Hari Raya tiba. Kami tidak pernah merasakan yang namanya mudik. Mudik bagi kami tidak ada artinya, karena kakek-nenek kami adalah ummat Protestan. Jadi buat apa mudik?
Keluargaku memang unik. Ayah-ibuku berasal dari satu keluarga yang sama. Kakek-kakek kami bersaudara kandung. Ayah dari ayahku adalah putra ketiga, sementara ayah dari ibuku adalah putra bungsu.
Nenek-nenek kami sama sekali orang lain, tapi berasal dari desa yang bersebelahan. Dulu kakek moyangku dari pihak ibu memiliki madrasah serta langgar besar di kampung mereka di pedalaman Kota Kebumen, Jawa Tengah. Tapi uniknya, ada juga gereja Kristen Jawa yang konon dimiliki oleh keluarga nenek moyang kami juga tak jauh dari langgar itu.
Entah apa sebabnya nenekku dari pihak ibu menjadi penganut Protestan bersama sebagian keluarga lainnya. Yang kutahu, paman nenekku adalah seorang dokter berpengaruh di masa kolonial hingga awal kemerdekaan, yang kemudian turut merintis berdirinya Rumah Sakit Bethesda di Yogyakarta. Sebuah RS yang ditilik dari namanya bernuansa non muslim.
Ya, memang ada keluarga kami yang menjadi pemuka gereja juga, seperti simbah Pendeta di Yogyakarta serta simbah Juru Injil di Wonosobo sana. Belum lagi sebarisan Penatua dan Penginjil sederajat ibu-bapakku yang masih aktif melayani jemaah di gereja mereka masing-masing baik di Jawa Tengah maupun di Jawa barat kampung kami sekarang.
Di sisi lain, nenekku dari pihak ayah adalah penganut aliran kepercayaan yang kemudian diwariskannya juga kepada ayahku. Hidup mereka memang tak mengenal rumah ibadah. Tak juga nampak kitab suci tebal-tebal dengan bahasa yang asing. Tapi, baik nenekku maupun ayahku tak pernah ketinggalan bertafakur. Ada masanya ayahku hanya akan duduk diam tanpa apapun di dekatnya dan melipat tangannya seperti berdoa. Selain itu, ayahku punya sifat yang patut kubanggakan. Tidak mengenal kemewahan duniawi dan mau menolong siapa saja yang dinilainya baik serta memerlukan bantuan tanpa diminta.
Mang Usup tukang kebun kami serta Keluarga Pak Kardi, pensiunan polisi rendahan tetangga kami adalah contoh dari orang-orang yang pernah mendapat pengayoman bapakku. Mereka dibiarkan menempati bagian belakang tanah ayah kami dan tinggal disitu selamanya. "Kasihani mereka," kata ayahku suatu saat waktu aku terbingung-bingung menyaksikan pendirian dua bilik bambu di belakang lahan kami. "Mang Usup dan Pak Kardi butuh tempat berteduh. Karenanya mereka kuijinkan mendirikan bangunan disitu." tegas ayahku.
Ibuku sendiri adalah penganut Muhammadiyah sebagaimana halnya pamanku di Jakarta. Merekalah yang mengajarkan agama Islam kepada kami, sebab kakek kami -ayah beliau- yang juga seorang mulsim telah berpulang di usia yang masih sangat muda.
Dengan kondisi seperti ini, apa gunanya kami mudik, bukan?
Hari raya selalu kami habislkan di rumah saja sambil berkeliling kepada kerabat yang juga ada satu-dua di Bogor. Belum lagi Ibu dan Ayah punya kebiasaan mengunjungi kawan-kawan mereka untuk bersilaturami. Sehabis itu kami sendiri akan menerima sanak-keluarga Protestan kami yang sangat antusias ingin menyampaikan salam Idul Fitri.
-ad-
Di malam takbiran ketika bedug dikeluarkan dari masjid ke pojok jalan persis di samping rumah kami, ibu senantiasa menyuruhku mengantarkan rantang email berisi ketupat dan lauk-pauk ke tumah-rumah tetangga. Setelah itu ke tempat kerabat yang dekat dari rumah. Pulangnya, rantang-rantang ibuku akan kembali terisi makanan sebagai penukarnya. Sementara itu, di saku bajuku ada diselipkan uang receh pemberian mereka sebagai salam lebaran.
