"The happiest people don't necessarily have the best of everything, they just make the best of everything,"
Serangkai kata-kata indah tertuang di layar ponsel saya begitu saya bangun tidur pagi ini. Ini sapaan dari Ian, teman saya di SMA dulu yang memang kerap menyemangati saya dengan kata-katanya yang indah, cenderung puitik.
Ian bukan siapa-siapa. Meski kami dulu bertetangga, tetapi hubungan pertemanan kami tidak terlalu akrab. Namun kini setelah beranjak tua, dia berubah jadi pedulian terhadap teman-temannya. Contohnya hari kemarin selepas subuh dia telah berkirim pesan singkat tentang wafatnya ibunda salah seorang teman kami.
Saya merenungi kata-kata mutiara teman saya itu sambil membangun kekuatan di atas kasur sebelum kaki saya benar-benar bisa menjejak tanah. Entah mengapa sekarang kaki-kaki saya jadi semakin berulah. Malas dibawa bergerak, tertahan oleh rasa lemas dan ngilu yang tak jelas di pangkal paha saya. Mungkin memang ini juga efek samping pengobatan kanker payudara saya. Apa boleh buat. Saya pun sempat menyaksikan kondisi ini pada almarhumah kakak saya setelah kemoterapinya.
Nampaknya saya harus mampu meredam semua rasa sakit ini agar saya bisa beroleh kondisi yang enak. Tanpa rasa sakit yang menyiksa batin. Seram sekali, karena itu tak mudah.Tapi toch saya harus mau mencobanya. Sebab kini setiap malam tiba saya akan merasa kesakitan. Dan jeleknya saya bisa merintih-rintih tak sengaja mengejutkan anak-anak saya yang tak pernah lepas dari sisi saya.
Seperti tadi malam. Obat penahan nyeri yang dulu dibekalkan dokter onkologi saya sejak sehabis operasi, kini tak manjur lagi. Bagaimana mungkin saya bisa tidur nyenyak kalau begini? Padahal saya sudah mencoba istighfar, menyebut nama Allah, memohon kekuatan dariNya dalam doa-doa yang tak berkesudahan. Cengeng sekali saya sekarang. Berurai air mata di dalam dada, meski saya tak berani mengalirkannya di sepanjang lekuk pipi saya.
Haramkah orang sakit menangis? Tentu saja tidak. Tetapi akal sehat saya mengatakan tangisan yang membuncah cuma akan medatangkan kepanikan dan kegelisahan saja.
Dan itu yang terjadi semalam, meski saya cuma mengaduh. Anak saya segera meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Tangannya sigap mengetik-ngetik di ponsel tuanya itu, sehingga saya tergerak untuk menanyainya.
"Itu kamu ngontak siapa?"
"Mbak Ninik. Mau minta dibuatkan resep pain killer dari dokter Suks, lihat tuh, pain killer ibu tinggal sebutir," jawabnya menyebut perawat yang kebetulan kerabat kami. "Lha kalau besok siang ibu makan, malamnya gimana coba?" Dia menggambarkan kepanikannya membayangkan hari-hari esok yang akan saya lalui. Sementara itu tumor di kepala saya pun terasa berdenyut-denyut.
Saya menarik nafas mencoba menenangkan diri, memincingkan mata ingin tidur. Di dalam bayangan saya, di saat-saat seperti ini maka tidur adalah hal yang bisa menenteramkan kami semua. Saya tak ingin mengejutkan anak-anak saya dengan segala rintihan itu.
***
Saya benar-benar tak bisa menguasai diri keesokan harinya. Sakit menyiksa ini membuat saya harus berbaring selama 24 jam kecuali melakukan perjalanan ke kloset yang menjadi sering saya lakukan. Ini memang efek samping kemoterapi seperti yang dialami pasien-pasien lainnya. Bedanya baru kali ini saya mengalami agak hebat. Karena biasanya saya selalu masih merasa bugar untuk bisa melakukan apa saja secara mandiri.
Akibat kondisi ini maka saya terpaksa meninggalkan jurnal ini berlama-lama. Bahkan mulai kemarin saya terpaksa menggunakan kursi roda di dalam areal rumah sakit ketika akan kontrol kesehatan. Saya pun terpaksa menyewa angkutan kota untuk sampai dan pulang dari rumah sakit.
Begitu saya tiba di rumah sakit, saya segera melakukan cek laboratorium. Petugas laboratorium pun nampaknya terheran-heran menyaksikan saya di atas kursi roda karena biasanya saya sigap berjalan. Ternyata hasil hitung darah putih saya kembali melorot seperti 2 kali sebelumnya. Anak-anak saya menganggap hal ini dikarenakan obat baru yang dikemoterapikan untuk saya memang keras seperti kata dokter saya. Terbukti juga mereka melihat tumor di kepala saya mulai mengecil walau belum signifikan.
Di muka klinik onkologi banyak orang-orang yang mengenali saya di antaranya ibu Rustini, pasien lama yang sampai sekarang masih perkasa walaupun tumornya sudah tumbuh kembali dan pecah seperti saya dulu.
