Aku duduk di muka komputer, asyik membaca postingan teman-teman mayaku yang justru berumur jauh di bawahku. Aku baru menyadari setelah ada yang tidak sengaja membuka jati dirinya. Ternyata dia satu-dua tahun saja di atas umur anak-anakku. Masya Allah, aku benar-benar lupa bahwa diriku kini sudah menjadi tua. Bukan aku yang ada di dinding sana. Yang berdiri bersama keluargaku. Juga bukan yang ada di pas foto yang kuletakkan bersandar berendengan dengan pas foto suamiku di meja rias kami. Aku betul-betul bukan perempuan itu.
-ad-
Umurku sudah setengah abad, Mesin-mesin tubuhku dan tulang-belulangnyapun sudah kerap mogok kerja. Bahkan pekerjaan "reparasi" sudah jadi kegiatan rutinku ketika aku tinggal di Singapura sana. Bagian dalam perutku sudah berkali-kali dibuang, menyisakan hanya organ-organ maha penting saja. Itupun kini kadang-kadang "menjerit" minta "pensiun". Ah, betapa waktu cepat berlalu.
Keempat anak kami (aku lebih suka menghitungnya empat, sekalipun yang dua milik kakakku), masing-masing sudah punya dunianya sendiri-sendiri. Si sulung asyik dengan pekerjaannya menghitung uang orang di sebuah pabrik benang, yang walaupun jauh dan tidak memberi banyak hasil, tapi mampu menjadikannya mandiri. Gula-kopi-susu-teh di rumah kami adalah hasil keringatnya, tanpa kuminta. Dia yang membawanya ke lemari dengan keinginannya sendiri. Begitu juga dengan honor penata laksana rumah tangga kami, adiknya lah yang memberi. Itupun datang dari keinginannya, sebab dia masih menitipkan cucu kami satu-satunya di rumahku. Dia sendiri sibuk meniti karier di sebuah perusahaan furniture setelah lelah mengabdikan diri di sebuah SMA sebagai guru Bimbingan dan Penyuluhan. Anak kandungku sendiri baru menginjak tahun kedua di sebuah perguruan tinggi negeri di Sumedang, sehingga menyebabkan kami bepisah. Kini hanya tinggal si bungsu yang mendampingi kami sambil bersekolah di SMA milik pemerintah Amerika Serikat disini. Dia pergi pagi, dan pulang di waktu shalat ashar hampir mulai. Alangkah sepinya dunia, cuma aku dan komputer ini saja.
Maka tak salah jika aku melarikan diri ke depan layar komputer dengan sadar sekalipun aku tahu ada bahaya mengancam di balik teknologi canggih ini. Dengan berselancar begini waktuku habis pelan-pelan, ilmukupun terus bertambah. Anak-anak muda itu banyak memberiku pengetahuan dan inspirasi. Tak apa, semoga sakit yang bisa ditimbulkannya mendapat teman yang imbang.
-ad-
Aku mulai merasakan nyeri di bahu dan tangan kiriku. Semula aku menumpukannya pada kesalahan posisi ketika tidur. Tapi kemudian timbul tanda tanya juga, apakah bukan karena kegiatanku berselancar di dunia maya ini kah penyebabnya? Maka kupututskan untuk menghentikan sejenak kegiatan ini. Lalu meregangkan tubuh yang terasa bertambah sakit, hingga kuputuskan untuk berbaring saja. Angin musim panas menyapaku lembut lewat celah-celah pintu kamar yang sengaja kubuka ke arah halaman depan kami yang dipenuhi tanaman bunga. Aku menikmatinya. Kali ini sambil membaca : "The Slave Book" karya Rayda Jacob yang menceritakan berakhirnya masa perbudakan di abad ke sembilan belas di seputar Tanjung Harapan ini. Aku asyik mencermati tokoh Sangora seorang budak Melayu yang kental keagamannya dan putri tirinya Somiela hasil perkawinan campuran yang cantik, namun bernasib buruk. Budak. Ya budak. Tak lebih dari sekedar "keset kaki" yang dipakai seenaknya untuk membersihkan diri majikan. Maka mataku terus terpaku pada deretan huruf-huruf itu sambil otakku membayangkan nuansa jaman dulu...........
-ad-
Roman sejarah ini bukan satu-satunya yang mengasyikkan. Ada beberapa buku yang sama mengasyikkannya waktu dibaca. Tapi buku inilah yang membantuku memahami jati diri dan sifat orang-orang Cape Malay, penduduk di negeri tempatku berada sekarang. Sama dan sebangun dengan para pembantu di rumah-rumah orang kaya jaman dulu. Mereka ada di rumah-rumah itu atas nama nasib. Karena keterpaksaan. Mereka dibawa (dalam hal ini ke Afrika Selatan) oleh Belanda. Sebagai pelayan VOC dalam persinggahannya dari Belanda menuju ke bumi nusantara dan sebaliknya. Atas nama keterpaksaan, mereka harus kehilangan harga diri dan tunduk begitu saja menjadi hamba sahaya.
