Hari Sabtu (09/11) sepertinya akhir pekan yang cerah untuk saya. Matahari menembusi kaca jendela dan kisi-kisi rumah untuk menyampaikan selamat bahwa hari itu saya mencapai keinginan besar saya untuk dikemoterapi.
Semalam sebelumnya menurut teman-teman saya di seluruh penjuru dunia, saya adalah makhluk abnormal. Mana ada coba ada orang suka diobati dengan kemoterapi? Sebab obat-obat pelumpuh sel kanker ini jahatnya luar biasa. Dia tak hanya meracuni sel-sel kanker pengganggu itu, melainkan juga memakan sel sehat sehingga menyakiti manusianya. Buktinya, kakak saya wafat sehabis hanya tiga kali saja dikemoterapi karena jadi kehilangan nafsu makan dan sakit pencernaan kelas berat. Nah saya itu perkecualian. Saya merasa sehat-sehat saja bahkan cenderung gemuk meski kanker saya justru meruyak ke mana-mana.
Pasalnya koktail obat kemoterapi saya dulu tak cocok dengan penyebab kanker saya. Jadi akibatnya sel jahat itu tetap hidup bahkan makin mengganas pasca dilukai dengan operasi. Dengan begitu saya tentu saja kegirangan waktu mau menerima obat lain meski juga bukan yang terampuh untuk saya. :-) Prinsip saya, yang penting diobati sebab urusan sembuh dan selanjutnya kan ada di tangan Allah, ya?!
Pagi itu saya datang sebagai pasien terpagi di ruang kemoterapi. Loket penerimaan pasien pun baru dibuka, sedangkan ruang kemoterapi justru baru akan disapu. Ini gara-gara saya terlalu bersemangat menuju ke Rumah Sakit. Penuh sesaknya angkutan kota ke luar perumahan oleh anak-anak sekolah tak saya hiraukan. Toch saya tak lagi mampu naik kendaraan umum, disebabkan kaki saya yang sakit. Jadi akibatnya saya pasti menyewa angkutan kota itu khusus untuk diri sendiri. Uenak tenaaaannnn.........!
Para perawat datang agak siang. Maklum hari ini cuma ada 3 orang yang dilayani. Sesungguhnya sih 4 pasien. Yang dua orang pasien baru. Tapi yang seorang ditolak, sebab sebagai pasien yang didanai Askes dia tidak membawa surat rujukan dari Puskesmas di tempat tinggalnya sesuai aturan yang berlaku.
Seorang pasien baru lainnya datang kesiangan, sehingga menghambat dimulainya kemoterapi. Tapi maklum lah saya karena para pasien itu bukan pasien onkologis saya. Jadi aturan yang ditetapkan dokternya sedikit longgar. Walau merasa dirugikan, saya sabar sebab merasa boleh berobat gratis pun saya sudah sangat senang. Toch ini bukan kejadian kali yang pertama. Sikap para pasien dokter lainnya itu nyaris seragam, tak menghargai kerja dokter jaga yang mengawasi dan bertanggung jawab untuk kelancaran program kami. Karena seharusnya mereka yang sudah cukup sibuk itu bisa mulai pukul delapan pagi di ruang kemoterapi, sebelum melanjutkan berjaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Saya cuma bisa menggerutu dalam hati sambil teringat keluhan perawat bahwa pasien dokter yang satu itu memang umumnya sulit menerima instruksi RS, berbeda dari pasien dokter saya yang mudah memahami.
Hari itu alhamdulillah kondisi saya baik-baik saja kalau tak boleh dikatakan prima. Sel-sel darah merah, putih dan thrombosit saya baik. Bahkan kadar kreatinin dan ureum yang menandakan protein di ginjal pun bagus. Juga rekam jantung saya yang bisa terbukti dengan lancarnya aliran darah sewaktu perawat akan memasukkan jarum infus yang sesungguhnya amat halus itu. Kata zuster Shinta, kali ini dia tak kerepotan padahal dia sudah cukup khawatir menerima kedatangan saya. Beliau teringat saat terakhir di mana pembuluh darah saya yang terkenal di kalangan paramedis sangat halus itu sulit ditusuk dan denyutnya membuat darah saya kurang lancar mengalir. Persis seperti keluhan teknisi laboratorium seminggu sebelumnya. Saat itu hanya untuk dua tabung darah saja, dia butuh waktu lama.
