Powered By Blogger

Jumat, 26 Oktober 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (10)

Senja menjelang di kota kami. Gema takbir mulai kedengaran dari kejauhan. Bunyi binatang kurban yang seakan-akan mengerti akhir dari hidup mereka segera tiba ada juga menyeruak ke dalam gendang telinga saya. Idul Adha akan tiba esok pagi. 

Beberapa tahun terakhir ini saya selalu terbaring di rumah sakit di waktu Idul Adha. Sebab kondisi kesehatan saya yang ditumbuhi kista serta tumor ganti berganti pada organ reproduksi amat menyusahkan. Saya akan selalu mengalami kesakitan yang membuat saya terpaksa tak bisa beraktivitas beberapa waktu lamanya. Padahal sebagai istri abdi negara, saya punya kewajiban untuk bekerja membantu tugas-tugas kedinasan suami. Karena kesibukan kerja itulah, hari raya Idul Adha selalu saya pilih sebagai waktunya saya membuang penyakit saya. Saya berharap suami saya akan selalu siap sedia menemani saya di rumah sakit selama proses itu berlangsung.

Didahului oleh serangkaian pemeriksaan pendahuluan yang memang wajib saya lakukan setelah diketahui bahwa saya menderita tumor serta kista di rahim dan indung telur saya, maka biasanya saya menjalani pemeriksaan lanjutan. Yang pertama tentu saja memeriksakan kadar "virus" kanker di dalam darah saya, yang dikenal sebagai "tumor marker" atau test penanda tumor. Kalau angka hasil pemeriksaan berada di atas normal, biasanya operasi mendesak segera dilakukan.

Selanjutnya saya akan dikirim ke bagian ultrasonografi yang lebih cermat lagi peralatannya, diikuti dengan pemeriksaan memakai alat canggih computer tomography scanner (CT-scan). Kedua alat pemeriksaan ini berbeda. Ultrasonografi (USG) yang sudah sangat populer di Indonesia hanya dilakukan dengan semacam komputer yang layarnya terhubung ke bagian yang akan diperiksa dengan seacam slang yang ujungnya berupa lensa pengintai ke dalam tubuh manusia. Kita cuma perlu berbaring di ranjang biasa, selagi teknisi laboratorium atau dokternya berada di samping kita mengoperasikan peralatannya. Adapun pemeriksaan dengan CT scan agak lebih rumit. Sebab pasien akan ditidurkan di dalam sebuah tabung raksasa, dengan terlebih dulu disuntik intravena dengan semacam zat yang akan menimbulkan efek panas pada tubuh. Lama pemeriksaannya pun sekitar empat puluh lima menit, di mana teknisi laboratorium mengoperasikannya dari ruang yang berbeda. Pasien diharap menyimak teliti perintah teknisi yang berupa keharusan menahan nafas beberapa detik kemudian menghembuskannya kembali begitu berulang-ulang. Entah apa sebabnya, saya pernah muntah dua kali ketika selesai melakukan pemeriksaan ini. Bahkan yang sekali secara kecelakaan terjadi di dalam tabung yang tengah dioperasikan. Waktu itu kepala saya tiba-tiba merasa pusing dan tentu saja jadi berakibat perut mual.

MESIN USG

MESIN CT-SCAN


Lepas dari situ, saya pun menjalani pemeriksaan thorax foto yang kita kenal sebagai ronsen (roentgent) dan juga pemeriksaan darah lengkap. Semuanya akan digunakan sebagai alat siaga ketika operasi berlangsung kelak.


Begitulah prosedur awal dari rangkaian persiapan operasi saya. Meski untuk kasus-kasus tertentu saya pun pernah menjalani pemeriksaan dengan mesin yang sangat serupa mesin CT-scan akan tetapi menggunakan gelombang suara magnetic untuk mengoperasikannya. Namanya mesin Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pencitraan di sini dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosa yang paling akurat tentang penyakit yang diderita pasien. Nah sewaktu masuk ke mesin MRI ini sensansinya beda lagi. Sepertinya ada dentam-dentam ketukan yang saya dengar dari dalam tabung mesin itu. Tapi prosedurnya sih kurang lebih sama dengan CT-scan, hanya kegunaannya lebih terarah kepada pemeriksaan sistem syaraf, sebab waktu itu saya menghadapi bedah tulang untuk mengoreksi penebalan pada tulang bahu saya yang menimbulkan nyeri berkepanjangan. Inilah mesin MRI itu :



