Powered By Blogger

Minggu, 20 Januari 2008

TERLAHIR KEMBALI

Kini aku gembira. Sebab bunga-bunga cinta kembali bermekaran di rumahku. Aku sudah kembali melanglang buana ke dunia luar sejak kesabaranku dihargai Allah. Aku memang bukan manusia istimewa, tapi sejujurnya aku punya satu sifat yang memang tidak banyak yang memilikinya. Itu kuterima sebagai pujian dari ibu mertuaku, ketika aku masih anak-anak dulu. Lebih tepat dari calon ibu mertuaku.

Mama bilang, aku dan ibuku setali tiga uang. Ayahku yang cenderung keras dan kaku sering menyakiti hati ibuku. Ibu sendiri yang mengatakannya pada kami. Dan kami juga menyaksikannya. Uang gaji ayah memang disetorkan semua ke tangan ibu melalui tangan kami. Terutama tanganku. Setiap awal bulan tiba, ayah akan memanggilku untuk menolongnya menjadi perantara "serah-terima" uang gaji sebulan yang diserahkan utuh kepada ibu. Aku ingat ritual itu, kira-kira setiap tanggal 2 atau 3 ayah akan memanggilku, lalu mempertemukan aku dengan ibu dan menyerahkan sebuah amplop coklat panjang berisi sejumlah uang. Di luarnya tertera nama ayah, berikut pangkat dan golongannya serta nama bulan berlangsung. Lalu aku diminta menghitung isinya di depan ibu seraya mencocokkan dengan jumlah yang tertera di kertas yang menyertainya. Jumlahnya pasti selalu tepat, tidak ada berkurang satu sen pun, walaupun ketika jamannya aku diminta menghitung, uang sen-senan sudah tidak eksis lagi di pasaran. Selain uang itu aku tidak pernah diminta menyerahkan apa-apa. Padahal, setahuku ayahku selalu punya uang untuk membayari ini itu keperluan tidak terjadwal termasuk langganan berbagai majalah dan membeli apel kesukaannya di toko Pakally atau setidak-tidaknya di toko Kaca Mawar. Belum lagi hampir setiap minggu ayah minta tolong dibelikan aneka rokok baik dari jenis kretek maupun rokok putih merek 555 hingga klembak menyan cap Siluman yang merupakan rokok khas penduduk Banyumas. Ternyata, walaupun gaji ayah yang jatuh ke tangan ibu tidak seberapa, ibu tidak pernah meminta tambahan dari honor-honor yang kemudian dipakai menyenangkan diri sendiri oleh ayahku itu. Paling-paling ibu cuma berkata, sayang uang dibakar tidak karuan. Dan kami semuapun setuju mengiyakan.

Selain itu, ayahku punya sifat yang kaku. Semua penghuni rumah dilarang menumpang mobil ayah tanpa disuruh. Termasuk ibuku jika mau ke kantor menghadiri pertemuan anggota "Periska Tani" ikatan istri-istri karyawan Departemen Pertanian sebelum difusikan dengan nama Dharma Wanita di pertengahan tahun tujuh puluh empat. Ibu harus selalu siap sebelum ayah masuk ke mobil jika ingin ikut. Kalau tidak, pasti ditinggal dan dibiarkan berjalan kaki atau naik beca. Kejadian itu tidak hanya sekali, sebab aku pernah mendapati ibuku berurai air mata sambil memoleskan lagi bedak Marcks di pipinya yang halus sebab mobil telah berjalan sebelum ibu selesai menjemur handdoek bekas mandi mereka. Itulah ayahku.

Sama uniknya dengan suamiku. Dulu, dulu sekali, ketika kami masih sama-sama anak-anak ada kalanya suamiku tiba-tiba marah kepadaku oleh sebab yang sepele. Kalau sudah begitu aku harus siap kehilangan dia untuk sehari penuh. Padahal, tiada hari yang menyenangkan bagiku tanpa bertemu dengannya. Walau hanya sekedar memandang, apalagi sampai duduk berdua atau ngobrol sepanjang jalan menuju ke suatu tempat yang sama-sama hendak kami tuju. Sampai akhirnya aku bertekad untuk menyusulnya masuk SMA 1 agar bisa selalu memandanginya.

