Sungguh merana jadi orang yang tidak mandiri secara finansial, lalu sakit pula. Apalagi penyakit kanker. Seperti yang saya lihat dan saya amati, pasiennya kebanyakan sakit berlama-lama. Pengobatannya memerlukan peralatan yang tak bisa dioperasikan sendiri di rumah. Sehingga pasien mesti berangkat ke rumah sakit yang artinya biaya pengobatannya tak sedikit, sebab banyak komponen biaya yang mesti dibayarkan untuk itu.
Banyak orang menganggap sakit di luar negeri meski mahal tapi lebih akurat diagnosanya dan lebih cepat sembuhnya. Tak bisa dikatakan tidak, itu memang terjadi. Sayang yang lama sembuh bahkan penyakitnya meruyak hingga nyawanya tak tertolong lagi pun sudah tak terbilang. Itu menimpa teman saya yang sedang mengikuti penugasan suaminya di Singapura.
Setiap tahun setiap PNS RI dan pejabat BUMN RI yang ditugaskan di Singapura diminta memeriksakan kesehatan mereka di rumah sakit. Dananya tentu saja dibiayai asuransi kesehatan yang memang wajib diikuti oleh setiap orang. Dengan ikut asuransi memang sedikit banyaknya pengobatan kita diringankan. Itu sebabnya asuransi dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kami semua.
Salah seorang teman saya berusia sekitar 46 tahun kembali dengan hasil pemeriksaan tahunan yang mengejutkan. Dia dicurigai menderita tumor paru-paru yang ketika dibiopsi hasilnya menunjukkan keganasan. Sehari-hari, dia yang bersuamikan bankir tidak terpapar asap rokok karena suaminya tidak merokok di dalam rumah mereka, mengingat anaknya tiga orang masih belum ada yang dewasa. Si sulung pemuda yang baru berumur enam belas tahun pun tidak mengenal rokok. Adapun kegiatannya sehari-hari selain mengurus rumah tangga juga menjadi instruktur senam bagi kalangan teman-temannya sendiri. Sedangkan olah raga yang rutin ditekuninya adalah bowling seminggu sekali, juga bersama teman-temannya. Apa yang kurang sehat dalam irama kehidupan teman saya ini, tak jelas benar adanya. Sehingga ketika dia selesai melakukan general check up dengan hasil yang tidak baik tentu amat mengganggu pikiran dan perasaan kami.
Salah seorang teman saya berusia sekitar 46 tahun kembali dengan hasil pemeriksaan tahunan yang mengejutkan. Dia dicurigai menderita tumor paru-paru yang ketika dibiopsi hasilnya menunjukkan keganasan. Sehari-hari, dia yang bersuamikan bankir tidak terpapar asap rokok karena suaminya tidak merokok di dalam rumah mereka, mengingat anaknya tiga orang masih belum ada yang dewasa. Si sulung pemuda yang baru berumur enam belas tahun pun tidak mengenal rokok. Adapun kegiatannya sehari-hari selain mengurus rumah tangga juga menjadi instruktur senam bagi kalangan teman-temannya sendiri. Sedangkan olah raga yang rutin ditekuninya adalah bowling seminggu sekali, juga bersama teman-temannya. Apa yang kurang sehat dalam irama kehidupan teman saya ini, tak jelas benar adanya. Sehingga ketika dia selesai melakukan general check up dengan hasil yang tidak baik tentu amat mengganggu pikiran dan perasaan kami.
***
Teman ini kemudian berobat di rumah sakit langganan kami menuruti kemudahan yang bisa kami peroleh. Di rumah sakit itu selain tidak terlalu besar dan hiruk pikuk tapi peralatannya cukup lengkap, kami akan didampingi oleh seorang penghubung pasien yang berkebangsaan Indonesia untuk memudahkan komunikasi kami. Sebetulnya bukannya kami tak bisa bercakap dalam bahasa Inggris, melainkan bahasa Inggris logat Melayu mereka (Singlish) yang dicampuri banyak terminologi medis sering membuat kami berpikir keras. Itulah pentingnya seorang perantara yang biasa diistilahkan sebagai "Liaison Officer" (LO) itu.
