Hari kedua suamiku berangkat ke tanah air. Kuraih HP yang sudah semalaman kuisi baterai. Maklum aku selalu diingatkan suami supaya senantiasa mengecek baterai agar tidak pernah sempat putus hubungan dengan siapapun. Terutama dengan dirinya dan anak-anak, katanya. Kedengarannya seperti egoisme, tapi sesungguhnya aku sangat mengerti apa yang dikehendakinya. Dia hanya ingin aku bisa senantiasa dihubungi dan menghubungi siapapun jika perlu. Maklum negeri ini memang rawan kejahatan, lagipula kantor suamiku yang staffnya cuma sedikit selalu "menjerit-jerit" minta bantuan tenaga kami kaum ibu. Baterai sudah kembali tiga bar, bahkan ada gambar amplop tertutup. Senyumku mengembang, mencerahkan mataku yang belum sempat kusapu air wudhu.
"Maaf ganggu, sdh tidur ya? Be sdh landed di Changi. Tks doanya. Ati2 di rumah." Begitu deretan huruf di layar HPku. Kusempatkan untuk meneliti jam kirimnya, pkl. 23.23.02 waktu di sini. Agaknya segera setelah aku lelap tadi malam. Aku memang naik ke ranjang setelah pukul sebelas malam sehabis melanjutkan bacaanku tentang riwayat hidup Mahatma Gandhi sebagai pengisi waktu sepiku. Biasanya, sekalipun suamiku tidak banyak bicara, tapi setidak-tidaknya dia ada di sisiku, sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya. Sementara aku duduk entah belajar mengaji (karena baru sampai taraf belajarlah usahaku di Singapura dulu) atau bahkan berkaraoke ria menghibur diri dengan Magic Sing machine di dekatnya.
Aku sekarang sudah mulai terbiasa dengan "diam". Betul-betul hanya duduk diam menemani suamiku menyelesaikan tugas-tugasnya. Aku sadari kini, suamiku memang tipe pekerja kantoran yang sibuk. Karenanya tidak pada tempatnya jika aku merengek minta waktu untuk sekedar mengobrol atau main scrabble berdua seperti ketika kami muda dulu. Meski begitu, sepiku tadi malam terasa lebih sepi dari biasanya, sebab aku tidak menampak wajah suamiku serta tak bisa membaui harum tubuhnya yang selalu kurindukan.
-ad-
Kujawab SMS singkat itu dengan ucapan syukur serta kembali mendoakannya agar tiba di Indonesia dengan selamat. Sepengetahuanku, suamiku mempunyai agenda pertama bersilaturahmi ke pemda Sulawesi Selatan dan Kota Makassar. Ini bukan kunjungan pertamanya kesana. Tapi, seingatku, ini adalah kunjungan pertama lewat udara yang dicapainya dari luar negeri. Jadi, kunjungan puluhan tahun lalu itu rasanya tidak berarti apa-apa baginya.
Ingatanku jelas ke tahun tujuh puluh empat. Waktu itu aku baru naik dari Tingkat Penggalang (G) di Gerakan Kepanduan Pramuka ke Tingkat Penegak (T). Ada agenda besar Kwartir Nasional berupa Perkemahan Wirakarya di Sulawesi Selatan untuk Penegak dan Pandega di seluruh tanah air. Kwartir Cabang Kota Bogor juga memutuskan untuk ikut. Beramai-ramai kami mencoba mendaftarkan diri. Saringan demi saringan kami tempuh. Sayang, aku gagal pada test kesehatan karena dokter berkeberatan mengeluarkan surat keterangan sehat. Sedangkan mas Dj -sahabat karibku waktu itu- juga tidak mendukung niatku. Katanya, "nanti adik sakit disana dan merepotkan banyak orang. Tinggallah di rumah. Aku bawakan oleh-oleh, cerita dan kubuatkan foto-foto yng bagus di sana," begitu ucapnya. Ada nada kasih dan tulus di getaran suaranya. Juga pada jemari yang menggenggam lembut bahuku. Mata itu, begitu tegas di balik kacamatanya. Aku menunduk menahan gemuruh di dadaku, campuran antara kecewa dan keinginan menurut. Aku sadari diriku memang lemah, dan lelaki sahabatku itu tidak akan sanggup mengurusi diriku seandainya aku jatuh sakit. Di sisi lain aku salut padanya. Pada perhatiannya yang dalam terhadapku. Seorang teman main yang belum tentu kelak menjadi bagian dari diri dan hidupnya. Aku menghela nafas menyembunyikan memori itu.
