Powered By Blogger

Jumat, 26 Oktober 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (11)

Serangkaian operasi yang saya ceritakan di jurnal sebelum ini semuanya tergolong operasi besar. Begitu penjelasan dokter kebidanan dan kandungan yang menolong saya, maupun dokter paru-paru yang rutin memantau kondisi asthma saya. Dokter bedah yang kemudian juga ikut menangani saya dalam pembedahan darurat untuk membuang usus saya yang membusuk, juga sepaham. Karenanya setiap habis dioperasi, saya diharuskan beristirahat total sekitar enam minggu, bahkan terkadang lebih lama lagi. Itu semua tergantung dari kondisi saya pasca perawatan di rumah sakit.

Waktu itu sebagai istri pegawai negeri yang bertugas mengayomi masyarakat Indonesia di luar negeri, saya sering sekali kena protes teman-teman saya sendiri. Pasalnya pekerjaan kami sangat banyak dengan tingkat urgensi dan kepentingan yang tinggi, meski kami cuma pendamping para diplomat. Susahnya beberapa orang teman saya pernah menjalani operasi kandungan juga, karena itu mereka tak habis pikir bagaimana mungkin setiap tahun saya harus masuk rumah sakit dan mengambil cuti sakit begitu lama padahal mereka tidak. Biasanya mereka cuma tinggal satu dua malam di rumah sakit, lalu beristirahat di rumah satu dua minggu saja. Dan sakit mereka itu pun tidak datang berulang seperti yang saya alami.

Sulit juga untuk saya sebagai orang awam menjelaskan keadaan saya kepada sesama orang awam. Karenanya saya jadi sering merasa serba salah bahkan tersingkir dari lingkungan saya sendiri. Rasanya? Bukan senang saudara-saudaraku, malah tidak enak hati. Sebab kalau ada sesuatu yang besar dan layak segera diketahui, maka saya akan menjadi orang terakhir yang tahu di lingkungan kami. Cukup menyedihkan, bukan?

Di masa-masa sakit itu, saya bahkan pernah tidak mampu untuk mengangkat sebuah piring hidangan. Bayangkan, ketika sedang bekerja beramai-ramai untuk mempersiapkan jamuan makan kunjungan Kepala Negara ke negara penugasan mantan suami, tiba-tiba piring di tangan saya serasa menghunjam perut saya. Rasanya nyeri bukan main sehingga makanan di atas piring tertumpah semua. Untung piring itu masih tetap saya genggam. Akibatnya, belalakan mata teman-teman saya menyingkirkan saya dari arena kerja itu. Lalu saya diistirahatkan di tengah ruangan duduk seorang diri seakan-akan pengawas alias mandor kerja. Nah, seandainya anda menjadi seperti saya apa rasanya coba? Saya terka pasti malu, tidak enak hati dan semacam itu. Itulah yang terjadi pada saya.

Juga ketika saya ingin memuaskan nafsu baca saya di atas pembaringan  karena totally bed rest adalah keharusan yang tidak boleh saya langgar, buku yang saya pegang itu juga seperti mata pisau tajam yang menghunjam menyakitkan luka bekas operasi. Akhirnya saya cuma bisa membaca tabloid-tabloid tipis yang nyaris tak ada isinya selain gossips belaka. Dan itu menjadi luka baru, luka lain lagi pada diri saya, karena berwujud luka batin. Akhirnya dengan menguatkan diri saya melanggar nasehat dokter, duduk di muka komputer pribadi saya dan berselancar sambil menjulurkan kaki hingga tubuh saya kembali menyerah minta ditidurkan. Begitulah biasanya berlangsung berlama-lama pada diri saya.

Satu peristiwa yang tak pernah terhapus dari ingatan adalah, saya mengalami pendarahan karena saya memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur menyambut kedatangan Kepala Negara RI dalam kunjungan kerjanya di suatu masa dulu. Tapi alhamdulillah pendarahan berhenti setelah saya diasingkan kembali di rumah sakit selama tiga hari diikuti oleh istirahat total sepenuhnya di rumah yang terawasi. Jadi, operasi saya memang beda benar dengan yang dijalani teman-teman saya selama ini.

Ada lagi pengalaman pahit saya, yakni pendarahan internal dari dalam rongga perut pasca operasi pengangkatan indung telur. Waktu itu saya terus menerus muntah darah tanpa terkendali. Anak sulung saya yang mendampingi saya di kamar rawat inap mulai panik, sehingga atas saran ayahnya dia melaporkan kepada perawat dan dokter. 

Melalui pemeriksaan CT-scan sekali lagi, diketemukan robekan pada usus halus saya sepanjang lebih dari sepuluh centimeter.  Jadi, antara sadar dan tidak, malam itu saya kembali masuk ruang bedah. Antara sadar dan tidak juga saya menjawab salam sapa kru ruang bedah yang sudah sangat mengenali saya, dan baru terjaga kemudian di sebuah ruang kecil yang amat senyap lagi remang-remang. Suara mesin halus bersahut-sahutan menyadarkan saya bahwa saya tengah bertaruh mempertahankan nyawa saya di dalam ruangan perawatan intensif (ICU).

