Powered By Blogger

Sabtu, 08 Maret 2008

SURYA YANG HILANG DI UJUNG USIA

Hidupku indah. Itu yang dapat kurasakan. Sejak aku membuka mata pertama kalinya dan menjejak bumi pada kemudian hari, yang terasa hanya barisan kenikmatan belaka. Aku dibesarkan dalam satu keluarga yang insya Allah selalu saling mengasihi. Dipimpin oleh seorang ayah yang senantiasa teguh pada pendiriannya, dan ibu yang penuh bakti pada suami. Alhamdulillah Tuhan senantiasa mengasihiku. Di balik tubuhku yang ringkih -namun selalu kelihatan kokoh- selalu ada cintaNya, Di situ selalu ada kasih sayang yang tiada habis-habisnya. Aku jatuh pada satu penyakit, berangsur membaik, kuat dan tegar kembali menyongsong penyakit yang entah mengapa selalu hinggap tanpa kuminta.

-ad-

Dulu ketika kanak-kanak aku berlangganan pada seorang dokter di Jalan Gedong Sawah di daerah belakang Hotel Salak, satu-satunya hotel kala itu di kota kami, Bogor. Dokter tua itu bernama Lie Po King. Sifatnya kebapakan serta lembut terhadap pasien-pasien kecil, sebagaimana dokter Djauharsjah Jenie yang kemudian menjadi dokter keluarga kami. Di tangan beliau berdualah selalu nasibku dipasrahkan ibu. Memang penyakitku terbilang ringan, hanya batuk dan pilek. Tapi Bandelnya bukan main. Dalam sebulan nyaris hanya beberapa hari aku "kering" dan dapat menajdi gadis kota yang manis. Selebihnya, ya batuk dan batuk itulah kelemahanku.

Beranjak besar, batuk itu semakin menyiksa. Bahkan setelah aku menjalani operasi pengangkatan amandel seperti yang disarankan dokter. malam-malamku senantiasa kuhabiskan di atas kasur sambil setengah terduduk, mencari dan mencuri-curi kesempatan bernafas. Karenanya aku jarang bisa mengikuti pelajaran pendidikan jasmani yang juga diistilahkan olah raga, sebab terus terang aku ogah lara setelah mengikutinya. Untung guru-guru olah raga di sekolah-sekolahku sangat mengerti dan memaklumi. Tak ada satupun yang menghukum aku dengan berbagai cacian atau hukuman fisik sebagaimana yang kusaksikan dilakukan terhadap teman-temanku yang entah kenapa kerap minta ijin untuk tidak ikut pelajaran olah raga. Akibatnya, kata teman-temanku, aku termasuk murid kesayangan guru.

-ad-

Menghadapi hari-hariku yang menyiksa, aku punya seorang teman yang sangat baik. Dia senantiasa penuh perhatian dan sangat memperhatikan seluruh aktivitasku. Sekalipun dia dua tahun lebih tua dariku dan baru menjadi teman sekolah ketika di SMA, tetapi dari dulu dia selalu berusaha menjagaku agar tidak jatuh sakit. Berpuluh-puluh tahun dilakukannya itu semua, hingga kini. Hingga rambut di kepala kami mulai menipis dan otot-otot kami mengendur menimbulkan gurat-gurat di sekitar wajah kami. Teman setiaku itu, kini, terbaring pulas di sisiku. Tangannya mendekap dada, seakan mohon kekuatan padaNya untuk menghadapi segala persoalan yang kami hadapi. Hidup di perantauan, tanpa sanak saudara dengan istri yang tak henti-hentinya butuh perawatan. Aku iba melihatnya, campur malu. Kutelan ludahku untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba mengering. Lalu dengus nafas panjang di sampingku kedengaran teratur melempar semua bebannya.

