Powered By Blogger

Kamis, 21 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (32)

Pada umumnya orang sudah pernah mendengar kata "kemoterapi". Ini merupakan pengobatan penyakit kanker. Efek sampingannya pada sebagian besar pasien menakutkan. Rambut berguguran, kehilangan nafsu makan bahkan pusing dan tentu saja lemah. Kebanyakan pasien akan kehilangan berat badan. Itu antara lain yang ada di benak kita.

Saya pun memaknainya begitu, meski tidak tahu bagaimana sesungguhnya kemoterapi itu. Dan saya juga belum tahu apa bedanya dengan satu sistem pengobatan lagi yang dinamai "radioterapi" alias penyinaran. Sampai ketika akhirnya saya sendiri menderita kanker lalu harus mulai menjalaninya dalam waktu dekat ini.

Ketika memeriksa saya sebulan yang lalu, dokter memperhatikan semua hasil pemeriksaan penunjang yang sudah saya jalani untuk mendeteksi apakah sel kanker saya sudah sempat menyebar ke organ tubuh lainnya. Berhubung hasilnya bagus semua, tidak ada penyebaran, maka dokter memutuskan untuk memeriksa jaringan sel kanker saya lebih teliti lagi. Dokter ingin tahu secepat apa sel kanker itu bertumbuh. Sayang sampai hari ini belum ada hasilnya karena laboratorium yang memeriksa masih belum menyelesaikan tugasnya. 

Tapi mengingat tumor saya sudah sangat lanjut, luka terbuka pula, maka dokter memutuskan untuk tidak mengoperasi saya sekarang. Sebagai penanganannya saya akan segera diobati dengan kemoterapi yang katanya akan diberikan secara oral selama 4 bulan. Artinya saya diharuskan makan obat kemoterapi. 

Saya pun tidak disuruh menjalani radiasi, karena katanya tidak akan ada manfaatnya untuk membunuh sel kanker saya yang sudah terlanjur jadi tumor besar itu. Lain halnya andaikata saya datang berobat ketika masih dalam tahap dini. Penyinaran yang bisa makan waktu sampai 30 kali itu akan bermanfaat. Jadi, saya diberi obat anti kanker selama sebulan yang sayangnya tidak membawa perbaikan apa pun pada tumor saya.

Dulu saya sering melihat pasien dikemoterapi tapi tidak berupa obat yang dimakan, melainkan diinfuskan. Ternyata, selain dimakan (kemoterapi per oral) juga kemoterapi infus, ada kemoterapi cara lainnya. Pokoknya banyak macamnya, termasuk disuntikkan langsung ke otot atau lapisan bawah kulit serta disuntikkan langsung ke cairan di dalam tubuh tepat di daerah yang ditumbuhi sel kanker itu. Bahkan yang paling mudah, bagi penderita kanker kulit ada kemoterapi berupa pengolesan obat langsung ke kulit yang sakit. 
Dan saya, ~yang sebetulnya ngeri menghadapi tusukan jarum ini~ dengan senang hati akan menerima kemoterapi berupa obat yang dimakan. 

Adapun radioterapi adalah pengobatan dengan menembakkan sinar X yang berdosis tinggi langsung ke bagian yang ditumbuhi sel kanker. Ini biasanya membawa efek samping berupa kulit terbakar. Oleh karenanya pasien tak boleh sampai membasahi kulit bekas radiasi itu ketika dia membersihkan tubuhnya. Saya sudah menyaksikannya sendiri antara lain pada kenalan saya seorang petinggi televisi swasta nasional yang numpang berobat dari rumah dinas mantan suami saya ketika di negeri seberang dulu. Kulitnya yang kena radiasi menghitam. Soal rasanya saya tidak berani menanyakan, takut pasiennya tersinggung.

***

Sejarah radioterapi dan kemoterapi konon sudah cukup panjang. Banyak juga kemoterapi itu yang digunakan untuk mengobati penyakit lainnya. Pokoknya dia jelas bermanfaat. Hanya saja, sebelum dikemoterapi pasien harus dipersiapkan kesehatan fisiknya sebaik mungkin. 

Langkah pertama yang harus dilalui adalah menjalani pemeriksaan laboratorium lengkap, darah dan urine. Khusus pemeriksaan urine ini, pasien dibekali sehelai kantung plastik khusus bertutup untuk menampung urinenya selama 24 jam di rumah. Beda sekali dengan pemeriksaan urine biasanya yang diambil seketika di RS atau laboratorium. Sayang RS tempat saya berobat bukan RS besar dengan alat pemeriksaan yang lengkap. Karenanya urine itu diperiksakan di laboratorium lain di luar RS sehingga akan memakan waktu kira-kira seminggu. Beginilah kalau kita tinggal di sebuah kota kecil.

