Powered By Blogger

Senin, 27 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (171)

esayangan Allah kata orang-orang adalah saya. Sebab, meski dalam keadaan didera berbagai penyakit dan gangguan tubuh tetapi saya nampak tegar dan bisa melanjutkan kehidupan dengan normal. 

Kini kondisi saya semakin tidak menentu. Sering kali di waktu pagi dan siang saya nampak gagah di seputar RS. Tetapi meski begitu, dengan tubuh yang sudah tergolek sepenuhnya 24 jam saya masih bisa  melayani pertanyaan-pertanyaan tetamu yang datang menjenguk. Meski juga dalam keadaan nafas saya terengah-engah. Kondisi seperti ini terjadi setelah saya sempat mengalami kolik perut yang mengakibatkan saya terpaksa menggunakan bantuan oksigen. Keadaan ini disebabkan oleh teknik mengejan saya yang salah dengan demikian yang kemudian membuat pasokan oksigen dalam rongga kepala saya berkurang. 

Tetamu yang datang menjenguk saya setiap hari selalu banyak. Dengan segala keterbatasan saya tetap berupaya untuk melayani mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan maupun sekedar bertegur sapa. Sayangnya, tubuh saya sudah sulit digerakkan sehingga meski kata mereka cara saya mengobrol sudah tidak ekspresif lagi tapi saya dianggap merupakan pasien yang istimewa. Gerak-gerak tangan dan kaki saya yang sudah terbatas hanya pada bagian kanan tubuh mengakibatkan dalam tempo seminggu tubuh saya bagian belakang mulai dari punggung hingga pantat mengalami iritasi berupa luka lecet yang terasa sangat pedih. Hingga akhirnya pihak tim medis menambah jumlah dokter saya selain onkologis, dokter ahli bedah tulang, dokter ahli penyakit dalam, dokter saraf, juga ada dokter kulit dan kelamin serta dokter ahli rehabilitasi medik. Inilah catatan terbesar mengenai proses pengobatan saya sepanjang hidup. Subhanallah dokter-dokter itu semua selalu berpatokan kepada dalil-dalil Allah SWT di dalam kitab suci Al-Quran, yang membuat hati saya merasa tenang dan yakin bahwa saya akan sembuh. Sayangnya, mereka tidak didukung oleh peralatan medis yang canggih serta dokter-dokter yang mumpuni. Karena itu hingga saat ini operasi penyambungan tulang paha saya yang patah masih tertunda. 

Para dokter akan mengirimkan saya kembali ke RSKD. Tetapi persoalannya mencari kamar perawatan di RSKD sangat sulit. Hari Jumat anak saya Andri sudah pergi ke sana dan memaksa untuk disegerakan. Tetapi katanya semua pasien harus mengantri. Malam itu kami segera melapor kepada onkologis yang kebetulan PNS di sana. Beliau kemudian mencoba untuk menembus birokrasi dengan bicara sendiri kepada pihak penerimaan pasien untuk bisa menerima saya segera. Begitu pula relawan kanker pendamping saya juga membantu dengan menghubungi berbagai pihak di dalam RSKD. Tetapi itulah faktanya. Rumah sakit nasional memang selalu padat pasien. Sebab, banyak pasien kiriman baik dari luar Jawa maupun dari luar Provinsi DKI. Saya sadari sejak saya berobat di sana, diri saya pun bukan satu-satunya pasien yang dikirim dari wilayah terdekat. Banyak sekali pasien kiriman dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang wilayahnya sudah mepet ke Jakarta. Ini artinya kesabaran saya harus tetap ditambah. Sebetulnya juga relawan kanker pendamping saya menyatakan sudah berhasil mendapatkan satu kamar kosong untuk saya, yang baru saja ditinggalkan pulang oleh pasien kiriman dari Bogor juga. Tapi ketika anak saya mencoba mengontak bagian penerimaan pasien RSKD, katanya kami tidak boleh melabrak-labrak aturan. Berhubung kami baru mendaftar pada hari Jumat, maka kamar itu diberikan kepada pasien yang sudah lebih dulu menunggu. 

Kemarin pagi, pihak penerimaan pasien di RS yang sedang saya tempati meminta kami untuk membayar sejumlah uang muka sebagai deposit sebab ternyata biaya perawatan saya yang ditanggung BPJS hingga hari ke-delapan sudah mencapai Rp. 29 juta. Padahal, BPJS hanya bersedia mendanai sebanyak Rp. 7 juta meski kami membayar premi mandiri. Barangkali kenyataannya akan lain kalau saja saya adalah peserta yang berasal dari PT. ASKES maupun Jamsostek. Tapi alhamdulillah kebutuhan dana itu sudah bisa tercukupi dari pemberian tanda simpati dan kasih sayang para penjenguk. Kini kembali terbukti bahwa Allah itu maha segala, maha besar kasih sayangnya, dan maha luas rizkinya.

Hari ini, dokter spesialis bedah tulang saya di tengah keterbatasan penanganan medis yang dapat dilakukannya untuk kasus patah tulang paha kiri saya, datang dengan siraman rohani yang kian menyemangati saya untuk lebih ikhlas dalam menerima beragam cobaan dari Allah. Pada visit selanjutnya, beliau ingin memberi saya rekaman ceramah-ceramah religi sebagai bahan renungan diri untuk meningkatkan iman kepada Allah dalam rangka ikhtiar memohon kesembuhan dan kekuatan dalam menjalani segala cobaan. Sesudah beliau, datanglah dokter saraf yang cantik itu. Setelah diperiksa, kondisi saya stabil tapi perlu penanganan dokter kulit dan kelamin untuk mengatasi luka-luka di bagian belakang tubuh saya akibat tidak pernah dimandikan karena sulitnya pergerakan tubuh saya. Dokter kulit menyarankan saya agar diolesi krim bayi (baby cream) serta melapisi kulit saya yang luka dengan sapu tangan tukang becak "Good Morning" yang tipis, itu dibentuk donat.

Berikutnya, dokter ahli rehabilitasi medik yang diundang untuk menilai kondisi saya sore harinya nampak terkejut-kejut begitu melihat tubuh bagian kiri saya yang berpembalut sejak dari pangkal lengan hingga ujung kaki kecuali bagian tubuh. Dengan menunjukkan wajah yang kebingungan, beliau tidak bisa berbuat banyak untuk fisioterapi saya kecuali menekan-nekan ringan pangkal betis saya dengan tujuan supaya tidak terjadi kekakuan dan kelumpuhan permanen. Meski demikian, tindakan itupun cukup menimbulkan rasa ngilu.

Pada pukul 5 sore, onkologis diketahui sudah berada di Poliklinik 16 memeriksa pasien yang tidak terlalu banyak. Hati saya merasa lega sebab artinya visit pasien bisa segera terjadi. Betul saja, kurang lebih satu jam kemudian beliau tiba di sisi pembaringan saya. Wajahnya seperti biasa selalu manis namun tak urung gundah juga sebab mendengar laporan anak saya bahwa saya belum berhasil mendapatkan kamar di RSKD seperti yang sudah dijanjikan kepada beliau. 

"Aduh ibu, kenapa masih belum bisa masuk juga? Padahal untuk penderita seperti ibu seharusnya diutamakan mengingat pengobatan kanker tak bisa ditunda. Jadi, operasi tulang ibu tak boleh diulur-ulur waktunya", demikian ujar beliau ketika melihat dan meraba tubuh bagian kiri saya.

