Powered By Blogger

Kamis, 25 Oktober 2012

MENJALA MATA NINA

"Yayah..., Yayah....," begitu suara yang keluar dari mulut perempuan di sebelahku seraya mengetuk-ngetuk dinding kaca yang membatasi kami. Mulutnya menganga bulat, seraya matanya membeliak tak percaya pada sosokku.

Sama halnya dengannya, aku pun tak mengira dia ada di sini. Nina, teman sekolahku dulu sedang menyantap setangkup roti di tangannya sambil menyeruput secangkir teh panas. Agaknya pie ayam yang sedang dinikmatinya. Jenis makanan kegemarannya yang sangat kuhafal ketika kami sama-sama duduk di bangku kuliah dulu. Bu Sastra ibu kost Nina yang memiliki kedai kue, memang menjual pie ayam itu dalam porsi kecil-kecil tapi lezatnya tak kalah dari jaringan toko kue luar negeri. Dan kami biasa membelinya untuk disantap bersama pacar masing-masing di teras rumah bu Sastra sebagai pengisi malam Minggu kami.

Nina seorang eksekutif sukses. Aku pernah mampir ke kantornya sewaktu mengantarkan undangan pernikahan Dini sahabat kami yang diperistri Agung sepupuku. Kamar kerja Nina terbilang mewah. Sederet alat komunikasi canggih berjejeran serta senantiasa menimbulkan bebunyian yang sibuk, sehingga menyita waktu Nina untuk menanggapinya. Waktu itu aku tahu diri, tak berlama-lama kutemui dia hingga menjadi pertemuan terakhirku dengannya sebab kemudian aku harus mendampingi mas Hadi suamiku waktu itu ke tempat tugasnya yang jauh.

Perempuan yang memanggilku itu bergegas bangkit dari duduknya, lalu setengah berlari menghampiriku di ruang sebelah. Tangannya direntangkan untuk menjangkau tubuhku. Dia melepas rindu seraya menciumiku. "Yayah? Kamu ada di sini?" Ucapnya tegas.

Kami saling merenggangkan tubuh sebelum aku menjawab dengan kata-kata ya. "Mas Hadi sedang dalam pemeriksaan. Diduga dia mengidap kanker kelenjar getah bening," kataku membuka diri.

"Oh ya? Aku mengantarkan ayahku. Beliau sudah selesai menjalani transplantasi hati di Guangzhou lalu dipindah ke sini untuk perawatan pemulihannya. Ah, kau tak nampak berubah lho," ujarnya lagi seraya mencubit pipiku. "Kau tinggal di mana?"

Aku menyeretnya duduk di sudut ruangan. "Masih di tempat yang dulu, di Bandung. Mas Hadi sekarang sudah pensiun Nin, lalu membeli rumah orang tuaku," jawabku mulai berbagi kisah. "Kamu sendiri?" Aku balas bertanya dan mulai ingin menyelidiki apa yang ada di dalam kehidupan perempuan flamboyan di sebelahku ini. Rambutnya yang dulu legam kini dipolesnya dengan cat keperak-perakan lalu dibiarkannya tergerai menjangkau punggungnya. Dia masih sama seperti dulu, punya kebiasaan menyangkutkan jepit rambut di dekat telinganya. Cuma sekarang sekedar jepit batang yang hitam itu. Dan dari balik rambutnya, anting-anting panjang berkilauan menjurai menandakan Yayah termasuk perempuan modis.

Nina membetulkan letak rok selutut yang dikenakannya dulu sebelum kemudian menyandarkan tubuh dengan anggun dan mulai bicara. "Aku di daerah pinggiran Bogor, perusahaan Papa yang kemudian dipegang kang Dudi sekarang pabriknya kupegang sendiri di Bogor. Aku sudah lama berhenti bekerja pada orang lain, capek sih Yah," ocehnya dalam satu kalimat nyaris tanpa jeda.