Setelah itu kita menuju ke bagian radiologi untuk menjalani pemeriksaan Echo Cardiography atau rekaman detak jantung menggunakan tenaga ultrasonografi. Di sini pasien akan dibaringkan di dekat mesin ultrasonografi (USG) lalu daerah dada dipasangi kabel-kabel yang terhubung ke mesin itu. Sayang dokter tak berhasil memeriksa saya; katanya tumor saya sudah terlalu besar sehingga menutupi letak jantung saya. Karenanya sensor mesin tak bisa lagi "menangkap"nya. Setengah bingung saya tanyakan apa efeknya terhadap proses kemoterapi seandainya echo jantung tak terekam begini, dokter menjawab tak ada. Sebab echo jantung hanya merupakan evaluasi saja bagaimana detak jantung pasien sebelum serta kelak setelah selesai dikemo, untuk panduan pelaksanaan resimen kemoterapi selanjutnya.

Selanjutnya rekaman detak jantung itu dilakukan sekali lagi menggunakan mesin Electro Cardiography (ECG) yang sudah lumrah diketahui orang ada di ruang praktek dokter jantung. Pemeriksaan ini harus dilakukan di hari yang sama dengan pemeriksaan terakhir, yakni kesehatan secara umum di dokter spesialis penyakit dalam. Sebab beliau lah yang akan membacakan hasilnya sebagai bagian laporan kepada dokter onkologi yang meminta jasanya. Untung ini bisa dilakukan, hasilnya pun baik bahkan tekanan darah saya normal yakni pada kisaran 130/90 mg/Hg. 

Pada waktu diperiksa itu saya mengeluhkan bahwa saya kena sariawan di balik lidah saya, serta saya habis muntah-muntah semalaman dua hari sebelumnya. Namun dokter yang teliti memeriksa sambil mengambil berbagai catatan medis saya dari hasil kami bertanya-jawab mengatakan saya tidak apa-apa. Muntah-muntah itu menurut analisanya disebabkan faktor ketegangan pikiran belaka. Ah, persis dugaan banyak orang termasuk sinshe saya. Tapi tak urung saya dibekali dengan obat anti muntah serta obat penahan nyeri yang menurutnya harus selalu saya makan setiap hari untuk mengatasi rasa sakit yang jamaknya dialami semua penderita kanker. Padahal dokter onkologi membatasi penggunaan obat anti nyeri itu. Saya dianjurkan memakannya hanya bila perlu, sebab telah diberi obat pereda nyeri lainnya dari jenis yang ditempelkan di kulit yang sehat yang khasiatnya terbukti memang lebih ampuh meski harganya selangit. Bayangkan saja, sehelai untuk pemakaian tiga hari tak kurang dari seratus delapan puluh ribu rupiah. Begitu rupanya, yang bagus pasti harganya mahal. Walau sayang kanker yang namanya bagus, pengobatannya mahal tapi penyakitnya justru tak ada bagus-bagusnya sama sekali. Mengerikan, menciutkan nyali.


***

Sampai dengan hari ini pengobatan kemoterapi saya belum bisa dimulai. Sebab sudah dua minggu berlalu sejak pemeriksaan jaringan sel kanker saya di RS pusat penangangan penyakit kanker nasional belum juga ada kabarnya. Mengecewakannya lagi, nomor telepon yang diberikan RS untuk mengecek ketersediaan hasil sebelum berangkat mengambil tak pernah ada yang mengangkat. Bahkan E-mail yang saya kirimkan lewat website resmi mereka juga tak dijawab.

Saya teringat dokter onkologi saya yang menyayangkan saya tidak melakukan pemeriksaan itu di RSUPN. Saya menyesal telah mengabaikannya, hanya gara-gara saya punya kepentingan untuk sekalian mengontrol dan merawatkan luka saya di klinik RSKD itu. Seandainya saya dulu mematuhi permintaannya, tentu kemoterapi saya bisa berjalan segera awal minggu depan.

