Perempuan itu duduk mencakung di balik jendela sambil memandang ke luar. Ke arah pekarangan kosong di seberang rumahnya. Ingatannya kembali ke masa lalu, ketika dia kecil dulu. Di situ, di balik gerumbulan ketela pohon yang ditanam bersama pokok-pokok pisang dan jambu, kaki-kaki kecil anak-anak kampung di sekitar situ biasa bermain-main.
Saripah melihat sosok itu lagi. Anak lelaki berkulit coklat tua dengan mata yang dalam dibatasi bulu-bulu alis yang lebat memandangnya dengan penuh kebencian. Sebab Saripah adalah anak kesayangan tuan tanah pemilik kebun itu. Tepatnya dia memang bukan anak pak Amir pemilik kebun, tetapi tuan tanah yang tak beranak itu memang menyukainya. Karenanya Saripah bebas bermain-main di lahannya dan memanjati jambu lalu menggerogoti sepuasnya. Tak seperti anak-anak lain, termasuk Fadhlan lelaki itu. Kepadanya, pak Amir justru sangat benci. Setiap gerak langkahnya ditujukan untuk mengamat-amati anak itu. Apalagi Fadhlan memang senang menggoda Saripah seorang.
Dari balik kaca mata tuanya Saripah bisa mengenang kembali saat-saat itu. Fadhlan akan menadahkan kain sarungnya yang dipakainya ke langgar untuk mengaji, supaya Saripah bisa menjatuhkan buah-buah yang ranum itu dengan biji kemerahan ke atasnya. Jambu biji pak Amir memang terkenal enak. Sewaktu masih muda pun tak terasa mentah, karena pada setiap dagingnya terasa kerenyahan yang berpadu dengan air sari buahnya yang manis.
"Ipah, Ipah, beri aku sedikit," teriak Fadhlan pelan-pelan sembil menengok ke kanan ke kiri juga ke atas pohon untuk menyaksikan kulit betis gadis sebayanya itu yang putih kekuningan mulus sekali. Dengan tenangnya Saripah berpura-pura tak mendengar. Lalu dengan asyiknya dia mengunyah gigitan demi gigitan jambu di mulutnya, sambil memperlihatkan ketidak peduliannya. Fadhlan kemudian menjemput batu kerikil di bawah kakinya dan melemparkannya ke atas supaya menyentuh kulit gadis cilik itu.
"Aih..... Ipah......, bagi-bagi lah.....," teriak bocah lelaki itu lagi penuh nafsu. Lalu karena Saripah tak bereaksi, anak itu mulai menyingkapkan kain sarungnya dan naik secepat kilat memanjat mendekati Saripah.
Demi menyaksikan kenekadan anak itu, Saripah terkejut, lalu buru-buru berusaha turun. Malang, ketergesaannya membuatnya jatuh dan patah kaki. Suatu kejadian yang membekaskan luka di hati serta tubuhnya hingga kini.
Sejak itu Saripah amat membenci Fadhlan. Tekadnya sudah bulat untuk tidak lagi mau mengenalnya apalagi sampai bermain bersamanya. Setiap senja ketika anak-anak asyik bermain bersama di pekarangan kosong itu, Saripah hanya memandangi dari dalam rumahnya. Saripah terlalu membenci Fadhlan senada dengan sumpahnya yang menyatakan bahwa dia tak akan pernah berhubungan lagi dengan Fadhlan.
***
"Mak, kita harus bicara sekarang," perempuan paruh baya di sebelahnya mengajak Saripah bicara. Sejak tadi mereka saling berdiam diri. Si nenek asyik menatapi kebun milik keluarga Amir sementara anaknya menjahit bajunya yang terlepas jahitannya di sebelahnya. Baju itu memang hasil karya tangannya sendiri, sebab dia termasuk satu di antara beberapa penjahit perempuan yang rapi di kampungnya. Sedangkan di sampingnya seorang perempuan muda menangis merintih-rintih.
"Anak di perut Nurlaili memerlukan ayah Mak," ucap perempuan itu lembut. Adik bungsunya yang bekerja di Jakarta baru saja pulang kampung mengadukan nasibnya. Dia telah dihamili oleh anak orang kaya yang mengenalnya lewat internet. Tapi lelaki itu tak bertanggung jawab, lalu meninggalkannya begitu saja. Sementara itu tentu saja janin di kandungannya terus menciptakan bukit yang minta diselamatkan.