Suamiku tidak istimewa. Banyak anak lelaki yang lebih tampan darinya, lebih berada pula. Termasuk mas Wawan yang sangat akrab denganku. Ayahnya bahkan punya Fiat dengan pintu yang unik, membuka ke arah kiri, berlawanan arah dengan normalnya mobil-mobil yang ada. Tapi aku memang tidak mencari teman model begini. Yang aku butuhkan seorang anak lelaki yang tidak banyak cakap, cenderung pendiam, tapi pemberani dan sangat melindungi perempuan. Terutama perempuan lemah fisik seperti diriku.

Mas Dj -suamiku sekarang- punya itu semua. Juga punya kelebihan, semangatnya yang membaja tanpa mengenal halang-rintang apapun, "ora peduli jenderal", seloroh ibu mertuaku.

Aku sangat tergila-gila padanya, sehingga ketika dia tiba-tiba marah dan mengurung diri aku lah yang tanpa malu-malu mengejarnya hingga ke pintu kamar tidurnya. Aku ketuk terus-menerus sambil menyerukan namanya mengiba minta maaf untuk kesalahan yang tidak kumengerti. Biasanya ibu mertuaku (ma'af waktu itu masih calon) akan menyemangati aku, sebab hanya aku jugalah yang kelak bisa menyembuhkan marahnya dan mengeluarkan dia dari kamar pertapaannya.

Itulah uniknya kami. Seperti uniknya diriku sendiri juga, ketika dia baru jadi mahasiswa di Bandung dan tiba-tiba memberiku sebuah dompet dengan diselipi foto seorang gadis. Aku tidak marah, tidak juga sakit hati. Foto itu kemudian kukembalikan kepadanya lewat pos dengan hanya sebaris surat, "mas, bersama ini kukembalikan foto yang tertinggal di dompet yang kau berikan untukku." Akhirnya, suamiku menjelaskan hubungan gadis itu dengannya secara panjang lebar. Dia cuma teman sekelas yang kebetulan jadi sahabat di kelompok belajarnya, karena namanya kebetulan sama dengan nama mamanya. Aku tidak marah, juga tidak mengatakan tidak percaya. Aku biarkan saja semuanya berlalu dengan sendirinya, sebab aku tahu, dia hanya punya hati untukku sekalipun senantiasa baik terhadap perempuan-perempuan di sekitarnya.

Kesabaranku memang tetap terpelihara sampai sekarang, sampai kapan jua, sampai saatnya aku berpulang kelak. Karena itu aku berhak menerima kemenangan untuk yang kesekian kalinya. Berhasil lagi memecah batu es kebekuan dan "hukuman" suamiku yang datang dan pergi. Selalu kukatakan pada diri sendiri dan anak-anak kami, lelaki selalu benar, karena lelaki ditakdirkan berperan sebagai imam bagi perempuan dan bagi keluarganya. Aku menggumam sendiri, lega rasanya.

-ad-

Hari ini kami pergi ke luar rumah bersama-sama. Suamiku, aku dan anak-anak kami. Anakku asyik menikmati bebek panggang di Fulai, restoran Cina di ujung Tramlaan. Bapaknya asyik menghabiskan semangkuk bakmi kuah panas dari mangkuk yang ukurannya sangat raksasa. Aku sendiri tenggelam dalam piring bertabur brokoli ca daging sapi. Kenikmatan ini seakan tiada tara. Sudah tujuh bulan lamanya aku tidak pernah makan-makan di luar atau sekedar menikmati suasana di luar rumah. Kadang-kadang aku bahkan membayangkan diriku seumpama budak saja. Tapi aku tidak pernah merasa menjadi budak yang sesungguhnya. Sebab aku tahu perlakuan suamiku padaku didasari cinta yang sangat. Dia takut aku keliru melangkah di luar rumah, di pergaulan yang banyak "intrik-intriknya". Lagipula akhir-akhir ini tubuhku sendiri terlalu lemah untuk beraktivitas. Aku terus mengunyah, dan "mengunyah" kenikmatan itu.