-ad-
Tidak ada hari yang menggairahkan tanpa dirinya. Suamiku memang sesuatu yang sangat istimewa buatku. Hari ini rasanya aku ingin mengurung diri saja. Tapi aku malu terhadap matahari yang terlihat garang dan congkak di langit sana. Maka kuputuskan untuk melangkah ke luar rumah
-ad-
Di muka rumah itu, di belakang bangunan pak Sobari di Ciwaringin, tumbuh juga pohon jambu. Buahnya tidak seberapa, tapi cukup menyenangkan. Mas Dj kecil gemar "nangkring" di atasnya dan mengunyah begitu saja satu-dua buah tanpa dicuci lebih dulu. Mama yang gemas sering meneriakinya dari dalam rumah sambil mengambil sebatang sapu siap diacung-acungkannya ke arah mas Dj. "Jorok, ayo turun. Cuci dulu," teriak mama dari bawah. Si kecil tersenyum kecut, buru-buru memetik beberapa lagi, memasukkannya ke dalam saku celana, melorot turun dan lari masuk perkampungan menggabungkan diri bersama teman-temannya yang lain. Kenangan itu menyeruak siang ini, di sini di Cape Town yang jauh.
Pohon jambu itu ada di muka ruang yang konon akan jadi Sekretariat Dharma Wanita Persatuan KJRI Cape Town. Mulai tanggal satu April nanti kantor suami kami akan segera beroperasi di Rosmead Avenue, karena kantor lama sewanya habis. Di dekatnya berdiri pembakaran sate dari batu. Tidak artistik, tapi sangat mendukung pekerjaan ibu-ibu kelak saatnya kami harus menyiapkan sate untuk berbagai keperluan dinas. Rumah tua ini lumayan nyaman. Halamannya yang sangat luas, bisa dijadikan lahan parkiran sekaligus tempat anak-anak beraktivitas di musim panas. Insya Allah di waktu upacara HUT RI pun kami bisa melaksanakannya di sini. Ada tiang bendera tinggi yang kokoh. Tinggal menebang gerumbulan bambu kecil yang menempel di sisi tiang saja. Maka lagi-lagi anganku melambung tinggi. Sepertinya mencirikan bahwa aku ini memang pemimpi.
Kubawa kakiku mengitari halaman. Di muka sebelah kanan ada lagi pohon tinggi yang rimbun dengan buah merah kecil-kecil. Tidak lebih dari besarnya jambu kancing. Kurang, malah. Yang ini memang umum ada di sini. Seluruh pagar rumah dinas suamiku pun dihiasi olehnya. Seakan belum tahu, kupetik juga sebuah setelah aku berhasil meraih dahannya yang terendah dengan cara berjingkat, maklum tubuhku agak pendek. Buah merah yang masuk ke mulutku itu begitu segar. Tidak banyak berair, mirip sekali dengan jambu bol yang sudah tak pernah nampak lagi di pasar di kotaku. Bijinya putih kecil-kecil serupa dengan daging buahnya yang nyaris tak ada. Ah, lumayan pikirku. Suatu hari nanti bisa jadi bahan rujakan. Kusyukuri saja apa yang telah ditumbuhkan Tuhan di sini sebagai rejeki untuk kami.
-ad-
Ada sepenggal kebahagiaan di hati ini. Tidak kuduga, di bumi nun jauh dari tanah air kita, kami masih punya keterikatan. Tidak saja hanya pada penduduknya yang ras Cape Malay dengan sejarah berasal dari nusantara. Melainkan juga pada kekayaaan floranya berupa buah-buah mungil yang mengungkit kembali kenanganku akan masa kecil kami. Dimanapun kami hidup, rasanya aku tidak berhenti bersyukur dan seperti hidup di rumah sendiri.
Tiba-tiba aku ingat, matahari sudah mulai condong hendak tidur. Aku sempatkan masuk ke dalam gedung, mengamati seberapa jauh proses pindahan berlangsung. Sebagian besar perabotan sudah mulai masuk, tapi belum satupun yang sempat tertata. Bahkan ruang-ruang belakang belum bisa diisi karena masih dihuni penyewa lama yang entah kapan akan beranjak dari sini. Koneksi telepon dan internet, alhamdulillah sudah berjalan dengan baik. Tengah malam nanti akan kusampaikan pada suamiku, semua urusan di Cape Town berjalan lancar. Selamat melanjutkan kerja di tanah air, cintaku. Semoga Allah merahmatimu dan membukakan jalan merajut silaturahmi masyarakat Cape Malay dengan bangsa Indonsia lebih jauh lagi. Hanya ada doa dan bisik cintaku untukmu selalu. Seperti itu.