Beliau nampak tercenung sejenak sambil membuat gerakan-gerakan yang khas dengan bibirnya. Selanjutnya, beliau bertanya ini-itu termasuk hasil pemeriksaan lengkap laboratorium saya kepada perawat yang mengiringkannya. Setelah bercakap-cakap dan mendengarkan dengan seksama, beliau pamitan. Seperti biasa, beliau selalu menyalami saya dengan hangat seraya menepuk-nepuk bahu saya. Namun tadi malam ada yang lebih istimewa. Mendengar saya mengiba-iba minta diselamatkan mengingat ada misi kemanusiaan saya yang sudah disepakati dengan beliau, sebelum beranjak pergi mulutnya tak hanya berdoa untuk kesembuhan saya. Kemudian mulut itu ditempelkannya ke dahi saya yang sudah seminggu tak sempat dimandikan. Di dalam hati saya, terbayang betapa harumnya kulit kotor yang baru disentuhnya tadi. Tapi itulah kehebatan dokter saya. Selalu memperlakukan pasien sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Sementara itu, di kaki tempat tidur perawat pria yang mendampinginya nampak memandang kami dengan kebingungan. 


(BERSAMBUNG)


  

Minggu, 26 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (170)

anuari kelabu. Stamina tubuh saya begitu rendah mengakibatkan saya semakin sulit bangkit dan berjalan. Akibatnya mulai hari Sabtu (18/01) saya terpaksa dilarikan ke rumah sakit dan menginap sementara. Celakanya lagi, ketika saya selesai dikemoterapi, saya ingin mencoba berjalan sendiri ke kamar kecil karena gerak peristaltik usus saya sudah terhenti selama 4 hari. Akibatnya, hanya dengan dituntun anak bungsu saya tanpa memanggil perawat, tubuh saya yang sangat lemah terjatuh di muka pintu kamar kecil mengakibatkan seketika itu juga tulang paha kiri saya patah. Rasa sakitnya jangan ditanya. Jauh melebihi yang ditimbulkan kanker saya.

Kebetulan pada hari itu dokter onkologi saya sedang tidak berpraktek di Bogor sehingga untuk sementara saya dilempar ditangani dokter spesialis bedah tulang. Kaki saya segera dipasangi kayu spalk untuk meluruskan paha yang bengkok kena patahan. Dua hari kemudian, spalk diganti dengan gips sambil menunggu waktu praktek onkologis saya hari Sabtu ini (25/01). Tapi setelah dokter onkologis dihubungi, kami diminta segera mencari kamar rawat inap di RSKD dengan pertimbangan supaya saya bisa segera dioperasi di tempat yang lebih baik agar pelaksanaan kemoterapi dilanjutkan radioterapi tidak tertunda. Namun sayang sampai sekarang belum ada tempat kosong. Dokter spesialis bedah tulang yaitu dr. Ahmad Sukmana, Sp.OT. yang masih muda dan amat religius meminta saya untuk terus memohon pertolongan Allah agar segera tersedia kamar untuk memindahkan saya ke RSKD. Pertimbangannya, saya adalah pasien kanker yang dalam kondisi sudah melemah karena metastase. Sehingga, jika operasi ditunda-tunda atau dilaksanakan sembarangan di sini tanpa dukungan peralatan dan staf ahli, kanker saya bisa dengan cepat meruyak dan mengganas di tulang. Selain itu, penerapan sistem pendanaan dengan BPJS di rumah sakit ini belum jelas. Sehingga, dikhawatirkan banyak tindakan operatif yang terpaksa ditinggalkan padahal sesungguhnya perlu. Amat ngeri saya mendengarnya.

***

Kanker itu memang amat menyusahkan. Setelah pasien dioperasi dan menjalani kemoterapi, tubuh pasien akan menjadi sangat lemah. Pada waktu di rumah, entah apa yang terjadi, saya sama sekali tidak bersentuhan dengan orang luar kecuali beberapa kerabat dan teman yang menjenguk. Selain itu, saya tidak keluar ke mana-mana sama sekali. Tapi nyatanya kanker saya yang sudah tumbuh kembali itu membuat tubuh saya kurang bernafsu makan dan merasa tidak sehat. Efek kemoterapi yang saya terima juga merusak otot-otot kaki saya sehingga saya hanya bisa berjalan tertatih-tatih dengan menggunakan sebelah kaki yaitu yang kanan. Itulah yang membuat saya tidak bisa tidur sehingga akhirnya saya mengiba-iba minta untuk dirawat inap. Untunglah dokter onkologi saya bersedia untuk secepatnya pulang dan memeriksa keadaan saya. Sialnya, hari Sabtu itu (18/01) hujan turun tidak berhenti-henti sehingga pada pukul 2 siang onkologis saya sengaja memberikan SMS pemberitahuan agar saya bersabar menunggu. Sebab, jalan tol dilanda banjir dan kemacetan yang parah. Pada pukul 2.30 siang, saya sudah bergegas menuju ke poliklinik rumah sakit. Di sana, belum begitu banyak pasien menunggu tapi mereka yang sudah mengantri juga merasa gelisah mengenang dokter terlambat tiba di poliklinik. Ketika saya umumkan SMS pemberitahuan dokter, mereka maupun perawat mengatakan kebiasaan dokter kami memang sulit untuk tepat waktu. Barulah setelah saya sadarkan bahwa menurut berita di televisi sebagian besar ruas jalan di Jakarta sulit dilalui, mereka bisa mengerti meski masih menggerutu. Sesungguhnya, saya mendapat giliran nomor 5. Akan tetapi, karena fisik saya tak bisa menanggung keadaan lagi, maka saya kembali mengiba-iba untuk dijadikan pasien nomor 1. Untunglah dokter saya baik budi dan mau mengerti. Maka begitu beliau tiba, mendekati pukul 5, saya langsung didorong ke poliklinik diperiksa sejenak untuk kemudian segera diperintahkan masuk ke ruang perawatan. Ternyata dokter sepakat dengan keinginan saya untuk dirawat inap.

Kondisi keluarga kami memang tak memungkinkan saya dirawat di rumah. Sebab, saya hanya tinggal bertiga dengan anak-anak lelaki saya tanpa ada orang lain maupun pembantu rumah tangga. Kendala kami adalah keterbatasan keuangan serta tenaga. Untunglah kami sudah sempat mengurus keanggotaan kami di JKN-BPJS yang berlaku nasional. Itulah sebabnya dengan mudah onkologis saya mengabulkan permohonan perawatan inap. Sayangnya kamar-kamar kelas 1 yang pas dengan keanggotaan JKN kami sudah penuh. Anak saya tak kehilangan akal. Dia mencoba minta dirawat di kelas VIP walaupun untuk itu kami harus menambah selisih tarifnya. Susahnya, kamar VIP pun terisi semua. Tinggal menyisakan satu kamar kosong di VVIP. Di situlah akhirnya saya dirawat dua malam demi supaya cepat ditangani. 

