Powered By Blogger

Minggu, 27 Januari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (26)

Selama bertemu dengan para penderita kanker, seringkali saya jumpai mereka tak bernafsu makan bahkan mual dan muntah-muntah. Konon katanya merupakan efek dari pemberian obat kemoterapi yang mereka terima. Semula saya pikir saya tak akan mengalaminya, karena obat kemoterapi yang sekarang saya dapat dari dokter onkologi jenisnya yang paling sederhana. Tidak diinfuskan pula, cuma perlu ditelan sebagai obat oral (dikonsumsi lewat mulut). 

Tapi nyatanya tidak demikian. Ketika minggu lalu tepatnya tanggal 22/02 saya memeriksakan diri ke RSK Dharmais di Jakarta, saya disiksa oleh rasa mual hingga menyebabkan saya muntah-muntah tidak pada tempatnya. Memang harus saya akui, beberapa hari sebelumnya pun perut saya selalu merasa tidak nyaman, malas dimasuki makanan meski tak sampai muntah. Puncaknya hari itu, saya muntah di atas pembaringan mesin pemeriksaan tulang!

Satu pemeriksaan penunjang yang juga tak kalah penting untuk penderita kanker payudara, adalah pemeriksaan masa tulang atau bone scanning. Ini disebabkan kebanyakan kanker payudara bermetastase, menjalar hingga ke tulang. Kemenakan saya mengalaminya sehingga ketika akhirnya dia beralih dari pengobatan alternatif pada seorang haji ke pengobatan medis di RS, yang ditangani terlebih dulu justru kanker tulangnya. Pasalnya, sel-sel ganas itu telah menggerogoti kekuatan tubuhnya sehingga dia kesulitan berdiri tegak apalagi berjalan dengan baik. Baru setelah kanker tulangnya ditangani dengan pemberian kemoterapi, tumor payudaranya dioperasi. Sayang hingga dua tahun sudah tidak ada kemajuan berarti pada kesehatan kemenakan saya ini, sehingga saya menganggap menjalani bone scanning adalah hal terpenting saat ini.

Sebelumnya saya sudah menjalani thorax photo atau X Ray atau kita kenal sebagai Roentgent paru dengan tujuan untuk melihat kondisi paru-paru saya. Kemudian saya menjalani mammografi atau pemotretan kondisi payudara dengan menggunakan mesin besar yang ditempelkan lalu ditekankan ke payudara pasien guna mendapatkan gambaran yang sesungguhnya tentang kondisi payudara itu. Pada saya, tentu saja dilakukan untuk payudara saya yang tidak ada keluhan apa-apa itu. Selanjutnya, ada pemeriksaan USG abdomen yang membidik daerah sekitar dalamnya perut saya. Pemeriksaan ini pada umumnya dipakai meneliti hati, kandung kemih, rahim, indung telur, dan seterusnya yang ada di rongga perut. Walau untuk saya, cuma digunakan meneliti hati saja sebab saya tak punya organ kandungan lagi. Pada waktu itu, alhamdulillah dokter menyatakan semuanya dalam keadaan baik. Sehingga membuat dokter menduga sel kanker saya termasuk yang lambat berkembang.




 SUASANA DI RUANG MAMMOGRAFI

Biasanya pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman karena nyeri saat payudara mereka ditekan-tekan sedemikian rupa dalam proses pengambilan gambar itu. Tapi bagi saya tidak masalah. Pasalnya saya tetap akan berada di luar mesin, tidak seperti ketika harus menjalani pemeriksaan CT Scan maupun MRI yang pasiennya dimasukkan ke dalam tabung.

Maka menjelang hari pemeriksaan tulang, saya mulai membayang-bayangkan suasananya. Di lembar perjanjian pasien yang akan diperiksa disebutkan bahwa ruangan yang digunakan bersuhu sangat rendah, sehingga pasien diharuskan membawa jacket atau sweater penahan dingin. Pemeriksaan didahului oleh suntikan yang kurang lebih sama fungsinya dengan suntikan yang dibutuhkan saat pemeriksaan dengan CT Scan maupun MRI. Lalu kata lembar petunjuk itu, pasien diminta menunggu selama dua jam sambil minum air putih sebanyak dua liter. Baru kemudian diperiksa selama dua puluh menit.