-ad-

Sudah dua bulan ini aku mengeluhkan rasa sakit pada bahu dan sekujur lengan kiriku, mulai dari pangkalnya hingga ke ujung jari. Nyeri yang tak dapat kusampaikan dengan sempurna, sebab aku tak pandai bertutur dalam bahasa asing. Yang kutahu hanya ngilu campur pegal. Sudah kucoba untuk menghangatkannya dengan obat gosok, bahkan pijat urut a la Indonesia yang dilakukan salah seorang teman kami ahli pijat di sini dengan baluran minyak tawon. Ah, minyak tawon, sangat membangkitkan kenangan terhadap kak Lilis Surjani, salah satu penyanyi favoriteku ketika kecil dulu. Di ujung hayatnya yang takluk di bawah deraan kista indung telur yang berubah ganas, kak Lilis tidak pernah lepas dari minyak tawon. Baunya yang khas merasuk dari jarak bebarapa meter ketika kami duduk berdua-dua berbagi rasa dan pengalaman serta saling menguatkan satu sama lain di rumahku di Singapura dulu.

-ad-

Aku mengenalinya dari suara yang khas melengking tinggi. Beberapa lagu syahdu yang menjadi ciri khasnya lengket sekali di telinga dan ingatan kami. Suamiku sangat tersentuh oleh lagu "Dengar Ratapku" yang memang mendayu-dayu mengungkit jiwa yang haus belaian ayahnya. Bapak mertuaku berpulang ketika suamiku belum sempat lulus SD. Kanker itu juga yang menghabisi almarhum, menyisakan kegetiran yang dalam. Aku tak habis pikir, mengapa Allah menciptakan penyakit ganas itu untuk mengakhiri nyawa manusia?

Kak Tuty kakak kelas suamiku di SMP adalah salah satu teman baik kak Lilis. Walaupun kami bertiga baru saling mengenal, tapi aku dan kak Tuty cepat menjadi akrab. Apalagi dia datang dari kampung yang sama denganku. Adapun kak Lilis, sekalipun lahir di Jakarta, tapi nenek moyangnya orang Bogor juga. Dia diperkenalkan oleh kak Vivie Sumanti sahabat kak Tuty yang dulunya juga seorang penyanyi populer. Kami bertiga -kak Tuty, aku dan suamiku- sepakat untuk turut merawat kak Lilis kenalan baru kami.

Waktu pertama kali aku mengunjunginya di rumah kak Tuty, dia masih tampak cantik. Rambutnya yang selalu dipangkas pendek model Connie Francis penyanyi bule di tahun limapuluhan belum banyak rontok. Giginya juga masih berderet rapi di bagian muka, menimbulkan senyum manis yang sempurna pada raut wajahnya yang mungil. Aku mudah jatuh hati padanya, lalu kami habiskan malam-malam kami berdua di rumahku sambil mengobrol maupun bernyanyi bersama. Pelan-pelan kubuka ingatannya dengan menyanyikan kembali "Alam Permai" yang mulai hilang dari benaknya dan beberapa lagu lain. Lalu berloncatanlah satu demi satu kisah hidupnya yang dirangkai dalam bahasa yang lugas.

-ad-

Setahuku kak Lilis terlahir sebagai anak tunggal di daerah Gang Kelinci, Pasar Baru, Jakarta. Di situlah dia dibesarkan, sebagimana penuturannya dalam lagu yang diciptakan Titiek Puspa. "Saya adalah salah satu penggemar mbak Titiek yang nekad minta dibuatkan lagu waktu saya masih anak-anak," jelasnya membuka kenangan. "Umur saya belum akil baliq, tapi saya sudah suka bergenit-genit menyanyi dengan segala gaya," lanjutnya. Dari kegenitan campur kenekadannya itu, lahirlah penyanyi baru yang cepat memikat Bung Karno, sang Kepala Negara. Lilis Surjanipun kemudian melejit sebagai penyanyi nasional bahakan terkenal hingga ke manca negara. Aku tersenyum sendiri ketika mendengar penuturannya terbingung-bingung saat diminta menyanyikan lagu "Ulang Tahun Kakek" oleh warga Malaysia dan Singapura yang mengundangnya pentas di negeri mereka. Jangankan aku, kak Lilis sendiripun, lupa bagaimana melodi lagunya. Untung promotornya masih punya rekaman lagu tersebut dari sebuah piringan hitam kuna yang besarnya hampir dua kali lingakaran piring makan. Konon kisahnya, kak Lilis "terpaksa" menyelesaikannya dengan terbata-bata.

