Powered By Blogger

Sabtu, 09 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (29)

Menjadi penyandang penyakit kanker artinya ujian kita tiada pernah berhenti. Ada rasa sakit yang harus dilawan. Ada rasa jenuh menghadapi hari-hari yang bergumul dengan pengobatan. Ada juga rasa kecil hati menghadapi komponen biaya yang berat jika pasien ingin benar-benar sembuh, yakni ongkos obat-obatan termasuk kemoterapi serta sederet biaya pemeriksaan penunjang. Bagi orang berpenghasilan tetap apalagi yang memiliki fasilitas asuransi kesehatan, komponen biaya tentunya tak seberat yang ditanggung seorang pengangguran. Namun seperti selalu saya ceritakan, kalau kita berserah diri ke tangan Allah, maka semua akan teratasi tanpa terbayangkan.

Nyatanya, alhamdulillah salah seorang kontak baru saya ~walau kelihatannya tak ada di daftar follower saya~ yang bermukim jauh di Eropa sana tiba-tiba mengulurkan bantuan biaya dengan memaksa. Semula tentu saja saya ragu untuk menerimanya. Maklum namanya pun kontak baru, belum pernah bertemu secara nyata, belum pernah pula bersinggungan. Seandainya beliau benar-benar tergerak untuk menolong saya, bersimpati kepada saya, apa motivasinya saya tak jelas benar. Walau katanya sih karena beliau juga pernah mengalami pembedahan di organ reproduksinya sehingga tahu betapa sakitnya penyakit-penyakit yang menyiksa saya ini, sehingga beliau tergerak untuk meringankan beban saya, tapi pantaskah kalau serta merta saya menerima uluran tangan beliau? Ada rasa sungkan berbalut malu hati. Sampai-sampai saya berpikir bahwa saya adalah orang yang terlalu nekad menuliskan semua pengalaman saya menghadapi penyakit ini di blog-blog saya selama ini. Tapi lagi-lagi beliau mengatakan saya tak perlu beranggapan begitu. Sebab katanya, justru melalui rangkaian ungkapan perasaan saya, banyak pembaca blog saya yang "disasarkan" mesin pencari ke blog saya merasa memetik banyak pelajaran. Bahwasannya sakit itu tidak harus disembunyikan, bahkan melalui kegiatan berbagi pengalaman si penyandang sakit bisa menolong orang lain yang kebetulan juga sakit untuk mengatasi persoalannya sendiri. Intinya, membuka mata hati orang banyak bahwa dia tak sendirian menderita di dunia. Ah alhamdulillah kalau begitu.

***

Seminggu kemarin kegiatan saya sehubungan dengan perawatan adalah memeriksakan jaringan sel kanker saya secara lebih lanjut ke rumah sakit besar. Dokter saya menghendaki melihat sejauh mana sel kanker saya cepat berkembang. Sehingga beliau bisa segera menetapkan resimen terapi yang pas untuk saya. Sebab penyakit kanker menurut dunia kedokteran tidak pasti sama pada setiap orang, tergantung dari penyebabnya. Untuk mengatasinya, maka pada setiap pasien dibutuhkan terapi yang berbeda-beda sesuai dengan penyebab dan keadaan pasien itu sendiri. Kecermatan dokter di dalam menilai penyakit pasiennya inilah yang akan sangat membantu melawan penyakit kanker dalam waktu yang lebih singkat.

Ketika akhirnya saya berangkat ke RSKD membawa sendiri jaringan sel kanker saya untuk diperiksa, saya merasa lega. Sebab biaya pemeriksaan yang digambarkan oleh petugas laboratorium RSKB tempat saya menjalani perawatan sekarang, ternyata tak sesuai. Dulu mereka mengatakan pemeriksaan ini akan dikenai biaya dua-tiga juta rupiah, kalau mereka yang mengirimkannya untuk saya. Hasilnya pun baru bisa diambil tiga minggu kemudian, padahal dokter saya menghendaki hasil segera supaya cepat bisa bertindak seperti seharusnya penatalaksanaan penyakit kanker itu.

