Anak-anak itu begitu manis. Mereka nampak bersikap sangat dewasa sebelum masanya. Yang besar baru kira-kira dua belas tahun, sangat membimbing adiknya. Dalam setiap pertemuan masyarakat Indonesia mereka datang bersama ayah mereka. Satu di sisi kiri dan satu di kanan ayahnya.
"Ini bagian ade, duduk ya di situ jangan berdiri, nanti tumpah," kudengar si kakak berkata pada adiknya semacam instruksi sambil membawakan semangkuk soto ayam ke meja. Nampak sekali kedewasaannya.
Adiknya mengangguk sebelum duduk dan diam mematung memandangi abangnya yang kembali lagi ke antrian mengambil untuk dirinya sendiri. Dia kemudian kembali ke meja adiknya dan menegur dengan lembut, "ayo dong mulai makan, 'kan janjinya nggak rewel."
Aku tersentuh menatapnya. Kudekati mereka dengan sapaan hangat sambil mengelus rambut-rambut lebat mereka. "Mama masih sakit ya?" tanyaku.
Mereka mengangguk dan menjawab bersamaan seperti sebuah recorder yang dibunyikan serempak, "iya, di Indonesia." Lalu mereka meneruskan makan dalam diam. Senyumku nyaris tak berbalas, sebab mereka munundukkan wajah dalam-dalam seolah ketakutan.
Aku baru saja hendak mengangsurkan sepiring pudding ketika ayah mereka memanggil mengajak mereka segera pergi. Hatiku terusik. Tepatnya aku tersinggung pada sikap Taufik yang tiba-tiba seakan-akan menjauh dariku. Padahal akhir-akhir ini dia tahu istrinya berkawan cukup akrab denganku.
Pulang pertemuan yang kebetulan tak dihadiri Elis, aku bercerita kepadanya. Elis menanggapinya dengan tertawa panjang di telepon itu. "Rasain deh lu, mau ikut campur urusan rumah tangga orang sih," komentarnya cukup pedas. Namun tak urung aku membenarkannya juga.
Pembicaraan kami menggiring Elis untuk bercerita bahwa ketika dia dulu "menyidangkan" Taufik di apartemennya, dia juga sempat kena semprot Taufik dengan kalimat yang sama. Taufik merasa dia ingin mencampuri urusan rumah tangganya.
Tapi, si lembut Elis tidak terpancing marah. Bahkan dengan kelembutannya itu dia bisa membuka dalamnya hati Taufik yang selama ini tak mudah diterka.
Taufik betul-betul kecewa pada istrinya sendiri yang telah digaulinya sejak remaja. Dan dia menganggap pernikahannya sebagai beban moral untuk membahagiakan orang tua mereka semata. "Perempuan itu sungguh tak mau maju," tuduhnya. Diungkitnya masalah caranya berdandan yang sangat sederhana, pendidikannya yang tanggung dan inisiatifnya yang melempem.
"Aku betul-betul lelah menghadapinya. Tapi aku menikahi Ami karena aku ingin membahagiakan emakku. Hidup emak tak pernah bahagia," keluh Taufik dari atas kursi goyang Elis yang sengaja dihadapkannya mengarah ke luar gedung. Di jalanan sana mobil-mobil hilir-mudik bersama orang-orang yang menawan yang nampak bagai keluar dari halaman sebuah majalah mode. Dalam tangisnya dia menatap ke sana dengan pandangan kosong saja. Mungkin setumpuk rindu pada ibundanya terbawa saat itu dan tak terpuaskan.
"Sudahkah pak Taufik bicara sendiri dengan bu Ami?" tanya Elis.
Taufik menggeleng, "aku tak akan sanggup mengatakannya, setiap kali ingin ku ucapkan, terbayang kembali ibunya yang sangat berharap aku bisa mengerti dirinya. Si bungsu yang manja," keluh Taufik. Bahu itu berguncang-guncang menumpahkan semua rasa di hatinya yang seakan-akan sudah dipendam begitu lama.
Timbul rasa iba pada diri Elis. Sebab dia pernah juga bersandar di bahu Taufik walau hanya sejenak, sebelum dia menemukan pelabuhannya yang terakhir di kehidupan dan hangatnya kasih sayang Baskara. Ditelannya ludahnya sebelum dia memberanikan diri untuk mendebat.
"Hidup adalah kenyataan, pak. Dulu bapak bersedia menerima bu Ami dari tangan orang tuanya apa adanya.' Hanya itu yang bisa dikatakannya. Lidahnya kelu.
