Powered By Blogger

Senin, 12 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (97)





Ketupat adalah hidangan yang seakan-akan wajib di dalam rumah tangga orang Jawa dan Sunda yang merayakan Idul Fitri. Padanannya biasanya opor ayam, sambal goreng kentang, gudeg, rendang, telur pindang atau sayur godog. Dulu saya biasa memasaknya sendiri. Tetapi sejak saya sakit tak lagi berdaya, maka anak-anak dengan keikhlasannya minta diberdayakan supaya perayaan hari raya kami masih tetap terasa tak ada bedanya. Bahkan hingga urusan menyiapkan ruang-ruang tidur pun mereka kerjakan berdua. 

Gudang dibongkari untuk menyambut pemudik, dengan mengangkuti kasur-kasur lipat ke kamar-kamar kami. Nantinya bahkan ruang tamu pun jadi tempat para pemudik merebahkan diri. Itulah suasana lebaran di rumah tangga kami yang sudah terbina sejak dulu. Alhamdulillah mereka semua tak pernah merasa kurang nyaman dengan kondisi ini, bahkan agaknya selalu menanti-nanti kesempatan untuk berkumpul seadanya begini. Anak-anak saya pun selalu senang menyiapkan tempat tinggal kami untuk mereka.

Tahun ini saya benar-benar merasa dimanjakan. Apalagi selama sakit saya nyaris tak pernah menyentuh daging-dagingan. Akan tetapi kali ini, anak-anak mengizinkan saya dengan terpaksa menyantap hidangan lebaran olahan mereka di sela-sela kesibukannya mengantar saya ke RS. Ada yang menjadi catatan khusus kami kali ini. Sambal goreng mereka yang terlupa untuk disimpan dulu di lemari pendingin sebelum kami ke rumah sakit terpaksa terbuang percuma, sebab tentu saja sore hari ketika kami kembali ke rumah rasanya sudah berubah. Meski belum basi, tetapi saya curiga akan kesegarannya sehingga akhirnya semua terbuang sia-sia. Tapi tak mengapa daripada menimbulkan petaka yang tak dikehendaki. Itu prinsip saya dalam menjamu tetamu kami. 

Lebaran selalu indah di mata saya. Meski saya tak bisa ikut shalat Idul Fitri ke luar rumah, tetapi saya menonton penyelenggaraannya dari televisi. Orang-orang berpakaian rapi berbondong-bondong melaksanakan ibadahnya. Bahkan khotbah yang menyejukkan juga membawa kesan menyenangkan tersendiri bagi saya. Khatib yang merupakan pendidik, seorang guru besar di Universitas di Aceh menekankan bahwa syariat Islam mengajarkan kepada kesucian, keindahan, kebersamaan dan mengarahkan ummatnya untuk memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Karenanya diingatkan bahwa perbuatan baik yang telah dilatihkan selama Ramadhan hendaknya tidak ditinggalkan begitu saja setelah Ramadhan berakhir. 

Kata-kata beliau sungguh mengena di hati saya. Sebab saya teringat betapa banyaknya orang yang berkorban untuk kesembuhan saya bahkan sejak sebelum Ramadhan. Sebagian besar di antaranya tentu saja ummat Islam, sehingga saya menganggap mereka telah berhasil memenuhi anjuran khatib pada hari raya itu. Alangkah indahnya dunia ini bila semua manusia mampu berbuat seperti apa yang telah dilakukan banyak orang kepada saya. Demikian angan-angan di benak saya. Terbayang tak ada lagi orang menderita yang cuma bisa melirik pedih ketika di dekatnya lalu manusia lain dengan segala kemegahan dan kemampuan mereka.

