Aku begitu rindu pada kasur di kamar 851 Raffles Hospital Singapura. Bukan berarti aku minta sakit. Bukan berarti aku ingin tidur dan dirawat disana, tapi karena aku merasakan nyeri yang tak berkesudahan di bahu hingga lengan kiriku. Sakit itu seperti ganti-berganti saling menyambung bersahutan dengan sakit kepalaku. Seharusnya aku tidak boleh memikirkannya, bahkan seharusnya aku membuang ingatan tentang kasurku itu dengan sempurna. Tapi malam kemarin, gigitan ngilu campur pegal di lengan kiriku menyebabkan aku terbangun. Bukan main. Aku cuma mampu menahan segala rasanya.
Terbayang di mataku wajah manis Frida Bashir suster kesayanganku yang memang sangat sayang padaku. Lalu Veronica Lee yang lebih tua daripadaku namun masih gesit dan bersemangat, serta barisan cleaning service keturunan India yang senang menyapaku dalam bahasa Melayu. Semuanya seakan-akan memanggilku, mengingatkanku bahwa sudah waktunya aku kembali ke Raffles Hospital untuk check-up tahunanku.
-ad-
Sudah sepuluh bulan lebih aku di pos kami kelima. Selama itu baru dua kali aku ke dokter untuk memeriksakan kondisi kesehatanku karena keluhan pada tanganku ini. Awalnya dari bahu yang nyeri dan pegal, kemudian menjalar hingga ke lengan, tangan, bahkan pernah menyentuh jariku. Dokter pertama mengatakan tak ada yang salah padaku, karenanya aku hanya dikirim kepada seorang ahli fisioterapi untuk melemaskan otot-ototku. Sudah hampir sepuluh kali tangan halus Catherine merabaku tanpa hasil. Dengan putus asa dia melemparku kepada seorang dokter bedah tulang, yang menyatakan bahwa kondisiku disebabkan oleh tuanya "peralatan" pada tubuhku yang aus bersama usia. Karenanya aku menerima suntikan pada bahuku diikuti pesan agar aku kembali lagi tiga minggu kemudian. Harinya sudah terlampaui seminggu. Itulah sebabnya semalam aku berkali-kali terbangun dengan rasa nyeri yang mengganggu.
-ad-
Akhirnya kemarin aku ke Rumah Sakit lagi. Klinik tulang, tepatnya. Di halamannya terpampang tulisan "National Institute - Sport Science Centre". Banyak orang kemari. Bahakan di balik dinding dokter bedah tulangku, ada sebuah kolam renang dalam ruang berukuran olimpiade yang digunakan untuk terapi.. Seharusnya tempat ini menjadi tempatku menyandarkan harapan, melabuhkan "kapal"ku yang hampir karam.
Aku melangkah masuk dan melaporkan diri kepada penjaga pintu. Dia mempersilahkan aku sambil menanyakan apakah aku sudah tahu letak klinik yang akan kutuju. Aku mengangguk seraya menunjuk hall di sebelah kanan kami. Dia tersenyum sambil mempersilahkan aku masuk ke ruangan yang hanya dikunjungi dua orang pasien saja. Meski demikian aku tetap harus menunggu giliranku. Kusandarkan bahuku ke kursi satu-satu yang mengarah ke meja resepsionis. Kesibukan disana nampak nyata di mataku. Telepon berdering serta tangan-tangan cekatan membolak-balik tumpukan map serta mencoret-coret kertas yang ada di hadapan mereka. Dokter-dokter bergantian muncul dari ruang prakteknya sambil memberikan instruksi. Kesibukan yang nyata, yang ditekuni dengan sungguh-sungguh.
Seperempat jam aku menggigil di udara yang mulai drop ke suhu rendah, seorang diri. Sudah bertahun-tahun aku mulai terbiasa duduk sendiri menunggu kesempatan dokter memeriksaku. Tidak pernah ada lagi, atau boleh dikatakan tidak setahun sekali mas Dj suamiku duduk menemaniku. Aku bukan perempuan cengeng lagi, semua sudah jadi terbiasa. Tapi kali ini nyaris aku tak kuat menahan sejuk yang menggerogoti tulang sumsumku. Ingin rasanya dia ada disini, memberiku rasa hangat yang abadi seperti dulu. Kelopak mataku mulai basah lagi, sampai aku terpaksa mengusapnya ketika dokter Vreetos memanggil namaku untuk mengikutinya ke bilik pemeriksaan.