"Oh ya? Kang Dudi, jadikah dia menikahi Sita anak Kedokteran itu?" Tanyaku lebih lanjut begitu dia menyebut nama abang sulungnya. Siapa pun ketika kami muda dulu tahu kisah percintaan mahasiswa Fakultas Ekonomi yang setiap hari mengayuh sepedanya hingga ke Pasirkaliki hanya untuk memboncengkan calon dokter cantik dari rumah kost bu Sastra menuju rumah sakit tempatnya belajar membaktikan diri. Sita sendiri selalu nampak lekat merangkul pinggang abang Yayah sambil asyik mengobrol dan tertawa-tawa. Saat itu Bandung memang kota ternyaman. Cuacanya sejuk menyirami seputar kota yang tak begitu padat penghuni. Itulah sebabnya kang Dudi menjadi satu-satunya pemuda yang unik untuk zamannya, setia mengendarai sepedanya dibandingkan menunggang sepeda motor yang jumlahnya mulai menjamur di kampus kami. Bersepeda itu sehat, demikian prinsip yang dipegangnya bersama Sita juara kelas di SMP-ku. Padahal semua orang tahu, ayah Dudi pemilik perkebunan teh di Sukabumi.

"Ya. Anak mereka tiga, dan sekarang ceu Sita jadi dokter spesialis mata di Jakarta," jawab sahabatku senang.

"Kamu sendiri? Berapa anakmu dengan Rudolf?" Pancingku kemudian. Kutahu dia dan Rudolf dulu berniat untuk menunda punya anak jika kelak mereka menikah. Sebab Nina ingin bekerja keras dulu selagi Rudolf melanjutkan pendidikannya ke negeri kincir angin dengan bea siswa yang diperolehnya dari negara. Siapa pun tahu, mahasiswa teknologi pertanian yang satu itu memang cemerlang di kelasnya. Kelas kakakku Tary yang jadi dosen di sebuah perguruan tinggi kedinasan di daerah.

***

Pertemuan pertamaku dengan Nina semakin meningkatkan rasa keingintahuanku. Sebab, selain mendampingi oom Affandi, seringkali kulihat dia masuk ke ruangan lain berlama-lama entah untuk mengunjungi siapa. Sekali-dua dari kantin rumah sakit ketika kebetulan kami makan siang bersama, Nina minta diri berbelok ke ruang sakit itu dengan sekotak makanan di tangannya.

Tante Affandi ibunda Nina sudah meninggal dunia. Kata Nina abangnya pun sibuk sendiri dengan perusahaan keluarganya selagi waktu Sita pun tersita untuk pasien-pasiennya dan sederet pengabdian kemanusiaan seperti yang diceritakan Nina.

"Mas Hadi, ingatkah pada Nina? Ini teman kuliahku yang kost di rumah bu Sastra," ujarku ketika membawa Nina menjenguk suamiku. Mas Hadi segera mengenalinya dan berusaha untuk bangkit menjangkau jemari tangannya yang halus. "Apa kabar Nina?" Sambut suamiku. "Rudolf mana?" Secara tak terduga suamiku bahkan menanyakan lelaki yang dulu menjadi calon suami Nina. Pemuda berdarah Flores-Jawa itu sebetulnya ditolak oleh keluarga Nina yang merupakan keturunan santri di Sukabumi sana, sebab sudah barang tentu akidah mereka berbeda.

"Ah, aku tidak jadi menikah dengannya kok," jawab Nina malu-malu. Ada semburat merah jambu di pipinya yang tirus namun menonjol karena tulangnya menjulang tinggi.

"Oh ya? Maafkan saya, kita sama sekali tak pernah bertemu lagi selulus kuliah ya Nin," balas suamiku sopan. Ku tahu pasti mas Hadi memang bukan tipe orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Dan jika dia merasa telah melakukan suatu kekeliruan, biasanya dia akan segera minta maaf begitu.

"Nggak apa-apa kok mas, semua sibuk dengan urusan pekerjaan dan menata masa depan masing-masing ketika itu," Nina menyahut disertai gerakan bibir yang membuahkan senyum yang amat sensual menurut penglihatanku. Wah, Nina, di usianya yang tidak muda lagi tetap saja cantik memikat.