"Ibu melamun?" sapa anak sulungku disela-sela suapannya. Sumpit di tangannya diletakkan barang sejenak, sambil dia menegakkan kepalanya menatapku. "Nggak," jawabku mantap. "Aku sedang merasakan kenikmatan. Mensyukuri lagi semua rejekiku. Jarang-jarang lho ada orang bisa makan enak begini,' kataku memberikan penjelasan yang sebetulnya mungkin tidak mereka perlukan. Karena yang aku tahu nampaknya anakku cuma terpesona menyaksikan cara makanku yang sangat nikmat. Kami pun tersenyum bersama menikmati hidangan kami masing-masing. Brokoli yang masih ijo royo-royo itu terasa renyah, sangat pas, apalagi berpadu dengan irisan daging sapi yang dibumbui saus tiram. Hmmm, jangan tanya sedapnya.

-ad-

Sejak makan malam yang sedap itu aku semakin menghargai setiap hasil jerih payah suamiku. Sebab aku jadi teringat akan salah satu teman dekatku di SMP. gadis berkulit bersih, dengan rambut panjang dan matanya sayu. Ibunya teman bergaul ibu mertuaku. Sama-sama harus berjuang menafkahi putra-putrinya sejak ditinggalkan suami mereke ke alam baka. Sama persis dengan ibu mertuaku, beliau berkeliling kota membawa dagangan apa saja, terutama kebutuhan ibu rumah tangga. Sementara di rumah, putra-putri beliau diserahi tugas menjalankan roda rumah tangga dari sisi lain. Ada yang belanja dan memasak, ada yang menyapu dan mengepel, ada yang mencuci dan menyetrika.

Waktu itu, teman gadisku yang berumur baru empat belas tahun kebagian tugas belanja dan memasak. Aku sendiri pernah mencoba masakannya yang lezat saat kelas kami mendapat pelajaran tata-boga dalam mata pelajaran PKK. Siapa yang tidak tahu pelajaran Pendidikan Kesejahteraan Keluarga? Pelajaran yang satu ini walaupun mudah tapi paling kubenci. Karena aku tidak terampil apapun, sehingga aku malas mengerjakannya.

Tapi Ratri, demikian aku menyebut teman baikku yang satu ini, tidak pernah merasa tersiksa. Dia dengan sigap akan menjadi leader kelompok kami jika tiba saatnya praktek masak-memasak. Uang yang tidak seberapa bisa diaturnya sedemikain rupa menjadi menu sehat seperti tuntutan slogan "4 sehat 5 sempurna". Bu Mae guru kami sangat sayang padanya. Mungkin selain tahu kondisi Ratri yang sesungguhnya, bu Mae juga takjub akan rasa tempe gorengnya yang pas di lidah atau sayur asamnya yang segar, apalagi kalau ditambah teri-kacang balado. Wah, luar biasa.

-ad-

Rumah Ratri terletak di kampung yang sama dengan rumah mas Dj. Bedanya, rumah mas Dj yang tidak seberapa luas hanya dihuni oleh ibu mertuaku dan mas Dj ditambah seorang kerabat bapak mertuaku yang kami panggil sebagai papie untuk melengkapi fungsi lelaki dewasa di rumah mereka. Tiga kamar yang sempit terisi masing-masing oleh seorang saja, berlainan dengan rumah Ratri yang masing-masing kamarnya dihuni beramai-ramai. Rumah itu terletak beberapa puluh meter ke dalam dari jalan beraspal, terhalang di beberapa sisi oleh dinding-dinding tinggi rumah tetangga. Di dalamnya aku merasakan kesan gelap, tapi rapi. Tidak banyak barang di situ, terutama di kamar Ratri ketika aku dan teman-teman menengoknya sepulang sekolah sebab Ratri dikabarkan patah kaki terjatuh di kamar mandi yang licin. Hanya ada sebuah dipan besi untuk dua orang dewasa dan satu lemari serta meja tulis.