Pertanyaannya yang pertama cukup standar. Apakah aku mengalami perbaikan. Ketika kujawab dengan gelengan, dia menyuruhku melepas pakaian luarku untuk mengamati dan memeriksa sekali lagi bahuku. Tangan itu memijat disana-sini, mengangkat lenganku dan menjatuhkannya kembali. Menginstruksikanku untuk menggerakkan tangan di posisi-posisi tertentu, sampai dia memperoleh kesimpulan bahwa aku harus menjalani pemeriksaan lanjutan. MRI. Tiga kata yang sangat mengecutkan hatiku. Yang akan mengingatkanku akan lantai dua Raffles Hospital dimana berkali-kali aku ada di dalamnya. Terbayang kembali wajah teknisi India yang selalu memanggilku dengan lembut disertai pertanyaan apakah aku siap untuk menjalani pemeriksaan, sekalipun adakalanya aku kesana untuk mengantarkan tetamuku yang kebetulan juga sakit.
"Bolehkah saya mengajukan permohonan lain?" Tanyaku pada dokter Vreetos yang sudah siap memberiku pengantar ke klinik MRI. Wajahnya menatapku aneh. "Anda takut? Ini pemeriksaan yang tidak menyakitkan. Anda akan ditidurkan di dalam sebuah tabung," begitu antara lain katanya memberikan penjelasan yang dsegera kupotong dengan jawaban tidak. "Saya sudah sangat terbiasa dengan pemeriksaan ini maupun scanning dan semacamnya untuk kasus-kasus lain di tubuh saya. Bahkan yang terakhir adalah MRI untuk tempurung kepala saya," jawabku mantap. Sejujurnya ingin kukatakan bahwa ketakutanku bukan pada prosedur MRI itu sendiri, melainkan pada hasil akhirnya. Terbayang saat aku terbaring sendrii di meja bedah itu lagi. Bukan meja bedah yang sama yang sudah sangat lekat denganku selama ini. Meja bedah lain, dalam panduan orang lain pula. Sesudahnya tercipta sendiri di khayalku sebuah ruang yang sempit dan gelap dengan mesin-mesin berdesingan, bedetakan menyambungkan nyawaku. Ah, itu lagi.......... Aku menarik nafas dalam. Bulir-bulir bening mengaliri pipiku mengharuskan aku mengigit bibirku sendiri.
-ad-
Aku melangkah gontai ke luar gedung megah itu membawa tangis. Supir keluarga kami yang setia menyalakan mesin dan membukakan pintu untukku serta menangkap kegalauan hatiku. Dia tidak berani bertanya apa-apa. Senyap menyergap sepanjang perjalananku pulang ke rumah. Namun dalam hatinya dia tahu apa yang sedang jadi pikiranku, karena sejak lama dia sudah bertugas menggantikan suamiku, dulu -bersama-sama istrinya- menemani aku berobat. Dulu, aku bisa mencurahkan semua kesedihanku pada Bu Bambang, istri supirku. Tapi sejak bu Bambang menolak kami ikut ke Afrika, tak ada lagi tempatku berkeluh kesah. Ah, aku merindukan bu Bambang dalam keterpurukanku begini.
Di Bsishopscourt Road mobil kami masuk, menyeberangi jalan nasional yang membentang di depan rumahku. Pohon di pagar-pagar rumah nyaris tak ada artinya bagiku. Tidak seperti kemarin ketika aku belum sakit. Senantiasa mengundang keinginan untuk menelitinya. Gerombolan jambu bol mini yang merah ranum sudah tak ada lagi artinya. Begitu pula dengan kembang sepatu dan protea warna-warni yang semarak. Semua gelap dan kaku tanpa gereget. Kepalaku terasa berat, mengajakku istighfar menyebut kebesaran Illahi. Dan mobilpun berhenti di sudut jalan. Di muka rumah pak Bambang membunyikan horn yang segera disambut dengan sigap oleh pak Base yang membukakan pintu pagar. Rasanya wajah itu begitu kaku menyambutku. Aku melangkah gontai masuk ke dalam rumah tanpa salam.