***

Serangkaian pemeriksaan itu menjadi menu wajib saya sebelum mencari kamar perawatan. Oh ya tidak lengkap rasanya kalau tidak saya gambarkan satu macam pemeriksaan lagi yang dipergunakan untuk memeriksa keadaan di dalam rongga perut (abdomen saya). Namanya endoskoskopi yang dilakukan dengan menggunakan semacam kamera mini berikut selang tipis yang amat panjang yang dimasukkan melalui mulut untuk merekam keadaan di dalam tubuh sana. Untuk itu pasien akan dibius sehingga tidak merasa sakit. Tapi menurut salah seorang pasien di Indonesia, di awal tahun 2000-an endoskopi jenis gastroskopi yang dipakai mendeteksi borok (ulkus) baik di kerongkongan, lambung maupun usus dua belas jari dilakukan tanpa bius sehingga pasien merasakan sakit yang tak terkira. Saya sendiri mengalami pemeriksaan endoskopi dari jenis kolonoskopi untuk mendeteksi pendarahan yang terjadi di usus saya yang dicurigai sebagai tumor usus besar.

Jika hasil persiapan sudah lengkap, pasien akan masuk ke rumah sakit semalam sebelumnya guna pemantauan kondisi termasuk puasa yang bisa mencegah terjadinya kecelakaan sewaktu operasi. Malam itu, saya hanya akan menerima makan malam pada pukul tujuh lalu sama sekali tidak diberi apa-apa walau hanya sekedar seteguk air. Berbeda halnya dengan persiapan yang dilakukan di rumah, pasien dipesani untuk tidak mengonsumsi apa pun setelah pukul sepuluh malam. 

Setelah itu dokter pun berdatangan satu demi satu mengontrol kesiapan pekerjaan mereka esok paginya. Yang pasti ada melengkapi kunjungan itu adalah dokter spesialis anestesi. Dialah yang bertanggung jawab memantau kondisi umum pasien, menurut saya sih begitu. Soalnya beliau akan melakukan serangkaian tanya jawab mendetail mengenai kondisi kesehatan saya dan keluarga induk saya, yakni ayah-ibu dan saudara-saudara kandung saya. Kepadanya juga saya titipkan jiwa saya karena saya adalah penderita asthma. Biasanya dia akan mengecek kebenarannya kepada dokter ahli paru saya yang juga datang belakangan sambil mengambil obat-obat asthma saya untuk bekal di ruang bedah. Tentu saja yang pertama muncul adalah dokter yang akan mengoperasi saya. Baru akhirnya dokter paru terkait dengan kondisi  bronkus saya yang lemah.

Keesokan harinya saya perut saya akan dipompa supaya isi lambung saya keluar semua dan tak mungkin mengotori meja bedah. Setelah semua dilakukan, barulah saya dibawa ke ruang bedah (theater) yang luas dan suhunya dingin minta ampun. Apalagi saya cuma mengenakan selembar kain tipis seragam pasien yang cuma diberi bertali di belakang leher sebagai pengancingnya.

Di langit-langit persis di atas meja bedah tergantung lampu yang amat terang, semacam lampu neon kalau saya tidak salah tangkap. Sejurus kemudian para kru yang akan menangani saya menyapa satu demi satu. Biasanya dokter bedah didampingi dokter spesialis paru-paru yang biasa merawat saya serta tentu saja dokter ahli anestesi. Mereka akan menyapa saya dengan ramah, memperbincangkan hal yang remeh-remeh seraya minta izin memasangkan jarum infus ke tangan saya.  Tapi sejurus kemudian saya sepertinya tertidur nyenyak sekali barang beberapa saat. Tahu-tahu tiba-tiba saya akan disadarkan oleh suara orang-orang mempercakapkan saya, yang saya kenali di antaranya adalah suara keluarga saya sendiri. Ini tandanya saya sudah kembali "hidup" siuman dari prosedur operasi yang baru saya alami.