-ad-

Kak Lilis menikah di usia yang cukup muda. Suaminya datang dari luar Jawa, cukup temperamental menurut pengakuannya. Aku kasihan mendengar seluruh penuturannya yang sering diucapkan polos begitu saja untuk minta doa padaku. "Hidup saya begitu penuh perjuangan dik Julie," keluhnya sambil merebahkan diri di sofa di muka televisi tempat aku biasa menghibur diri. Banyak cerita yang mengalir begitu saja, mencekatkan hatiku. Kugenggam kedua tangannya dan kubujuk untuk terus bersabar. "Di balik ujian Tuhan pasti ada ganjarannya," hiburku. "Tapi sampai sekarang saya belum juga terlepas dari perjuangan hidup saya," sanggahnya lagi memelas. Mata yang tajam itu memudar sinarnya, menciptakan telaga yang nyaris meluap. Menggigilkan jantungku.

-ad-

Penyakit itu datang tiba-tiba. Berlainan dengan diriku, selama hidupnya kak Lilis tidak pernah merasakan nyeri hebat di saat menstruasi. Keluhan utamanya datang ketika dia mendekati usia ke-enampuluh. Menstruasi hebat yang tidak kunjung berhentilah yang mengakibatkan dirinya memeriksakan diri ke dokter kebidanan dan kandungan di Jakarta. Dokter yang dipilihnya bukan sembarangan. Seorang profesor yang pernah memegang jabatan sangat penting di struktur pemerintahan pusat. Di tangannya operasi pengangkatan kista itu dilakukan, namun berakhir naas. Dalam kesadarannya yang tidak sepenuhnya hilang -entah kenapa- kak Lilis mendengar dokter menyesali pecahnya kista yang sedang diambil. Dan setelah operasi itu, kista-kista itu justru bermunculan semakin subur, cepat dan berubah ganas. Kesakitanpun menderanya. Meluluhlantakkan semua kemampuannya. Baik kemampuannya bertahan dari rasa sakit maupun kemampuan finansialnya. Perlahan-lahan kak Lilis merosot turun, menjadi seorang pesakitan yang kesakitan sampai terang Illahi datang padanya tanpa diduga.

Satu demi satu penggemarnya mengulurkan tangan. Sahabat-sahabat dekatnya juga turut menopang semampu mungkin, sehingga melabuhkan kak Lilis di Mount Elizabeth Hospital tak jauh dari rumahku. Namun dia harus menjalani pengobatan itu seorang diri, tanpa sanak saudara dan kerabat yang mampu mengantarnya. Dia terpaksa mengelana dari bawah satu atap ke atap lain di seputar Singapura, yang masih mau mengenalinya hingga aku menjemputnya untuk bersama-sama berbagi rasa dan penderitaan. Ketika aku baru selesai menjalani operasiku yang ke-dua dan ke-tiga yang dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, dia juga yang turut merasakan sakitku. Dia datang berselang-seling dengan beberapa pasien lain yang serupa. Mbakyu Henny dengan kanker hati, Iwan Djalal dengan tumor di balik rongga dadanya dan Ritzky yang didera kanker kelenjar getah bening. Kami semua sama menderita, tapi masing-masing dari kami mempunyai pengalaman dan daya tahan yang berbeda serta sikap yang tidak mungkin sama. Mbak Henny yang paling dulu menyerah ditelan nasib. Kemudian kak Lilis, meninggalkan aku, Iwan dan Ritzky yang terus berusaha untuk mempertahankan diri dari terpaan gelombang.

-ad-

Minyak tawon itu mengingatkanku padanya. Menyemburatkan lagi kekecewaan dan amarahku pada penyakit kami. Tidak ada cara lain, kini aku harus mencari dokter lagi, sekedar membuang minyak tawon dan kenangan yang menyakitkan. Aku dapati Catherine seorang therapist muda yang cantik. Jemarinya yang halus menjauhkan aku dari perasaan ngeri dan sedih. Dia menggunakan minyak jenis lain yang harum lavendernya menyapa hati dengan tenang. kupasrahkan diriku ke tangannya, sambil mengubur dalam-dalam kenangan akan kak Lilis Surjani, sahabatku surya yang hilang di ujung usia. Ada haru biru yang tiba-tiba menyeruak kembali. Memberiku cemeti untuk tetap berjuang, melanjutkan sisa umurku.