Mulai saat itu, sudah ada kerabat dan sahabat-sahabat yang datang menjenguk. Penjenguk pertama adalah kerabat mantan suami saya, dilanjutkan oleh sesama pasien onkologis. Di hari ke-dua, teman-teman sekolah, sepupu saya, dan kerabat kerja mantan suami saya juga datang menjenguk. Keesokan harinya, saya bisa dipindahkan ke kelas VIP. Di situlah saya menerima surprise karena teman-teman SMA mantan suami saya juga datang menjenguk. Setelah itu, sahabat SMP kakak saya Bang Charles tiba-tiba datang bersamaan dengan proses perpindahan kamar saya. Alhamdulillah sehingga semua ada yang membantu dan menjadi mudah. Di ruang VIP, semakin banyak lagi teman-teman saya yang datang. Tidak saja hanya teman SMP, ada juga teman SMA dan teman di perguruan tinggi. Entah apa yang menimbulkan simpati mereka. Saya dikemoterapi di ruang VIP pada malam harinya. 

Keesokan harinya, begitu kemoterapi habis dan kembali digantikan oleh infus nutrisi, perut saya yang sudah penuh karena tidak bisa buang air berhari-hari menuntut untuk dikosongkan. Sebagai orang yang selalu tak mau dibantu dan merasa diri perkasa, saya segera minta anak saya menuntun saya ke kamar kecil di dalam kamar rawat saya. Saya abaikan saja nasehat untuk meminta bantuan perawat. Akibatnya, baru beberapa langkah tubuh saya limbung lalu saya terjatuh mengakibatkan patahnya tulang paha kiri saya.

Peristiwa jatuhnya saya menjadi kehebohan di RS ini. Dokter onkologi saya segera dihubungi dan lalu menunjuk dokter spesialis bedah tulang untuk memeriksa dan menangani saya. Ketika dokter yang pertama visit yakni ahli penyakit dalam, beliau hanya mengatakan bahwa kaki saya bengkak tanpa indikasi apa-apa. Tapi saya sudah merasa sendiri ketika saya diangkat kembali ke tempat tidur kaki saya sangat nyeri. Sehingga, saya menduga pasti ada yang patah. Dokter Ahmad spesialis bedah tulang itu kemudian memasangkan spalk di kaki saya yang menimbulkan nyeri yang tak terkatakan. Beliau pun sepakat dengan saya untuk segera melakukan roengent. Sayang hari itu mesin roentgent di rumah sakit sedang dalam perbaikan sehingga tertunda sehari. Namun esoknya segera diketahui bahwa tulang paha kiri saya betul-betul patah menjadi dua. Patahan yang mengarah ke atas itulah yang menyebabkan paha saya terlihat bengkak. Dokter kemudian mengatakan bahwa dokter onkologi saya menghendaki saya segera dikirim ke RS Dharmais agar semua penanganan penyakit saya segera dan terpadu. Ternyata, Dharmais yang merupakan rumah sakit tipe terbesar (A) tidak punya kamar rawat inap lagi membuat saya harus menunggu di dalam daftar antrian yang panjang. Solusinya, dokter onkologi meminta dokter ahli bedah tulang untuk lebih dulu melakukan penyambungan tulang patah di tempat. Tetapi ini bukan hal yang mudah disebabkan tingkat operasi saya sangat rumit yang diistilahkannya sebagai tingkat dua yang kalau tidak ditangani dengan menggunakan peralatan yang canggih serta tim medis yang handal, tak mungkin dilakukan. Rumah sakit tempat perawatan saya ini bukan dari tipe A, membuat beliau tak bisa melakukannya. Menurut teorinya, jika penderita kanker menjadi patah tulang dan dioperasi dengan peralatan seadanya, maka dikhawatirkan penyebaran kankernya mencapai ke tulang, meruyak dan mengganas dengan cepat. Sedangkan onkologis saya lebih bertitik tolak pada kanker saya sudah makin menyebar yang harus segera dilanjutkan kemoterapinya tanpa jeda bahkan sangat boleh jadi diperkuat dengan resimen radioterapi. 

Agaknya saya memang dianggap pasien yang tangguh dan sangat bersemangat di RS ini. Ketika saya baru masuk ke kamar perawatan saya, zuster Shinta langsung menghampiri saya. Beliau adalah perawat yang sering bertugas di Ruang Kemoterapi. Begitu melihat koleganya mengantarkan pasien baru masuk pun beliau langsung mengenali siapa saya. Sayang saya tidak bertemu lagi dengan beliau karena beliau dirotasi ke ruangan lain. Semakin hari semakin banyak saja perawat-perawat yang sengaja menjenguk saya di sela-sela waktu tugasnya. Zuster Maria Linda Sitanggang Kepala Perawat di RS ini bersama zuster Umi pun langsung menjumpai saya. Begitu juga dengan kerabat saya zuster Ninik dan zuster Eeng yang saya kagumi karena keramahannya. Mereka semua berpesan agar saya di masa yang akan datang lebih berhati-hati di dalam melakukan tindakan apapun, bahkan bila perlu harus selalu meminta bantuan perawat. Itu akan saya jadikan patokan sepanjang masa sebab rasa sakit dan proses serta prosedur operasi tulang saya merupakan hal yang sangat sulit dan krusial. 

Genap seminggu sejak saya dirawat barulah onkologis datang untuk melihat kondisi saya setelah patah tulang. Anak saya diminta untuk segera mengurus kepindahan dan mencari kamar di RSKD. Sebetulnya itu sudah dilakukannya. Dia berangkat ke Jakarta sehari sebelumnya menembus kemacetan yang diakibatkan banjir tanpa menggerutu. Sayangnya, tak tersedia kamar kosong di sana. Menurut kerabat yang menengok saya, menunggu kamar kosong di RSKD bisa lebih dari dua minggu. Inilah yang menyebabkan onkologis saya terus saja memaksa anak saya untuk menghubungi nomor telepon RSKD, padahal untuk mengontak mereka sulitnya bukan main. Jaringan telepon mereka sepertinya tak pernah difungsikan untuk pihak luar. Dokter kemudian menyarankan untuk menghubungi dokter Maria Witjaksono penanggung jawab penanganan kesehatan saya di Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri (DWP Kemlu) untuk minta tolong. Ini pun sudah dilakukan anak saya tanpa hasil. Maklumlah ini RS rujukan nasional. Sehingga dengan nekat, onkologis saya mengatakan sebaiknya saya langsung saja menuju ke IGD agar mereka mempertimbangkan untuk memberikan kamar untuk saya. Nampak sekali kecemasan dalam diri dokter onkologis saya. Anak saya mengatakan langsung datang ke IGD pun tak akan mungkin didahulukan mendapat kamar. Selain itu, pengurusan administrasi JKN dengan sistem BPJS belum berlaku mulus. Keluarga pasien harus meraba-raba bagaimana prosedurnya agar cepat ditangani.

Pihak counter BPJS di RS mengatakan setiap pasien yang dirujuk ke RS lain harus terlebih dahulu mengurus surat rujukan dari counter BPJS di RSnya yang lama. Kami terkendala oleh waktu mengingat ini akhir pekan. Sehingga, anak saya hanya bisa menjanjikan untuk segera mengurus rujukan BPJS besok Senin. Pemindahan pun paling cepat bisa dilaksanakan Senin siang atau Selasa. Ini semakin menimbulkan kegalauan dokter saya. Tadi malam larut tengah malam beliau memberi tahu bahwa beliau sudah berhasil mendapatkan kamar untuk saya. Sehingga, jika urusan dengan BPJS segera selesai saya harus segera dilarikan ke RSKD. Begitulah sekali lagi bentuk perhatian dan kasih sayang orang-orang di sekitar saya termasuk para dokter yang bersimpati.