Tapi dokter onkologi saya benar. Persiapan untuk kemoterapi memang lama serta butuh kesabaran selain tentunya dana yang tak sedikit. Waktu saya sempat memprotes jadwal prakteknya di Bogor yang tidak pernah tepat waktu, saya sempat mengajukan permintaan untuk kembali berobat di RSKD. Waktu itu beliau bilang saya akan mengambil langkah yang keliru. 

Pasalnya seperti yang saya alami sekarang, persiapan kemoterapi itu tidak sebentar. Pasien harus mendatangi beberapa klinik serta laboratorium dulu. Tentunya dalam keadaan tubuh lemah seperti yang saya alami.

Saya pun lalu teringat gambaran cerita yang diberikan seorang dokter bedah umum senior di Jakarta ketika menjenguk saya ke rumah sewaktu saya belum berobat ke dokter. Beliau bilang, biasanya pasien yang dalam perawatan akan tinggal sementara tak jauh-jauh dari RS tempatnya berobat. Sebab, pengobatan kanker butuh waktu sangat lama sedangkan pasien tak boleh letih. Jadi, biasanya ada kamar-kamar sewaan di sekitar rumah sakit yang memang biasa menampung para pasien RS yang datang dari luar kota. Bentuknya berupa kamar kost sederhana, namun memadai. Katanya yang penting bisa dipakai tidur beristirahat dan makan sekalian. 

Tetangga saya menuturkan, saudaranya pernah juga memanfaatkan jasa rumah kost itu ketika berobat. Harga sewanya bervariasi tergantung keadaan bangunan dan fasilitasnya. Tapi minimal disewakan tiga ratus ribu rupiah sebulan untuk masa ini. Dan menurut tetangga saya, kondisi rumah kost itu terpelihara baik karena umumnya dimiliki oleh keluarga para dokter juga. Ya, ternyata prinsip simbiose mutualistis juga berlaku di dunia kedokteran. Tak mengapa, asal menguntungkan kedua belah pihak tentu tak ada salahnya.

Kini saya sadari sendiri, betapa beruntungnya saya beroleh dokter yang amat memperhatikan kondisi kenyamanan pasien. Adakah lagi dokter-dokter lain serupa itu selain dokter saya? Marilah kita tanyakan saja jawabnya pada angin lalu yang menerbangkan guguran bunga jambu di halaman rumah tetangga saya. 

Jumuwah mubarak!

(Bersambung)

14 komentar:

  1. oalahhh salah pengertian blas saya selama ini bun, setiap ada yang nyebut kemoterapi mesti saya mikirnya itu disinar, ternyata yang disinar itu lain lagi namanya ya. sip bunda jadi jelas sekarang.

    saya turut mendoakan mudah2an hasil pemeriksaan jaringan kanker bunda segera ada beritanya, biar bunda bisa memulai pengobatan kemoterapinya, amin yra...

    ikutan hepi bun, bunda ketemu dokter yang perduli dengan pasien *alhamdulillahhirabbilalamin*

    salam
    /kayka


    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bukan yang disinar. Itu make obat aja kok, entah dengan cara disuntikkan, entah dimakan, entah dioleskan di kulit, entah diinfus. Yang kebanyakan saya lihat sih diinfuskan.

      Terima kasih lagi sudah mau jadi teman saya, walau bukan follower ya. Gpp juga kok, semoga pertemanan kita ini masing-masing membawa manfaat.

      Hapus
    2. terima kasih bunda sudah bersedia ditemani oleh saya :)

      semoga ya bun... soal follower, ada setorinya nih bun (kebanyakan setorinya ya bun he he he mudah2an bunda gak bosen). saya punya pengalaman kurang ok di fesbuk bun. saya diadd dan diadd jadi kontak, tapi sesudah diok-in disapapun tidak. justru yang gak punya fesbuk yang memelihara tali silahturahminya. salah satu alesan akhirnya saya udahan aja sama fesbuk,

      artinya bun saya ingin aktif nengokin bunda, walaupun saya bukan kontak bunda...

      salam
      /kayka

      Hapus
    3. Oh gitu ya? Memang iya di Mp juga dulu banyak yang begitu. Invite, terus saya tengok dulu site nya, terus kalau menyenangkan saya accept. Eh belakangan dia nggak nongol sama sekali, padahal di tempat orang lain saya lihat rajin nongol dan komen. Tapi buat saya ya sudah, nggak jadi soal. Yang penting dulunya bukan saya juga yang minta dijadiin teman.

      Saya memang nggak punya FB kok, nggak suka aja lihat FB. Buat saya gitu doang, kurang mengasyikkan.