18 komentar:

  1. Aduh bu saya ikut sedih membacanya, semoga teman2 ibu semua juga punya semangat seperti ibu. dan kak lilis diberi kelapangan oleh Allah. Semoga Catherine bisa membantu bahu dan lengan ibu untuk sembuh,, amin..

    BalasHapus
  2. Jangan sedih, wong saya aja nggak sedih kok. Hidup itu harus diisi kebahagiaan dan kegembiraan terus, biar awet. Terima kasih simpatinya.

    BalasHapus
  3. Sing kiat nya teh, sing tabah.. abdi oge kagungan teteh nu mulai teudamangan, dan mung sakitu kecap eta nu tiasa terucap berulang-ulang. sedih, sedih pisan, teu walakaya, tapi mung kecap eta nu tiasa ka ucap...

    BalasHapus
  4. Sumuhun, abdi mah teu kumaha-kumaha. Salam we ka teh Ia. Silih du'akeun kitu sapertos biasana. Da kapungkur ge abdi tiasa kaluar ti ICU lantaran didu'akeun ku teh Ia. Nuhun kasadayana dina kasaeanana.

    BalasHapus
  5. saya jadi ikut sedih membaca tulisan ibu diatas.... saya juga penggemar berat kak Lilies Suryani lho bu .. apalagi dengan lagu "gang kelincinya". waktu kak Lilis suryani sakit dan muncul di koran2 saya ikut sedih melihat wajahnya. Saya juga turut prihatin dengan kesehatan ibu .. semoga ibu lekas sembuh ... Amien.

    BalasHapus
  6. Hayo jangan sedih. Saya aja tenang dan menikmati semua perjalanan hidup saya kok. Terima kasih atas doanya ya jeng. Kak Lilies udah tenang sekarang, udah enak. Saya malah ikut bahagia untuknya karena di sisi Tuhanlah dia bisa menikmati kemapanan dan kenyamanan hidupnya yang sesungguhnya.Saya menangkap itu dari semua obrolan saya dengannya selagi kami sama-sama duduk saling curhat dulu.

    BalasHapus
  7. dearest bu Julie, terjawab sudah rasa penasaran saya....jujur ya bu, sejak awal mengenal ibu di MP ini ada rasa gimanaaaa gitu yg menyeruak di rongga dada saya, tak terkatakan, tak terbayangkan, sejak awal ibu memberi coment pada buku tamu saya, saya sudah merasakan sesuatu yang lain, kesamaan rasa, persamaan hati, rasanya saya sreg aja deh ama ibu, juga bukan karena ibu eks brussel lho ya, lha wong jaman itu saya juga belum kenal ibu kan he he he....
    terus semangat ya bu....apapun sakit itu kata mama saya sebagai bentuk ujian dari Alloh karena sebentar lagi kita "naik kelas"......amien...
    saya penderita Lupus yaitu penyakit imunitas sejak 3 tahun lalu bu, lupus itu datang menyandar pada saya tiba2 begitu saja, bukan genetik, bukan pula virus, saya sudah 2 kali kehilangan calon bayi saya waktu msh di indo, alhamdulillah di brussel ini saya dapat berobat dan di percaya Alloh untuk mendapat seorang bayi laki2 yang lucu, tentu saja lewat perantara team dokter yang sangat amat prof disini....
    minggu lalu saya melakukan biopsi ginjal, dan baru kemaren pagi sebelum berangkat latihan salsa, saya mendapat kabar dari dokter kalo si lupus positif sudah bertengger di dalam ginjal saya, besok saya harus kembali ke RS (jadi mungkin ke pasar kemisnya agak telat nih bu he he he...),
    seiiring 3 tahun hidup bersama lupus ini, alhamdulillah saya sudah bisa "bersahabat" dengannya, kalo dulu saya selalu meratapi nasib dan tak pernah berhenti bertanya "why me????", maka sekarang sudah jauh lebih kalem (alias ndableg-orang jawa bilang),
    semoga ibu tabah selalu, keep on moving ya bu....jangan menyerah...COURAGE.....
    mari kita sama2 berjuang ya bu........