***

Akibat kesulitan buang air besar (BAB) selama beberapa hari, akhirnya saya minta dipompa enema oleh perawat. Upaya itu berhasil. Akan tetapi, perut saya masih belum merasa lega. Ini disebabkan saya belum bisa BAB tuntas. Untuk itu, secara refleks saya mengejan. Akibatnya, saya celaka sendiri. Otak saya terserang kejang dan saya tidak sadarkan diri. Saya sampai pada kondisi kritis di mana zuster sampai sudah mengajak berzikir menyebut keagungan namaNya "Allahu Akbar Ibu, Allahu Akbar, Allahu Akbar...". Di hari itu, anak saya yang bungsu belum datang dari rumah sehingga perlu segera dipanggil oleh kakaknya. Mungkin kepanikan suara kakaknya membuatnya begitu ketakutan. Dengan segera dia datang ke RS. Sesampainya dia di RS, saya belum sepenuhnya sadar. Padahal, dokter ahli saraf yang dulu sangat ingin saya berkunjung, yang wajahnya secantik Barbie, sudah diminta memeriksa saya dan memberi obat-obat anti-kejang saraf. Anak saya mengucap salam menyapa saya tapi saya tidak mengenalinya. Selanjutnya dia bertanya apa yang terjadi pada diri saya. Saya hanya bisa menggelengkan kepala sambil bertanya balik "Memangnya saya kenapa?". Selanjutnya saya juga menanyakan di mana keberadaan saya sekarang dan dalam keadaan sakit apa. Menurut anak saya, waktu itu saya mengira diri saya sedang berada di klinik dokter ahli bedah tulang. Sehingga, dia perlu menjelaskan bahwa saya ada di dalam kamar perawatan saya sendiri. Sejak itu, kesadaran saya berdikit-dikit pudar. Dokter ahli saraf yang cantik itu mengatakan saya tidak boleh terlalu keras mengejan bahkan kemudian pernafasan saya sudah dibantu oleh oksigen dengan tujuan agar tidak tejadi hipoksia yakni kekurangan oksigen di otak. Semua kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya sebagai penderita kanker bahwa tidak selalu tubuh yang nampak bugar pada penderita kanker stadium lanjut bisa diartikan sebagai tubuh yang kuat. Sekali lagi saya hanya bisa memasrahkan diri kepada Allah agar semua badai cepat berlalu. Tolong doakan saya agar bisa segera mengurus urusan administrasi perpindahan ke RSKD agar besok juga tim yang tangguh dan canggih peralatannya bisa segera mengoperasi saya memasangkan pen di paha yang patah. Sungguh patah tulang itu rasanya jauh lebih hebat dibandingkan sakit yang ditimbulkan kanker. Selamat malam!

Jurnal ini ditolong diketikkan oleh Andri anak saya karena ketidakberdayaan saya di Ruang Vanda nomor 6 RS Karya Bhakti Bogor.

(BERSAMBUNG)
 

Kamis, 23 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (169)

nalillahi wa inalillahi rojiun. Semua yang bernyawa akan kembali kepadaNya jua. Berita sangat mengejutkan datang dari keluarga Ua saya. Kakak sepupu saya yang selama ini setia dan rajin merawat suaminya yang menderita gagal ginjal terminal tiba-tiba berpulang (Senin 13/01) di Yogyakarta. Kisahnya amat tragis. Kakak saya yu Pri baru saja pulang dari Bekasi ke Yogyakarta menjenguk anak-cucunya. Dia mengeluhkan kakinya sejuk, sehingga dalam keadaan lelah memutuskan untuk berbaring mengenakan bantal listrik di kakinya. Apa daya beliau jatuh tertidur begitu lama tanpa menyadari bahwa bantal itu ternyata membakar kakinya. 

Insiden itu diketahui keluarganya sudah sangat terlambat. Bergegas beliau dilarikan ke rumah sakit. Sesampainya di RS, perawat yang menerima mengira bahwa suami sepupu saya tersebut datang kecepatan untuk jadwal cuci darahnya. Begitu mengetahui kenyataan yang sesungguhnya, para medis di Instalasi Gawat Darurat sangat terkejut dan langsung melakukan tindakan dengan sigap. Kakak sepupu saya dirawat selama seminggu sambil melakukan medical check-up. Ternyata, akibat kelelahan dan kurang memperhatikan kesehatannya sendiri, beberapa organ tubuhnya kedapatan buruk. Kakak saya pun berpulang pada pukul 10 pagi. Akankah saya juga segera dipanggil oleh Sang Maha Pencipta? Saya sedang berupaya untuk mempertahankan nyawa saya yang sudah merupakan nyawa pinjaman. 

Beberapa hari terakhir ini penyakit saya semakin mengganggu. Tumor di tengkorak kepala saya sudah menjadi sebesar bola bekel, ditambah tumbuhnya yang baru tepat di tengah-tengah tengkorak kepala. Sedangkan tumor di klavikula saya berkembang menjadi sebesar mangga membuat kondisi tangan cacat limfedema saya tertarik dan menjadi sangat sakit serta pegal-pegal. Menyedihkannya, seperti sudah saya sampaikan di jurnal yang lalu, saya tak dapat menjangkau kantor Onkologis saya di Jakarta. Padahal, pengurusan keanggotaan JKN saya sudah selesai dan bisa digunakan. Saya sudah mencoba mendaftar untuk melakukan pemeriksaan penunjang di RS tempat saya berobat di Bogor saja. Konon mereka bisa menerima kartu JKN saya, namun ternyata menurut petugas counter BPJS pemeriksaan penunjang harus sesuai dengan jadwal praktek dokter yang menggiring. Akibatnya, setelah menunggu dua jam, saya kembali pulang dengan tangan hampa. Bahkan sekedar untuk mendapatkan resep obat anti nyeri dan kortikosteroid saya yang habis, tidak ada dokter yang mau meresepkannya. 

Ketika saya keluar dari Instalasi Radiologi, saya melihat 3 orang dokter yang baru masuk ke dalam gedung secara bersamaan terpaksa berhenti untuk memperbincangkan nasib honor mereka pasca berlakunya JKN. Sudah diketahui umum, jasa mereka dihargai sangat minim hanya di bawah Rp. 10.000 per pasien. Agaknya itulah yang menyebabkan kini tak ada lagi dokter yang mau menolong membuatkan resep untuk saya selagi Onkologis saya sedang tidak bertugas. 

Kini sudah bermalam-malam saya menangis kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan nyaris 24 jam saya terbaring di tempat tidur sebab tak mampu untuk duduk. Saya hanya bangkit untuk dimandikan anak saya di kamar mandi. Lama-lama saya sudah terbiasa membuang rasa malu dilayani oleh para bujangan yang saya miliki. 