Sambil menghayalkan apa yang akan kubeli dengan uang-uang itu esok harinya, mataku tak luput mengawas-awasi anak-anak lelaki yang selalu iseng melemparkan petasan ke arah para pejalan kaki sejak awal puasa. Bunyinya yang memekakkan bersahut-sahutan dengan meriam sundut yang juga diletakkan anak-anak lelaki beserta para bapak dimana saja. Jangan ditanya bagaimana kerasnya, Tentu menyakitkan telinga dan jantung yang rapuh.
Di halaman rumah kemenakan-kemenakan kecilku asyik menyuluti bunga api yang dibawanya dari rumah masing-masing. Ya, merekalah yang mudik ke tempat orang tuaku. Kami senantiasa berkumpul di rumah besar itu dan menghabiskan Idul Fitri disana.
Keesokan harinya kami segera berebut mandi. Seringkali anak-anak kecil yang tidak kebagian kamar mandi kami mandikan di tong tempat penampungan air atau di sumur di belakang rumah. Mulut-mulut mereka senantiasa riuh rendah dengan segala celotehan yang tak berkesudahan, sekalipun semalaman mereka nyaris tidak tidur keasyikan mengobrol dan mendengarkan dongeng yang kukisahkan untuk mereka.
Keempat anak gadis kakak-kakakku senantiasa berpaiakan sama. Anita selalu mengambil dua baju yang sama untuk dirinya dan juga untuk Diana sepupunya. Begitu pula Mella akan menjemput dua gaun yang persis sama untuk diberikannya sebuah kepada Renni, sebab kelak Renni akan membawa dua gaun yang sama untuk diberikan satu kepadanya.
Yang berbeda pada mereka hanyalah sepatu, sebab alas kaki memerluka ukuran yang tepat. Tetapi kuingat sampai kini, selalu ada kemiripan satu sama lain menunjukkan betapa mesranya hubungan batin mereka.
Lebaran hampir tiba. Aku tahu, suasana di rumah besar kami kini tidak akan sama lagi. Para penghuninya sudah sama-sama tua dan sulit untuk melangkahkan kaki kembali ke rumah induk. Tapi aku tahu, kedekatan kami tetap senantiasa terjaga. Sebab minggu lalu kuterima SMS dari anakku bahwa dia akan menghabiskan Idul Fitri di rumah sepupunya di Bandung sana. "Ijinkan aku tidak pulang ke rumah ya bu. Aku akan merayakan Idul Fitri bersama keluarga mas Harry," pintanya. "Ya, silahkan. Tetaplah jalin silaturahmi di antara kita, sekalipun sekarang kita sudah punya kehidupan masing-masing," jawabku.
Kutahu pasti, seklipun tanpa suasana masa lalu tapi esensi Idul Fitri di keluargaku masih tetap sama. Menjaga kebersamaan dan menjalin silaturahmi seperti makna ketupat yang diterangkan ibuku dulu.
Aku malah lg males mudik cepet nih bun, abis hampir tiap hari telfon2an jadi ga ada cerita baru.. Jadi bunda ada temen ga mudik hehe
BalasHapuskok "komposisi agama" keluarga saya hampir sama dengan keluarga Tante Julie ya. malahan ketika menikah dengna ibu, bapak saya masih seorang Protestan. baru kemudian di hari tua beliau mulai belajar Islam. saya sempat kehilangan figur keluarga muslim karena memang gak ada contoh paten dalam keluarga,
BalasHapustapi yang patut saya banggakan, biar berbeda tapi kami tetap guyub. Lebaran tahun ini kami akan berkumpul di Bogor, Tante. baik muslim maupun non muslim semua mendukung acara rendezvouz ini. malah putra-putri sepupu yang non muslim kelihatan tak kalah antusias bertakbir.
subhanallah...
mbak Julie.. gak mudik?
BalasHapuscerita yang menarik dan juga mirip dengan keluargaku. Tetapi bapak saya sudah menjadi muslim ketika menikah dengan ibu. Dan kami memang dari kampung sehingga azas kekeluargaan di sekitar kami (tetangga dan teman) menjadi pegangan utama. Saya juga sependapat dengan dik Rike, kami juga universal tetapi juga guyub rukun. Bahkan yang beragama lain di kalangan keluarga kami juga ikut puasa di bulan ramadhan.
Itu sebabnya saya, dik Rike dan mbak Julie di pertemukan di MP ini ya..?
Aminnn...
iya, Mbak. rasane koyo nemu sedulur. dadi krasan ngempi je...