***


Idul Fitri kali ini kami lalui bertiga saja, karena kakak saya berada di tempat putrinya sepulangnya dari operasi pengangkatan payudara juga. Tak hanya saling bermaaf-maafan, kami juga menyukuri bahwasannya saya masih diizinkanNya hidup di lebaran kali ini. Sedangkan saya menyukuri telah dirahmatiNya dengan anak-anak yang budiman yang selalu penuh tanggung jawab dan cinta kasih. Juga teman-teman yang begitu peduli. Saya teringat pesan tertulis ayah mereka dari seberang samudera beberapa waktu sebelumnya saat mereka menceritakan mengenai perkembangan penyakit saya. Dipesankannya agar mereka merawat saya sebaik-baiknya seakan-akan ini adalah Ramadhan terakhir saya. Kata ayah mereka, ini adalah kesempatan baik untuk mengamalkan ajaran agama berbakti kepada ibunda. Karena itu anak-anak diminta untuk memusatkan perhatian mereka hanya kepada upaya perawatan saya saja. Berkaca-kaca saya membaca surat elektronik yang diperlihatkan anak-anak kepada saya. Tak terbayangkan seandainya saya benar-benar tak diberi kesempatan lagi untuk kembali memperpanjang nyawa saya. Soalnya saya merasa diri saya memang belum siap untuk menghadapi pengadilan akhirat yang minta pertanggung jawaban yang besar. Bekal agama dan amalan saya tak seberapa. Jauh dari kata cukup untuk mendapat ticket ke surga. Sebab saya yakin diri saya bukanlah ummat yang baik.

Kemungkinan saya akan mati cepat bisa saja terjadi. Apalagi kematian itu rahasia Allah. Akhir-akhir ini saya memang lepas kontrol. Diet yang saya langgar itu amat luar biasa. Belum lagi akhirnya saya kurang istirahat seperti yang diminta dokter dan sinshe menjelang kemoterapi sesudah mastektomi. Soalnya kumpul lebaran yang setahun sekali itu menyita perhatian saya juga, meski anak-anak sudah piawai mempersiapkannya. Saya hanya ingin yang terbaik dan menyenangkan saja yang terasa ketika keluarga besar kami berkumpul. Terus terang, saya ingin melupakan masa lalu kami yang menyakitkan itu dengan bersenang-senang.

Ayam broiler termasuk isi perutnya dan kaldu daging sapi saya makan baik di dalam rumah maupun ketika kami pergi ke luar. Terus terang saja, sulit untuk mencari makanan yang bukan daging-dagingan di pusat keramaian. Yang biasa dijajakan orang adalah makanan kaya protein hewani yang justru membahayakan untuk saya. Sedangkan ketika kami akan memasak ayam kampung untuk hidangan hari raya, sulit mendapatkannya di pasaran. Selain jumlahnya yang tidak memadai untuk peristiwa besar, harganya pun melangit. Itu sebabnya saya dapat menjadi lebih parah sehingga pintu kematian semakin mendekat jua.



DAGING DAN TELUR AYAM KAMPUNG SUMBER MAKANAN YANG KAYA PROTEIN YANG LEBIH BAIK DIKONSUMSI PENDERITA KANKER DIBANDINGKAN AYAM RAS


Ayam kampung lebih sehat dibandingkan ayam broiler karena memiliki daya ketahanan tubuh yang lebih baik dibandingkan ayam broiler/ras, sehingga peternaknya menggunakan obat atau bahan kimia lebih sedikit untuk memeliharanya. Kuatnya daya tahan tubuh ini terjadi secara alamiah dikarenakan ayam kampung mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya sehingga tak mudah sakit. Itu sebabnya ayam kampung menjadi pilihan yang baik bagi para penderita kanker. Namun kemarin dulu dengan terpaksa saya langgar. Atas nama hari raya yang cuma setahun sekali dan isi kantung yang minta dimengerti, begitu saja alasannya.

Sebetulnya selain tahu dan tempe sumber protein nabati, penderita kanker juga diizinkan makan ikan air tawar semisal lele, mujair, nila, ikan mas dan gurami. Tapi konon ikan lele pun perlu diwaspadai karena biasanya diberi umpan pelet, yakni sejenis pakan yang tidak alami. Itu sebabnya ada ikan lele dumbo yang berukuran sangat besar. Demikian keterangan salah satu mantan penderita kanker payudara yang datang bertandang menjenguk saya.

