Powered By Blogger

Sabtu, 02 Juni 2012

"TIADA CINTA YANG MURNI, TAK AKAN PERNAH ADA KASIH YANG ABADI"

PENGANTAR :

Tulisan ini adalah ikhtisar dari ketiga buah novel yang kucoba untuk menuliskannya sejak tiga tahun yang lalu, yang kujuduli "BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN". Namun kemudian karena dianggap masih belum selesai dengan sempurna, banyak teman yang mendorongku untuk terus menulis lanjutannya, sehingga di tahun lalu aku menulis buku kedua dari rangkaian kisah hidup sepasang anak manusia ini, yang kujuduli dengan "SITI". Dan tak bisa selesai di situ, aku pun mengakhirinya dengan novel berjudul "TITIK BALIK" yang pada akhirnya mencapai titik terakhirnya semalam.

***

Bagian pertama dari trilogi percobaan kemampuanku menyusun cerita, berkisah tentang kesepian seorang ibu rumah tangga beranak dua yang masih kecil-kecil. Suaminya adalah seorang diplomat yang ditugaskan di salah satu perwakilan RI yang sibuk di Eropa. Untuk membunuh kesepiannya, wanita bernama Siti Suratmi ini menjalin persahabatan dengan istri kolega suaminya yang berumur sedikit lebih muda, Retnoningdyah yang biasa disapa Nonik. Dan tidak hanya itu, dia juga berkawan baik dengan seorang gadis Indonesia yang membuka perusahaan penyedia jasa informasi dari siapa kantor Taufik Rahman suami Suratmi menjalin kerja sama yang baik. Gadis yang juga diperkenalkan Nonik kepadanya. Nonik memang sudah lebih dulu mengenal Elisabeth Handayani nama gadis itu, dari temannya yang bekerjasama dengan Elis di Jakarta.

Elisabeth tidak hanya cerdas. Dia sarjana ekonomi lulusan luar negeri yang berwawasan luas, namun taat beribadah di gereja Katholik menurut agama yang dianutnya. Karenanya banyak orang suka kepada pribadinya, termasuk Taufik suami Suratmi dan seluruh keluarga mereka.

Pada suatu hari tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Ami, nama kecil Siti Suratmi menghilang begitu saja dari rumah sewaan suaminya di Eropa setelah dia pulang cuti ke Indonesia. Tak seorang pun yang tahu keberadaannya, termasuk tak ada kejelasan kabarnya dari anak-anaknya yang ditinggal di Eropa bersama suaminya.

Nonik kemudian berkawan akrab hanya dengan Elis. Di saat kehilangan sosok teman mereka itulah mereka menjadi semakin dekat satu sama lain. Elis kemudian menceritakan pengamatannya mengenai keluarga Taufik Rahman, terutama soal Taufik yang mempunyai sifat sedikit aneh.

Kata Elis, dia sangat baik dan memperhatikan Elis. Tetapi di satu sisi, dia nampak begitu dingin kepada istrinya sendiri. Hal ini sempat dipertanyakannya kepada pasangan suami istri itu secara sendiri-sendiri. Tetapi Ami alias Suratmi menganggap hubungan dingin begitu tidak menjadi masalah baginya, sepanjang suaminya tetap menyayangi anak-anak mereka dan menafkahinya. Sedangkan Taufik mengatakan dirinya sudah bosan hidup dengan istrinya itu, sehingga dia selalu mencari-cari kejelekan dan kekurangan istrinya sampai akhirnya Elis menyadari bahwa dia pun harus menjauhi keluarga tersebut.

Dengan ditemani dan dibantu doa-doa Ami, Elis mengupayakan diri memohon jodoh di gereja selama beberapa waktu hingga dia benar-benar berjodohan dengan seorang dosen yang sedang mendapat tugas belajar di negeri tempat tinggalnya di Eropa itu. Maka hubungan yang menghangat ini memicu kemarahan dan kecemburuan Taufik. Terlebih-lebih lagi akhirnya Elis jadi menikah dengan dosen itu, kemudian menetap di Indonesia. Sayang dia tak berumur panjang. Dia meninggal ketika melahirkan anaknya.