Pasien ini hanya menerima regimen kemoterapi dan radioterapi saja, tanpa diharuskan dibedah. Teman-teman yang menjenguk merasa cukup heran sebab kami memang tak tahu sendiri seberapa parah penyakitnya. Sehari-hari teman kami tak pernah batuk-batuk, namun tak dapat disangkal, dia kerap kali kelihatan menarik nafas dalam-dalam jika tengah berbicara, atau lebih sering ketika tengah mengaji Qur'an. Tapi dari LO didapat penjelasan bahwa dokter menganggap pengobatan dengan kemoterapi yang diperkuat radioterapi juga sudah cukup. Memang dikatakan dokter, pada beberapa kasus diperlukan operasi pengambilan jaringan yang terkena sakit di paru-paru pasien.
Lamanya kemoterapi dan radioterapi teman saya ini cukup menggelisahkan. Semula tentu saja kami berharap bisa meringankan penyakitnya. Tetapi kenyataannya, diketahui penyakitnya telah menyebar (metastase) hingga ke area hatinya. Meski demikian, teman kami ini tetap nampak prima dan sigap mendatangi setiap perkumpulan yang kami adakan terutama mengaji seminggu sekali. Bahkan ketika dia menjadi tuan rumah kami, hidangan lezat yang berasal dari tangannya masih tersaji dengan sempurna sebagaimana dulu ketika dirinya masih sehat.
Sehubungan dengan selesainya masa tugas suaminya di Singapura, teman kami ini kembali ke Indonesia. Pengobatannya dilanjutkan di Jakarta pada sebuah rumah sakit milik BUMN. Tapi secara berkala dia tetap memeriksakan diri kepada dokter yang merawatnya di Singapura. Sayang kondisinya tidak kunjung membaik, bahkan teman saya ini akhirnya kehilangan kesadarannya.
Dengan segala kemampuan yang ada, suaminya memindahkan perawatannya ke Singapura pada rumah sakit lainnya. Di sana dokter yang memeriksa mendapati pasien sudah berada pada stadium akhir karena tumor pada hatinya sudah sedemikian parah, sedangkan di titik-titik lain tubuhnya telah ditemukan penyebaran termasuk di otaknya.
Terus terang saja seluruh biaya pengobatan itu tidak ditanggung negara, tidak ditanggung kantor suaminya sehingga terasa amat memberatkan. Sudahlah demikian, keterlambatan diagnosa yang ditegakkan dokter yang terakhir merawatnya membuat semua upaya yang ditempuh jadi sia-sia. Akhirnya teman saya tidak tertolong lagi. Dia menghembuskan nafasnya di usia yang belum lagi separuh abad. Ketika saya berkontak dengannya melalui teman-teman yang sedang menengok di Singapura, dikabarkan dia masih bisa mengingat-ingat siapa saya. Sayang memorinya terbatas juga kesadarannya hilang-timbul, sehingga dia tak mampu lagi bicara jelas. Itulah akhir daripada pertemanan kami. Antara saya dan dia, teman yang tak pernah lupa untuk saling mendoakan dan menjadi penopang di kala lelah menghadapi penyakit kami. Selanjutnya sering tergambar di pelupuk mata saya senyumnya yang manis sedang berdiri di sisi ranjang tidur saya bahkan di area ICU Raffles Hospital ketika menyemangati saya untuk berjuang menuju kesembuhan. Hanya Allah kiranya yang tahu sampai di mana kemampuan manusia mengobati seseorang. Dan hanya Allah juga yang tahu sejauh mana kita akan terus mengelana di muka bumi ini. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
(Bersambung)
Teman ini kemudian berobat di rumah sakit langganan kami menuruti kemudahan yang bisa kami peroleh. Di rumah sakit itu selain tidak terlalu besar dan hiruk pikuk tapi peralatannya cukup lengkap, kami akan didampingi oleh seorang penghubung pasien yang berkebangsaan Indonesia untuk memudahkan komunikasi kami. Sebetulnya bukannya kami tak bisa bercakap dalam bahasa Inggris, melainkan bahasa Inggris logat Melayu mereka (Singlish) yang dicampuri banyak terminologi medis sering membuat kami berpikir keras. Itulah pentingnya seorang perantara yang biasa diistilahkan sebagai "Liaison Officer" (LO) itu.