***

Berdasarkan pengalaman, pengunaan kartu JKN pada sistem BPJS tidak sama dengan sistem Jamkes. Pasien hanya perlu membuat rujukan ke puskesmas sebulan sekali. Sedangkan dulu dengan Jamkesda, setiap akan ke rumah sakit untuk urusan apapun juga ~ kecuali untuk menengok orang sakit ~ pasien harus mengurus rujukan terlebih dahulu ke puskesmas. Jadi, sistem JKN lebih praktis. Dengan sistem Jamkes, pasien bebas melakukan pemeriksaan penunjang kapan saja. Tidak harus sesuai jadwal praktek dokter. Menurut informasi petugas di counter BPJS, untuk perawatan dan segala macam ongkos rumah sakit, dengan sistem JKN ditanggung sepenuhnya. Sedangkan sistem ASKES yang diadopsi oleh BPJS, peserta masih harus membayar sejumlah ongkos sebab dana dari PT. ASKES tidak mencukupi. 

Ketika saya dalam kesakitan yang sangat, seperti biasa sering terlontar erangan-erangan menyebut nama dokter saya. sehingga anak saya terpaksa menghubungi beliau. Nampaknya beliau juga amat risau lalu memutuskan untuk memeriksa saya pada hari Sabtu. Karena, kemungkinan besar saya harus segera dirawat di RSKD. Berbekal kartu JKN, saya berhak dirawat di kelas 1 di sana. Yang saya tahu, keadaannya sangat bagus. Jadi saya tidak merasa takut atau ragu membayangkan masa perawatan itu.

Selama dua hari, cuaca agak bersahabat di kota kami. Hujan turun tak begitu deras dalam tempo yang singkat-singkat saja sehingga membuncahkan harapan saya akan bisa melintas ke Jakarta hari Senin lusa. Terus terang saja, rasanya saya sudah kewalahan menanggung sakit meski doa-doa berisi permintaan tak pernah putus saya panjatkan. Tapi, tadi pagi alangkah terkejutnya menyaksikan hujan yang turun sejak tengah malam begitu gencar seakan-akan Allah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggusur awan mendung ke atas kota kami. Nyali saya pun ciut membayangkan hari Senin yang diprediksi akan menjadi hari banjir di seluruh Jakarta.

Kesulitan mencari kendaraan pun sudah mulai menghadang dari sekarang. Sebetulnya saya ingin meminjam dari Kang Jamil seperti biasanya untuk hari Sabtu. Sebab, saya sudah kerepotan berjalan. Mobilitas saya di RS juga sudah menggunakan kursi roda lagi. Tapi ternyata Kang Jamil tidak berada di tempat. Sehingga, jangankan untuk hari Senin ke Jakarta, untuk Sabtu pun saya harus naik angkutan kota.

*Sekian dulu. Insya Allah segera disambung lagi. Ibu saya sedang dirawat inap di RS Karya Bhakti Bogor atas sakit kankernya. Ada rencana akan dipindah ke Dharmais untuk pengobatan dan atau penanganan selanjutnya. Mohon doanya ya. Trims. Andriarto Andradjati, putra Ibu Julie. Salam.

Rabu, 15 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (168)

ebat benar Kuasa Allah! Hantaman hujan yang menghentak berhari-hari kini musnah sama sekali. Matahari menyembul tipis di balik awan abu-abu seolah malu-malu. Ramalan kantor BMKG ternyata tak terbukti. Tak ada hujan dengan intensitas deras hingga sangat deras untuk hari ini. Atau barangkali saja karena ini hari besar. Ummat muslim ramai berdoa memperingati kelahiran Rasulullah. Walahu 'alam bish shawwab!

Yang jelas anak saya hari ini bisa jalan ke pasar sekalian membelikan saya duster baru yang longgar, sebab sejak sakit saya semakin memuncak tak banyak lagi pakaian-pakaian lama saya yang muat. Tumor itu minta tempat khusus di bahu saya, sebab ukurannya sudah sekepalan sementara yang di dahi juga sudah sulit ditutupi kerudung.

Hujan baru turun belakangan, pukul empat sore, itu pun sebentar. Tapi alhamdulillah bibi mantan suami saya yang tinggal di Jakarta sempat datang menjenguk saya dan pulang sebelum hujan. Meski kaki beliau sudah sakit-sakit karena faktor ketuaan (geriatri), tetapi dengan ikhlas beliau menjenguk saya untuk yang kesekian kalinya hanya dengan menumpang kereta listrik. Sungguh suatu berkah lagi dan juga bukti akan Kasih Sayang Allah kepada siapa yang mempercayaiNya. Pasalnya beliau menggenggamkan sejumlah uang ke tangan saya. Seperti biasanya pesannya uang itu untuk membantu pengobatan saya. Duh, terharu benar saya karenanya. Memang aneh tapi nyata, di keluarga kami tak pernah ada silaturahim yang terputus meski hubungan saya dengan kemenakan beliau sudah lama berakhir.

Meski saya tahu bahwa beliau bersedih mendapati kenyataan saya, tapi air mata itu tak ditumpahkannya. Beliau dulu bekerja di Pemda. Di bagian Tata Usaha pula, sehingga beliau bisa meyakinkan bahwa saya memang tetap berhak memanfaatkan ASKES saya. Dulu beliau menurut pengakuannya malah sempat terkejut mengetahui saya menggunakan SKTM dan dana bantuan banyak pihak untuk berobat. Namun kini sudah lega sebab saya sudah ikut JKN selagi beliau sendiri justru belum sempat mengurusnya.

Sepulangnya beliau saya dan anak-anak kembali tercenung lagi. Soalnya uang pemberian beliau jumlahnya lagi-lagi bisa persis sejumlah uang yang kemarin kami serahkan sebagai tanda terima kasih kepada seseorang yang selama ini banyak membantu kami dengan tenaganya. Subhanallah! Ini adalah kali kedua uang beliau datang menggantikan kekosongan di dompet tipis saya. Dulu juga sudah pernah terjadi dan saya ceritakan di sini.

Keajaiban Tuhan secara nyata terus datang berulang mewarnai kehidupan saya. Apalagi setelah saya tua dan mendekati masa PanggilanNya yang sedang terus saya upayakan untuk boleh ditunda. Sebab terus terang saja, selain anak-anak saya belum ada yang bekerja dan berkeluarga, saya pun merasa masih harus mengingatkan mereka untuk menjauhi larangan Tuhan dan hanya berjalan di JalanNya. Di masa sekarang godaan hawa nafsu buruk jauh lebih dahsyat dibandingkan di masa muda saya dulu. Waktu itu televisi dan dunia hiburan belum sesemarak sekarang sih. Jadi generasi kami relatif lebih aman.

Untuk itu saya mengharuskan diri sendiri rajin membuka-buka Kitab Suci dan buku-buku agama sebagai pemandu. Berkat niat itu alhamdulillah saya yang semula buta huruf kini sudah mulai lancar mengaji. Ibadah lainnya pun insya Allah meningkat lebih baik dibandingkan dulunya waktu saya sering menyebut masa-masa itu sebagai "zaman jahiliyah". 