Saya cuma dikenai biaya sembilan ratus ribu rupiah, hasilnya boleh diambil empat hari kemudian. Paling lambat seminggu saja. Bukan main leganya hati saya, meski menyaksikan para pasien kanker di RSKD cukup menimbulkan luka batin juga. Bayangkan saja, di sana saya melihat banyak pasien dengan kondisi yang menyedihkan. Terduduk di kursi roda masing-masing bahkan ada yang bergolek di ranjang atau di bangku tunggu pasien, dalam keadaan kurus kering, tak bergairah dengan kepala bertudungkan ciput pertanda menutupi kulit kepala mereka yang ditinggalkan rambut-rambut indah mereka akibat obat kemoterapi yang diterima. Pokoknya saya ngeri menatap pemandangan yang demikian di RSKD. Belum lagi ketika berada di ruangan klinik, saya pasti mendengar pasien mengerang-erang, menjeritkan rasa sakit yang mereka rasakan ketika luka mereka sedang dibersihkan dan dirawat. Tapi itu semua tertutupi oleh kenyamanan hati mendapati pemeriksaan singkat dan biayanya tak semahal dugaan kami.

***

Ternyata kanker memang tak selalu menakutkan. Semalam saya bahkan terpukau di muka layar televisi waktu menyaksikan acara ajang pencarian bakat, "Indonesia Mencari Bakat". Seorang finalis yang memiliki kemahiran melukis menggunakan media pasir, mencoba untuk melukiskan perjuangan para pasien kanker yang masih kanak-kanak. Untuk itu dia menghubungi Yayasan Kanker Anak Indonesia, dan dipertemukan dengan sejumlah penderita yang menjalani terapi di sana. Di film yang menyertai atraksinya dia kelihatan sedang berbincang-bincang dan bermain bersama dengan bocah-bocah berusia antara 7-10 tahunan. Hebatnya, anak-anak itu tak nampak bagai orang sakit. Tubuhnya gemuk, dengan pipi membulat, yang saya tengarai sebagai gemuk air atau di dalam istilah asing disebut "moon face" yang biasanya diakibatkan oleh penggunaan obat-obat steroid dalam jumlah banyak. Anak-anak itu tak sedang tergolek lemah. Mereka bahkan bermain bersama di sebuah ruangan, juga di luar pada sebidang lahan taman bermain. Tak ada jarum infus menancap di lengan mereka. Sungguh menakjubkan. Yang membuat kita sadar bahwa mereka adalah orang sakit hanya pancaran wajahnya yang boleh dibilang pucat itu saja.

Menurut Vina Candrawati pelukis itu, anak-anak ini sedang menjalani berbagai terapi di suatu tempat yang sama. Pada pengamatannya, mereka sama sekali tak menampakkan gejala kelelahan meski tak bisa juga dikatakan prima. Mereka tetap antusias untuk berkegiatan bersama, bangkit dari pembaringan mereka, termasuk belajar melukis bersamanya. Saya mendapat pelajaran berharga dari mereka : Bahwasannya penyakit kanker tak boleh dimanjakan. Pengidapnya mesti melawan dengan stamina dan kemauan hidup yang tinggi. Saya pun kemudian berbalik melongok ke dalam diri saya sendiri. Sudahkah saya melakukan hal yang sama dengan mereka?

Tidak, belum sama sekali. Sebab akhir-akhir ini saya justru sedang merasa perlu beristirahat banyak. Sebab, ketiak saya membengkak menyatu dengan payudara saya yang luka. Soal sakitnya jangan ditanya. Sudah barang tentu menjalar jauh hingga ke tangan saya. Sekarang setiap saya menggerakan tangan kiri saya ini, bahkan sekedar untuk menggosok gigi atau pakaian saya, ada rasa nyeri yang timbul tenggelam. Itulah yang membuat saya malas untuk bergerak banyak. Tapi dokter sudah mengantisipasinya dengan memberikan obat yang ditempelkan di kulit sebagai pereda rasa sakit. Obat ajaib itu berupa sehelai plastik transparan seukuran satu kali dua centimeter saja. Tapi soal harganya, jangan ditanya, tak kurang dari seratus sekian belas ripu rupiah. Untungnya daya kerjanya adalah tiga hari sehingga saya bisa menggantinya setiap tiga hari sekali. Kini saya mulai menggunakannya dengan cermat. Soalnya, ah ternyata...... khasiatnya tak seberapa juga kok menurut hemat saya. Jadi saya tetap lebih mengandalkan obat yang ditelan saja walau hanya sebatas pereda sakit yang ringan-ringan.