Di atas meja tulis itu kutemui secarik kertas betulisan tangan mriring ke kanan, jelas tebal-tipisnya, yang kupastikan dibuat oleh ibunya. Bunyinya cuma sepotong, "Tri, ada oebi di dapoer. Bisa kamoe masak oentoek makan nanti," sangat singkat tapi menggetarkan hatiku.

Ratri yang tergolek lemah kelihatan semakin pucat melihat aku tidak sengaja menemukan surat ibunya. "Kamu kuat bangun?" tanyaku. Dia mengangguk lemah sambil mencoba turun dari pembaringannya. Ketika tadi kami mengetuk pintu rumahnyapun, dia sendiri yang maju ke depan dengan beringsut membawa kakinya yang kesakitan dan pincang. Ratri, sahabatku, sambatku dalam hati. Betapa berat hidupmu. Sungguh bertolak belakang dengan aku si anak manja. Bahkan dengan Lanna sekalipun, teman karibnya anak seorang bintara TNI yang tinggal di suatu asrama mirip 'penginapan" sebab harus dibagi-bagi dengan tiga keluarga lainnya. Diambilnya surat ibunya, kemudian dilipatnya dan diselipkan di saku roknya.

-ad-

Dia tidak menawari kami makanan apapun. Dan kami juga tidak minta apapun. Kami cukup senang bisa mendatangi pembaringannya dan membawa kisah tentang sekolah hari itu saat dia sedang kesepian sendiri ditinggal kakak-kakak dan ibunya beraktivitas. "Kamu sudah makan?" tanya kami. Maksudnya kami akan menawari untuk membelikan sebungkus lontong pecel di warung dekat-dekat situ seandainya masih ada tersisa. Maklum sudah lebih dari pukul satu siang. Bibir pucatnya mengulum senyum, "sudah," jawabnya pendek.

Kuedarkan mataku seperti biasa senantiasa ingin tahu. Tidak terlihat bekas-bekas dia makan. Bahkan segelas air pun tidak. "Tri, boleh kalau kami beli pecel untuk kamu?" tanyaku memberanikan diri. Dia terus saja tersenyum tanpa menjawab apapun. Tidak juga keluar kata ya darinya, sampai kami pulang setengah jam kemudian. Dia tetap di atas kasurnya dengan ditemani Lanna yang sangat sayang dan setia kepadanya.

-ad-

Esoknya Lanna bilang, kemarin Ratri merebus ubinya dan itulah yang dimakannya jauh lewat tengah hari bahkan menjelang sore. Kami tertegun semua. Dari Ratri kami dapati pelajaran bahwa manusia tidak boleh menyia-nyiakan makanan dan harus senantiasa bersyukur akan apa yang ada di hadapannya. Seperti syukurku kali ini. Syukur karena aku sudah bisa menikmati dunia luar kembali, dan lebih syukur karena suamiku selalu punya rejeki halaal untuk menghidupi kami anak-beranak. Aku serasa bagaikan terlahir kembali. Dalam wujud yang baru, sebagai manusia yang ingin selalu dekat padaNya.

 

 

6 komentar:

  1. Selamat berbahagia dan semoga bertambah kesabaran...........:)))

    BalasHapus
  2. Amin. Memangnya uni Lenna udah baca semuanya? Ibaratnya serial kata orang-orang lho.....

    BalasHapus
  3. halah sapa lagi tuh ratri..........nama sebenarnya kah? kali dia ingin melupakan.....
    c ibu.......dari kecil udah care yah ama yang begono.........sampe inget banget kondisi dan situasinya.....

    BalasHapus
  4. Ratri itu pelesetan nama teman kita yang bu Lily juga mengenalinya, walaupun mungkin nggak sedalem aku.

    BalasHapus
  5. ini cerita waktu di brussel bu?? kok ada fulai tramlaan nya???

    BalasHapus
  6. Betul. Boleh tanya bu Mamiek Saleh. Beliau fasih kalo dipaksa cerita soal saya.

    BalasHapus

Pita Pink