Sedangkan kisah raibnya Ami kemudian terbongkar ketika istri salah seorang staff baru di kantor Taufik bertemu dengan Nonik di kios pencucian baju di luar rumah. Erna nama pendatang baru itu menyatakan bertemu dengan seseorang secara tidak sengaja yang kemudian menyatakan diri bahwa dia nyonya Suratmi Rahman, istri Taufik Rahman kolega suami Erna. Temuan ini segera dilaporkan kepada Duta Besar yang memimpin kantor mereka yang kemudian memanggil anak buahnya Taufik itu untuk dimintai keterangan sambil mengungkap temuan para istri anak buahnya yang lain, sehingga Taufik pun terpaksa mengakui perbuatannya memenjarakan istrinya sendiri di dalam rumah tujuh bulan lamanya. Lalu Ami pun dibebaskan hingga selesai masa penugasan suaminya di luar negeri. Dalam pada itu, dia dan Nonik bekerjasama merancang pernikahan Elisabeth dengan Baskara sebelum dosen itu menyelesaikan pendidikannya di Eropa, sehingga semakin menyulut kebencian di dada suaminya yang berujung dendam berkepanjangan. Sikapnya semakin menyakitkan. Dia membina banyak hubungan gelap dengan berbagai perempuan dari kalangan terhormat, seperti yang dipergoki keluarga Nonik dengan Triatman ketika mereka singgah di bandara Changi, Singapura dalam perjalanan pulang mutasi ke Jakarta.

Di Jakarta Taufik kembali sekantor dengan Triatman suami Nonik, sehingga persahabatan Nonik dengan Ami terajut kembali. Tapi selama itu hubungan Taufik dengan istrinya kelihatan sudah membaik dan normal lagi, hingga di suatu saat ketika Triatman sudah kembali bertugas di luar negeri, Nonik kedatangan Ami yang pulang hendak menjemput salah satu anaknya yang akan menyusul kepindahan orang tuanya. Seorang lainnya memilih melanjutkan sekolah di Jakarta saja, sehingga sebagai sahabat karib ibunya, Ami menawarkan diri untuk mengawasi anak itu meski tak tinggal bersamanya.

Sewaktu pulang itulah Ami membuka diri, mencurahkan semua kekecewaannya atas sikap suaminya yang senang menduakan cinta kepada Nonik. Lalu dia minta ditemani untuk menemui seorang pemuka agama di luar kota untuk meluluhkan kebiasaan tak terpuji suaminya. Nonik pun menurut serta merahasiakan apa yang diketahuinya ini kepada kawan-kawan mereka.

Sikap Taufik terhadap istrinya semakin menjadi-jadi. Pernikahan mereka semu belaka, sebab Taufik sepertinya tak menganggap keberadaan istrinya lagi. Dia memilih mendiamkan istrinya, serta cenderung tak membawanya ke muka umum untuk banyak kegiatan yang seharusnya disertai pasangannya. Akibatnya, Ami terpukul lalu menjadi sakit. Dia diharuskan menjalani serangkaian operasi pada kandungannya karena kata dokter yang memeriksanya di luar negeri, tidak ada cara lain untuk mengurangi rasa sakit yang diidapnya.

Dalam pada itu, Triatman pun dipindahtugaskan kembali ke luar negeri. Di sana, istri pimpinannya juga dinyatakan sakit, sehingga harus berobat ke negara yang lebih maju. Untuk itu beliau memilih berobat di tempat penugasan Taufik, dan menyuruh Nonik mendampingi beliau berobat di situ. Kesempatan itu mempertemukan dan mempererat kembali hubungan Nonik dengan Ami yang ternyata memang sedang sakit dan nampak amat menderita, namun tetap tegar tabah menjalaninya. Inilah yang dipakai sebagai senjata untuk menguatkan ibu Farid istri boss Triatman oleh Ami dan Nonik.

***

Cerita pertama kuakhiri hingga di situ. Namun, karena sejujurnya aku memang bukan penulis, dan sedang memberanikan diri untuk mencoba mengarang cerita, maka akhir dari buku pertama ini terasa tidak tuntas. Para teman mayaku yang setia mengusulkan untuk membuat buku kedua sebagai lanjutannya. Tetapi tentu saja aku memerlukan waktu lebih dari satu tahun untuk memikirkan apa yang harus kutulis. Sehingga secara tiba-tiba, di suatu malam aku ingin menuliskan kisah para perempuan yang terbuang dan tersisih dalam kehidupan karena cinta. Mereka ini adalah para penghuni Rumah Sakit Jiwa yang kebetulan sekaligus difungsikan sebagai Rumah Sakit Umum oleh pemerintah.