"Lelly memang salah Mak, tak pernah Lelly sangka lelaki itu busuk hatinya. Dia menyuruhku menggugurkan kandungan, tapi tetap kutahu aku berdosa kalau melakukannya," isak perempuan berumur dua puluh empat tahun di pangkuan ibundanya. Perempuan yang biasa dipanggil dengan sebutan Lelly ini termasuk salah seorang gadis cerdas yang cantik. Karenanya tak heran kalau banyak tetangganya yang mengingini menjadi kekasihnya. Termasuk Juffri anak lelaki Fadhlan yang telah menorehkan luka di betis ibundanya.
Saripah tua tak berkutik. Bak batu hatinya begitu keras. Apalagi menghadapi Fadhlan dan keturunannya yang dulu pernah disumpahinya. Dia sangat ingat bahwa mulutnya pernah berujar untuk tidak mau berurusan lagi dengan Fadhlan setelah kejadian yang membuatnya jatuh dari pohon jambu. Memang sejak itu mereka bermusuhan, bagai anjing dengan kucing. Kegalakannya menjadikan Fadhlan pun tak lagi menyenanginya. Terlepas dari kemulusan betisnya yang pernah menyita perhatiannya.
"Mak, kalau anak ini lahir tanpa bapak, apa kata orang nanti?" Desak anak sulungnya Sumartini yang tak juga melepaskan jahitan di tangannya. Saripah tetap membeku.
***
Bunyi gamelan bertalu-talu. Rebab yang digesek pemusik tua menyemarakkan suasana membuat setiap pasang mata mengarah ke panggung hiburan sederhana di halaman berbatu-batu yang becek itu.
"Alhamdulillah, Lelly sudah menemukan jodohnya sekarang," bisik Atun di telinga suaminya sambil menikmati hidangan dan hiburan di pesta siang itu. Sahri hanya melirik ke arah istrinya. Perempuan berkerudung oranye itu tetap lebih menarik jika dibandingkan dengan kecantikan Nurlaili pengantin yang secara resmi menjadi kemenakannya kini. Sejujurnya dirinya sedang bertanya-tanya, sejak kapan Juffri menjadi dekat dengan Nurlaili apalagi diketahuinya Saripah ibunda Nurlaili amat sinis kepada Fadhlan abang sepupunya tanpa diketahui apa sebabnya.
"Kalau dipikir-pikir keluarganya 'kan sombong ya pak? Aneh juga keponakan kita mau memilihnya jadi istri," bisik Atun lagi seraya menyunggingkan senyumnya. Matanya tetap asyik menyaksikan pengantin perempuan itu menarikan jaipongan di atas panggung. Sahri tetap bergeming. Pikirannya terus saja asyik mereka-reka sendiri bagaimana asal muasal perjodohan yang jadi rahasia Tuhan itu terjadi.
"Eh pak, biarpun cantik tapi kok kelihatannya gemukan ya pak?" Lagi-lagi Atun berkomentar. Kali ini Sahri menghentikannya dengan sedikit hardikan, tatap mata membulat dan sodokan di pinggang perempuan itu. "Diam, jangan ngomong aja." Yang menelurkan reaksi terkejut di muka bulat Maryatun. Matanya jadi seperti hendak lepas dari sarangnya, ditambah bibir yang menganga bulat lebar. Tapi tak urung dia diam saja.
***
Kentongan bambu kedengaran bertalu-talu malam itu di desa yang biasanya sepi senyap. Meningkahi cericit tikus liar di got-got rumah juga siulan cengkerik yang cuma kelihatan rupanya di waktu malam. Seluruh desa terbangun onar.
Saripah diketemukan tewas menggantung dirinya sendiri di pohon durian pak Amir oleh tetangganya yang pulang kemalaman dari kota. Derak-derik kuda coklat kebanggaannya tiba-tiba berhenti di muka lahan itu, persis di seberang jendela rumah janda Saripah yang terkenal sombong di kampungnya. Karena kudanya tiba-tiba tak mau lagi bangkit, Machyudin terpaksa turun hendak menambatkannya di pokok salam yang tertanam paling dekat dengan jalanan. Rumahnya tinggal beberapa ratus meter lagi, sehingga dia berniat berjalan kaki untuk mencapainya. Tubuhnya benar-benar sudah letih sehabis seharian berbelanja kebutuhan warungnya sambil menjual hasil buminya kepada pelanggannya di kota.
