Sampaikan salamku lewat rembulan yang mengangkasa
Kepada sumber penghidupan nun di tanah kelahiran
Adakah kau tangkap gemanya
di kemersik angin sejuk pegunungan
yang menari gemulai di pucuk-pucuk rumpun teh?
Hari-hariku telah binasa
Harapan cerah kini kelam semata
Siapa mampu menafkahi aku lagi
Kelak sepanjang hayatku di bumi Priangan yang juwita?
Hatiku luruh dalam kepahitan begitu dalam
Sebab esok kerongkonganku cukup terguyur air mata
yang mengalir bening dari bola matamu yang kuyu
Luruh tanpa harap ditelan angkara
Dan perutku menggeliat tersentuh bola
yang dipukul kaum penyandang kejayan
Koloni orang yang melarangmu menafkahi aku,
anakmu, darah dagingmu
Ibunda,
aku tak punya apa-apa sekedar membantu
menafkahi jutaan anak manusia terlantar
Yang bergantung padamu
Dan menjadi tanggung jawabmu
Hanya ada satu rasa
Kepedihan dalam sebentuk doa
Dan semangat serta harapan
Semoga Prianganku yang juwita
Tetap jadi tempatku menggantungkan hidup hingga akhir masa
Pun andai aku harus terlahir kembali
Seperti dulu di bumimu yang hijau dan menjanjikan
Kehidupan gemah-ripah-kerta raharja
Kembali sepnjang masa!
(Werthemstein Park di Wina, suatu pagi enam juni sembilan tiga dengan tempo di tanganku)
puisi yg bagus
BalasHapusTerima kasih, saya hanya mengungkapkan apa yang ada dalam perasaan saya sehabis baca berita di Tempo waktu itu.
BalasHapus