Lahirlah "SITI" novelku yang kedua yang mengisahkan kehidupan keluarga Triatman sepulangnya dari luar negeri lagi, di sebuah daerah di kaki Gunung Salak yang permai di Bogor. Di mana Nonik berkesempatan menolong anak gadis tetangga di sebelah rumahnya yang terguncang jiwanya ketika diperkosa sekelompok pemuda yang menjeratnya naik ke atas angkutan kota sepulang kuliah. Di sela-sela pemakaman Cina yang luas dan tenang, gadis cantik anak pengusaha kaya-raya yang kedua orang tuanya bekerja di luar rumah itu diperkosa para pemuda berandalan ini.

Lalu secara rutin Nonik mendampingi nyonya Liliana Sonny mengantar putrinya menjalani therapy kejiwaan di RS di kota Bogor setiap Minggu. Bahkan karena dipercaya oleh Liliana, akhirnya Lidya gadis itu cuma ditemani oleh Nonik yang kemudian sering berjalan-jalan merintang waktu di dalam RS seraya mengamat-amati suasana di bangsal penyakit jiwa.

Suatu hari dia mendengar suara merdu dari salah satu kamar di sebuah bangsal di RS. Ketika dia menanyai suster yang bertugas di situ, diperolehlah keterangan bahwa suara itu milik seorang pasien yang merasa ditipu lelaki yang menjanjikan akan menjadikannya penyanyi terkenal sekelas "Siti Nurhaliza". Janji itu tak dipenuhi, bahkan dia dirusak kehormatannya. Setelah kejadian itu, dia selalu menyamakan diri dengan Siti Nurhaliza, lalu mengganti namanya dari Betty Nurbaiti menjadi Siti Nurhaliza alias cik Siti. Mendengar kisah itu serta melihat banyak kasus serupa di seputar RS tua ini, timbul niatan Nonik untuk mengajak pengurus Dharma Wanita Persatuan di kantor suaminya berdarma bakti di sini. Dia yang kebetulan suaminya sudah menduduki jabatan cukup penting di kantornya, mengajak Erna yang juga sudah kembali dari luar negeri. Usulan ini ditanggapi pengurus DWP dengan baik, dengan janji tak membawa serta nyonya Taufik Rahman yang baru, yang tentunya bukan Suratmi lagi. Sedangkan Suratmi seperti dulu, tiba-tiba sudah raib bak ditelan bumi.

Secara tak terduga Nonik dan Erna suatu hari tiba-tiba melihat sosok pegawai RS yang sangat mirip dengan salah seorang anak keluarga Taufik. Mereka kemudian berusaha mencari tahu kepada perawat di bangsal penyakit jiwa, yang mengatakan bahwa lelaki yang dimaksudkannya adalah asisten apotheker di RS itu, bernama Rizqi Rahman. Kebetulan suami perawat itu adalah atasan langsung Rizqi,

Demi mendengar nama itu, Nonik langsung meyakini dugaannya. Sedangkan si perawat tadi malah menyatakan bahwa Rizqi adalah anak yang sangat berbakti kepada ibunya, yang kini sedang terbaring di bangsal penyakit dalam dengan keadaan yang mengenaskan. Perempuan separuh baya itu hanya bisa tergeletak pasrah akibat penyakit yang disebabkan stress berkepanjangan.

Selanjutnya Nonik mengajak Erna menemui pemuda yang terkejut-kejut atas tetamu yang sama sekali tak diduganya. Setelah melepas kerinduan dan keharuan, dia mempertemukan keduanya dengan sang bunda yang juga nampak amat terkejut serta haru. Sejak itu hubungan terjalin kembali.