"Bu Julie kunaon?" tanyanya ketika melihat saya lewat dengan kursi roda. Saya mengatakan sudah berhari-hari keadaan saya amat lemah.
Setelah selesai dari laboratorium saya dan anak-anak beranjak ke kantin masih dengan kursi roda itu juga. Orang-orang di kantin pun mulai tercengang-cengang seperti mereka yang melihat saya sebelumnya. Saya terpaksa menjelaskan bahwa kondisi saya sekarang amat melorot.
Untuk saya, saya memesan semangkuk soto mie tanpa daging dan kubis. Karena saya ingin makan sesuatu yang berkuah panas. Terus terang saja kondisi perut saya dan selera makan beberapa hari ini terus memburuk membuat anak-anak saya sebetulnya gelisah. Tapi saya akui mereka adalah anak-anak yang tangguh yang berupaya dengan segala cara untuk memberikan asupan makanan. Herbalife pemberian teman saya Iwan tak lupa selalu disiapkan anak bungsu saya. Sehingga saya merasa ternyata masih banyak cinta di sekitar saya dan karenannya saya harus berupaya membalasnya dengan makan walau hanya beberapa suap saja.
Tak sampai soto saya habis, tiba-tiba perut saya berontak. Sia-sialah semua yang saya paksa masukkan. Tanpa terbendung saya mengotori suasana nikmat di kantin RS itu. Pemilik warungnya mengasihani saya. Perempuan tua itu mengira saya menderita stroke. Tetapi begitu saya menyebut pasien kanker, terkejutlah beliau. Ternyata beliau teringat almarhum suaminya seorang penderita kanker juga. Didoakannya saya supaya bisa berjuang, bertahan dan sembuh kembali. Cinta untuk saya memang ada di mana-mana.
Tak lama kemudian kemenakan saya memberitahu bahwa dokter sudah mulai praktek. Saya bergegas masuk ke klinik menembus hujan rintik-rintik. Ternyata beliau baru tiba, sehingga giliran saya masih sangat lama, dan kemenakan saya sekarang ditugaskan di klinik lainnya. Namun karena itu saya jadi disapa seorang lelaki yang mengenali anak saya. Dia pasien yang ditunjuki anak saya kepada onkologis mana dia mudah mendapat pertolongan.
Rupanya dia sudah datang sekali, dan onkologis kami memberikan diagnosa yang tepat. Dia penderita kanker usus yang telah dioperasi ahli bedah umum lalu dianjurkan dikemoterapi. Di tangannya ada resep-resep obat kemoterapi tulisan dokter saya. Betul, katanya, dokter memudahkan segalanya termasuk memberi masukan untuk minta bantuan pemerintah. Sebab dia pun sudah kehabisan dana serta daya yang selama ini terpakai oleh sakitnya.
Kali ini saya benar-benar jadi pasien yang mengejutkan. Zuster Maria perawat kepala pun tak sanggup menahan keterkejutannya menyaksikan kondisi saya. Sungguh bertolak belakang dari keadaan di ruang kemoterapi minggu sebelumnya. Beliau tetap berpesan untuk tabah, mengikhlaskan kepergian kakak saya dan memelihara semangat hidup seperti yang selalu dibangga-banggakannya kepada para pasien. Saya mencoba tersenyum untuknya. Karena kali ini saya memang betul-betul mirip pecundang.
Ketika tiba giliran saya, perawat membantu anak-anak mendorong kursi roda saya. Dokter pun tampak terkejut-kejut. Tapi beliau puas atas laporan anak-anak saya dan hasil rabaannya sendiri terhadap tumor saya. Ukurannya mulai mengecil, setidak-tidaknya melunak. Antara prihatin dan bingung beliau menganjurkan rawat inap. Rasanya mengingat sel darah putih saya amat rendah dan saya mengalami gangguan pencernaan dirawat di RS adalah cara yang baik. Akan tetapi setelah berpikir sejenak serta mendengar penolakan saya, beliau pun membuat keputusan bijak.
Sebagai pasien yang didanai Jamkesda saya akan ditempatkan di bangsal kelas 3 berbaur dengan penderita berbagai penyakit termasuk penyakit menular. Ini membahayakan karena rawan terjadi penularan. Pun juga bangsal kelas 3 ruwet seta tak nyaman. Asalkan saya bisa menjaga diri di rumah pemberian suntikan yang bisa minta didanai pemerintah sudah cukup. Terlihat lagi betapa menyenangkannya di bawah perawatan beliau. Tetapi saya tetap diminta berkonsultasi dengan ahli kemoterapi konsulen beliau di RSKD pada hari Senin. Nyata benar betapa beliau begitu profesional. Apalagi saya dengar dari keluarga seorang pasien ahli kemoterapi ini merupakan dokter yang bagus di situ serta mengetuai lembaga penelitian. Alhamdulillah. Saya pun siap melakukannya kembali.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar