Tanpa pikir panjang, tanganku diraihnya dan digeretnya mendekati pintu untuk menanyai tentang apa yang harus diurus melewati banyak orang yang saat itu sudah hadir di kamar bunda. Lalu ku jabarkan satu per satu hal yang harus kuurus padanya sembari masih berusaha tegar sebisaku. Sesegera itu ia menuntunku ke bawah untuk mengurus semuanya karena ia punya pengalaman serupa saat mengurus pamanku beberapa tahun yang lalu. Selain itu ia juga bekerja di bidang perbankan sehingga banyak tahu mengenai sistem pembayaran dan keuangan. Usai mengurus pembayaran, ia pun mengajakku mencari tempat mengurus ambulans yang akan dipakai untuk membawa bunda kembali ke tempat tinggal kami yang memang sudah berusia 23 tahun dan butuh beberapa perbaikan di sana-sini meski tak terlalu banyak. Ku rasa walau memang tak bisa dibilang sederhana, namun tempat tinggal kami ini tentu tak sebanding dengan rumah baru bunda yang kuperkirakan amatlah megah. Ini tentu hanya apabila Allah SWT. meridhoi bunda untuk ditempatkan di rumah yang seperti itu.
Usai mengurus semua urusan administratif, aku diminta menanti kedatangan petugas dari kamar jenazah yang akan membawa bunda untuk malam itu juga dimandikan serta dibungkus kain. Pertanyaan mulai banyak muncul dari orang-orang yang sudah ramai berkumpul di kamar 706 yang kelak akan menjadi kenanganku sepanjang hidup. Seperti salah satu teman sekolah bunda, kebetulan dulu tahun 2002 ibunya sempat sakit di rumah sakit yang sama dan kalau tidak salah meninggal di sana juga sehingga menurut bunda ia tak berani menjenguk bunda selama berada di RS itu. Mungkin kelak hal serupa akan terjadi padaku meski aku akan berusaha semampuku untuk bisa melupakan kenangan pahit ini dan membiasakan diri dengan situasi seperti ini. Akhirnya setelah nyaris 30 menit berlalu, tibalah para petugas dari kamar jenazah yang berjumlah dua orang. Dipindahkannya lah tubuh bunda yang alhamdulillah sama sekali tak nampak kurus ke dalam sebuah peti berbahan metalik. Diantarnya bunda menuju kamar jenazah guna dimandikan dan dibalut.
Micropore |
Hypafix/Fixomull Stretch |
Dengan secepat mungkin kuturuni satu demi satu anak tangga darurat guna mempercepat urusan memandikan jenazah. Rasa lelah yang muncul akibat dari pergerakanku ke sana ke mari naik turun lantai seolah tak menjadi beban lagi bagiku. Sesampainya ku di sana langsung pita itu diambil petugas perempuan itu. Lalu ku bantu ibu-ibu memandikan bunda serta menutup lukanya sambil kupandangi wajah bunda yang membuatku terbayang akan kegigihannya selama ini dalam melawan penyakitnya. Kurasakan kekuatan itu tak pergi menghilang bersama raganya. Kekuatan itu senantiasa berada di sini bersama kami anak-anaknya serta orang-orang terdekatnya. Satu demi satu kain serta kapas menutupi tubuh bunda yang saat dipanggil sang pencipta nampak cukup gemuk. "Ibunya gemuk ya mas." ujar perempuan yang memang biasa memandikan jenazah itu. Dengan nada yang sedikit bergetar kuiyakan pernyataan perempuan itu tadi. Saat itu keadaan di luar kamar jenazah telah ramai oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Banyak sanak saudara, teman serta kerabat yang sudah memadati lorong-lorong di sekitar kamar jenazah. Silih berganti mereka melongokkan kepala ke dalam ruang jenazah sekedar untuk melihat kondisi terakhir bunda. Tiba-tiba telepon genggamku bergetar pelan berkali-kali. Kulihat pada layarnya muncul sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Kuangkat dan kusapa orang yang berada di ujung sana. Ternyata suara ayahku menyahut dengan nada yang cukup lembut. Seketika itu juga aku tak kuasa lagi menahan rasa sedih yang teramat dalam ini. Beliau menguatkanku dengan berbagai ucapannya meski sesekali aku tak dapat menjawabnya dan hanya menggantung pembicaraan kami. Ku teringat akan beliau yang berada di negeri orang nun jauh di sana, tanpa kami anak-anaknya. Pembicaraan tak berlangsung lama karena ku tak kuasa menahan segala rasa sedih dan rindu padanya. Usai bunda ditutupi dengan rapi, tubuh diperciki tetesan wewangian agak tak memunculkan aroma tak sedap kelak.
Usailah sudah bunda "disucikan". Digotonglah tubuh bunda menuju ambulans yang telah menanti di luar diiringi begitu banyak orang yang bahkan aku tak ingat siapa-siapa sajakah mereka yang hadri malam itu. Tak berapa lama kemudian berputarlah roda-roda mobil yang mengantarkan kami bersama bunda menuju gubuknya bunda diikuti beberapa deret mobil yang tak lain adalah saudara-saudara kami. Hawa malam dan pendingin ruangan (AC) semakin menusuk setiap orang yang berada di dalam mobil saat kemacetan ibu kota menghadang laju kami. Dua jam perjalanan antara ibu kota dan kota hujan kali ini terasa yang paling berat bagiku. Dulu acap kali bunda mempersilahkanku dengan sangat ikhlas dan penuh kasih sayang terlelap di pangkuannya sampai tak sadar telah tiba di tempat tujuan. Kini bunda yang tertidur meski bukan dipangkuanku. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 11 malam, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Sejumlah orang yang terdiri dari tetangga, saudara, teman serta kerabat telah menanti di gubuk kami.
Dengan bantuan segenap orang saat itu, kugotong dan kubaringkan tubuh bunda di ruang tamu secara hati-hati. Kuperhatikan wajahnya yang nampak putih berseri. Seketika itu pula tubuh bunda dikerumuni orang-orang terkasih untuk didoakan. Buku Yasin yang tersedia berkat hasil pengumpulan salah seorang sepupuku langsung habis dipinjam. Kami mulai dihujani berbagai pertanyaan, umumnya seputar kronologis kepergian bunda. Walau masih sambil berusaha menyembunyikan rasa sedihku, kronologis lengkap kepergian bunda ku ceritakan dengan lancar. Termasuk pada salah seorang teman semasa bunda mengikuti kegiatan Pramuka, yang kebetulan menjadi orang yang sempat membawa bunda berobat ke seorang sinshe asal bekasi. Orang ini ku anggap sebagai salah satu orang yang cukup berjasa dalam menjaga kesehatan bunda. Karena tanpanya, mungkin bunda bisa saja sudah pergi sejak lama. Kebetulan ia juga seorang penderita kanker payudara namun yang bersifat jinak. Alhamdulillah sekarang ia telah sembuh dari penyakitnya hanya dengan berobat ke sinshe meski harus menjalani pengobatan itu selama delapan tahun lamanya.
Rangkaian kata terakhir bunda di blog |
Sekira satu jam kemudian, saat tubuh kami mulai terasa lelah para pelayat pun sudah semakin berkurang. Hanya tinggal sanak saudara serta kerabat yang masih setia menemani kami dalam kedukaan ini. Kubacakan surat Yasin di depan tubuh bunda. Tak berapa lama saudara-saudaraku dari Bandung tiba tak sambil langsung memelukku di pagar rumah dan menangis sejadi-jadinya. Kutenangkan mereka semua sambil ku katakan bahwa kami tidak kenapa-kenapa. Waktu sudah semakin pagi, tapi diriku tak sanggup untuk bahkan sekedar merebahkan badan ini. Bukan karena pelayat yang memang tak henti-hentinya menanyakan seputar kepergian bunda, melainkan akibat dari pikiran yang masih terpaku pada kepergiannya. Kira-kira saat itu jam menunjukkan pukul 3 pagi, aku teringat akan blog bunda ini yang masih punya sebuah tulisan dalam format draft. Kubuka komputer jinjingku tak jauh dari tubuh bunda yang telah terbujur di belakangku. Kukuatkan hati ini untuk menyelesaikan kata demi kata sambil terus menahan rasa sedih ini. Tiba-tiba telepon rumah berdering cukup keras, dan kakakku mengangkatnya. Ayahku kembali menyahut dari ujung sana sambil bertanya serta kembali menguatkan hati kami berdua. Telepon itu tak lama diberikan kepadaku. Nyaris saja kujawab suara ayahku, namun belum sampai di telingaku, rasanya diriku sudah tak sanggup menjawab. Kukembalikan telepon itu sambil setitik demi setitik air membasahi keyboard komputer jinjingku. Kuselesaikan seketika itu juga tulisan bunda yang pada saat itu berakhir di huruf "R". Setelah itu kututup komputerku lalu ku berusaha berbaring di kamar untuk sejenak beristirahat.
Saat ku terbangun dari tidurku yang terasa paling berat sepanjang hidup sampai dengan saat ini, kulihat waktu telah menunjukkan pukul 7 pagi. Pelayat telah memadati gubuk kami sementara kami belum sempat apa-apa. Ku tinggalkan mereka sejenak untuk membersihkan diri sebisaku. Badan ini masih terasa amat lelah dan jiwa ini belum sepenuhnya tenang. Seusainya kusambut para pelayat yang ternyata sudah semakin membludak. Silih berganti ku diberondong sejumlah pertanyaan sampai ku tak sempat untuk sekedar meminum seteguk air pun. Mereka pun bergantian mendoakan bunda dengan tanpa rasa malu menitikkan air mata.
Satu jam telah berlalu, mobil jenazah telah tiba di halaman gubuk kami. Bunda pun lekas dibawa naik untuk disholatkan di masjid dekat rumah yang kebetulan salah satu pengurusnya adalah tetangga kami. Tak sampai lima menit kami sudah tiba di sana. Tubuh bunda dibungkus tikar lalu dibawa ke depan untuk segera disholatkan. Tak berapa lama kemudian bunda pun dishalatkan dengan sekhusyuk mungkin. Beberapa saat kemudian bunda langsung dibawa kembali naik mobil jenazah diiringi rintik hujan yang semakin deras. Lalu sirene pun berbunyi tanda mobil siap berangkat menerobos jalan-jalan kecil menuju rumah bunda yang terakhir.