Bakti sosial mereka kemudian melibatkan Ami, dengan cara memberi kesempatan kepada Ami untuk melatih vokal para pasien bangsal penyakit jiwa yang sudah dinyatakan sehat atau tak membahayakan lagi, sebab Ami dulu dikenal sebagai istri staff yang piawai menyanyi dan bermusik. Setelah memaparkan niat mereka kepada direktur RS, akhirnya niat itu dilaksanakan. Direktur RS malah menganggap kegiatan ini sebagai salah satu cara untuk membangkitkan harga diri dan semangat hidup Ami. Benar adanya, pelan-pelan Ami kembali mampu bangkit dari tempat tidurnya berlama-lama, meski harus mengandalkan kursi roda sebagai penopang tubuhnya. Bahkan Betty pun menunjukkan perbaikan yang memadai setelah "disulap" menjadi "Siti Nurhaliza" palsu, berduet dengan Ami di dalam setiap acara-acara yang digelar di RS. Dia cukup bangga dengan predikat barunya sebagai penyanyi "Duo Siti" rekaan Ami dan teman-teman Dharma Wanita Persatuannya itu. Akhirnya Ami pun bisa keluar dari RS untuk menjalani perawatan jalan. Semula dia kembali ke rumahnya, namun atas saran dan anjuran keluarga Triatman, dia seringkali menginap di rumah mereka di Bogor agar tak jauh dari RS.

***

Menurut beberapa kontakku, cerita rekaanku ini layak untuk dibukukan. Apalagi kalau aku menambahinya dengan satu "sekuel" lagi. Di benak mereka, akan jadi seramai sinetron-sinetron yang setiap hari menyemarakkan layar kaca.

Tapi seperti sudah kukatakan, aku bukanlah siapa-siapa, orang yang memang berlabel penulis profesional. Aku hanya ibu rumah tangga yang gemar menuangkan lamunan, khayalan serta isi hatiku ke dalam blog. Jadi tak mungkin aku bisa membawa naskahku ke penerbit hingga menjadi buku.

Kuharapkan alasan ini menghentikan keinginan mereka. Namun aku keliru. Mereka terus saja menyemangatiku. Sehingga aku nekad menyelesaikan naskah ini dengan buku ketiga yang kujuduli "TITIK BALIK". Inilah akhir dari trilogi "jadi-jadianku" yang kuanggap sebagai percobaan mengasah bakatku, sebab toch aku memang tak berbakat jadi penulis, bukan?!

Di "TITIK BALIK" ini Taufik kuminta untuk membuka jati dirinya. Sebab banyak pembaca novelku baik yang bicara secara terbuka di kolom reply mau pun yang mengirimkan "Personal Message" menyatakan kegeraman mereka kepada lelaki yang satu itu. Ah, lelaki yang hanya ada di dalam khayalanku? Begitu dahsyatnya kuukirkan cerita, sehingga dia benar-benar seperti menjelma di dalam kehidupan ini.

Dia ternyata memang lelaki yang punya segudang pesona. Sikapnya hangat terutama kepada lawan jenisnya. Meski tidak terlalu tampan, tapi dia senantiasa menjaga kerapihan dirinya serta tahu mematut-matut sehingga menimbulkan pesona di sana-sini. Belum lagi dia selalu bersedia menjadi teman mengobrol yang mengasyikkan bagi para kenalan wanitanya. Bermodalkan sikapnya itu siapa pun mudah didekatinya. Apalagi dia merupakan salah seorang pejabat negara dengan kedudukan yang cukup tinggi.

Taufik kemudian menikahi Martina seorang pengusaha yang bertukar haluan menjadi politisi. Lelaki itu mengusir Suratmi serta anak-anak mereka secara paksa dari tempat tugasnya di luar negeri. Pengusiran itu tentu saja tanpa seizin atasannya, sebagaimana kewajiban seorang pejabat negara. Bahkan kemudian, dia mendatangkan perempuan lain dengan diam-diam, yakni Martina itu ke tempat tugasnya. Selanjutnya mereka berdua merancang perceraian sepihak.

Rumah yang menjadi tempat berlindung satu-satunya bagi keluarganya, dihadiahkan Taufik sebagai peluluh hati anak-anak mereka yang tahu betul semua perbuatan keji ayah mereka terhadap sang ibu. Maksudnya agar anak-anak yang menjelang dewasa itu menyetujui perceraiannya dengan ibu mereka. Malangnya Pengadilan Agama pun menutup mata serta menyetujui perceraian itu dengan alasan untuk membebaskan sang istri dari kekejaman suaminya sendiri. Sehingga sebagai akibatnya, Suratmi pun menderita batin lalu sakit berkepanjangan tanpa dipedulikannya lagi. Mereka toch sudah mengantungi akta perceraian dari negara yang dibuat tanpa seizin pimpinan kantor mereka.

