharianku lekat diamatinya, termasuk kedudukanku sebagai ibu rumah tangga. Sehingga ketika suatu hari pak Ketua Rukun Tetangga menggodanya dengan pertanyaan kapan dia akan bersekolah? Yang keluar adalah jawaban yang lucu, polos dan menggelikan. "Aku tidak mau sekolah, pakdhe. Nanti kalau sekolah aku jadi pintar. Aku mau bodoh seperti ibuku supaya aku di rumah terus." Semua orang tergelak mendengarnya. Dan manakala ditanya mengenai keberadaan ayahnya, dia akan selalu menjawab tegas, "bapakku di kantor, mencari rejeki karena bapakku pintar." Lagi-lagi pernyataannya menimbulkan semburat di piipku yang tirus serta pucat sehabis melahirkan si bungsu yang juga dengan caesar. Aku tesipu-sipu atas perkataan anakku sendiri yang bagiku begitu mengagetkan.
-ad-
Sampai dewasa anakku memang tidak begitu cemerlang. Tapi di balik semua kesederhanaannya aku melihat kesungguhan yang sangat. Pada prinsip hidup dan sikapnya menghadapi suatu keadaan. Anakku betul-betul lelaki yang tangguh, yang tak mudah terbawa arus dan terhempas badai. Ya Allah, nikmat apakah yang aku dustakan? Sesungguhnyalah Engkau Maha Kasih. Kau berikan kepada kami anak yang menyejukkan hati dan menenteramkan pikiran.
Tiba-tiba kudengar alunan musik dari arah ruang makan kami. Lagu yang sangat lawas, yang nyaris tak ada lagi orang mengenangnya. "Brand New Broken Heart" dari cakram digital Connie Francis. Satu lagu kesayangan anakku, "Si Bebek Jelek" yang selalu tampil beda sebagaimana "The Ugly Duckling" yang dulu kubacakan kepadanya sebagai pengantar tidur. Di kepalaku berpendar-pendar lagi bayangan tentang dia. Dan masa kecilnya yang sangat manis. Anakku, aku rindu padamu. Ijinkan ibu menjumpaimu di atas bantal pada mimpi malam hariku.
Aih ibu.. Itu mah bukan bebek jelek.. Itu mah mutiara tangguh terbungkus cangkang kerang..
BalasHapusKalo begitu, tugas orang tua menarik busur dan mengarahkannya, dan mas andri anak panah yang terus melesat. Anak panah itu terus melesat dan menyaksikan segala hal yang terlewat dan memperkayanya dengan angin,badai,debu,rintik hujan,siraman cahaya mentari,panas, dingin dan segalanya. Memperkayanya, menguatkannya. Tampil beda? Biarkan memilih sendiri tempatnya pada dunia dan keputusannya terus berjalan hingga anak panah itu menemui peristirahatannya dalam cinta dan kasih sayang Pencipta Nya. (halah lagi comment apa yah ini, hihihihihihhihihi). Mudah2an ada part III nya. Ditunggu ^_^
BalasHapusOh ya? Nggak berlebihan tuh? Kade ah, Allah nggak ridho nanti dicabut semua milikku. Kalo kata cerita yang suka saya bacain ke anak-anak yang empat waktu mereka masih kecil, yang lain daripada yang lain itu namanya "The Ugly Duckling", jadi ya begitulah. Jalan kemana-mana juga adaaaaa aja yang ngeliatin dan ngoomongin dirinya......... Makanya Andri lagi nongkrong di studio dan ikut-ikutan nyanyi, temennya ada yang ngiseng dengan ngerekam tingkahnya terus di postingin di youtube itu. Dari dulu dia suka diliatin dan dijadiin topik pembicaraan orang terus. Tunggu aja nanti baca postingan selanjutnya.
BalasHapusNuhun ya teh Rin udah mau mampir kesini. Salam buat suami dan anak-anak.