Banyak orang-orang pintar di situ. Tidak hanya dari segi keterampilan, otak cemerlangpun sangat banyak. Yaitu para pemuka agama Islam. Maka tak heran jika Syech Yusuf yang dianggap pemberontak juga turut digabungkan bersama para budak itu. Aku larut dalam keasyikan membaca dan memainkan sendiri wajah-wajah para tokohnya dalam benak khayalku, sebagaimana yang biasa aku lakukan. Itulah sebabnya aku sangat tidak suka menonton film.
-ad-
Mungkin tidak ada orang yang percaya. Seumur hidup belum pernah aku sengaja mennton di bioskop atas keinginanku sendiri. Masa mudaku habis untuk membaca dan karenanya mengunjungi toko-toko buku merupakan satu kebiasaanku dengan mas Dj pacarku yang kemudian jadi bapaknya anak-anak. Karena itu kalau ada orang yang bertanya soal bioskop atau film, aku banyak tidak tahu.
Dengan menonton film, menurutku, kita tinggal mengikuti saja lakon yang terhidang di layar. Pemerannya sudah dipilihkan produser, sehingga kita tinggal menikmati. Berbeda dengan membaca, kita bisa mereka-reka sendiri wajah para pemain sesuai dengan karakter yang diciptakan sang pengarang. Kadang-kadang aku "menempelkan" wajah musuhku dalam tokoh yang paling menyebalkan; tapi adakalanya justru wajah-wajah cantik dan tampan bisa kumasukkan dengan senang. Soal alasan apa yang membuat suamiku juga tidak hobby nonton, aku tidak tahu dan tidak kepengin tahu.
-ad-
Angin sejuk di siang terik itulah yang telah membuat "film" sendiri di otakku. Bayangannya menari-nari gencar di mataku. Ada sebuah gedung tua, wujudnya besar memanjang dengan kamar-kamar berderet beberapa saf. Letaknya persis di depan pasar. Segera aku tahu, itu bangunan sekolah. Jelas terbaca dari papan namanya Sekolah Rakjat Pabrik Gas Nomor 1. Seorang perempuan tua yang sangat keibuan berdiri di situ, pada salah satu pintunya. Rambutnya yang diikat ke atas menjadi gelung menandakan kematangan pribadinya. Ibu Wasilah namanya. Tangan beliau tak henti-hentinya menerima salam dari para murid, anak-anak kecil dari berbagai golongan. Satu di antaranya, anak lelaki tujuh tahun berkemeja yang dilengkapi oto sebagai penutup tubuh. Sorot matanya penuh percaya diri, cemerlang. Dia tidak menangis ketika perempuan berkebaya yang mengantarnya melepaskan pegangan dan menyerahkannya kepada ibu Wasilah. Lalu dengan berbimbingan, mereka masuk kelas untuk menemui anak-anak lain yang juga baru datang. "Selamat pagi anak-anak, ini kelasmu yang baru. Selamat belajar bersama ibu," seru bu Wasilah tegas tapi lembut. Lalu pagi itupun jadi awal dari segala-galanya yang melandasi semangat belajar dan bekerja suamiku, si murid kecil tadi.
-ad-
Di samping kiri sekolah, tepatnya di belakang, menghadap Jalan Dewi Sartika ratusan murid juga menimba ilmu di SR Dewi Sartika. Dan SR itu juga telah membuahkan orang-orang pandai yang juga sanggup menjadi guru, antara lain di SMA 4 sekarang. Temanku yang kutemukan di halaman sekolah anakku dulu.
Sekolah-sekolah di sekitar Pasar Anyar memang bukan SD teladan, kecuali yang disebut sebagai Sekolah Rakyat Latihan di Jalan Pengadilan yang kini menjadi SD Pengadilan. Memang predikatnya bukan SD Teladan seperti SR Polisi dan SR Sempur. Tapi orang tua murid di situ umumnya orang-orang terpandang dan berpendidikan. Berlainan degan komunitas di SR Pabrik Gas dan SR Dewi Sartika yang sebagian justru masyarakat yang bekerja di sektor informal semacam sais delman, tukang beca, pedagang kecil dan semacamnya. Walaupun ada juga anak-anak tentara atau pegawai negeri serta pengusaha. Bapak mertuaku sendiri pegawai negeri di Dewan Pengawas Keuangan yang bertukar nama jadi Badan Pengawas Keuangan. Yang ketika itu kantor pusatnya memang di Bogor, di ujung Jalan Ir. H. Djuanda berdekatan dengan Asrama Mahasiswa IPB "Wisma Raya" dan "Ong's Cafetaria" milik keluarga Ong yang salah satu putrinya teman mbakyuku di SMP 1. Konon kisahnya, semua makanan di kedai itu "ajaib" rasanya alias lezat. Aku menelan liur membayangkannya.