Martina yang kaya raya pun setali tiga uang dengan Taufik. Ia memilih membawa pergi semua anak-anaknya setelah suaminya sendiri dipenjarakan karena terlibat kasus penggelapan dana negara untuk dipakai Martina menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dari tempat tinggal barunya yang dibeli memakai uang warisan dari orang tuanya sendiri yang kaya raya, Martina kemudian malah menggugat cerai suaminya di penjara.

Sesungguhnya, Taufik bukan pejabat kaya-raya. Selama menikah dengan Suratmi dia bekerja sangat jujur terdorong oleh peringatan yang selalu dilontarkan istrinya itu dan anak-anak mereka. Tetapi, Martina tak pernah mengetahui itu. Dalam benaknya, sebagaimana biasaya pejabat negara, Taufik tentulah orang berpunya.

Martina yang haus harta dan pangkat tinggi, memilih menghidupi Taufik dengan uang hasil perusahaannya ketika akhirnya mengetahui keadaan Taufik yang sesungguhnya. Di dalam benaknya, ketika Taufik sudah berhasil direbutnya, maka nanti Taufik pun dengan mudah akan dapat dipengaruhinya untuk mencari jalan mengeruk harta sebanyak-banyaknya sebagaimana Zain, suaminya yang pertama, seorang Kepala Daerah yang kini meringkuk di penjara.

Sebagai seseorang dari strata sosial yang tinggi, Martina memang cukup berpendidikan. Tetapi sayang, dia kurang menguasai etika sopan santun, terutama sopan santun internasional yang seharusnya dikuasai istri diplomat. Dalam suatu jamuan makan malam resmi yang diadakan Taufik sebagai Kepala Perwakilan, Martina melanggar etika. Peristiwa ini kemudian diketahui atasan tertinggi Taufik di Jakarta, yang tentu saja sangat terkejut. Apalagi melihat yang menjadi istri Taufik bukan lagi Suratmi. Dan ternyata dari anak buah Taufik, diperoleh keterangan bahwa Taufik telah mengusir anak dan istrinya pulang ke Indonesia.

Pelanggaran peraturan kepegawaian yang fatal ini membuat Taufik dimutasi ke Jakarta sebelum selesai tugasnya. Lalu dia dibiarkan tanpa pekerjaan beberapa waktu lamanya.

Dalam kegalauannya, dia berpaling kepada keluarga sepupunya yang juga tinggal di Jakarta. Dia minta tolong dibantu mencari anak-anak dan mantan istrinya untuk minta maaf seraya mengakui kesalahannya. Tetapi usaha itu gagal. Rumah yang dulu dihadiahkan kepada mereka sudah kosong. Penghuninya tak lagi diketahui keberadaannya. Demikian juga di kampung halaman mereka, tak ada yang tahu. Mereka bahkan berhadapan dengan sebuah makam tanpa nama yang sangat misterius, berada di dekat makam ayah-ibu Suratmi.

Tanpa sepengetahuannya, Martina kemudian mencari paranormal yang diminta untuk mempengaruhi pikiran Taufik agar kembali menyayangi dan mencintai dirinya. Bahkan dia meminta jabatan untuk Taufik di kantornya dengan segala cara. Sebagai politisi berpengalaman, melakukan itu merupakan hal yang mudah. Sehingga akhirnya Taufik pun bisa kembali memperoleh jabatan, bahkan dalam waktu singkat dinaikkan menjadi Kepala Rumah Tangga di Istana Negara.

Pekerjaan barunya itu, mempertemukan Taufik dengan seorang jurnalis muda yang enerjetik dan terkesan lain daripada yang lain. Dia selalu mengenakan topi Vietnam seperti yang dulu pernah dimilikinya ketika masih bersama Suratmi dan anak-anaknya. Karena penasaran, dia pun menanyai jurnalis yang ternyata bekerja untuk media massa Amerika Serikat tentang topi di kepalanya. Dijawabnya, topi itu milik saudara sepupunya yang memperoleh warisan dari ayahnya.