Yang timbul di benak saya, pemeriksaan ini akan jadi sangat menyiksa saya. Rasa tidak nyaman di perut pasti akan ada, mengingat kandung kemih saya yang biasanya tidak terisi banyak air harus dipadati dengan dua liter air tak boleh ditawar-tawar. Apalagi lamanya pemeriksaan yang dua puluh menitan itu tak jelas benar bagi saya untuk melakukan tindakan yang bagaimana. Ah, susah sekali suasana hati saya jadinya.

Menjelang jadwal pemeriksaan saya yang waktu tunggunya sekitar dua minggu itu, kami mengontak RS terlebih dulu untuk memperoleh kepastian bahwa pemeriksaan bisa dilaksanakan. Soalnya ada pasien yang datang dari luar kota menceritakan pengalaman buruknya soal pemeriksaan ini. Waktu tiba harinya diperiksa, ternyata persediaan nuklir dari Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang menjadi media utama mengoperasikan alat habis. Akibatnya pasien dipulangkan setelah menunggu seharian. Baru keesokan harinya mereka diperiksa, setelah pihak tetangga RSK Dharmais, yakni RS Harapan Kita membagi persediaan nuklir mereka. Untung ketika kami kontak, pihak RS menyatakan punya persediaan nuklir, jadi saya melangkah mantap ke RS.

Menurut aturan, saya harus tiba di RS pada pukul delapan pagi. Sayang keadaan tidak memungkinkan sehingga kami terlambat dua puluh lima menit sehingga saya menjadi pasien kesembilan yang akan diperiksa pada pukul setengah satu siang. Selama di dalam mobil rasa mual di perut saya sudah menyatakan dirinya. Tapi saya berhasil mengusirnya dengan menghisap permen jahe yang ditularkan dari kebiasaan mantan pasangan saya.

Begitu tiba di RS sambil menunggu proses pendaftaran yang sangat panjang dan lama meski sambil duduk di bangku tunggu, rasa mual itu menyerang lagi. Dan lagi-lagi saya mengandalkan permen jahe itu ditambah permen menthol yang amat pedas yang tidak begitu banyak peminatnya. Saya berharap bisa meredakan rasa tak enak di perut saya itu. Apalagi ternyata di dalam selasar pemeriksaan sana pasien dihadapkan pada suhu ruangan yang dinginnya menyerupai isi di dalam koelkast yang menyala. Rasanya, suhu rendah itu menusuk ke dalam tubuh melalui telapak kaki saya yang cuma bertutupkan sepatu pantofel moccasino tanpa kaus kaki. Ketambahan kepala saya terlupa mengenakan kerudung pula akibat ketegangan sesaat menjelang berangkat dari rumah di pagi harinya.

Mula-mula pasien diminta mengisi surat persetujuan pemeriksaan tulang yang harus diketahui dan ditandatangani keluarganya. Berhubung anak saya pergi ke kampusnya, maka kali itu saya tandatangani sendiri. Artinya kalau sampai terjadi apa-apa pada diri saya, maka saya sendirilah yang bertanggung jawab. Selanjutnya pasien disuntik melalui urat nadinya sebagai media untuk memasukkan obat yang akan membuat "aura" di dalam tubuh pasien menjadi terang untuk difoto.

Lalu seraya menunggu giliran difoto selama dua jam, pasien diharuskan minum air putih dua liter. Tak usah bingung kalau kita terlupa membawanya dari luar, karena di ruang tunggu itu disediakan sebuah dispenser lengkap dengan kraan air panasnya. Tapi berhubung saya patuh pada catatan yang dibekalkan RS, saya meminum bawaan saya sendiri yang aslinya air putih bersuhu kamar namun berubah menjadi nyaris sedingin air es. Tentu saja perut menjadi kembung bahkan toilet khusus pasien yang cuma satu-satunya jadi selalu berisi. Bergantian kami membuang isi kandung kemih yang jadi penuh seketika.

