Mengalah untuk menang adalah suatu keharusan yang utama di dalam hidup ini. Ini bukan sekedar slogan semata. Aku mengalaminya di dalam realita. Bertahun-tahun aku "ditinggalkan" seorang diri oleh suamiku karena kesibukannya. Bahkan di saat sakit pun, semuanya praktis kulalui sendiri. Dia ada di belakangku, siap menolongku secara finansial karena memang aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan apapun. Selepas sekolah yang tidak dapat kuselesaikan tuntas hingga mengantungi ijazah, aku hanya berkurung diri di rumah. Sibuk dengan urusan rumah tangga dan membantu-bantu di organisasi istri di kantor suami. Sekolahku hanya sampai di semester ke sepuluh. Setelah menyelesaikan mata kuliah seminar yang juga tidak kuikuti ujiannya, aku meninggalkan kampus penuh kesadaran disertai tanda tanya teman-temanku.
Tak satupun temanku yang mengira bahwa aku akan menikah. Sebab memang tak banyak yang tahu bahwa lelaki yang selama ini mendampingiku dan sibuk merawat sakitku bukanlah kakak kandungku. Sekalipun aku selalu memperkenalkannya sebagai kakakku. Kakak dalam arti yang sesungguhnya, karena hanya dialah satu-satunya yang mengerti isi hatiku dan mau memahaminya. Dia pulalah satu-satunya lelaki yang tahu semua kekurangan dan kelebihanku -seandainya ada-, tanpa mengeluh atau merasa tersaingi. Bahkan, ketika aku lulus SMA dan akan mulai dengan pendiikan tinggi di Bandung, aku sengaja dipasrahkan bapakku ke tangannya. Setiap bulan semua uang sakuku akan diserahkan kepadanya untuk dikelola, supaya cukup tidak saja untuk membayar kebutuhan harian, melainkan juga untuk ongkosku berobat rutin ke dokter. Karena itu dia menjadi bagian dari diriku sendiri, sehingga aku tidak pernah menganggap dan memperkenalkannya sebagai calon suami. Dia ada di hatiku, di tengah-tengah keluarga besarku seakan-akan dia bagian dari kami tanpa harus dipertanyakan asal-usulnya. Dan kami saling merasa ikhlas menjalaninya.
-ad-
Perubahan itu baru terasa setelah suamiku menapaki tengah-tengah jenjang kariernya. Sebagian besar teman-temannya beristri sarjana. Sebagian dari mereka malah sempat berkarier sekalipun putus-sambung. Sebagian malah melengkapi diri dengan mengikuti berbagai macam kursus yang aku tahu membutuhkan modal tidak sedikit, sehingga memaksa keluarganya untuk berbagi demi menyisihkan biaya pemenuh kebutuhan kursus dan selera hidupnya. Sedangkan aku, masih saja seperti dulu. Seorang perempuan rumahan yang sibuk dengan urusan anak semata. Sebab dalam batinku, aku harus menghasilkan anak-anak yang berbudi pekerti luhur sebagai persembahan kepada bapaknya. Yang alhamdulillah sudah tercapai. Yang ditandai dengan pergaulan lurus anak-anak kami serta pujian-pujian guru-guru atas sikap mereka.
Tapi justru suamiku kurang menghargai upayaku. Dia ingin aku tampil sebagaimana istri-istri modern yang lain, yang trendy dan bukan semata-mata ratu rumah tangga yang senang berkurung. Perubahan ini tak bisa kumengerti, sehingga kerap memunculkan 'konflik tertutup" yang semakin menjauhkan suamiku dari diriku. Sehingga dia "lari" ke pekerjaan-pekerjaan kantor yang menurutku kadang-kadang berlebihan.
-ad-
Karenanya aku justru pernah terpuruk sendiri. Marah dan menyesali sikapnya. Aku menjadi manusia yang tidak bisa mengerti dirinya. Untung aku segera sadar dan menyerahkan semua simpul kemarahanku yang membara kepada Allah, sehingga kini dia bisa kumengerti. Lalu komunikasi kamipun melancar kembali. Mengguyur jauh-jauh sumbatan masalah yang pernah tercipta. Dan melayarkannya di lautan luas.
Kini aku sangat menyukuri buah kesabaranku. Suamiku tetap melaju dalam kariernya sementara terpaan angin mulai mengguncang satu demi satu orang-orang di sekitar kami. Dan syukurku yang terutama, akulah perempuan yang berhak menjadi ratu untuk dirinya dan boleh bertahta di hatinya selama-lamanya. Siang-malamku senantiasa cerah dan menjanjikan kenikmatan karena dia.
-ad-
Di sini di balik punggung Table Mountain aku merasa bahagia bersamanya. Merasa hidup kembali sekalipun malaikat maut pernah singgah dan hampir menjemputku dalam arti yang sesungguhnya.