Nina tak berlama-lama di kamar suamiku. Setelah itu bahkan jarang sekali bisa kutemui dia di tempat-tempat umum seperti itu kecuali di jam-jam makan. Tapi setiap kali kami bertemu di kantin rumah sakit, kami akan mengobrol panjang lebar sebab dia selalu punya cerita menarik mengenai apa saja, termasuk perjalanannya yang seperti tiada habisnya ke luar negeri. Menurut pengakuannya Nina pernah ke India, bahkan ke Jerman untuk urusan perdagangan tehnya. Sedangkan negara Cina yang disebutnya sudah nyaris jadi rumah kedua baginya, adalah tempat yang tersering dikunjunginya. Itu sebabnya dia dan Sita memutuskan untuk mencangkok hati orang tua mereka di Guangzhou.

***

Ada senyum bahagia di mulut Nina waktu aku dan mas Hadi berpamitan akan pulang ke Jakarta. "Saya juga sebentar lagi pulang mas, Papa sudah diizinkan untuk berobat jalan," ujar Nina seraya mengantarkan kami ke bagian depan rumah sakit bertingkat itu. Di sana, taksi yang kami pesan sudah menunggu untuk perjalanan kami menuju bandar udara Changi yang luar biasa mewah dan luasnya.

Tiba-tiba seorang lelaki Cina menyeruak ke arah kami seraya minta izin berbicara dengan Nina. "Oh, I'm sorry miss. But the family of mr. Ching Yuen would like to speak to you," kata lelaki itu kepada Nina yang segera ditanggapi Nina dengan anggukan kepala diikuti langkah bergegas mengikutinya setelah dia melambaikan tangan kepada kami. Sejak itu hubungan kami dengan Nina kembali terputus. Bahkan ketika aku sesekali mengantarkan suamiku untuk berobat ke Singapura, tanda-tanda keberadaan Nina di sana pun tak ada. Lagi-lagi Nina seperti menghilang ditelan bumi.

Hingga tiba-tiba di suatu siang secara tak terduga aku kembali bertemu dengannya di Bandung. Perempuan cantik itu nampak berbeda. Mata kirinya terbalut verband serta ditutupi kacamata. Hampir saja aku tak mengenalinya, kalau saja dia tidak menyapaku terlebih dulu.

Di keramaian pesta pernikahan anak sepupuku yang juga sahabat kami ada Nina. Gaunnya yang hitam beledu berkelas dipadu rompi merah sewarna dengan tas di tangannya dan sepatu hak tinggi berkeletak-keletok menjadi ciri khas Nina. Segera setelah prosesi arak-arakan pengantin berakhir, aku mencari Nina yang datang seorang diri.

Kudapati dia ada di sudut ruang, sedang menatap ke arah pelaminan berdiri anggun. "Nin, ke mana saja selama ini? Apa kabar sekarang?" Sodokku menyikut pinggang Nina sehingga membuatnya sedikit terkejut.

"Aih Yayah, alhamdulillah aku baik-baik saja. Sekarang aku kembali sibuk dengan pekerjaanku," ucapnya senang. "Sudah sehatkah mas Hadi?" Tanyanya berbalik kepadaku. Kuhunjamkan bola mataku mengarah kepadanya, tepat menuju matanya yang dulu cemerlang namun kini berbalut satu.

"Alhamdulillah dia sehat lagi. Sejak operasinya dulu itu sekarang dia hanya bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ringan. Lalu dia kembali kepada kegemarannya semula menulis-nulis di koran," jawabku, "dan kamu? Ayahmu?"

"Aha, aku baik-baik saja. Papaku sudah tidak ada. Tapi dia akan tetap hidup bersamaku. Jadi kini aku kembali aktif mengelola perusahaan Papa," kata Nina. Kemudian kami berjalan beriringan menuju panggung pelaminan akan memberi ucapan selamat kepada kemenakanku anak Agung dengan Dini sahabat kami berdua.