Malam hari hujan tak lebat. Tapi rasa nyeri dan pegal-pegal yang menetap di sekitar lengan saya yang cacat oleh limfedema serta tumor di tulang selangka mengusik kenyamanan saya. Sialnya sebagian obat saya sudah habis, terutama justru steroid yang diresepkan dokter ahli rehabilitasi medik untuk mengatasi rasa pegal. Tentu saja saya jadi gelisah dan mulai meraung-raung dengan erangan saya yang membawa-bawa nama dokter saya itu he...he...he... *maaf ya dok......*

Anak-anak saya sudah terbiasa dengan kondisi saya ini agaknya. Mereka pun tahu bahwa tak ada yang bisa mereka lakukan untuk saya sehingga mereka asyik main game di dekat saya. Cuma sesekali mereka menoleh memperhatikan saya, meski begitu saya sudah cukup senang. Memang malam tadi cukup menyusahkan hingga walau akhirnya bisa tidur juga, tetapi saya diganggu mimpi-mimpi buruk yang tak dapat saya ceritakan di sini. Akibatnya saya bangun sesudah pukul lima, dan saat saya mengetik diary saya ini tubuh saya tak bugar. *mohon dimaklumi diary ini terhenti dua hari karena kondisi saya terus memburuk*

***

Rabu pagi hujan merebak kembali. Saya memutuskan batal ke RS karena kang Jamil tidak dapat mengantar, sedangkan menyewa angkutan kota di saat hujan lebat terasa menyiksa saya. Seharian saya cuma meringkuk di atas kasur menahan nyeri. Tak dinyana pukul setengah dua siang teman-teman semasa SMP saya datang menjenguk. Winny yang amat baik hati yang bersahabat karib tanpa terputus hingga kini dengan Rini, datang dari Bintaro membawa serta Ati yang masih saja setia menjaga rumah pusakanya.

Pada hari Minggu kami baru mengadakan acara kumpul tahunan, yang direncanakan juga akan mendoakan serta mencari dana untuk saya dipimpin oleh Boetje si juara angkatan. Saya pikir kedatangan teman-teman saya akan menceritakan keriuhan pertemuan itu yang oleh Boetje dipromosikan penuh makanan lezat jajanan sekolah kami dulu, soto mie, doclang, laksa, rebus-rebusan, bajigur ditambah dua menu spesial tekwan dan sate Padang. Ternyata keliru. Mereka benar-benar ingin menyaksikan sendiri kondisi saya, meski Ati tempo hari sudah datang berdua dengan putranya. Agaknya mereka diutus panitia pencari dana sehingga membuat saya terharu sekaligus tersanjung.

Buah tangan Winny yang dermawan itu bukan main banyaknya. Tak hanya roti dan buah-buahan, dia juga menyelipkan amplop serta meninggalkan sebotol madu murni bersama oatmeal. "Kamu mesti makan yang banyak ya Jul. Kalahkan aja rasa malas makanmu. Sebab kamu sangat butuh nutrisi. Madu murni putih ini bisa menolongmu," ujarnya sungguh-sungguh penuh perhatian. Winny yang dulunya pemilih dalam berteman kini betul-betul bersahabat. Terasa sapaan dan perhatiannya bukan lah basa-basi. Dan madu putih itu, rasanya lezat bukan main. Saya sampai terbayang-bayang terus.

Sementara saya mengobrol dengan teman-teman saya, anak-anak saya pun mengobrol berdua. Sebab pagi itu Andrie baru mengurus surat rujukan untuk saya ke Puskesmas Pusat Tanah Sareal dengan fasilitas JKN. Saya harus menanyainya kemudian. Meski begitu, anak-anak saya tak lupa menghidangkan secangkir teh sebagai penghangat suasana mengobrol kami yang lagi-lagi diapresiasi teman-teman saya. Kata para tetamu sih anak-anak lelaki biasanya cenderung acuh tak acuh menghadapi tetamu.

Di dalam obrolan kami terungkap bahwa ternyata Rini membawa pesan teman-teman untuk menggali ingatan saya yang kata mereka sangat tajam tentang teman-teman sekolah dulu. Di antaranya saudara-saudara pak Rizal Ramli yang kritis itu, mereka hanya bisa mengingat Benny. Sedangkan ingatan saya masih lengkap dengan menyebut dua saudara perempuannya, Evi dan Ita. Juga mengoreksi nama resmi mereka di buku induk yang keliru tulis. Saya berjanji akan melakukannya meski dalam keadaan terbatas. Belakangan anak saya bilang, teman-teman saya meledek saya menyepertikan dengan otak komputer plus kamus berjalan yang seharusnya tidak hanya duduk diam di Sekretariat Dharna Wanita Persatuan, melainkan berkantor di sebuah perguruan tinggi seperti Adi yang tahun-tahun belakangan mengepalai sebuah fakultas di UI. Saya terbahak-bahak sendiri mendengarnya. Sebab jujur saja, saya ini dulunya bocah terbodoh di sekolah plus ngantukan di kelas akibat menelan obat-obatan asthma. Sangat bertolak belakang dengan onkologis saya murid paling bersinar di angkatannya kata kemenakan saya dan guru-guru kami yang waktu itu masih mengajar.

Adapun mengenai surat rujukan dari Puskesmas pada sistem JKN, berbeda dari sistem Jamkesmas dan Jamkesda. Dengan Jamkesda terasa sangat merepotkan, sebab setiap akan ke RS entah untuk berkonsultasi ke Poliklinik, melakukan pemeriksaan penunjang maupun dikemoterapi, saya harus membawa surat rujukan dari Puskesmas. Pada sistem JKN, diadopsilah aturan PT ASKES. Surat rujukan dari Puskesmas berlaku selama sebulan. Tapi Puskesmas Desa tak lagi difungsikan sebagai pembuat rujukan. Jadi kami dipersilahkan akan minta rujukan ke Puskesmas Kelurahan atau Puskesmas Pusat Kecamatan yang jaraknya tentu saja jauh dari rumah. Demi kenyamanan berhubung ada fasilitas laboratorium yang lebih besar dibanding di desa, juga tersedia poliklinik dokter spesialis anak, spesialis penyakit dalam dan dokter gigi saya memilih ke Puskesmas Kecamatan. Di sana pasien memang jauh lebih banyak daripada di desa, namun pelayanannya terbilang cepat. Hanya dalam satu jam urusan selesai. Maka kini tinggal mencoba membuktikan manfaatnya.

Tabik, selamat siang dan salam sehat!

(Bersambung)

Senin, 13 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (167)

ila! Hujan turun lewat dari bulan berakhiran ber-ber-ber berhari-hari. Sejak Sabtu air lebat itu tercurah membasahi tanah membuat kami menggigil semua. Jakarta mulai kebanjiran. Itu artinya saya tidak bisa melaksanakan perintah onkologis saya untuk memeriksakan diri ke RSK Dharmais sekaligus membeli obat kemoterapi saya yang sulit diperoleh itu.

Pikiran saya bingung bukan main karena terkendala hujan. Walau untuk ke Jakarta kang Jamil kenalan keluarga saya yang biasa mengantar itu bersedia, tapi saya takut terjebak banjir. Dapat dibayangkan susahnya hati menghadapi suasana sedemikian rupa itu dalam keadaan menanggung sakit. Anak bungsu saya Yadi pun berpikiran sama. Apalagi setelah dia mencari tahu suasana di Jakarta ternyata banjir sudah merebak termasuk di wilayah Jalan S. Parman tempat berdirinya RS..

"Gimana, ibu masih tetap mau pergi?" Sambil duduk di sisi pembaringan saya dia mengusap-usap pucuk kepala saya.