***

Malam tadi saya menyukuri benar betapa ternyata banyak sekali orang yang peduli kepada para penderita kanker. Dan untuk itu saya hanya bisa membalasnya dengan doa semoga mereka tidak akan pernah mengalaminya. Karena kanker itu menyakitkan, dan ganas! Saya tahu sendiri, ada penderita kanker payudara yang sudah berobat tetapi akhirnya penyakitnya menjalar hingga ke paru-paru dan tulang belakangnya. Istri dari kemenakan saya sendiri mengalami itu setelah menyerah terhadap pengobatan seorang penyembuh alternatif yang bergelar haji. Dia akhirnya beralih ke RS dan menjalani kemoterapi untuk tulangnya, juga pengangkatan payudaranya yang sakit. Tapi entah mengapa penyakitnya tak kunjung membaik, membuat tulangnya menjadi nyeri. Saya duga dokter yang merawatnya kurang persiapan yang tepat di dalam menangani resimen terapinya. Dia tak dicoba dengan berbagai obat dulu serta menjalani test seperti yang sedang saya jalani sekarang. Akibatnya benar seperti kata sinshe saya, yang juga dibenarkan dokter, penyakitnya menjadi ganas (flaring up). 

Sinshe sampai sekarang tetap menjadi orang kepercayaan saya ditambah dokter ahli onkologi tentunya. Saya tetap mengonsumsi obat herbal ramuan nenek moyangnya, juga diterapi totok syaraf. Pasalnya, dokter mengatakan ketakjubannya menyaksikan tubuh saya yang bugar dan tumor saya yang menetap hanya di sekitar payudara saja, tidak sampai menyebar ke tulang belakang, paru-paru atau kelenjar getah bening di leher. Biasanya pada pasien-pasien lain, dokter menjumpai tubuh-tubuh yang kurus lunglai nampak sangat letih dan kesakitan. Seperti yang banyak saya jumpai di RS termasuk di RSKB yang bukan pusat penanganan penyakit kanker.

Malam itu ketika saya berobat terakhir di RSKB ada pasien yang kelihatannya juga menderita kanker payudara. Dilihat dari wajahnya dia nampak jauh lebih tua dibandingkan saya, walau putranya yang mengantar sebaya anak saya. Dia berjalan tertatih-tatih berkerudungkan ciput, mencoba mencari posisi yang terenak untuk meletakkan tubuhnya di ruang tunggu pasien. Setelah menempati satu kursi, dia pindah tempat lalu berbaring menyelonjorkan kakinya di sudut ruangan. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tapi mata itu, jelas mencerminkan rasa yang dialaminya, siksaan yang sangat. Sampai akhirnya saya tahu dari anak saya yang juga memperhatikannya, bahwa salah satu tangan dan jemarinya membengkak tak bisa digerakkan apalagi jari-jarinya ditekuk. Ya Allah, betapa memilukan nasibnya. Saya sangat bahagia, bahwasannya saya sudah menjadi orang yang lebih beruntung karena uluran kasih sayang teman-teman, sanak saudara serta kerabat yang banyaknya tak terkira dan tak dapat saya sebutkan satu persatu.

Dalam derita menghadapi kanker, ternyata saya diberi banyak pelajaran untuk selalu ingat kepadaNya dan peduli kepada sesama manusia. Kanker yang cuma enam huruf itu adalah mujizat pertobatan untuk saya. Insya Allah!

(Bersambung)

4 komentar:

  1. Saya cuma dikenai biaya sembilan ratus rupiah, hasilnya boleh diambil empat hari kemudian.
    ===
    murah banget ya. ga sampe seribu rupiah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha....... ih jeli banget yang baca!

      Tumben lu komeng di mari tong?! :-D

      Hapus
  2. "dokter mengatakan ketakjubannya menyaksikan tubuh saya yang bugar dan tumor saya yang menetap hanya di sekitar payudara saja, tidak sampai menyebar ke tulang belakang, paru-paru atau kelenjar getah bening di leher"

    alhamdulillahirrabilalamien, senang membacanya bun. sepertinya si bandel ini memang harus digempur dari berbagai arah ya bun, gak hanya dari sisi kedokteran tapi juga dengan ramuan nenek moyang dan totok juga.

    salam dan doa dari jauh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sih beranggapan begitu kak, setelah saya coba jamu herbal Cina kira-kira setengah tahun plus diet yang diterapkan sinshe. Totok syaraf cuma lima menit, kadang nggak sampe setelah keadaan tumor saya jadi pecah, sebab kan sinshenya nggak berani lagi nyentuh langsung tumor saya. Tapi manfaatnya terbukti ada, saya merasa kuat gitu.

      Hapus

Pita Pink