Andi. Saya sangat terkesan dengan komentar mas Andi. Begitu mengena dan menyentuh. Terima kasih atas semua perkataan indah itu. Saya berusaha untuk membawakan diri saya sebagai ibu yang tidak "otoriter". Tapi kadang-kadang saya jengah juga atas sikapnya. Karena itu dia sekarang sering "menegur" kekeliruan ini dengan semua alasan yang masuk akal baik di E-mail panjang maupun PMnya buat saya.
BalasHapusIni baru part II, masih ada lanjutnanya mas, karena dia sekarang sudah di Unpad dan jalan menuju kesana dulu sangat panjang dan mengesankan. Tunggu ya......... Soalnya saya berbagi dengna pekerjaan pelaksanaan peringatan HUT RI nih.
Mudah2an disamping pintar dalam belajar, sifat ibunya yang santun dan rendah hati,menurun juga ke Mas Andri.Amin
BalasHapusSantun rasukan budhe? Nggih, rumiyin gaya gadis mboten mwi "blangkon" sakpunika dipun "blangkoni" kados wonten Head Shot. Mandar ugi dipun tutupi dumugi dhadha..............
BalasHapusMatur nuwun atas segala kebaikan budhe Adi mendoakan yang terbaik untuk anak kami. Semoga doa budhe menjadi pemicu Allah untuk mengabulkannya. Amin.
BalasHapusbebek biar jelek kalo dipanggang enak mbak hehehe...
BalasHapusLha kok tau? Itu memang favorit anak-anakku sama bapaknya.... ha...ha...ha....
BalasHapustanteee.... lagi kangen... anaknya ya...??
BalasHapusaku juga kangen tante nih.... hehehe
Sami2 jeng,Harapan dan doa kita selalu yang terbaik buat anak2,dan Insya Allah bisa seperti bapaknya,atau bahkan melebihi,Amin.Salam buat Mas Andri dari bude Adi,sukses mas.
BalasHapusiya Cha. Habis udah tiga belas bulan nggak ketemuan. Icha kangen siapa?
BalasHapusTerima kasih banyak budhe. Insya Allah doa budhe di ijabah.
BalasHapus"Insya Allah doa budhe di ijabah" AMIN.
BalasHapus.
.
Amin-amin-amin! *lalu saya mengusap wajah*
BalasHapus......tinggal bagaimana kita mendefinisikan 'cemerlang'. Saya percaya semua anak cemerlang. Kita sebagai orang tua seringkali gagal melihatnya. Sisi cemerlang anak tidak selalu harus di tempat yang orang pada umumnya biasa melihatnya. Kalo seorang anak dapet D untuk Math, kan tidak otomatis anak itu kurang cemerlang. Lihatlah dimensi lain dari dirinya. Pasti kita meneukan kecemerlangannya. Bukankah kecerdasan itu multidimensi? Begitu yang pernah saya baca dari seorang pakar pendidikan. Tapi rasanya bagi kita ibu-ibu, tak perlu alasan apapun untuk membanggakan anaknya... Tak perlu kehilangan alasan untuk mensyukuri amanah indah ini dengan ihtiar dan doa yang tak pernah berkesudahan kita langitkan... Selamat, Ibu... dengan anak cemerlang ibu.
BalasHapusBu Nina, salam lekum! Wah, ucapan ibu sunguh mengesankan. Saya setuju sepenuhnya. Semoga saya bisa menjaga amanah indah ini dan menjadikannya salah satu asset yang bisa digunakan negara dengan baik.
BalasHapusSelamat juga untuk bu Nina yang saya tahu putri-putranya juga "cemerlang" seperti kedua orang atuanya. Iya 'kan?! Midah-mudahan suatu hari nanti kita bisa ketemu betulan di kampung ya bu. Pengin kenal nih............
Jadi pengen liat bebek goreng.. Eh,ANDRI maksudnyah..
BalasHapusItu ada di video satu-satunya yang aku posting......
BalasHapusDi foto galeri juga ada.