Inilah awal mula saya sekarang tidak lagi mau berobat ke dokter, lalu memilih sinshe sebagai pengobat alternatif. Peristiwa operasi usus halus itu jugalah yang membuat saya lebih percaya lagi kepada jejamuan, sebab waktu itu saya sempat hampir dibedah untuk ketiga kalinya di minggu itu hanya karena penyumbatan terjadi lagi di usus saya. Tapi dokter bedah yang memang keturunan Cina mencoba menyuruh saya minum teh jahe wangi yang katanya herbal dari negeri leluhurnya ~meski saya mengatakan justru itu minuman resmi orang Jawa~ untuk mengatasinya. Alhamdulillah saya terhindar dari jadwal operasi ini.

***

Selain alasan-alasan takut menghadapi operasi dan prosedur pelaksanaannya, saya pun khawatir tidak akan bisa disembuhkan sama sekali di tangan dokter. Pasalnya di masa itu saya sedang sama-sama berobat untuk penyakit kista indung telur dengan seorang teman yang merupakan penyanyi senior yang pernah sangat terkenal di era 1960-1970'an.

Pendendang lagu "Tjai Kopi" yang cantik jelita ini merupakan seorang janda beranak tiga. Penyakitnya terdeteksi di Jakarta oleh seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang terkenal. Di tangannya dia dibedah tapi hasilnya kurang memuaskan. Kista di ovarium (indung telurnya) pecah dalam operasi itu sehingga isinya yang kedapatan ganas menyebar ke mana-mana, menimbulkan banyak kista baru dari waktu ke waktu. Dokter di Jakarta minta maaf dan menyesali kecerobohan ini lalu mulai menerapi dengan regimen kemoterapi berikut radiasi. Sayang si pasien tidak pernah merasa membaik, sehingga pengobatan akhirnya dialihkan ke Singapura.

Di Mount Elisabeth Hospital inilah saya bertemu dengannya. Meski berbeda rumah sakit, tapi hubungan kami terjalin lancar. Kami sama-sama menceritakan treatment yang kami terima sekaligus membanding-bandingkan hasilnya. Dia bahkan sempat menginap di rumah saya beberapa waktu menjelang akhir ajalnya. Di saat itulah saya dengar tentang penyakitnya dari penuturannya sendiri.

Seharusnya kata dokter, kista yang dioperasi tidak boleh sampai pecah. Dia menjalani pembedahan tertutup berupa laparoskopi, seperti halnya saya karena saya sudah terlalu sering dibedah terbuka (laparotomi). Pembedahan dengan teknik laparoskopi hanya memerlukan tiga titik saja sebagai jalan untuk menyalurkan slang halus yang ujungnya berupa peralatan tempur ke dalam lokasi sakit. Masing-masing titik hanya disayat sekitar 0.5-1 cm saja, sehingga tangan dokter digantikan oleh fungsi instrumen mini yang dikendalikan dari luar perut. Pada saat itu seharusnya pengerjaan berhati-hati mengingat isi kista belum diketahui tingkat keganasannya. Inilah yang dilanggar dokter di Jakarta sehingga penyakit teman saya tadi menjadi-jadi.

Sayangnya di Singapura teman saya berobat kepada dokter yang justru menawarkan tiga macam paket kemoterapi kepada para pasiennya, yaitu paket termahal, sedang serta termurah. Dengan kemampuan finansial yang terbatas, dia hanya sanggup mengambil paket murah hingga akhirnya nyawanya tak lagi bisa diselamatkan. Dia meninggal dunia di Indonesia setelah kehabisan dana dan kehabisan kesempatan untuk terus berobat.

Nah, berkaca dari kasus itu saya jadi ketakutan sendiri. Terbayang di benak saya banyaknya uang yang mesti saya setorkan ke rumah sakit tanpa kesembuhan pada akhirnya seperti yang saya inginkan. Maka kini semakin kentallah tekad saya untuk berobat ke sinshe. Ya, unsur kehabisan dana serta kelelahan fisik termasuk rasa sakit, lemah, tak bernafsu makan dan kerontokan rambut teman saya tersayang telah menghantui saya. Ah, izinkanlah saya untuk sembuh dengan cara yang lebih enak daripada teman saya itu, demikian selalu batin saya jika sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Semoga saja Allah mengabulkannya.

(Bersambung)

4 komentar:

  1. lilis suryani bukan? :D (OOT)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul sekali. Menjelang meninggalnya, dia masih diundang sama promotor artis "old crack" Indonesia ke Singapura, untuk dibuatkan rekaman suaranya. Kadang dia juga nginep di rumah promotor itu karena udah kehabisan dana untuk tinggal sementara berobat di Singapura. Sampai akhirnya suatu hari saya ajak nginep di rumah beberapa hari beberapa kali karena merasa senasib sepenanggungan hehehehe........

      Hapus
  2. haduh mbak miris juga.. singapur juga pake paket ya? setahu saya sih, kemo ya kemo, ga ada pake paket mahal-sedang-murah.. mahal lebih selamat daripada murah? sedih bener bacanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di dokter yang satu itu ditawarin paketan. Mula-mula teman saya ngambil paket mahal, karena akhirnya kehabisan dana dia ambil yang murah, sebab kata dokternya bisa sembuh juga asal rutin kemonya, jangan ada bolong-bolongnya.

      Dokter yang satu ini sampe bikin buku yang mempromosikan pengobatan di tempatnya. Isinya testamen para pasien Indonesia. Saya ikutan baca punya salah satu pasien, putri mantan petinggi TNI di zaman orba, jadi tahu.

      Hapus

Pita Pink