      BTW di sini enak kak, nggak jadi follower bisa ikut baca jurnal-jurnal saya. Soalnya kan memang nggak bisa diset privately deh kayaknya, nggak kayak di Mp. Eh, apa saya yang terlalu gaptek jadi belum tahu caranya setting di sini?? Nah kalau di Mp kalau bukan kontak hanya bisa baca sebagian aja, yang memang diset for everybody yang biasanya isinya hal-hal sehari-hari yang nggak ada gizinya hihihihi........

      Hapus
    4. genau... lagipula di fesbuk kita gak bisa nulis seperti kalo kita ngeblog ya bun.

      btw bun sepertinya blogspot punya set privacy juga deh. pernah waktu saya tanya sst sama oom google, trus alamat blognya tak klik, tapi trus pop-up line gitu kalo kita harus log-in dengan masukin imel kita, semacam begitulah. he hehe jadi males deh.

      met wiken ya bun...

      salam dan doa dari jauh
      /kayka



      Hapus
    5. Ya gitu deh. Makanya saya nggak pernah punya FB,

      Set private di Mp lain lho......... pokoknya bikin senang aja.

      Hapus
  2. Aduh kangen tulisan ibu, ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga SDLB 32

    Ikut prihatin dengan lambatnya hasil pemeriksaan jaringan yang terkena kanker, padahal itu dilakukan di rumah sakit penanganan kanker yang ada embel2 'Nasional'nya. Gimana kalau di rumah sakit yang levelnya dibawah ya

    Ini jadi tambahan kesabaran lagi buat Ibu rupanya, semoga selalu ada kebaikan didalamnya.

    Beruntung Ibu memiliki sahabat2 dokter yang baik2, itu sudah merupakan karunia besar juga ya Bu.
    Syafakillah Ibu, sembuh sembuh sembuh ...Ibukupasti sembuh, aamiinn ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nak Winny. Ini bagian dari ujian yang harus saya alami. Semoga setelahnya kesembuhan menyapa dan menyertai perjalanan hidup saya. Saya sabar aja kok, senang rasanya didoakan orang banyak. :-)))

      Hapus
  3. bund.....suwe ra mampir kiyeh? pripun kabare?
    tetep semangat nggih bund......ndang mari

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ooooiiiiyyyyy....... apa lah?

      Nang ndi baen sih? Iya kiye ora mari-mari, ngasi kesel ngenteni garep kemoterapi baen ora sida-sida. Kesuwun semangate ya nak.

      Hapus
  4. Bundaaa, setiap ada artikel soal sakit, saya teringatnya bunda lho.... insyallah teringat plus kirim doa juga.
    dan kapan hari ada artikel teman, sakit adalah penghapus dosa kita. amien, mudah2an ini adalah jalaran jalan surga buat bunda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbak Ina. Saya sempat ragu-ragu waktu lihat HS dan id mbak Ina di WP hehehehe........

      Ketemu lagi kita sekarang. Ternyata saya sakit tapi nggak jadi pikun. Alhamdulillah, masih mendingan deh.

      Hapus
  5. Ibuuu...apa kabarnya? semoga membaik ya bu. Teman-teman ex.Cape Town dan yg msh di CT kirim salam. Kami semua mendoakan ibu spy ibu sabar dan kuat menjalani pengobatan dan segera sembuh..aamiin..
    -rita

    BalasHapus
  6. Dear Rita, alhamdulillah kayaknya nanti malam saya mulai dikemo, dokternya udah nggak mau ngoperasi soalnya. Buat dokter, kalau dioperasi sebelum dicoba diobati dengan obat kemo, takutnya malah flaring up kayak waktu saya sakit di Singapura dulu.

    Sekarang saya memang ke dokter sih, dibiayai teman-teman SD7 yang kebetulan sudah pada "jadi pimpinan di Perwakilan", alhamdulillah. Cerita-cerita soal kerukunan angkatan kami ada lho di rumah lama saya yang dulu. Bisa dibuka kok, silahkan.

    Terima kasih atas doa dan kebaikan semuanya ya, juga untuk ibunda mu dan mas Fadhli. Salam kangen untuk semuanya. Semoga kita masih bisa ketemu lagi. Rit, punya E-mail saya nggak? Kirimin saya E-mail dulu deh nanti saya ceritain panjang lebar, kisah sinetron yang ini hihihihihi.......... *nenek-nenek kurang kerjaan*

    BalasHapus

Pita Pink