Keduanya sama-sama terdiam. Elis dalam kebingungannya, dan Taufik dilahap isaknya sendiri. Kamar apartemen itu menyaksikan dalam diam mengiringi mereka lewat desis mesin koelkast yang berpadu serasi dengan getaran halus dari heater di kaki mereka.
Elis menata hatinya lagi, lalu mulai bicara tenang sekali. "Karena sebab-sebab itukah pak Taufik ingin menduakan cinta?" selidik Elis sambil matanya menatap Taufik di seberangnya.
Lelaki itu diam tak menjawab. Masih sibuk dengan saputangan yang dirogohnya dari saku jas untuk membuang dukanya.
"Aku tak tega untuk mengkhianati ibu mertuaku. Seandainya beliau tahu, betapa hancurnya hati ibu. Tapi aku ingin sesuatu yang lain, aku inginkan Ami berubah dan maju sesuai dengan posisiku di masyarakat sekarang ini," jawab Taufik pada akhirnya. Ada isak di sela-selanya, tanda air mata dan dukanya begitu dahsyat.
Elis membuang pandang ke jalanan mengusir air matanya sendiri yang tiba-tiba turut mengalir tak terkira. Bibirnya digigit dan dibukanya berkali-kali menahan desis perih dari luka hati keperempuanannya. "Pak, pak Taufik sebaiknya berterus terang pada bu Ami. Termasuk soal kehadiran perempuan itu dalam kehidupan pak Taufik," Elis mencoba memberi saran.
"Dia sudah tahu, dia kenal perempuan itu." Jawab Taufik singkat membuat Elis terperangah.
Lama mereka berdiam diri sampai akhirnya Elis mulai lagi dengan pertanyaannya yang mendalam, "Bu Ami tahu? Dia kenal? Siapa perempuan itu? Kawan bu Amikah sesungguhnya?"
Taufik menggelengkan kepalanya. "Dia seorang teman kerja waktu aku berdinas ke daerah. Dia yang bertugas melayani semua kebutuhanku. Orangnya sangat luwes, cekatan dan mandiri, tidak seperti istriku. Salahnya sendiri, kenapa dia tidak pernah mau ikut aku kalau aku berdinas ke luar daerah," Taufik menyampaikan pembelaannya tanpa menyebut nama Ami sepotong pun. Tak ada nada bersalah dalam rangkaian kata-katanya.
Kini Elis mengerti mengapa Taufik menduakan cintanya. Tapi dia sekaligus tahu bahwa caranya keliru, maka diberanikannya dia berkata lagi, "seharusnya pak Taufik bilang sendiri sama bu Ami apa yang pak Taufik maui, jangan pak Taufik justru marah dalam diam dan mengharapkan dia mengerti sendiri dong. Bu Ami hanya manusia biasa yang punya keterbatasan, termasuk keterbatasan untuk mengerti."
Taufik bangkit berdiri, mohon pamit sambil menitipkan pesan agar Elis menyampaikannya pada Ami. ".......dan tolong, jangan campuri lagi urusan rumah tangga saya setelah ini."
-ad-
Malam itu begitu mobil Taufik melaju meninggalkan apartemen Elis, Elis segera menghubungi Ami dan menceritakan apa yang baru dilakukannya bersama Taufik.
Ami menerimanya dengan pasrah, separuh menyukuri karena dia merasa persahabatannya dengan Elis adalah hubungan emas yang membuahkan jalinan yang manis. Tanpa Elis dia tak pernah tahu apa yang ada di dalam hati suaminya kini, seorang Taufik yang bukan lagi remaja berseragam sekolah.
Tapi Ami sendiri bukan perempuan yang pendiam. Seperti yang sudah kuduga, keramahannya yang selama ini selalu terpancar, dibukanya juga untuk mengupas masalah ini. Malam itu atas desakan Elis dia memulai pembicaraan dengan suaminya. Dipilihnya waktu tengah malam sehabis dia menyelesaikan tugas-tugasnya menemani si buah hati serta mengantarkan mereka ke pembaringan mereka masing-masing.
Di kasur mereka suami istri yang telah menjadi saksi percintaan mereka, Ami menyatakan rasa bersalahnya. Dia meminta maaf kepada suaminya. Diutarakannya bahwa dia hanya meniru pola kebiasaan ibunya yang tak pernah ikut kunjungan kerja ayahnya ke daerah. Ibunya dulu selalu lebih mementingkan diri menjaga rumah dan mengawasi anak-anaknya. "Bersalah kah aku telah menirunya?" tanyanya malu-malu atau tepatnya takut-takut.