Seperti prosedur biasanya, kemoterapi dimulai dengan memasukkan cairan garam (Natrium Chlorida) ke dalam aliran darah saya untuk membersihkannya. Kali ini dokter saya pun memberikan banyak cairan. Kata perawat dua kali lebih banyak dibandingkan dokter lainnya. Ini menandakan beliau sangat cermat dan berhati-hati dalam menatalaksana pengobatan penyakit pasien-pasiennya.
Setelah itu satu demi satu obat kemoterapi dimasukkan dengan tekanan yang cepat. Saya memang tak diberi obat utama yang mahal itu, jadi hanya dua tabung obat saja. Meski sedikit sedih, buat saya ini lebih baik. Sebab saya pikir yang memberi kesembuhan toch Tuhan juga. Persis kata bu Linda, seorang dokter hewan relawan kanker yang menyemangati saya dengan SMS waktu saya akan berangkat pagi-pagi sekali. "Obat 'H' sdh jngn disebut2 lg bu, mesti dihapus dr memori n hati ibu biar ibu bs sembuh. Krn skrg lah cara yg terbaik yg Tuhan sediakan......" Sangat tajam menyentuh hati sehingga saya pun membenarkannya dengan senyum..
Kalau kembali ke kaidah agama, memang demikian. Manusia tak berhak mengatur ingin sembuh jika tidak yakin akan adanya Allah yang Berkuasa. Intinya manusia wajib beriman, lalu dengan berlandaskan keimanannya manusia wajib memohon Allah menentukan jalan terbaik bagi dirinya.
Matahari itu kembali tersenyum cerah lagi waktu saya pulang ke rumah sore harinya. Selalu saja saya pulang lebih lambat dibandingkan pasien lain meski obat saya lebih sedikit. Pasalnya onkologis saya selalu memberi obat pendamping sebagai pengantisipasi dampak buruk obat-obat sitostatika lebih banyak dibanding yang mereka terima. Termasuk empat ampul suntikan. Padahal kata perawat, itu sudah lebih sedikit dibandingkan yang dulu biasa diresepkan ayahandanya kepada para pasiennya.
Meski hari cerah tapi saya tetap menyewa angkutan kota agar nyaman. Saya pun bisa menghindari kemacetan di jalanan meski nyatanya justru terjebak macet persis di muka rumah dokter saya itu di dalam perumahan kami. Kalau dipikir-pikir ironis sekali di Bogor sekarang ini, sebab kemacetan mengular di perumahan.
Saya lagi-lagi amat bersyukur hari ini. Di RS tadi saya sudah berhasil minta maaf dan menyampaikan terima kasih kepada dokter bedah umum yang juga pernah menangani almarhumah kakak saya, atas meninggalnya beliau. Dokter Hadian ~begitu namanya~ terkejut bukan main. Sebab baru beberapa hari yang lalu beliau merawat kakak saya yang masih bisa mengobrol panjang lebar dan kelihatan bertenaga. Seperti halnya zuster Maria Perawat Kepala di situ, beliau heran sebab kakak saya tak termotivasi oleh saya yang jelas-jelas didiagnosa semakin parah dan sudah sampai di stadium terminal. Kepada saya dr. Hadian menyemangati untuk tak lelah-lelah berjuang. Beliau bersedia merawat saya lagi mendampingi onkologis saya yang pastinya kebingungan juga. :-) Alhamdulillah, terima kasih dokter Hadi. Barakallahu!