Tiba-tiba hatinya terkejut tatkala matanya bertumbukan dengan sesosok benda yang kelihatan berat terayun-ayun di dalam kebun kosong itu. Lebih terkejut lagi ketika dia nekad menghampiri dan menyaksikan perempuan uzur beranak delapan itu menatapnya dengan mata melotot dan lidah terjulur. Rambutnya yang memutih keperakan seakan dibiarkannya tergerai melambai-lambai, selagi tubuhnya hanya berbalutkan kain sarung pelekat yang sudah pudar warnanya.
Saripah telah pergi. Bersama dendamnya kepada Fadhlan teman di masa kecilnya yang kini terombang-ambingkan nasib resmi menjadi besannya.
"Ingat Fadhlan, meski kau kini menjadi mertua anakku, tapi aku tak akan pernah menjadi bagian dari keluargamu. Kau terlalu baik untukku, maafkan aku........."
Begitulah sepenggal kalimat yang terserak di bawah kaki Saripah. Sepucuk surat yang ditulis dengan tangannya sendiri yang kini dan untuk selamanya telah kaku membeku bagai hatinya yang tak pernah bisa jatuh cinta kepada lelaki itu. Beginilah permainan dunia.
~Kota Hujan medio Oktober dua ribu dua belas~
waa..baguuss ^_^
BalasHapusAh enggak sebagus tulisan nak Yana lah. Ini lagi kebetulan aja ngiseng kepengin buka lapak yang ini setelah berbulan-bulan saya biarkan merana. :-D
BalasHapusTerima kasih ya sudah mampir di sini.
Flagged dulu ya, buat baca ntar malem :)
BalasHapusSilahkan, selamat malam. Terima kasih atas kunjungannya ke sini.
BalasHapusDendamnya keterlaluan. *geleng2
BalasHapusHahaha.......
BalasHapusnaudzubillahi min dzalik. benar2 keras hati ya.
BalasHapusdipanjangin dikit bisa jadi novel nih Bun. :)
Oh gitu ya? Memang ini bibit dari calon novel saya yang akan datang sih. Percobaannya di cerpenkan aja dulu. Sayangnya mood saya nulis sastra seringnya hilang timbul sih nak Yaya.
BalasHapusasiik. menunggu novel Bunda berikutnya. kalo mp sdh bubar, dimuat di wp kah Bun? kan katanya wp ga bisa set for contact ya?
BalasHapusSaya nggak main di WP. Saya punya rumah baru di bundel-jandra22.blogspot.com, gabungan dari dua sites saya di sini, tapi isinya baru semua. Yang ada di sini biarlah berlalu bersama terbangnya waktu. Silahkan follow saya dari WP. Kebanyakana follower saya memang mereka yang buka site di WP kok. Dan sebeliknya, kebanyakan yang saya follow juga mereka yang ke WP.
BalasHapusNak Yaya buka site baru di mana?
yaya ada site lama di bs juga Bun. insyaallah nanti di follow.
BalasHapustulisan2 disini ada di hardisk juga kan Bun? ga dihilangkan sama sekali kan?
A/n nyonya rumah : Iya nak Yaya, saya sudah copy ke harddisk sebelum nantinya hangus dan menguap jadi asap.
BalasHapusBund, ini bagus lho. Kirim ke koran atau majalah dong.....
BalasHapusNovelnya nanti dimuat di rumah baru ya?
Seperti biasanya saya agak kurang pede jadi gimana ya cara ngirimnya ke media?
BalasHapusInsya Allah, iya akan jadi pengisi rumah baru setelah serial kisah nyata yang sekarang saya selesaikan.
Terima kasih atas komentarnya yang selalu mengandung semangat ya ci. Terus terang ini buat saya rada enggak puguh karena nggak saya ceritakan apa alasan yang utama dari dendam nini Saripah kepada bapak pengantin lelaki.
Hmmm...alasan bencinya hanya karena jatuh dari pohon Jambu Air itu hingga lebih milih bunuh diri dari pada jadi besannya, Bunda ? Kalau boleh kasih saran, supaya lebih masuk akal, gimana kalo alasannya harus lebih kuat dari sekedar itu ? Ngga ada orang bunuh diri hanya karena alasan seperti itu Bunda. Maaf. Supaya kek penulis-penulis Dunia sih yang alurnya logis dan endingnya ngga ketebak hehe...
BalasHapusBukanlah, karena Saripah sebetulnya sering dikejar-kejar lelaki itu dengan cara yang menjijikkan, termasuk ketika memanjat pohon jambu pun ditongkrongi di bawahnya. Tapi memang nggak saya ceritakan panjang lebar kok.
Hapus