Kupikir hujan akan mereda, namun ternyata justru semakin menjadi-jadi dan mengakibatkan genangan air di depan pintu taman pemakaman bahkan hingga ke dalam pemakaman. Beramai-ramai kami menggotong tubuh bunda yang tak bisa dibilang ringan menerobos becek dan ojek (emang Cinta Laura??) haha...
Tiba-tiba pundakku ditepuk oleh seseorang yang wajahnya seperti tak asing lagi. Dengan raut wajah yang masih agak bingung, kusalami orang itu yang ternyata setelah beberapa detik kemudian ku sadari adalah teman sesama blogger sejak di Multiply dulu, kang Tian Arief. Maklum ia saat itu mengenakan jas hujan sehingga wajahnya yang basah tak terlalu ku kenali. Kebetulan lokasi makam bunda tak terlalu jauh dari pintu masuk dan masih dekat dengan kantor makam serta makam kedua orang tua bunda, sehingga perjalanan menerobos hujan pun tak terlalu lama. Setibanya di sana telah menanti beberapa orang penggali kubur dan banyak sekali pelayat termasuk dari rekan-rekan blogger MP antara lain mbak Mia, mbak Ari, mbak Anis, dan beberapa orang lainnya yang tak bisa ku sebutkan satu per satu. Turut mengantar pula saat itu beberapa istri duta besar RI yang saat ini masih bertugas di luar negeri serta beberapa mantan duta besar dan pensiunan Kementerian Luar Negeri.
Di bawah guyuran hujan yang sudah sangat amat deras, perlahan-lahan tubuh bunda dimasukkan ke liang lahat. Aku yang semula berniat membantu memasukkannya terpaksa digantikan karena tak sanggup akibat lengan kiriku yang pernah patah 10 tahun yang lalu dan belum dilepas pennya itu. Ada bekas lecet menyayat di kaki kiriku dengan darah yang masih mengalir. Ku bersihkan dengan diguyur air hujan. Kakakku yang dari tadi membantu memasukkan tubuh bunda, lalu mengumandangkan adzan terindahnya. Semuanya ia lakukan demi bunda, sosok perempuan yang paling ia sayangi dalam hidupnya. Usai adzan dikumandangkan, ia pun kembali naik dan perlahan-lahan tubuh bunda mulai terkubur tanah yang ditumpuk petugas makam. Tak sampai di situ, rupanya para petugas makam sudah menyiapkan beberapa bongkah rumput untuk menutupi makam bagian bawah.
Kakakku menyampaikan pesan-pesannya |
Kemudian kakakku menyampaikan sepatah dua patah kata dengan penuh ketegaran hatinya di hadapan semua pelayat. Lalu disusul oleh perwakilan dari Kementerian Luar Negeri yang diwakili oleh bpk. Arief Harapan, salah satu teman satu angkatan ayahku. Beliau menyampaikan pesan-pesannya sambil terisak karena tak kuasa menahan rasa sedih atas kepergian bunda yang dianggapnya sangat berjasa dalam mempersatukan teman-teman seangkatan. "Ibu Julie ini adalah teman kami yang ... baik, yang telah mempersatukan kami teman-teman di Kemenlu." begitu kira-kira katanya. Kakakku menepuk-nepuk pundaknya guna menenangkannya. Rekan-rekan blogger dan teman sekolah pun sempat diminta kesediannya untuk menyampaikan pesan mereka, namun sepertinya tak ada yang sanggup berucap dalam kesedihan mereka. Tak lama kemudian dengan dipimpin oleh bpk. Moenir Ari Soenanda, salah satu teman ayahku dan bunda di Kemenlu juga, doa pun dikumandangkan.
Sambutan dari bpk. Arief Harahap |
Para pelayat menaburi bunga |
Para pelayat menaburi bunga |
***
Istana bunda sudah cantik |
Bunga kamboja yang selalu kami pungut sendiri |
Dari sana kulanjutkan perjalananku menuju tempat pemakaman lain untuk menjenguk makam kakakku yang pertama. Lokasi pemakamannya tak jauh dari rumah masa kecil bunda yang tak lain adalah rumah kakekku. Sambil melewatinya, kami berpamitan dengan orang-orang sekitar seraya menceritakan sedikit kronologis kepergian bunda. Tak berapa lama sesudah itu, tibalah kami di dekat pemakaman kakakku, mas Didit. Ia meninggal saat baru lahir, tepatnya saat baru berusia 3 jam saja di gendongan ayahku. Saat itu bunda tak sanggup melahirkan secara normal nampun karena baru pengalaman yang pertama, maka dipaksakan dan akhirnya kakakku terjepit sehingga kehabisan oksigen. Kata dokter kala itu, kalaupun kakakku sempat terselamatkan mungkin akan mengalami cacat mental. Setidaknya itulah yang berkali-kali bunda ceritakan pada kami sejak dulu.
Rumah kakakku, Mas Didit |