Sambil mencicipi hidangan Nina minta aku untuk membawanya ke sudut keluarga pengantin. Di sana, seraya menyuapkan potongan-potongan makanan yang dipilihnya dia bercerita. Bahwasannya hati yang didapatnya dari pendonor berkebangsaan Cina itu tak mampu menyelamatkan nyawa ayahnya. Padahal sebagai gantinya Nina telah menyerahkan sebelah biji matanya kepada keluarga si pendonor untuk cucunya gadis delapan tahun yang tertembak peluru pistol mainan temannya.

Aku tercekat mendengarnya. "Aku tahu kau pasti kaget Yah. Semua orang pun begitu pada mulanya. Tapi, aku berpendapat apalah artinya hidupku dengan dua belah bola mata jika ada seorang anak yang kakeknya telah menjadi malaikat untuk orang tuaku terancam kebutaan? Aku sanggup mendonorkan satu saja bola mataku untuk gadis keluarga Chan Ching Yuen," cerita Nina hati-hati. "Aku tidak pernah menikah, sehingga tidak ada satu pun yang akan merasakan kehilangan kalau aku cuma bermata satu. Sedangkan gadis kecil itu, dengan kelincahannya sebagai pesenam cilik yang baru saja memulai kariernya di kelompok akrobat tentu akan kehilangan kebanggaan dan masa depannya jika dia benar-benar tak bisa melihat," ujar Nina lagi. Lalu dia mengeluarkan foto seorang bocah Cina berambut lebat dari dalam tasnya.

"Ini, Lie Xiang, anakku di sana. Lihat sorot matanya, jernih dan menyatakan kecerdasan bukan?" Kata Nina seraya mendekatkan foto itu kepadaku. Aku mengambilnya penuh rasa ingin tahu yang tiba-tiba berbalut haru ketika kulihat Nina segera mengambilnya kembali, kemudian menciuminya lekat-lekat. "Dia bidadariku...........," kata Nina melengkapi ceritanya.

Di seantero ruangan sinar-sinar kebahagiaan sebagaimana yang tergurat di wajah Nina juga kelihatan. Kemenakanku menggandeng istrinya dengan mesra di depan bidikan para juru foto keluarga. Lalu kerabat kerja dan sanak saudaraku juga nampak asyik saling mengobrol, melempar senyum hingga melempar tawa menyemarakkan pertemuanku kembali dengan Nina. Mata Nina, aku telah menjala mata Nina yang jelita di siang itu.

~Bogor, pekan kedua November dua ribu dua belas~

10 komentar:

  1. kog sedih ya bacanya.. kasian nina, berhati baik walupun bermata satu.. sedih jadi lajang nih mbak.. duit ada.. kasih sayang kog ga ada? emang milih laki apa gimana? *eh dibahas..

    BalasHapus
  2. Based on true story bun? Kereeeen....

    BalasHapus
  3. Oh maaf ya. Dia kepengin bebas aja kayaknya sih, nggak tau deh wong tiba-tiba kepingin nulis begini aja hehehehe.......

    BalasHapus
  4. Masa' iya sih? Kayaknya kok cerita yang bohong banget habis ngarangnya aja sampe butuh tiga harian deh. :-D

    Terima kasih ya.

    BalasHapus
  5. Bukan kok, cuma hasilnya orang sakit nggak ada kerjaan jadi mengkhayal sendiri nih. Terima kasih ya nak. Nak Muse kalau nulis juga keren kok.

    BalasHapus
  6. Yayah membetulkan letak rok selutut yang
    dikenakannya dulu sebelum kemudian
    menyandarkan tubuh dengan anggun dan mulai
    bicara.

    ---pas bagian ini point of view nya berubah ya bund?

    BalasHapus
  7. Eh iya, kau tetap jeli deh, terima kasih ya, dikoreksi sekarang juga ah. Terima kasih ya Lin. Salam untuk Lintang yang mulai ngoceh.

    BalasHapus
  8. kasian nina..pengabdian pada ayahnya dia rela mendonorkan satu bola matanya :(

    BalasHapus
  9. Hebatnya dia bahagia dengan keadaannya, itu yang makin menakjubkan. BTW ini cerpen boyongan dari Mp lho.

    BalasHapus

Pita Pink