Kupandangi suamiku yang sibuk dengan pekerjaannya di muka komputer. Setumpuk kertas dan text books tebal bertebaran di sekitarnya. Telepon genggam juga berada dalam jangkauan. Sekarang aku mulai bisa melihat dengan jernih segala kesibukan suamiku. Aku menghargai semua "kesendiriannya" karena aku sudah merasakan manfaat kesabaranku menghadapi semua itu. Allah telah menempatkan suamiku di tempat yang baik, di rumah ini, di tanah yang sangat memukau. Aku tersenyum sendiri, dan mulai dengan kesibukanku pula, mengetik di ruang lain menyelesaikan naskah-naskah proyek pribadiku, curahan segala rasa yang mengganjal di pikiran yang sibuk berebutan minta dituangkan.
-ad-
Di muka layar komputerku terbayang semua masa lalu. Saat kami masih remaja. Ketika seragam pramuka kami membawa kami berkelana di alam terbuka. Kadang membawa kami duduk-duduk merendam kaki di derasnya Ciliwung. Di sisiku dia berkata, "air ini mengalir jauh sampai ke Jakarta. Dia memberi penghidupan pada masyarakat." Kudengarkan semua pembicaraannya yang diselingi kicau murai di pucuk kenari. Dan kelebat sayap-sayap kelelawar yang menggantung di dekatnya. "Suatu hari nanti kita juga akan pergi, mengalir jauh seperti Ciliwung ini. Kita akan memberi penghidupan pada orang lain," lanjutnya lagi. Mata itu menerawang ke kejauhan mengikuti riak-riak kecil yang mengombak berkejaran dengan ranting-ranting yang dihanyutkan angin.
Aku seperti kembali menghirup bau keringatnya, yang keluar dari semangat tinggi pantang menyerah yang dipunyainya. Nikmatnya menyentuh hati, membuka kenanganku kembali.
-ad-
Suamiku memang seorang petualang sejati. Dia selalu ingin berlari dan berlari sejauh yang dapat dikerjakannya. Dia pejuang yang pantang menyerah. Di balik keterbatasan kami, dia senantiasa punya semangat tinggi. Tiba-tiba scene di otakku berputar ke masa silam, di tahun enampuluhan.
Seorang bocah sepuluh tahun duduk sendiri di kereta tersore yang melaju dari kampung kami ke Jakarta. Niatnya cuma satu, ingin menikmati kemegahan Jakarta yang berulang tahun. Tanpa sepeser uang pun di sakunya, dia ingin menjelajah ibu kota, mencicipi pesta yang digelar di arena Djakarta Fair. Kaki kecil itu melangkah mantap, hanya berbekal sehelai karcis masuk yang sudah dibelikan orang lain terlebih dulu.
Disusurinya gang demi gang, dimasukinya bilik demi bilik untuk memuaskan keingintahuannya sampai rembulan naik penuh menyinari malam. Lelaki itu tetap pada keinginannya, menyibak pesona ulang tahun kota Jakarta sampai tiba saatnya arena ditutup dan dia tersadar bahwa tak ada tempat untuk menanti pagi.
Digesernya badannya mendekati sebuah pos polisi. Dengan segala keberaniannya untuk berdusta, dia mengatakan bahwa dia tertinggal dari rombongan wisata. Tatap mata yang polos itu begitu mudah menimbulkan iba dan jatuh hati. Malam itu dia diijinkan menunggu kereta pertama dari stasiun Gambir yang akan segera bertolak ke Bogor. Di sakunya terselip sedikit uang untuk bekal disertai pesan agar berhati-hati. Jadilah kali itu dia menonton Djakarta Fair dengan modal petualang. Yang mendebarkan hati kami di rumah. Jadilah hari itu dia sebagai buah bibir karena keberaniannya, yang membuat aku angkat topi dan menyukainya lebih dalam lagi.
Kini aku tersenyum mengenangkan itu semua. Heroku yang membanggakanku ternyata memang unik. Dan aku harus berusaha mengerti sepenuh hati. Lalu aku sampai pada kesimpulanku sendiri, jika bukan karena keunikan dan semangatnya yang pantang menyerah, mungkinkah dia mewujudlkan cita-citanya di tepian Ciliwung itu? Pergi jauh dari kampung dengan memberi penghidupan pada orang lain? Di sini di benua lain yang sangat jauh, kami sudah mencapainya. Di belakang kami, banyak jiwa-jiwa yang menjdi tanggungjawab kami untuk menghidupinya. Tidak hanya dengan materi, melainkan dengan pengabdian yang melegakan jiwa. Keabaranku telah berbuah karena dikawinkan dengan tekad baja suamiku yang tak kenal malu dan pantang menyerah. Di rumah ini, di tepian Atlantik kami telah menjadi sesuatu yang berguna, seandainya aku boleh mengatakan demikian. Alhamdulillah serta puji syukurku pada Tuhan Sang Pengatur. Izinkanlah ya Allah, aku selalu merunduk dan mohon belas kasih serta bimbinganMu.