***
Malam harinya selain merasakan gelombang panas (hot flushes) sehingga membuat pendingin ruangan dinyalakan dalam suhu rendah, saya mulai merasakan kesakitan lagi di lengan saya. Ngilu, pegal dan sejuta rasa yang tak terkatakan menghunjam tajam. Saya atasi dengan menelan obat pereda nyeri yang diberi dokter, tetapi tak menolong. Ini terus berlanjut setiap malam hingga hari ketiga sesudah kemoterapi. Dalam keadaan begini saya jelas merindukan suntikan morphine yang kuat yang dulu biasa saya peroleh untuk mengatasi nyeri sehabis operasi-operasi saya. Tapi sayang itu tak mungkin dilakukan sekarang. Sehingga saya hanya mampu berbaring dan duduk-duduk saja dengan gerakan terbatas. Belum lagi kaki-kaki saya mulai lemah membuat sesekali saya terduduk dan akhirnya terpaksa bersembahyang dengan berbaring. Kelemahan ini tak boleh saya anggap suatu kekalahan, demikian kata guru sekolah saya dulu. Jadi sambil berbaring pun Allah tetap akan menerima ibadah saya, meski semalam saya akui saya benar-benar tak mampu melakukannya karena konsentrasi saya buyar oleh kondisi tidak nyaman di tubuh saya. Alangkah mengecewakannya.
Ada satu kondisi lagi yang saya deteksi sewaktu saya mandi pagi ini. Kulit lengan saya berbercak-bercak merah, masih sangat sedikit. Saya memang cukup waspada akan hal ini, karena kemarin Carboplatin obat yang saya terima, mempunyai efek merusak thrombosit (kepingan darah yang dibuat di sum-sum tulang) saya. Sebetulnya thrombosit berguna untuk pembekuan darah pada pembuluh-pembuluh darah yang pecah dengan menyumbatnya. Seharusnya saya tak perlu terlalu risau akan keadaan ini karena saya telah makan vitamin B kompleks dan asam folat yang saya kira dimaksudkan untuk mengantisipasi dan mengatasi keadaan ini. Namun daripada salah penanganan, saya telah melaporkannya kepada onkologis saya lewat laporan harian dengan E-mail kepada beliau. Tinggal saya menunggu saran beliau nanti malam sepulang kerja. Beginilah untungnya diobati dokter muda yang canggih, terbuka dan karenanya informatif. Sekali lagi saya amat bersyukur.
Hari ini artinya saya juga sudah dua hari mengalami konstipasi. Tapi ini pun dalam kewaspadaan saya. Itu sebabnya saya minum air putih dan makan buah segar serta sayur lebih banyak. Tak mengapa, kita lihat saja hasilnya kelak karena konstipasi dan diare serta mual-muntah memang efek sampingan yang akan dialami pasien yang dikemoterapi. Kita sikapi saja dengan menyesuaikan pola diet kita. Jadi, kesimpulannya : "Sakit kanker, dikemoterapi, siapa takut?! Tak usalah ya, sikapi saja dengan bijak seraya bermohon kepada Allah. Bismillahirrahminirrahim. Laa haula wa la quwwatta ilabillah!!!"
(Bersamnbung)
bude saya juga pernah operasi kanker
BalasHapusdari pada kemo malah pilih minum jus sirsak sama rebusan daunnya
alhamdulillah sehat sampai sekarang
semoga lekas sembuh ibu
Saya sudah sejak tahun lalu minum segala jus termasuk sirsak dan rebusan daunnya. Terima kasih doanya, salam untuk budenya ya. Tinggal di mana?
HapusSubhanallah....salut saya sama semangat bu julie. terus semangat ya bu.
BalasHapusTe4rima kasih mbak. Saya memang harus bertahan dan memperjuangkan hidup saya demi anak-anak saya'
BalasHapusentah mengapa almarhum ayah saya tak pernah menjalani kemoterapi. dengar-dengar sih karena usia ayah saya yang sudah tua. padahal sebenarnya sejak awal ditemukannya kanker ganas dalam tubuhnya sejak saya masih kuliah (sya masuk kuliah tahun 86) dr tak pernah menyuruh kemo.
BalasHapusAda alasan-alasan tertentu, antara lain pasien dalam kondisi lanjut usia sehingga kalau dikemo langsung kondisinya drop. Tapi bisa jadi karena kankernya juga stadium terminal. Biasanya obat kemonya dimakan per oral dan perlu diradiasi. Alfatihah untuk Apih tercinta ya.
Hapus