BalasHapusudah udah udah...
BalasHapusAi mao dateng ke Cape Town...
hihihihi
ongkosinnnnnnnnnnnnn
ahahahahahahha
Halah iya ya? Aku tak sendiri lagi......... Ayo sini teh Rini, makan di rumahku aja. Mau 'kan?
BalasHapusMudik ke Bandung sekarang lagi padat. Diana sama Mella juga akhirnya mau ikutan adiknya kumpul di Bandung. Sepi ditinggal saya dan bapaknya katanya. Tapi mereka baru mau berangkat besok lusa pulang kantor. Takbiran di jalan deh.....
Tante...............................
BalasHapusDisana jam berapa???
tanggal berapa???
udah lebarankah???
sama dengan sifat Bapak ku ....
BalasHapusBunda , aku juga gak mudik ... dah 7 kali lebaran ... gak pernah ngumpul dengan Ibu Bapak serta Kakak ... kangen tentunya .... berharap tahun depan bisa mudik pas Lebaran .
Wah, iya juga ya kelihatannya........
BalasHapusBelum lebaran. Masih dua hari lagi, Rabu nanti (sama aja dengan di Indonesia). Maaf tadi tante habis posting langsung ke dapur. Sekarang ngiseng lagi menjelang buka puasa sejam lagi. Buka puasa disini jam tujuh malam kurang sepuluh menit. Sedangkan sahurnya imsak jam lima lewat seperempat.
BalasHapusPegawai pajak bukannya gede sabetannya I? Ayo dipake jalan kesini yuk.....?
Kan mudiknya teh Ni udah duluan.......
BalasHapusSekarang mah perbekalan habis mudik kemarin aja yang dikeluarin buat lebaranan...............
Selamat masak ya teh.
kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
BalasHapusudah gag nyabettttttttttt
ahahahahahahahaa
Minal aidzin wal faidzin ....
BalasHapusKami sekeluarga mohon maaf lahir dan bathin, bila ada kesalahan yang tidak disengaja ...
Biarpun ngga mudik, tapi lebaran di rumah budhe pasti tetap ramai ya budhe ...
Ibu Julie, aku juga jarang mudik .. cuman sekali-kali.. sewaktu di Bandung, ya di rumah saudara kandung ibu saja ngumpulnya... Punya temen deh..
BalasHapusMbak Julie... aku terharu banget bacanya...
BalasHapusTFS ya mbak....
Biar pun kita baru kenal... tapi mbak Julie serasa seperti kakakku sendiri...
secara aku juga gak punya kakak sama sekali, krn aku tertua di kluarga papa+mama ku...
Di kesempatan ini, aku juga mau ngucapin:
Taqobbalallohu Minna wa Minkum
Shiyaamana wa Shiyaamakum
Minal Aidin Wal Fa Idzin
Satu lagi hasil karya mba Yuli
BalasHapusyang patut di banggakan.
Bagi yang senang menulis
sebaiknya dengki dengan mba Yuli ini.
Kalo dengki kepada yang positif kan bagus ya...
Supaya mencontoh & dalam hal ini
mencontoh mba yuli dng hasil karyanya.
A true story tentang keluarga
dibaca tidak membosankan,
tersusun rapih dengan vocbulary kata2
yang kadang tak terpikir untuk menggunakannya.
Apalagi ketika membaca
"Jangan biarkan aku merindukannya"...
*my favourite*
Kita yang seangkatan mengangguk2 sambil ternostalgia,
senyum senyum sendirian,
membayangkan hari2 lebaran yang lalu lalu...
yang lalu laluuuuu sekali....
Ikawa berbangga memiliki anda mbak...
& ada 1 anggota kami yang ternyata pengarang novel...
Tria Barmawi.
Novel terbarunya baru saja launching..
Kapan nih novelnya mba Yuli?
Bravo mba Yuli & Mba Tria...!!
Alhamdulillah ya Bu Julie, hidayah bisa datang dari mana saja Allah menghendaki...
BalasHapusceritanya syahdu banget bude...salam buat keluarga di manapun berada yaa
BalasHapusmbaaaaaak.., berpelukaaaaaaann...!!!!!
BalasHapusSemoga Idul Fitri mulia ini membawa kita kembali kepada kesucian diri dan kemurnian jiwa. Maaf lahir batin nak Siti. Selamat Idul Fitri.