Lega rasanya ketika satu demi satu pasien selesai diperiksa dan nampak baik-baik saja. Soalnya mesin scanner yang digunakan memeriksa kelihatan dari tempat duduk saya, serupa benar dengan mesin-mesin CT Scan dan MRI yang sangat saya benci itu. Saya pun menduga saya akan menyelesaikan rangkaian pemeriksaan itu dengan baik, meski saya miris menyaksikan dua orang pasien yang terbaring di ranjang RS mereka sambil terus-terusan muntah-muntah. Terbayang betapa sakitnya di dalam tubuh sana, apalagi kemudian pasien itu dimasukkan ke dalam tabung pemeriksaan.

Giliran saya tiba benar-benar tepat tengah hari. Sehabis menuntaskan lagi keinginan untuk mengosongkan kandung kemih seperti permintaan teknisi, saya mengikuti perintahnya naik ke atas pembaringan super ramping yang tersambung dengan tabung besar yang menggentarkan saya itu tadi. Ya Allah, batin saya, di situ nanti saya harus berada membenamkan diri dalam kegelapan dan kepengapan. Bayangkan saja, tangan diharuskan berada tepat di sisi badan kemudian diikat seperti halnya kaki pasien. Lalu kepala diharuskan tegak lurus menatap ke atas meski pasien diizinkan untuk tidur memejamkan mata. Kata petugas teknisi, mesin akan bekerja selama dua puluh menit, persis hitungan saya ketika iseng-iseng memperhatikan pasien yang keluar-masuk sebelum saya. Wah, belum-belum saya sudah merasa tersiksa sendiri sehingga saya hisap kuat-kuat permen jahe yang masih tersisa di mulut saya. Saya berharap banyak saya menjadi tenang hati dan tidak akan muntah-muntah di situ seperti ketika saya diperiksa dengan CT scan dan MRI beberapa tahun yang lalu.




MESIN PEMINDAI TULANG (BONE SCANNER)

Tapi nasib baik tak berpihak juga pada saya. Kali ini, bukan hanya saya disusahkan oleh isi perut saya melainkan mesin tiba-tiba berhenti bekerja ketika sepertiga bagian tubuh saya kira-kira sejak bagian kaki hingga pangkal paha saya berada di dalam mesin. Teknisi sempat mengeluh, meminta maaf lalu mengulang lagi. Tapi pada saat yang kedua, kejadian itu terulang sehingga dia menyuruh saya menunggu di luar ruang pemeriksaan lagi dengan diiringi tatapan mata banyak orang serta tanya apa yang terjadi. Agaknya para pasien lain juga menangkap ketidak beresan sebab saya baru sebentar di dalam ruangan sudah keluar lagi. 

Setelah mengutak-atik mesin sekitar seperempat jam saya dipanggil masuk lagi. Baru saya sadari bahwa pasien ternyata diperiksa tanpa diganti dengan gaun rumah sakit, hanya memakai pakaiannya sendiri. Agaknya tadi saya terlalu tegang sehingga tak menyadari itu. Ini adalah salah satu perbedaan dengan prosedur pemeriksaan serupa di luar negeri. Di sana biasanya pasien diminta mengganti bajunya dengan gaun rumah sakit terlebih dulu baru masuk ke ruangan yang terpapar radiasi nuklir begitu.

Kali ini mesin bekerja baik, meski agak tersendat sedikit pada mulanya. Rasa seperti terkurung dan tersekap di kedalaman yang sempit lagi padat membuat rasa mual saya menjadi-jadi. Sampai-sampai saya terus mengucap doa dan dzikir agar Allah menyelamatkan saya. Terpikir juga bagaimana jadinya andaikata saya muntah-muntah selagi masih di dalam mesin. Untung itu terjadi kemudian, yakni ketika separuh tubuh saya sudah di luar. Isi perut saya berhamburan tak terkendali, membuat petugas sedikit panik. Namun dia bisa menguasai keadaan, saya dihampirinya, dibiarkannya menolehkan kepala guna mengeluarkan semua isi perut saya. Akibatnya baju bahkan rambut saya sendiri menjadi kotor karenanya. Dan saya pun kebingungan sendiri, sebab saya terlupa tidak mempersiapkan pakaian ganti.

Masih tujuh menit lagi proses pemeriksaan selesai, begitu keterangan yang saya dapat dari teknisi seraya mencarikan tissue untuk membersihkan diri sambil terus di pembaringan. Dia bertanya apakah saya minta pemeriksaan dihentikan, yang artinya kelak harus diulang lagi atau diteruskan saja. Wah dalam keadaan lemas seperti itu, saya tak sanggup menjawab. Muntah-muntah saya saja belum sepenuhnya berhenti. Maka saya biarkan mesin terus berproses diiringi rasa lega ketika akhirnya benar-benar selesai.