Pada suatu hari Ibu Negara menugaskan Martina untuk memimpin bakti sosial ke Rumah Sakit Jiwa di Bogor. Untuk itu tentu saja Taufik harus bekerja memfasilitasinya, sesuai dengan jabatannya di Istana. Tak dinyana, di sana dia bertemu dengan seorang pasien yang pandai menyanyi. Lagu-lagunya mengingatkan Taufik akan suara Suratmi karena mempunyai banyak kemiripan. Taufik menangis haru waktu mendengar pasien itu menyanyi di dalam acara ramah tamah dengan rombongan Istana, yang direkam oleh kamera Rudinando, jurnalis favoritenya tadi. Foto dirinya yang tengah menangis, diserahkan kepadanya, disertai pesan jika Taufik ingin bertemu langsung dengan sang penyanyi, maka Rudi bersedia mengantarnya. Katanya, pasien itu adalah pasangan duet dari tante Rudi yang tengah terbaring sakit keras di RS yang sama.

Tanpa berpikir panjang, Taufik bersedia dengan ditemani pasangan sepupunya. Sesampainya di RS jurnalis itu langsung mempertemukannya dengan tantenya, bukan dengan si penyanyi yang berhasil memancing rasa harunya. Tak dinyana, tante jurnalis itu adalah mantan istrinya sendiri. Di sana, di sisi ranjang pasien yang kelihatan amat menderita itu, berdiri dua lelaki yang tak lain dan tak bukan Rizqi serta Ridho anak-anak yang dirindukan dan selama ini dicari-carinya.

Pertemuan singkat di RS itu mengungkap dengan jelas jati diri Taufik yang sesungguhnya, yaitu anak terbuang dari sepasang mahasiswa yang kemudian bermukim di Amerika Serikat serta menikah resmi hingga memiliki anak-anak lain, di antaranya adalah orang tua Rudi. Keterangan yang amat pahit dan mengejutkan itu, justru diperolehnya berkat upaya mantan istrinya yang menghendaki anak-anak mereka berdua untuk rajin mendoakan ayah mereka agar dibukakan pintu hatinya menuju ke jalan Allah serta diampuni dosa-dosanya. Tapi, untuk itu Suratmi meminta anak-anaknya menyebut nasab ayah mereka secara benar dengan cara membongkar surat rahasia pengangkatan anak Taufik yang ada di tangannya, serta mencari tahu kebenarannya sesuai catatan yang ada di akta pengangkatan anak itu. Dari situlah kemudian semua rahasia hidup dan jati diri Taufik terbongkar.

Sayang Taufik belum sempat mengucapkan apa-apa kepada mantan istrinya, perempuan itu meninggal dunia selepas berjumpa Taufik untuk pertama dan terakhir kalinya sesudah mereka bercerai. Tak ada kata lain selain penyesalan tiada akhir di hati Taufik.

Begitulah adanya cinta dan kasih sayang di antara manusia. Bahwasannya jika cinta disandarkan kepada nafsu, maka cinta itu tak ada yang murni. Sedang kasih sayang yang abadi pun, datangnya hanya dari Allah Yang Maha Esa saja.

Inilah akhir dari percobaan pertamaku mengolah sebuah khayalan menjadi naskah fiksi. Tapi, berhubung aku tidak pandai, maka untuk saat ini karanganku hanya ku khususkan kepada para kontakku saja, dengan ucapan terima kasih serta salut atas kesabaran mereka menunggu moodku yang seringkali menghilang dengan tiba-tiba.

23 komentar:

  1. ck ck ck.... bunda Julie ni hebat banget

    bisa bercerita sepanjang itu bahkan mengembangkannya menjadi trilogi
    kapan diserahkan editor bun?

    BalasHapus
  2. Saya nggak hebat jeng, cuma memenuhi permintaan para kontak lama saya yang malah sekarang tinggal satu-dua orang yang masih setia baca-baca di sini.

    Tapi soal menyerahkan ke penerbit, saya takut ditolak, karena tahu kemampuan saya seberapa. Nanti saatnya akan tiba, saya yakin itu, kalau Allah sudah berkehendak. :-)))

    Terima kasih jeng sudah menjadikan saya sebagai teman, ya.

    BalasHapus
  3. hehehe kalo mampu dan ndak mampu kan editor bisa kasih info yang tokcer bun

    justru saya yang berterima kasih bunda bersedia jadi temen saya meski kadang ndak setia xixixi.....

    semangat ya Bun :D

    BalasHapus
  4. Nah itu jeleknya saya, selalu takut kalah duluan. Jadi gimana mau bisa maju coba, ya?!