BalasHapusMereka nggak mau lebaran di rumah saya (di Bofgor) karena sepi nggak ada saya, katanya. Lebarannya digeser ke Bandung ke tempat mbakyu saya nomor dua bersama dia dan keluarga anak-anaknya yang kebetulan memang di Bandung juga.
Jadi rumah sa ya sepiiiiii...........
Nak Siti udah sehat lagi? Ati-ati ya, jangan repot-repot masak besar buat lebaran.
Memang mangan gak mangan sing penting ngumpul, kata wong Jowo. Tapi ikupun nggak harus di rumah induk, dimanapun yang penting ketemu poro sedulur ya jeng Minet.........?
BalasHapusSelamat Idul Fitri bersama kakana tersayang, maaf lahir batin.
Bagoooos sekali!! Ini anak mak paling dibanggakan!!
BalasHapusTerima kasih ya dik Shinta sudah mengambil aku menjadi kontak. Semoga persaudaraan ini terjalin abadi.
BalasHapusSama-sama minta maaf lahir batin. Sejujurnya saya akui saya memang suka kebablasan nyablak. Walah....ha....ha.....ha......!
Aduh biyung......., tulung.........tulung........!!
BalasHapusTerima kasih atas kesukaan anda membaca cerita saya. Tapi ya maaf bu, saya mah orang rumahan. Bibik dapur doang, jadi ya nggak mungkin membuat sebuah novel toch?!
Apa yang saya tuturkan bener semua 'kan?! Begitulah yang ada di benak rekaman saya. Semoga bisa dijadikan tambahan pengalaman buat teman-teman muda kita. Maklum gaya lebaran sekarang sudah sangat jauh dari jaman dulu. Ayam yang mau diopor aja udah nggak harus dipelihaa sendiri dan dieman-eman..... Tinggal beli ayam potongan di pasa. Kuejuga persen di tukang kue, nggak ada lagi tuh acara nggongseng tepung, numbuk tepung beras, mbungkusin dodol, apa lagi ya?
Belum lagi baju kita sekarang udah aneka warna aneka model. sementara jaman dulu so pasti hampir semua keluar rumag kayak anak dari asrama Panti Asuhan pake seragam.......... Hu...hu.,,,,,hu,,,,,,,
Iya, wa syukurillah. Nikmat hidup itu selalu datang entah kapan masanya........
BalasHapusWa alaikum salam. Ya begitulah jeng Wina kisah orang lebaran jaman dulu........
BalasHapusSemoga berkenan membacanya. Nggak 'pa-'pa kan buat tambah-tambah pengetahuan orang muda?
Jeeeeeeeng......! Akupun menyambut hangatnya dadamu yang membuncahkan ketulusan kasih sayang. maaf lahir batin!
BalasHapusSemoga bahagia berlebaran di rantau orang.
Selamat hari raya mbaak..mohon maaf lahir batin...
BalasHapusAh bul.. I miss ur gudeg.. I'll print this one & give to my mom
BalasHapusceritanya seperti biasa selalu menarik untuk dibaca..................
BalasHapusEid mubarak, taqaballalahu minna waminkum, syiamanna wa shiamakum. maaf lahir bathin.
Sama-sama adindaku. Semoga hari yang mulia ini membawa kembali kesucian dan kemurnian jiwa kita. Maaf lahir batin.
BalasHapusOw, kok tau, gudegny alagi dimasak. Harumnya sampe ke Tangerang ya? Sorry.......
BalasHapusTiitp mama ya? Ini tahun pertama mama lebaran tanpa suami lagi.
Terima kasih, semoga berkenan dengan serpihan kenangan saya.
BalasHapusSemoga Idul Fitri mulia ini membawa kita kembali kepada kemurnian jiwa dan kemesraan hubungan antar ummat di sekeliling kita. Maaf lahir batin dik Lely. Salam untuk ustadz Umar Baktir.
lebaran saya selalu mudik, cuma saya bilang gak asyik karna ke arah rumah ibuku gak pernah macet, biasanya 2 jam saja udah sampe, tapi ternyata tahun ini maceeet banget, motor2 buanyaaak kaya laron, apalagi pas balik lagi ke jakarta aduuuh muacet total.
BalasHapusMudik ke bogor Barat ya/ Iya, bakalan macet di pertigaan R-3 (Buvbulak, Dramaga) sumbernya..... Angkot, angkot sama motor itu juga sih.............
BalasHapus