Taufik diam tak bisa menjawab. Namun pada akhirnya malam itu dia mengungkapkan betapa dia kecewa atas penolakan istrinya yang kesekian kali ketika dia mengajak serta keluarganya dalam salah satu kunjungan kerja singkat ke pusat pariwisata terkenal di tanah air. Dan dia sekan tak mau mengerti alasan istrinya bahwa anak-anak mereka tidak dalam masa liburan. Bagi Taufik keinginan harus terpenuhi, dan permintaan adalah titah.
Aha! Betul juga penilaian Elis yang dulu disampaikannya padaku. Taufik keras hati, keras kepala dan senang "bersabda". Kami berdua tergelak di telepon. Kebetulan pula kata Elis dia sedang bersantai karena hari itu dia hanya bekerja menyelesaikan proyek penelitiannya bersama suaminya. Tawa kami menjadi-jadi pada sore itu.
Ami. lanjut Elis lagi juga mengatakan dia takut berdandan. Sebab, Ami masih menyimpan surat-surat cinta suaminya dahulu yang antara lain menyanjungnya sebagai gadis yang cantik alami tanpa polesan kosmetik apa pun. Bahkan Ami mempertunjukkan surat sakti itu yang bertuliskan tangan remaja seorang lelaki bernama Taufik dengan kalimat, "aku suka karena kau tak kenal alat pemoles kecantikan wanita, bagiku kecantikan alamimu adalah sesuatu yang indah." Lagi-lagi kami tergelak dibuatnya.
Adapun soal kurang inisiatif itu? Ami bilang dia telah minta maaf pada suaminya kerena terbiasa bergantung kepadanya. Namun dia juga tak mau ikut kursus apa pun di luar rumah sebab dia ingin suaminya dapat menyelesaikan pendidikan lanjutan dengan baik serta menabung untuk masa depan kedua anak mereka. Ah, sungguh pemikiran sederhana, namun mulia.
"Mas memerlukan ijazah untuk menduduki posisi baik di kantormu. Anak-anak kita kelak demikian juga. Tapi aku seorang ibu rumah tangga, tak pernah berhadapan dengan orang yang menanyakan apa ijazahku," alasan Elis. Suatu cara yang menurutku jitu untuk membela dirinya sendiri.
Tapi sejauh ini sebetulnya kunilai Ami bukan tipe perempuan rumahan dengan kemampuan pas-pasan. Dia justru berwawasan luas dan punya banyak pengetahuan sekalipun dia bukan sarjana dan tak pernah kudengar sibuk ikut kursus apapun. Terpikir olehku, alangkah beruntungnya suamiku andaikata aku juga bersikap sebijak Ami dimasa kesulitan ekonomi global semacam ini. Aku menarik nafas dalam sambil merenungkan jalan pikiran Ami yang menurutku tidak ada salahnya.
"Hai, Lis, dengar, sebetulnya aku mau tanya, di mana sih Ami sekarang?" Tanyaku meruncingkan arah pembicaraan yang sudah menyita waktu nyaris setengah jam. Suamiku sudah dari tadi melongok-longok minta perhatian. Aku merasa seperti seorang anak kecil kedapatan mencuri makanan manis di hadapannya.
"Hih, mana ku tahu?" kudengar jawaban Elis di seberang sana. "Memangnya aku yang ngasuh? 'Kan sudah kubilang, sekarang aku sudah putus hubungan dengan nyamuk. Pak Taufik tidak lagi meminta jasa kantorku untuk pekerjaan-pekerjaannya," serang Elis memberengut menyisakan tetap saja sebuah tanda tanya padaku. Bilakah Ami akan kembali ke istananya? Dua bocah itu butuh dirinya yang bijak lagi santun, walau Ami adalah waniita lugu yang kini sudah susah dicari tandingannya.
Kupejamkan mataku untuk mencari Ami dalam bayang-bayang memoriku malam itu. Barangkali ketulusan persahabatan kami akan mengantar Ami kembali ke sisi suami dan anak-anaknya. Aku menepuk bantalku tiga kali dan berharap, semoga Allah membangunkanku untuk memohon kembalinya Ami sahabat baikku lewat tengah malam nanti.
(BERSAMBUNG)
bundaaaaaaaaaaa....saya hadir..
BalasHapusbelom baca lagi..yang penting komentar..hihih..nyusul mbak re disini je..
BalasHapusTerima kasih mbak. Nggak baca nggak 'pa'pa kok mbak. Ini isengan seorang ibu rumah tangga yang kebawa "bujukan" para penggemar setia.... duile sombongku metu!!! Ampunilah mbak RE!!!
BalasHapusYa wis, yang penting ngopeni ruamh tangga mundak dadi perkara kaya tokoh nang prosaku iki. Aja gelem nduk, cah ayu.