Pasien ini hanya menerima regimen kemoterapi dan radioterapi saja, tanpa diharuskan dibedah. Teman-teman yang menjenguk merasa cukup heran sebab kami memang tak tahu sendiri seberapa parah penyakitnya. Sehari-hari teman kami tak pernah batuk-batuk, namun tak dapat disangkal, dia kerap kali kelihatan menarik nafas dalam-dalam jika tengah berbicara, atau lebih sering ketika tengah mengaji Qur'an. Tapi dari LO didapat penjelasan bahwa dokter menganggap pengobatan dengan kemoterapi yang diperkuat radioterapi juga sudah cukup. Memang dikatakan dokter, pada beberapa kasus diperlukan operasi pengambilan jaringan yang terkena sakit di paru-paru pasien.
Lamanya kemoterapi dan radioterapi teman saya ini cukup menggelisahkan. Semula tentu saja kami berharap bisa meringankan penyakitnya. Tetapi kenyataannya, diketahui penyakitnya telah menyebar (metastase) hingga ke area hatinya. Meski demikian, teman kami ini tetap nampak prima dan sigap mendatangi setiap perkumpulan yang kami adakan terutama mengaji seminggu sekali. Bahkan ketika dia menjadi tuan rumah kami, hidangan lezat yang berasal dari tangannya masih tersaji dengan sempurna sebagaimana dulu ketika dirinya masih sehat.
Sehubungan dengan selesainya masa tugas suaminya di Singapura, teman kami ini kembali ke Indonesia. Pengobatannya dilanjutkan di Jakarta pada sebuah rumah sakit milik BUMN. Tapi secara berkala dia tetap memeriksakan diri kepada dokter yang merawatnya di Singapura. Sayang kondisinya tidak kunjung membaik, bahkan teman saya ini akhirnya kehilangan kesadarannya.
Dengan segala kemampuan yang ada, suaminya memindahkan perawatannya ke Singapura pada rumah sakit lainnya. Di sana dokter yang memeriksa mendapati pasien sudah berada pada stadium akhir karena tumor pada hatinya sudah sedemikian parah, sedangkan di titik-titik lain tubuhnya telah ditemukan penyebaran termasuk di otaknya.
Terus terang saja seluruh biaya pengobatan itu tidak ditanggung negara, tidak ditanggung kantor suaminya sehingga terasa amat memberatkan. Sudahlah demikian, keterlambatan diagnosa yang ditegakkan dokter yang terakhir merawatnya membuat semua upaya yang ditempuh jadi sia-sia. Akhirnya teman saya tidak tertolong lagi. Dia menghembuskan nafasnya di usia yang belum lagi separuh abad. Ketika saya berkontak dengannya melalui teman-teman yang sedang menengok di Singapura, dikabarkan dia masih bisa mengingat-ingat siapa saya. Sayang memorinya terbatas juga kesadarannya hilang-timbul, sehingga dia tak mampu lagi bicara jelas. Itulah akhir daripada pertemanan kami. Antara saya dan dia, teman yang tak pernah lupa untuk saling mendoakan dan menjadi penopang di kala lelah menghadapi penyakit kami. Selanjutnya sering tergambar di pelupuk mata saya senyumnya yang manis sedang berdiri di sisi ranjang tidur saya bahkan di area ICU Raffles Hospital ketika menyemangati saya untuk berjuang menuju kesembuhan. Hanya Allah kiranya yang tahu sampai di mana kemampuan manusia mengobati seseorang. Dan hanya Allah juga yang tahu sejauh mana kita akan terus mengelana di muka bumi ini. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
(Bersambung)