"Takut juga ya dik. Nanti malah tertahan di jalanan," ucap saya bimbang. "Tapi gimana ya, mas Bayu juga sudah sangat cemas, terutama Carboplatin itu dulu mesti cepat terbeli," terbayang raut wajah dokter saya kemarin sore yang nampak bingung.

"Jadi gimana dong, ibu maunya beli obat aja ke YKI?" Tanya Yadi lagi.

"Ya, itu yang terpenting sih. Tapi 'kan bisa ya kalau yang pergi cuma kamu?" Kata saya lagi bimbang.

Anak saya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi terus soal CT Scan gimana dong? ramalannya besok dan lusa intensitas hujannya deras sampai sangat deras lho," katanya menggambarkan cuaca yang semakin kelam.

Saya terdiam sejenak. Sejurus kemudian terlintas gagasan untuk minta izin melakukannya di Bogor saja pada fasilitas kesehatan yang memiliki alat lebih baru dibandingkan di RS tempat saya berobat. Saya kemudian menyuruh anak saya untuk lapor dulu kepada dokter serta minta pengarahan bagaimana sebaiknya.

Si kakak lekas bereaksi. Sayang telepon dokter tak dijawab sehingga dia menyusuli lewat SMS. Tak berapa lama dokter mengizinkan. Tapi kami sekaligus diminta melaksanakannya di tempat saja sekalian dengan roentgent, USG rongga perut dan test penanda tumor. Memang selama ini sudah bertahun-tahun saya tak pernah mengeceknya. Baik pemeriksaan Ca 125 untuk kanker di organ reproduksi apalagi Ca 15-3 untuk kanker payudara. Padahal test penanda tumor ini akurat sebagai penanda awal meningkatnya aktivitas sel kanker.

"Ya udah kalau gini clear, besok pak Jamil dipakai di dalam kota. Antarkan kita dulu ke RS baru antar mas Drie ke BPJS," putus saya.

"Woi, enak wae! Nanti mas Drie kesiangan ngantri. Di balik aja deh. Drop dia dulu, baru pak Jamil stand by di RS. Pulangnya mas kita jemput," sanggah si adik. "Ingat lho yang ngantri di BPJS menumpuk."

Saya mengangguk-angguk membenarkan. "Eh tapi, formulirnya sudah kamu down load dan isi 'kan?" Tanya saya mengingatkan.

"Udah, tinggal ibu tanda tangani. Foto juga sudah ditempelkan semua kok. Tinggal bikin copy KTP ibu dan adik," sahut si kakak meyakinkan.

"Copy KK?" Tanya saya lebih lengkap.

"Ada, sisa ngurus SKTM dulu itu," ujarnya melegakan. Saya tinggal mengingatkannya untuk membawa berkas-berkas aslinya. Dan dia pun memahaminya. Begini lah setelah kami hidup bertiga. Anak-anak saya menjadi semakin mandiri. Termasuk mengurus segala administrasi yang berkaitan dengan keperluan keluarga.

Sambil memejamkan mata mencari kenikmatan, pikiran saya berkelana ke mana-mana. Sampai di urusan CT Scan yang semula diminta dokter untuk dilakukan di kantor beliau tidak bersama-sama perintah lainnya di RS ini, saya dapat alasannya. Pertama ini RS swasta. Peralatannya lebih tua dibandingkan di kantor beliau. Jadi, hasilnya lebih akurat di sana. Tapi ketika saya sulit ke Jakarta, saya diarahkan ke RS ini saja meski di RS lain di sini ada yang mesinnya masih baru. Sebab, 'kan lha ya tidak etis menumpang di RS lain. Apa kata dokter spesialis radiologinya dong?! Menurut saya itu suatu bukti lagi bahwa dokter onkologi saya tak gegabah.

Malam itu saya terbangun sekali saja, tapi pukul tiga pagi saya sudah terjaga tanpa bisa tidur lagi. Waktu sekitar satu jam itu saya lewatkan untuk membaca tafsir Al-Qur'an di mana di antaranya seruan untuk bersabar bagi orang-orang yang mendapat ujian termasuk orang yang diganjar dengan penyakit. Rasanya saya kembali ditampar Allah supaya tidak mengeluh dan menangis. Maluuuuu.... rasanya sewaktu kemudian saya menunaikan shalat Subuh. Sebab seakan-akan Allah menertawakan saya yang sesungguhnya cengeng di dalam meski tegar di luaran.

Waktu itu di luar jalanan basah, namun tak kedengaran genting di rumah diguyur hujan. Hampir saja saya terpikir untuk jadi ke Jakarta. Tetapi sewaktu menyalakan televisi, niat itu saya urungkan. Jakarta banjir di berbagai tempat. Sehingga berimbas ke jalan tol Jagorawi yang menghubungkan kota kami dengan Jakarta. Belum lagi di suatu daerah banjir dikabarkan cukup tinggi dengan arus kuat yang mampu menyorong mobil hingga melaju bak ikan berenang. Daripada celaka, lebih baik saya di dalam kota saja.

Benar saja setengah delapan pagi sewaktu ke luar dari rumah jalanan sudah kembali dihujani air curahan langit, membuat lalu lintas di luar pagar rumah kami padat merayap. Untung kang Jamil pandai mencari jalan tikus, sehingga kami lewat di tempat yang aman. Anak-anak sekolah masih nampak satu-dua orang digenggaman tangan ibunya atau di boncengan motor. Agaknya hujan membuat mereka kesiangan.

Sampai di kantor BPJS yang dulunya kantor PT ASKES di Jalan Jenderal Ahmad Yani nampak mobil bertebaran hingga ke jalanan. Baru kemudian saya ketahui dari anak saya bahwa meski hujan lebat tetapi animo pendaftar tetap banyak. Kami tinggalkan Andrie di situ, lalu kami melanjutkan perjalanan ke RS melintasi perumahan kami lagi yang intensitas kepadatannya tetap tidak berkurang. Gila! Setiap musim hujan jalanan macet jadinya.

Saya memutuskan ke kantin dulu karena belum sempat makan obat. Sayang sejak Sabtu langganan saya libur. Terpaksalah saya makan nasi dengan soto ayam. Karena takut efeknya buruk bagi saya, tak banyak yang meluncur ke perut. Meski begitu saya tidak lapar. Dalam pada itu sewaktu menghubungi Andrie dia bilang urusannya lancar. Saya berpesan untuk menunggu dijemput, sebab saya tiba-tiba merasa tak akan berlama-lama di RS. Maka sehabis makan saya diantar si bungsu langsung menuju Unit Radiologi.

Lumayan banyak juga pasien di situ, di antaranya pasien rawat inap yang menunggu di atas tempat tidurnya. Petugas radiologi menanyai saya apakah sudah berpuasa untuk CT Scan? Masya Allah, saya lupa. Akhirnya saya putuskan untuk memundurkan jadwal hingga ke hari Rabu lusa. Lagi pula uang tunai kami tak akan mencukupi untuk membayar semuanya sebab saya harus memesan obat kemoterapi juga.

Dari situ saya berjalan tertatih-tatih ke Laboratorium yang kebetulan sepi pasien. Ketika melintas di muka salah satu poliklinik saya bertemu dengan zuster Herlina alias teh Eeng yang berpembawaan ramah-ceria. Dia bangkit dari duduknya untuk menyapa saya seperti biasanya dengan ramah.