    BalasHapus
  5. hebat pancen lah biyunge.....dicetak dewek baen bund nggo duwe2 nang ngumah......kan ana sing nrima Print by order ..

    BalasHapus
  6. wah, tega sekali itu suami memenjarakan istri selama 7 bulan ...
    teganya, teganya, teganya ... he he he ...

    BalasHapus
  7. podho yen kui bun, aku ga isa nyanyi pas dapet giliran jadi petugas paduan langsung nangis.

    KO sebelum nyoba hahaha padahal dah tua gini masih takut *kalo ingat jadi ketawa sendiri* tapi hikmahnya... orang yang nyuruh aku kapok soale dah tau kemampuanku nyanyi mines buanget hehehehe

    BalasHapus
  8. Sing hebat kan wong sing pada bisa nulis terus wani menerbitkan karyanya jadi buku. Lha anu biyunge hebat sekang ngendine, coba? Anu wong katrok manda-mundu bae sih bisane :-(

    Kanggo duwen-duwen sih wis, tek pindah maring arsipku dewek koh. Print by order nek setitik eman-eman, nek akeh, ora bisa ngedole kuwe..........?!

    BalasHapus
  9. Itu antara lain yang bikin kontak lama saya gemes sama tokoh lelaki itu hehehe....

    Silahkan kalau mau dicari, dibaca nyicil aja.

    BalasHapus
  10. Kalau nyanyi saya nggak takut, karena suara saya kan nggak butuh modal dan nggak diperjual belikan. Ada yang suka denger ya syukur, enggak ya nggak masalah. Lain dengan membuat buku, 'kan semua pakai modal awal. Lha kalau bukunya laku, modal kembali, kalau enggak? Rugi penerbitnya jeng.

    BalasHapus
  11. hahahaha, njih bun leres niku :D

    BalasHapus
  12. Hehehe..... kewenangan ya, aku wedi ra bali modale?!

    BalasHapus
  13. hebat mbak.. tapi sayang kalu ditamatin.. masih gantung juga tuh ceritanya.. biar happy jadikan tetralogi saja mbak..
    gimana lanjutannya siti suratmi setelah meninggal gitu.. ada cerita sisi martina kan? jadikan tetralogi kisah martina deh..

    BalasHapus
  14. Saya kok lama-lama bosen sendiri ngerjain yang ini hihihihi.........

    BalasHapus
  15. Udah dikirim ke penerbit, Bunda? Sinopsisnya keren. Pingin nyekik leher Taufik. :D

    BalasHapus
  16. Selamat malam nak Ida, apa kabar?

    Saya nggak berani kayak nak Ida bikin buku gitu, soalnya saya nggak yakin tulisan saya dibeli penerbit. Jadi ya nggak saya bawa ke penerbit, kecuali ada penerbit yang kebetulan tahu terus tertarik sama naskah-naskah saya.

    Pengin nyekek lehernya ya? Berarti selama ini semua pembaca setia saya perasaannya seragam, gemes sama tokoh yang satu itu. Berarti lagi, saya sukses ngaduk-aduk emosi pembaca hahahaha..........

    Katanya kalau kepengin tulisan kita dibaca tuntas sama orang, kuncinya mesti bikin satu tokoh yang punya ciri khas, entah menyebalkan, entah lucu, entah gimana aja gitu lho. Kata orang sih gitu.

    Selamat berkarya terus ya nak Ida, sukses selalu!

    BalasHapus
  17. Hehehe jangan takut diserahin ke publisher bun, udah coba ke Mozaik Publisher? *lirik ihwan*

    BalasHapus
  18. Ya syukur, terima kasih ya Nak Enief. Tante makin suka deh sama nak Enief. :-)))

    BalasHapus
  19. Nak Ihwan aja nggak mau beli, apalagi penerbit lain yang nggak kenal saya 'kan?!

    *lirik-lirik terus sampe jereng*

    BalasHapus
  20. kayaknya aq pernah komen disini deh :( ilang

    BalasHapus
  21. Hahaha..... ayo diulang lagi aja, dulu ngomongnya apa? Eh salah, dulu nulisnya gimana?

    BalasHapus

Pita Pink