-ad-
Di kelas suamiku ada sekitar empat puluh anak. Kini sebagian terlacak kembali. Rupanya tangan dan tutur kata manis bu Wasilah berhasil mengantarkan merke ke berbagai posisi. Ada yang pegawai negeri di Lembaga Penelitian milik Departemen Pertanian, ada juga yang bekerja sebagai pedagang peralatan pertukangan di Pasar Kebon Kembang, di bawah pohon rindang samping Masjid Agung. Suamiku kerap mengunjunginya kesana sekedar melepas rindu. Tak ada kecanggungan yang tercipta di antara mereka. Tentu semua berkat "suntkan" semangat ibu Wasilah yang mengajarkan bahwa berusaha sendiri adalah lebih terhormat daripada menganggur atau menyandarkan nasib di bahu orang lain.
-ad-
Tepat di samping SR Dewi Sartika berdiri gedung Kantor Kawedanaan. Wedana adalah salah satu jabatan pamong praja warisan Belanda. Aku sendiri tidak dapat membayangkan kira-kira di posisi mana wedana itu berada jika disandingkan dalam struktur kepemimpinan sekarang. Sebab, dijaman aku masih kecil pun, jabatan wedana sudah bubar. Bahkan atasan wedana yang disebut Residen dengan luas wilayah sampai ke Sukabumi dan Tjiandjur pun sudah tidak ada. Hanya tinggal kantornya yang sampai sekarang masih asri berdiri di samping kantor Kejaksaan Negeri menghadap pojokan Istana Bogor di Jl. Ir. H. Djuanda.
Mungkin dulu banyak juga anak-anak-anak sekolah di sekitar situ yang terinspirasi ingin menjadi pegawai negeri. Sebab seingatku, kantor kawedanaan kemudian berubah jadi kantor pemerintah juga, yang kalau tidak salah ingat namanya Koramil. Singkatan dari Korps Komando Rayon Militer. Kalau hal ini kutanyakan pada suamiku dia menggeleng. Cita-citanya jadi tentara. Tapi tentu saja tak kesampaian sebab persyaratan masuk Akabri adalah tinggi tubuh yang minimal sekian, lebih tinggi dari tubuh suamiku. Namun, jauh dlam hatiku kuyakini, dia juga menyimpan cita-cita jadi pegawai negeri yang tidak usah bergulat dengan beceknya Pasar Anyar atau debu jalanan karena pekerjaan.
-ad-
Ibu Wasilah, terima kasih atas tuntunan ibu. Kini kami telah menerima hasilnya. Pohon yang dulu ibu tanamkan telah berbuah lebat. Suamiku berhasil jadi pegawai negeri. Semangat kerjanya cukup baik. Dedikasinya pun ada. Dia bisa jadi begini, tentu karena ibu Wasilah yang menyuntikkan semangat kepadanya. Kepada seluruh murid-murid ibu dimanapun berada. Tiba-tiba, ingin rasanya aku mendapati bu Wasilah, mencium ujung jarinya, dan juga lututnya menyampaikan penghargaan serta baktiku pada beliau. Karena bu Wasilah lah kini aku dapat melihat luar negeri mengikuti suamiku hasil didikan beliau. Dan karena bu Wasilah jualah kini anak-anak kami siap mandiri. Terima kasih bu guru.
memang guru2 jaman dulu punya tekad kuat dan ikhlas sih bu,,, kalo jaman sekarang kayaknya sudah parohan deh jumlahnya, yg separo lagi mengajar cuma sekedar untuk mencari nafkah dan mengganti uang sekolahnya dulu.
BalasHapussaya merasakan sendiri, guru2 saya dulu yg statusnya sudah pensiun tapi tetap mengajar dengan status di perbantukan lebih disiplin dan tulus menhajarnya. kalo yg muda2 kebanyakan cuma ngasih tugas ato suruh merangkum.
Betul itulah yang menyebabkan mereka jadi terhormat, digugu dan lan ditiru, kalau bahasa Sundanya digugu jeung ditiru. Sami mawon ya?
BalasHapusMudahan-mudahan Allah memberikan ganjaran melimpah ruah buat insan bergelar guru yang tak jemu mendidik, membimbing dan mengasuh
BalasHapusAmin-amin-amin ya Robbal al amin. Semoga Allah memuliakan semua guru kita di tempat yang terindah.
BalasHapus