BalasHapusbun...seru ya ini kisah nyata atau cerita .....hehehe..aku sih kalau suami pergi senengnya ikut ajach...aku juga orangnya pengen tau jadi semua kursus aku ikutin...pengen deh kayak tokoh disini yang jadi perempuan rumahan..andai aku begitu..aku ingin belajar masak yang enak2 dan beres2 yang bener...he.e.hehe...tapi soal belajar kan di rumah juga bisa di sela-sela waktu udah berees semua...kan anak pada sekolah kali...kalau di rumah aja juga bosen..kalau soal dandan...yah sekali2 kalau suami suka sih bagus atuh dandan...kursus dandan atuh ..atau minta beliin ke suami make upnya...biar suami gak kabur...nice post bun..seperti biasa
BalasHapusbunda bagus deh dalam menyusun kata-kata.......
ga ada komen lagi bun....
BalasHapusikut aja....
komen nya tetep sama seperti yang kemaren2...
koreksi bun....!!!
BalasHapuspake n
wah belum baca sebelumnya,
BalasHapusmaaf...go to the prev..
:)
Dibilang cerita, tapi kata salah satu kontak saya, ada kisah nyatanya. Malah yang suffering di balik kasus ini seorang istri plus sepuluh anak-anaknya. Gila nggak teh?
BalasHapusBisa, sangat bisa! Asal ada kemauan. sekarang buku-buku kebeli, mau bahan bacaan lain dari inet juga bisa wong orang sekrang nggak butuh punya inet, tinggal jalan aja ke warnet. Iya kan teh? Wong warnetnya aja ada di tiap kampung. Di Taman aja saya bisa ke Ruko Lama (deket temen teh Iis itu) atau ke Ruko Baru (deket rumah saya) atau sekalian ke BTN di Yogya Plaza kalo saya sambil mau belanja di toko Yogya. Alah gampang nyari warnet mah..........
BalasHapusbun yang ini,
BalasHapus"...... dan tolong, jangan campuri lagi urusan rumah tangga saya setelah ini."
kayaknya lebih cocok...
*maaph bun...
Lha kalo setelah tua sumai maunya si Ami dandan, dibilangin dong, jangan cuma dipendem aja kemauannya. Memangnya /ami Santa yang serba bisa nebak sendiri alias "weruh sedurunge winarah" kalo kata bahasa nenek moyang tante. Hehehe......
BalasHapusIya 'kan?! Itulah pentingnya memelihara kelancaran komunikasi dua arah teh Nana.
Ah, enggak jugalah. Memang tante kalo nulis di buku hgarian dari jaman bocah dulu gayanya ya udah begini. Makanya buat tante biasa. Dan kalo orang nanya gimana caranya nulis (kayak maksudnya temen-temen kita waktu di BTM dulu itu), ya bingung jawabnya. Nulis mah mengalir aja. Asal kita senang baca tulisan orang yang pada jago nulis lama-lama kita ketul;aran. Tante juga suka baca tulisannya mas Saturindu yang oke punya tuh, makanya jadi belajar nulsi yang enak dari beliau.
BalasHapusOke deh, sing keleru segera tak koreksi ya. Nuwun. Hayo bali wis sore aja nang kilang wae.
BalasHapusWe.... lha monggo, monggo...... nuwun sewu ya mas, Iki isih ajaran dari site panjenengan juga belajarnya. Nuwun.
BalasHapusOh, oh ya. Maaf...... wrrrrrr....... aku tak mlayu ndandani sik.
BalasHapushayyyyyaahhhh.. bun. lina masuk malem... ntar jam 11... sekarang lagi jam 7
BalasHapuscacatan moral dari kisah bunda adalah...suami ato isteri bukan paranormal, yg bisa mengetahui keinginan kemauan ketidakinginan ketidakmauan masing masing pasangan...ya kan bun ???
BalasHapusahirnya keluar juga jurus jitu Ami.
BalasHapusmasih ada sambungannya lagi kan?
Ya, salah satunya itu. Jadi, komunikasi dua arah dalam hubungan suami istri itu wajib, sekalipun sepasang suami istri sudah hidup bersatu sedemikain lama, jangan dianggap pasangannya pasti tahu apa isi hati dan pemikiran istri/suaminya. Manusia ya tetap manusia dengan kodrat alaminya yang serba terbatas itu.
BalasHapusLagi, jangan harap pasangan kita bisa berubah menurut maunya kita karena kita merasa sudah hidup lama dalam satu atap. Dua manusia ya tetap dua manusia sekalipun mencoba semaksimal mungkin untuk saling mengerti dan menyesuaikan diri (bertoleransi). Nggih mboten, mbak Wien?