Saya kemudian melenggang gontai dengan keadaan yang sangat menjijikkan melewati barisan pasien menuju ke toilet untuk membersihkan tubuh sekenanya. Sedangkan teknisi terpaksa membersihkan bekas insiden tadi yang agaknya sangat jarang atau bahkan belum pernah terjadi. Buktinya, dia kerepotan mencarikan selimut pengganti yang sudah saya kotori.

Para pasien menanyai saya apa yang terjadi. Agaknya mereka teringat soal mesin yang mogok bekerja sehingga mengira saya merupakan korban dari ketidak beresan itu. Namun begitu mendengar keterangan saya, meredalah ketegangan mereka. Saya dibiarkan lalu begitu saja dan akhirnya berdiam diri memenuhi permintaan teknisi untuk melihat hasil pemeriksaan apakah semua baik atau ada yang harus diulang. Untung seperempat jam kemudian semua dinyatakan baik sehingga saya pun boleh pulang. Tapi sudah barang tentu pulang dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Tubuh kotor saya jadi bahan cercaan orang, dipandang dengan jijik plus rasa kasihan. Tapi ya sudah begitu nasib saya........ Itu lebih baik daripada keesokan harinya, ketika anak saya datang ke RS untuk mengambil hasil pemeriksaan yang untungnya baik. Hari itu mesin benar-benar rusak, mogok kerja dan mengecewakan pasien sakit yang serius menunggu harap-harap cemas sambil menahan air mata.

(Bersambung)

11 komentar:

  1. sabar bundaaaa
    kalau minum susu steril boleh tidak ya bunda?
    susu merek beruan itu kalau buat perjalanan jauh bikin g mabok bun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bear brand itu? Terima kasih infonya. Boleh kok saya minum susu. Sekarang aja saya lagi minum es rumput laut dengan susu. Enak juga sih.

      Hapus
    2. Hwaaa malah sy yg kepingin es rumputnyaaaa hihihi

      Hapus
    3. Ayo main ke rumah saya nak In, nanti tak bikinin dicampur lidah buaya jadinya makin enak deh.

      Hapus
  2. wah, blm baca dari awal....
    tak mulai satu2 ah...permisiii :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mangga kemawon nak......... :-D

      Ini gaya lain dari diary saya yang di Mp kok, tapi semoga ada manfaatnya buat yang baca.

      Hapus
  3. yang sabar ya bun. namanya mual ya bun gak bisa diapa2ain. alhamdulillah bunda gak perlu mengulang.

    dulu saya juga bun mesti minum dua liter sebelum di CT-Scanner. sesak sekali krn lambung saya tertekan ke atas oleh mioma yg besar.


    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya 'kan?! Tapi ya kita harus minum gitu kalau mau pemeriksaannya lancar bisa kebaca teknisi dan mesinnya hihihihihi..........

      Hapus
  4. Masya Allah bunda luar biasa sabar :-) smoga hasilnya baik smua ya bunda. Alhamdulillah sabtu tgl 26-27/1/13 sy sdh melewati kemo pertama & hr senin ini sy bisa mengajar spt biasa. Bunda jg sdh melaksanakan kemo ya? insyaAllah smuanya lancar ya bunda :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sabar adalah keharusan untuk setiap orang sakit, itu menurut saya. Makanya biar pun penyakit itu betah bersarang di tubuh saya, sampai sekarang saya masih sanggup ngeblog dan akhirnya malah jadi kepengin nulisin semuanya di sini.

      Gimana efek kemonya? Semoga baik-baik aja ya, nggak pake kehilangan nafsu makan segala. Iya saya dikemo dengan obat oral. Ayo kita terus berjuang ya mbak.

      Hapus
  5. alhamdulillah tdk seseram yang sy baca, nafsu makan normal hanya cepat lelah saja bunda. sabar & trs berikhtiar menjalani pengobatan adl kewajiban kita......insyaAllah diberi kesembuhan. semangat bunda :-)

    BalasHapus

Pita Pink