    BalasHapus
  8. Amin. Saya juga percaya begitu. Semoga jeng Pipiet juga tidak bosan-=bosan berobat. Sekarang saya sedang mulai dengan pengobatan tahap kedua untuk kasus di bahu saya yang kata orthopedic adalah "radang otot". Dia coba dengan 3X suntikan masing-masing berselang 3 minggu. Baru sekali, diharapkan dalam 2 hari mereda, tapi ternyata belum reda juga. Kalau sudah 3 X disuntik nggak ada perubahan, jalan terakhir dibedah. Berarti saya berhadapan lagi dengan meja bedah yang ke 11 X nya. Ya terima aja, pasrah nasib lah. Terima kasih doanya. Ayo kita sama-sama maju trus pantang menyerah.

    BalasHapus
  9. Ya Allah berikanlah kekuatan dan kesabaran pada mbak Jullie......
    terharu banget membaca ceritanya.
    peluk sayang buat mbak ....

    BalasHapus
  10. Terima kasih simpatinya.BTW tau site saya dari dik Pipiet ya? Doain dia juga dong.

    BalasHapus
  11. bukan.....dari Afif yg nongkrong di sitenya mbak terus minta diterjemahkan abis banyak kata-kata yg dia kurang yakin.
    Insya Allah didoain mbak, Pipiet kan adik Lely yg ketemu gede, kadang Ali si bungsu dititip di rumahnya barang setengah hari ......

    BalasHapus
  12. Oh, kalo gitu Afif yang tau dari sitenya Pipiet.

    BalasHapus
  13. Silahkan bang, sayang tadi saya masih pake karakter huruf kecil-kecil yang sangat sederhana itu, sekarang saya rubah karena mata saya bacanya kok udah nggak jelas lagi hihihihi....... makin tua aja nih umur saya, meski alhamdulillah survived!

    BalasHapus
  14. Iya kecilkecil. Tadi saya print pdf dan coba baca di kindle (ebook reader). Jadinya kembali lagi ke mari deh.

    Si Bunda teh nya.. Banyak kenalan orang terkenal. :D

    Aku inget sampul album bu Lilis memakai kaus dengna latar belakang kuning. Pernah nyari di tempat yang jual kaset bekas, tapi gak ada.

    Pernah ada di buku belajar gitar di gunung agung lagu Jakarta teh. Tapi waktu itu belum ada anggaran, dan bulan berikutnya nyari lagi.. Udah gak ada lagi :(

    BalasHapus
  15. 1. Ini saya tulis waktu baru-barunya melek inet, melek empi dst. Jadi belum ngerti bahwa karakter huruf bisa dipilih hihihihihihi........ meski kata anak-anak sih ibunya mendingan dibandingin ibu temen-temennya. Halah, ngesok ya?!

    2. Kenalan saya beragam karena pekerjaan saya dulu kan "PLRT" di rumah "orang gedean" hehehehe........ asyem banget ya?!

    3. Sampe sekarang saya nyerah deh sama sekali nggak tau sama lagu itu.

    Terima kasih ya abang udah mau baca-baca di sini.

    BTW ini cerita asli, bukan novel apalagi fiksi lho! Cuma tempatnya di sini karena menurut saya nggak cocok aja buat ditaruh di E-diary saya.

    BalasHapus
  16. Bunda hebat! perjuangan panjang dan tanpa lelah dan mengeluh terus Bunda jalani...sehat-sehat selalu dan berbagi pengalaman dengan kami ya Bun..terima kasih :)

    BalasHapus
  17. Saya mah nggak hebat cik Kris. YAng hebat itu Allah yang masih bersedia memberikan umur panjang untuk saya, dan kekuatan yang banyak dalam mengatasi segala persoalan saya dan lingkungan di sekitar saya.

    Terima kasih udah main ke sini, pasti asalnya baca jawaban saya untuk Nina di "rumah satunya" ya?

    BalasHapus

Pita Pink