Maaf ya jeng dibikin bosen baca "percobaan membuat karangan" saya kali ini hehehe.......
Ada dong. Lha Aminya kan harus menyelesaikan kisah hidupnya dengan manis biar bu Yudi ketawa. Sabar ya say..........
BalasHapusAku bikin penasaran dulu.
udah pasti. dan kuncinya cuman satu: komunikasi.
BalasHapusaku menerapkan hal ini di hubunganku dgn suami: saat ada problem, kami berdua harus melepaskan atribut kami sebagai suami istri dgn syarat tidak ada perasaan tersinggung atau apapun setelah diskusi selesai. dengan melepaskan atribut sebagai suami istri, each of us bisa melepaskan perasaan dan pikiran tanpa takut. contohnya, aku bilang dia "aku capek sama suamiku. dia terlalu self righteous. dia tau aku juga bantu ngasepin dapur utk keluarga, mbok ya kasih aku sedikit ruang untuk privacy, just be with myself." then dia, sebagai 'sahabat' at the time, akan bilang "apa kamu pikir setelah kamu terikat commitment perkawinan, privacy itu masih diperlukan? sebagai lelaki, aku jg ngerasa suami kamu itu gak mementingan privacy buat dirinya sendiri.."
then discussion goes on.. sampai akhirnya each of us mengerti eprasaan masing2. its easy :)
Terima kasih ya jeng sharingnya disini. Ini yang aku harap ada diskusi antara pembaca. Semoga kita sama-sama bisa berbagi kisah, berbagi kiat buat menyelesaikan problema ruamh tangga (atau apa ajalah) dan sama-sama saling menguatkan kalau kebetulan ada teman yang sedang terpuruk. Kan barangkali apa yang saya ceritain ini ada juga yang lagi ngalamin.
BalasHapusYng jelas penuturanku ini cuma sebuah rekayasa untuk pembelajaran sesama manusia. Hahaha......... Kayak kisah nyata ya?!
Jeng, please check your PM.
just did and found it :p
BalasHapusVery well! It's nice!
BalasHapusbetul bun...lagian manusia itu kan bertumbuh, jadi meski sudah berpasangan bertahun tahun, juga tetap ada upaya untuk menyesuaikan dengan "laju pertumbuhan" masing masing pasangan...xixixix (begitu kira kira)
BalasHapusduh aku ga suka dandan ni bun.. gmana yaah..?
BalasHapusKayaknya dandan aja deh sekedarnya mulai dari sekarang. Jangan terlalu polos teuing, bisi si akang ngilang............
BalasHapusDengna dandan akan makin kelihatan kecantikannya lho teh. Asal dandannya jangan menor. Bedak tipis, lipstick yang warnanya soft, rouge di pipi samar-samar, dan wangi-wangian itu penting.
BalasHapusmakin penasaran dengan cerita selanjutnya ... *tapi besok aja kali ... ada yang minta perhatian nih hiihihi*
BalasHapusIya gpp. Simpen aja di flash diskmu. Nanti kalo si mas Hylmi pas tidur dibuka. Maaf ya jadi ngganggu rutinitas ruamh tanggamu hehehe.....
BalasHapusTapi anyway budhe berterima kasih sekali nak Siti mau mampir baca "percobaan membuat karangan" ini.... harap jangan diketawain, dikasih masukan sih boleh biar jadi kayak hasilnya pengarang beneran.
Saya bacanya pelan2,biar meresap di hati sanubari.
BalasHapusLha kok kaya' syair lagu keroncong sih mbakyu? Dupeh putrane komposer kroncong asli pa piye? Hahahaha.......
BalasHapushehehe... masih misterius, dimanakah Ami ?
BalasHapusTerjawab sudah, motifasi Taufik menikahi Ami.
Bu Julie, kelihatannya saya minggu ini belum bisa setiap hari bacanya. Masih ketat agenda presentasi. Rencananya minggu ini ke Jakarta. Karena gak ajeg, semoga saya masih bisa menangkap kisah2 sebelumnya :)
Apa tuh, kasih tau saya dong pak. Saya jadi ikutan penasaran kayak pak Iwan deh.
BalasHapusSelamat menunaikan tugas, semoga sukses dan penuh barokah. Mampirlah pak ke tempat saya, Bogor kan cuma di pinggirannya Jakarta.
BalasHapusBTW pak Iwan kayaknya penasaran banget sih baca-baca di taman bacaan sederhana saya ini. Saya jadi malu lho, sebab isinya nggak sebanding sama ekspektasi pak Iwan. Terima kasih ya pak.