Lalu kusiramkan air dingin membasuh tangan dan wajah. Rasanya hidupku limbung. Kuambil sehelai baju rumah lalu aku mulai menggabungkan diri dengan teman-temanku yang sedari pagi sudah sibuk mengerjakan tugas untuk acara dinas minggu ini. Sebagai istri pegawai negeri lagi-lagi aku harus kuat. Setelah meneguk segelas air dingin aku mulai menjawab pertanyaan teman-temanku. "Aku minta dido'akan. Sebab lagi-lagi aku harus berhadapan dengan prosedur pemeriksaan yang lebih detail. Mudah-mudahan aku survive menghadapi kondisiku kali ini,' jawabku. Tanganku mulai memasang sarung plastik dan ikut merangkai potongan-potongan daging menjadi sate. "Ada apa lagi?" tanya mereka penasaran. Serempak semua menghentikan kerjanya dan menatapku. "Aku belum tahu, mesti menunggu hasil MRI tiga minggu lagi," ucapku memberi penjelasan. Kemudian aku mengajak mereka menyibukkan diri dengan pembicaraan lain, sementara hati dan pikiranku sesungguhnya tidak sependapat. Namun aku malu jika harus mengungkapkan sejujurnya. Semua sekaan mengerti hatiku, dan kamipun bekerja dalam diam haingga tusukan daging yang terakhir. Ninik temanku menghitungnya dengan cermat, mencapai bilangan lima ratusan tusuk. Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka serta salam untuk putra-putri mereka yang telah merelakan ibunya bekerja untuk kami.
-ad-
Ditinggalkan teman-temanku, cuma sepi yang menyergap. Lalu-lalangnya kendaraan di muka rumah seakan tak ada gemanya di telingaku. Di bantal putih itu kurebahkan kepala yang berat serta separuh tubuhku yang ngilu. Entah berapa lama aku mengucapkan dzikirku ketika di ruang mataku kujumpai wajah ibuku. Senantiasa tersenyum dan penuh kasih.
Disana di balik kebayanya ada "rumahku". Tempat aku dulu menyusu, mencari hidup dan nafas cinta. Ibuku bukan perempuan cantik. Juga tidak cerdas. Sekolahnya hanya di desa pada sebuah HIS di kota kecamatan yang dulu berjuluk kawedanaan. Namun ibuku punya keindahan. Pada tutur katanya yang lembut. Pada senyumnya yang manis, yang menyembulkan gigi-gigi nyaris gingsul. "Jaga dirimu baik-baik," begitu ibu pernah berpesan. "Hidup tidak akan lama, sebelum Tuhan memanggilmu siapkan jiwamu untuk suatu penilaian yang agung," ucapnya sambil meremas jemariku. Ibu di pembaringannya di Rumah Sakit PMI dimana dulu aku dilahirkannya. Sudah bertahun-tahun ibuku jadi penghuni yang setia didera sirosis hati yang tak mudah ditolakkan. Aku jadi salah satu perawatnya yang setia, sebab aku sangat takut kehilangan nyawa ibuku. Umurnya belum lagi enampuluh tahun. Tidak berbeda jauh dari umurku sekarang. Ibuku membuka kilas balik hidupnya yang dipenuhi warna. Ada rangkaian perjalanan dari desa yang disambung dengan kunjungan keluarga-keluarga dari desa ke rumah kami serta orang-orang lain yang butuh perhatian. Dengan bertututur begitu ibuku tidak bermaksud menyombongkan diri. Ibuku cuma ingin mencontohkan bahwa beliau sudah mengisi diri sebaik-baiknya sebelum wafat sebagai bekalnya mencapai rahmat surgawi. Ibuku perempuan yang bakti pada suaminya. Di bawah bayang-bayang ayahku, ibuku senantiasa hormat dan menjaga kehormatan keluarga kami. Aku terdiam merenunginya. Berpasrah diri pada malam yang panjang di lorong waktu menuju Tuhan. Semoga aku bisa meneladani ibuku, pintaku dalam hati.