Setelah sekian waktu saya akan dikembalikan ke kamar rawat saya sendiri. Di Raffles Hospital sana, dari tahun ke tahun saya sepertinya diizinkan untuk menempati satu sudut khusus, yakni ruang 825 yang menghadap ke sebuah bangunan dengan interior taman yang cantik berupa patung megah. Tak kurang dari satu hingga dua minggu saya menjadi penghuninya nyaris tanpa daya. Dan di situlah segalanya berawal. Masa-masa menyakitkan itu yang jumlahnya tak kurang dari empat puluh lima hari bagi saya. Sampai di suatu hari nanti, yang biasanya akan tiba di hari yang sama, Idul Adha tahun berikutnya. Saya kembali menjadi pasien dengan menjalani operasi yang sama. 

Ah, betapa menyakitkannya semua itu, meski ketika hasil pemeriksaan sitologi jaringan di laboratorium yang saya terima sepuluh hari pasca pembedahan menyatakan sel-sel liar yang tumbuh di tubuh saya jinak semua. Karena, siapa sangka kemudian hari saya akan mengalaminya lagi di bagian lain tubuh saya seperti sekarang ini, bukan?!

(Bersambung)

6 komentar:

  1. sejak tahun berapa ceu? kalau boleh tau. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pertama sakit tahun 2000 dan puncaknya tahun 2002 tapi saya keburu mau pulang ke Indonesia dari Belgia, jadi saya cuma disuntuk hormon aja. Ternyata itu nggak menolong, malah tahun 2004 saya sampai nggak bisa jalan lagi. Akhirnya saya ke RS di Singapura, karena kebetulan saya tinggal di sana. Dokter Sp. KK nya lebih akurat bilang bukan hanya ada endometriosis, tapi ada adenomyosis, yaitu kista endometriosis yang tumbuh di otot dinding rahim sehingga nggak bisa dibuang endonya, harus diangkat rahimnya.

      Tahun 2005 tumbuh lagi kista di ovarium dibersihkan, dan dibuang satu ovarium saya karena udah sangat kesakitan. Eh, habis operasi saya mengalami internal bleeding sampai akhirnya besoknya saya masuk ruang bedah lagi karena usus saya luka, busuk. Sadar-sadar saya di ICU.

      Tahun 2006 tumbuh lagi, kali ini saya minta ovarium saya dihabiskan semuanya, jadi sejak itu saya sudah menopause secara terpaksa. Gitu ceritanya.

      Tapi operasi terakhir sih ngikis tulang bahu dengan teknik arthroskopi (laparoskopi tulang) tahun 2008 kalau saya nggak salah inget, ada sih di jurnal saya di Mp dulu. Ya seharusnya saya nggak perlu takut dioperasi, tapi kenyataannya, saya malah takut tuh........ tepatnya sih kakawuseun hehehe....

      Hapus
  2. ketakutan yang wajar ceu. mungkin semua orang juga begitu. sing sabar, mudah-mudahan kesakitan ini jadi pengurang dosa-dosa ya ceu. aamiin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya juga sih, semoga doa-doa orang baik-baik yang selama ini mendukung dan melingkupi hidup saya didengar Allah dan dibalas dengan kebaikan yang banyak, amin-amin-amin. Terima kasih lagi ya.

      Hapus
  3. jadi langganan 2 rs di sg ya mbak..
    saya pernah rasain lebaran di rs loh mbak.. 4 kali.. mama dirawat di rs.. kemaren alhamdulillah mama sehat, jadi lebaran haji di rumah.. malah mama kuat masak sayur gori..

    BalasHapus
  4. Enggak, satu aja Raffles doang. Tapi kebanyakan tetamu saya yang pada berobat di Singapura pasien Mount Elisabeth dan National Univeristy jadi saya tiap bulan ibaratnya ke sana nemenin atau sekedar nengok mereka.

    Alhamdulillah ikut senang kalau Mama bisa ngumpul di rumah. Tapi pastinya sebenernya Mama dilarang kerja 'kan? Saya ingat ibu saya yang meninggal karena cirhossis hepatitis juga sama sekali mesti bed rest.

    BalasHapus

Pita Pink