***

Ketika lebaran saya sih merasa baik-baik saja. Mungkin suasana hati yang bahagia turut menyumbang bagi kesehatan saya. Pun juga asupan makanan yang sebetulnya justru cenderung "ngawuran" itu banyak mengandung protein. Selama 3 hari bergulat dengan anak-cucu saya justru tidak batuk-batuk seperti sebelumnya yang saya khawatirkan akan terjadi. Hanya sedikit pusing-pusing yang bisa saya lawan dengan istirahat sejenak di pembaringan. Ini jelas berbeda dengan kondisi kakak saya yang juga habis dioperasi kanker payudara stadium II-A. Mungkin disebabkan faktor usianya yang lanjut (71 th) tapi boleh jadi karena asupan makanan beliau yang kurang memenuhi syarat gizi. Akibatnya kakak saya selalu merasa lemas, tidak bertenaga dan pusing. Nafsu makannya pun nyaris hilang. Beliau cuma mau makan roti tawar tanpa olesan mentega dengan sebutir telur dan sedikit abon sapi. Sedangkan untuk memenuhi unsur vitamin kakak saya makan rebus-rebusan sayuran begitu saja ditambah sebutir apel atau jeruk. Hasilnya kelihatan jelas berbeda dengan kondisi saya. Menyedihkan sekali. Beliau cuma bisa menatap saya bercengkerama dengan para cucu dari kemenakan kami dari kejauhan.

Yang jelas libur lebaran amat menyenangkan untuk saya, karena saya terbebas sejenak dari suasana RS yang muram. Selama lebih kurang delapan hari saya terhindar dari pemandangan dan cerita-cerita sedih yang menebarkan bau kematian. Karenanya tak lupa saya mengirimi perawat-perawat yang menaruh simpati kepada saya ungkapan terima kasih serta salam hari raya. Tak disangka ada yang menjawab demikian, "ya bu, semoga cepat sembuh. Saya senang dengan ibu karena selalu semangat. Sampai ketemu lagi ya......" Betul saya pun berharap segera dikemoterapi supaya cepat sembuh dan bisa bertemu dengan perawat itu lagi yang terpaksa saya "tinggalkan" di Bogor karena RS tempatnya mengabdi telah menyerah menangani penyakit saya. Semogalah!

(Bersambung)
 

8 komentar:

  1. Hati yang senang adalah obat yang paling manjur, Bund. Mudah-mudahan kebahagiaan lebaran yang Bunda rasa bisa melarutkan semua makanan "berbahaya" yang sudah masuk ke perut Bunda.

    Umur mah rahasia Tuhan, Bund. Jangan hilang semangat ya... Mujizat Tuhan masih ada.
    Punten kumawantun mapatahan ka sepuh... :)
    *peluk sayang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cikpie bener deh rasanya. Saya pun merasa oke-oke aja tuh sehabis menghantam semua larangan dengan nekad hehehe....... Semoga selanjutnya saya bisa sembuh beneran ah.

      Peluk balik ah.

      Hapus
  2. bude..... maaf lahir batin yaaa :)

    BalasHapus
  3. Sama-sama mbak Puji, saya juga minta maaf lahir batin. Udah kembali ke kantor lagi ya? Selamat menunaikan tugas, sukses selalu!

    BalasHapus
  4. sungkem dulu Bunda....aih....sejak pindah pindah rumah maya saya jadi kurang update dengan berita dari Bunda

    alhamdulillah masih tetap semangat ya Bunda...

    hari ini kupatan..tapi ga bikin ketupat hehehe..diparingi 2 orang saudara :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Peluk cium untuk mbak Zen. Maaf lahir batin juga ya, maklum wong tuwa suka kebablasen :-D

      Kupat saya ya beli kok, wong nggak kepegang anak-anak itu. Di Jawa Barat kupat itu dimasak pas hari H nya lebaran.

      Hapus

Pita Pink