-ad-
Aku ini manusia hampa. Tak ada kelebihan dan kebaikanku. Aku ini manusia yang nyaris tak berjiwa. Hanya seperti robot yang bergerak tanpa pikiran. Banyak sudah manusia yang tersakiti olehku. Dan banyak sudah kerugian akibat perbuatanku di muka bumi ini sepanjang pergaulanlku dengan teman-temanku. Rasanya pesan ibuku belum terpenuhi. Beliau kini hadir di sisiku untuk mengingatkanku bahwa saatnya sudah tiba. Aku harus cepat mengisi diri sebelum kereta terakhir mengangkatku ke hadapan Allah.
Tiba-tiba gigitan di bahu dan lengan kiriku minta perhatian lagi. Aku terjaga dalam seringai. Hampir kupukuli tubuhku seandainya aku tak segera sadar bahwa wktu ashar hampir habis. Buru-buru aku turun dari pembaringanku untuk menunaikan shalat. Insya Allah aku akan mohon kekuatan padaNya sekali lagi, agar aku bisa melaksanakan pesan ibundaku sebelum waktunya tiba. Yaitu ketika bajuku diganti putih dan tidurku jadi abadi. Innalillahi wa innaillaihi raji'un, begitu nanti kata-kata yang akan menggema di seluruh ruang rumahku. Entah kapan.
mudah-mudahan ini bukan pertanda penyakit serius dan bunda sehat kembali, kami di sini membantu dengan do'a ...
BalasHapusSaya juga berharap begitu. Terasa doa nak Siti sejuk menyirami hati saya. Semoga Allah membalas semua kebaikan nak Siti dengan RahmatNya.
BalasHapusYa Allah berikanlah kekuatan dan kesabaran pada mbak Juliie........
BalasHapushugs mba Juliie
BalasHapusGraphics for Get Well Comments
banyak2 baca Al Ikhlas ya mbak julie :) ta' bantu doa dari sini ya..
BalasHapusMembaca blog ibu Julie ini..
BalasHapusAku teringat pernah membaca sebuah buku rohani milik mamaku. Saat itu mamaku jg sedang sakit,pengeroposan tulang. Kesimpulan dr buku itu,isinya:
Tuhan memberi ujian,tidak melebihi kekuatan manusia..
dan bila manusia masih diuji,seberat apapun..tandanya Tuhan memperhatikan kita, supaya kita tetap bercakap2 dengan Tuhan, supaya kita tetap ingat,kalau kita msh bisa menghadapi ujian seberat apapun dan tetap kuat..spy kita ingat,kekuatan itu semua berasal dr Tuhan..dan kita hrs percaya, Tuhan tidak akan melewatkan kita begitu saja.."
Sekarang,aku senang bisa melihat senyum mama..dia tetap kuat dan tetap bertahan.aku mendukung dalam doa utk Bu Julie..kalian WANITA-WANITA tegar dan perkasa..tetap BERTAHAN ya! Jangan menyerah..
Tuhan pasti memberi kekuatan EXTRA utk Bu Julie..
God bless U!
nte' Julie... Insya Allah selama tangan masih bisa mengelus tuts keyboard dan menggerakkan mouse (dan ini sudah terbukti) berarti sehat, sedikit ekstra waktu untuk istirahat, obat dan therapy semoga mengurangi sedikit sakit ... tetap semangat dan jangan menyerah !!!
BalasHapusbude, obin doakan selalu sehat...
BalasHapusCintaku adinda Lely dan ananda Afif, terima kasih atas doa tulusnya. Semoga Allah melimpahkan kebaikan untuk keluarga ana di Brussels lebih baik lagi dimasa selamanya.
BalasHapusIya, mak Dian. Itu juga yanf diminta sepupuku. Al fatihah, al ikhlas, an-nas, dsb yang biasa kita baca saking singkatnya. Kata dia itu aja dzikirnya. Aku percaya dengan doa teman-teman termasuk mbak Dian Tuhan akan sayang padaku. Aku cuma bisa menyampaikan doa yang baik juga untuk mbak Dian. TErima kasih.
BalasHapusHe....he.... iya, ini ngetik juga judulnya nekat mas. Pake tangan kanan kan, terus yang kiri banyak dianggurin. Soalnya tante kalo nggak nulis sehari aja, rasanya belum lega. Katanya itu juga jadi terapi buat orang susah lho..... Terima kasih simpatinya ya mas. Tante jadi inget punya kenalan di kompleks BPP yang dulu suaminya kepala TN Ujung Kulon, ibu ini pinter mijet. Andaikata di kampung aja, tante udah minta tolong beliau kali ya?
BalasHapusLirikan matamu dan senyumanmu serta sapaanmu ini juga udah jadi obat buat bude. I love so much Obin. Yang rukun ya sama oom Agung.
BalasHapusShafaki'lLah...Moga ibu segera sembuh
BalasHapusTerima kasih. Semoga Allah melebihkan rahmatNya kepada anda.
BalasHapusBundaku sayang, teriring selalu doa dan sayangku untukmu, syafakillah....insyaalloh bunda bisa bertahan dan jadi lebih kuat lagi, itu harus bunda, ingat janji bunda bahwa kita akan berjuang bersama, bertahan dengan segala rupa cobaan ini, jangan pernah menyerah ya bunda.....
BalasHapusmaafkan ananda yang selalu kurang update kabar ya, hari2 ini sibuk banget riwa riwi ke RS untuk tes screening obat baru itu lho,
ps : apa tidak sebaiknya perlu check up ke Sin lagi bun?? atau kesini aja, insyaalloh saya bisa nemenin, kita cari referensi Ostheopath terbaik disini ya bunda??? love always.....
Nggak ada yang perlu dimaafkan diajeng. Wira-wiri ke RS adala kewajiban untuk bertahan. Hidup itu indah, jadi kita mesti tahan wira-wiri ke RS. Terima kasih perhatiannya dan doanya. Juga terima kasih aatas tawarannya ynag mengharukan itu. Saya akan bertahan disini, karena dokter saya adalah Allah, jadi dimanapun saya berada tetap saya dapat kesembuhan. Insya Allah. Selamat berjuang ya jeng.
BalasHapusInsyaalloh...amien....ini baru bunda Julie saya......sama2 berjuang ya bun, sayang selalu untuk bunda......
BalasHapusAmin. Ingatlah hidup itu indah dan kehidupan ini sangat indah untuk dinikmati.
BalasHapussemoga bunda cepet sembuh, dan semoga penyakit ini hanya sebagai ujian kecil untuk bunda agar tetap bersabar, Insya Allah ini akan menghapus dosa dan kesilapan, ananda cuma bisa membantu dengan doa..
BalasHapusSemoga, amin. Terima kasih doa dan perhatian ananda yang menyejukkan.
BalasHapussemoga cepet sembuuh..
BalasHapusbig big hugs.....
Ririen mommy Bintang
Terima kasih ya mommy Bintnag. Salam kenal dan salam hanga dari Cape Town.
BalasHapuswah.. saya juga punya masalah nyeri kaya ibu..
BalasHapustgl 1 mei yg lalu saya jg mengalami "salah tidur" ampe sholat pun harus duduk, karena sulit buat rukuk...( ampe ada perasaan khawatir kalo ga bisa normal lagi ..) mungkin ada otot pinggang ketarik krn pas lagi batuk-batuk juga.. semua gara-gara ada serangan fajar anak-anak yg pindah tidur dari kamarnya sehingga kepaksa pas mau tidur lagi menjelang shubuh setengah badan di busa, setengah lagi kaki di tikar kalimantan..... akhirnya pas hari sabtu shubuh .. saya paksakan pulang ke bandung.. buat di urut.. tepatnya di daerah CICALENGKA.. ada kenalan ibu saya waktu masih dinas di PT POS yang saya anggap cocok gaya ngurutnya... .. 2 jam lamanya semua badan di tusuk-tusuk dengan jarinya...
alhamdulillah.. meskipun masih agak sakit kalo ngendong anak yang bayi... tapi sekarang udah mulai bisa sholat normal lagi...
yg lucu (atau mengenaskan yah).. besoknya.. giliran ibu saya (66thn) yg ke cicalengka tanpa ngasih tau ke kita.. ..karena takut antre keduluan pasien lain.. beliau nekat ga sarapan dulu.. dan.. hasilnya.. beliau pingsan akibat nahan sakit waktu tangannya dipijit...
hmmmmhmhmh.. (sebagai anak cuma bisa menghelas nafas melihat ibu yang nekat minta dipijit.....)