"Assalamu'alaikum, dah tahu ya bu, dokter Bayu resmi ganti waktu praktek mulai hari ini?" Sapanya dengan informasi yang ingin saya ketahui dan berniat saya tanyakan kepada perawat di poliklinik 16 pagi.

"Oh, benar udah ya teh? Okay deh terima kasih kalau gitu. Teh Eeng selalu menyenangkan deh, informatif," sambut saya seraya menyalaminya.

"Ya. Saya senang sih sama ibu, selalu bersemangat," balasnya. "Ibu udah daftar?"

"Oh saya udah kontrol kemarin dulu kok. Ini justru disuruh ke radiologi, laboratorium sama apotek. Payah Carboplatin saya nggak kebagian dana, jadi saya mau pesan sendiri," jawab saya menjelaskan. Dalam hati saya berkata seandainya saya tidak bersemangat pasti zuster Eeng tak akan berbuat sebaik ini kepada saya. Intinya dia bersikap manis karena saya bukan pasien lunglai yang bisanya cuma mengaduh-aduh terus. :-D

"Oh gitu ya. Didoain aja deh semoga semua lancar, aman. Tetap semangat ya!" Serunya seraya kembali ke meja kerjanya selagi saya berlalu ke Laboratorium. Di deretan bangku tunggu saya lihat ada pasien memperhatikan kami, entah apa yang menarik hatinya. Mungkinkah jalan saya yang jelek atau keakraban antara perawat dengan saya?

Sebetulnya RS ini aneh juga. Onkologis saya mengganti waktu prakteknya. Tapi entah mengapa tak ada pengumumannya secara resmi. Hanya kabar angin yang kami dengar dari sesama pasien saja. Maka jadinya tak heran jika beliau beranggapan manajerial di sini kurang baik. Insiden dua minggu yang lalu itu dilabeli dokter saya dengan kata-kata, "saya nggak ngerti sama pihak  RS ini." :-p  Insiden kedua saya rasa akan terjadi lagi minggu ini ketika banyak pasien yang tidak tahu datang mendaftar di jadwal yang lama. Ketidaktahuan mereka membuat kedatangan ke RS jadi sia-sia. Sedangkan malam ini dokter pun sepi pasien. Di situlah dokter akan mencipratkan pertanyaannya soal kelangkaan pasien. Apakah sudah beredar informasi yang terbaru atau bagaimana kejadiannya, sebab beliau sengaja meluangkan waktunya untuk melayani pasiennya di kampung malam itu meski perjalanan Senin malam dari Jakarta padat.

"Dik, ibu pengin duduk di wheel chair deh," tiba-tiba saya merajuk sebab kaki saya terasa amat ngilu lagi kaku di udara yang menebarkan rasa dingin.

"Dari tadi nggak aku lihat yang kosong. Udah lah jalan sedikit lagi, ibu masih sanggup kok. Tadi bu Eeng bilang harus tetap semangat," sahut si bungsu seraya menuntun saya. Dia memang benar entah mengapa tak ada kursi roda menganggur satu pun. Jadi artinya saya harus terus tegak menguatkan tekad menopang badan. Lalu melangkahlah saya menyeret sepasang kaki tua ini.

Tak berlama-lama menunggu saya sudah dipanggil. Petugas tersenyum menyambut saya sewaktu saya mengeluhkan sulit mencari vena saya yang bagus. Karena itu saya berharap dikerjakan oleh teknisi senior.

"Ah, ibu mah tos apal sih nya, janten kasieunan ti payun,"  katanya mengomentari saya yang sudah ketakutan duluan berhubung saya hafal sekali dengan kondisi vena saya yang rusak disebabkan proses kemoterapi.

"Sumuhun bapa, kantenan atuh......," jawab saya membenarkannya. Lelaki berambut keperakan berombak rapi itu menampakkan deretan giginya yang bagus seraya tertawa kecil. "Mangga we lah calik heula...... bismillah."

Dua orang teknisi mendatangi saya. Yang seorang masih sangat belia, sedang satunya cukup senior. Saya ingin dipegang yang senior dan kebetulan memang dia yang akan bekerja. Masih dalam bahasa Sunda saya ulangi lagi keluhan saya. Dia pun menjawab dengan sungguh-sungguh dalam bahasa Indonesia bahwa dia tak akan membiarkan saya kesakitan, sebab vena saya harus dijaga untuk proses kemoterapi nanti.

Dipilihnya vena di punggung tangan saya, bukan di balik siku meski vena di punggung tangan baru digunakan dua hari yang lalu. Saya katakan dokter saya tak sekalian menyuruh saya memeriksakan penanda tumor kemarin dulu sebab waktu itu diwakilkan kepada spesialis bedah umum. Sambil menjalani proses yang amat lamban disebabkan tersendat-sendatnya darah saya yang tersedot ke tabung kami bercakap-cakap. Dia selalu saja menjawab dalam bahasa Indonesia hingga saya menyadari siapa dia. 

"Eh, nuwun sewu bu, kula mboten niteni nek kula ajeng-ajengan kalih njenengan. Tiwasane tek jak ngomong Sunda hahaha.....," ucap saya begitu teringat bahwa dia teknisi asal Purwokerto yang memang paling piawai mengambil darah saya. Akhirnya kami jadi beralih ke dialek ngapak yang kata orang lain sih menggelikan itu. Sayang darah saya akhirnya tiba-tiba berhenti sama sekali sebelum jumlahnya cukup sehingga anak buahnya dimintanya mengambil lagi melalui vena lainnya tentu saja.

"Wah mbak, cukup deh segitu," rajuk saya. 

"Eh kurang bu untuk tumor marker mah, mesti ngambil sedikit lagi," ujarnya menjelaskan.

"Ah, jangan ditusuk lagi lah. Kekurangannya ngambil dari yang kemarin dulu. Atau pastinya udah dibuang ya?" Lontar saya asal-asalan membayangkan jarum bayi itu akan menyakiti saya lagi.

"Wah ya nggak bisa, jangankan kemarin dulu. Yang kemarin juga udah basi lah bu," kata teknisi belia seraya mempersiapkan vena lain di balik siku lengan saya.

"Siapa sih pasiennya?" Tiba-tiba teknisi yang sedang bekerja di seberang saya bertanya seraya mengalihkan perhatiannya kepada saya. "Oh si ibu, sabar ya bu.....," dia menyemangati. Saya sih cuma tersenyum membenarkan. Teknisi itulah yang mengambil darah saya sebelumnya. Jadi dia tahu persis seberapa besar siksaan untuk saya dan koleganya ini. Tapi untunglah didapat 1 cc lagi sebelum saya beralih ke apotek. Hasil laboratorium perlu diperiksakan di laboratorium besar di luar RS sehinnga saya baru bisa mengambilnya paling cepat tiga hari lagi pada jadwal saya berkonsultasi dengan onkologis.

Beralih di apotek pasien banyak juga meski hujan deras masih datang dan pergi. Bu Daisy apoteker yang bertanggung jawab atas pengadaan obat saya ternyata sedang ikut rapat staff. Saya ditemui oleh staff nya yang ternyata jauh lebih tua umurnya dibanding beliau. Staffnya dengan mudah mengenali kami. Tapi dia tak begitu mengerti pokok permasalahan yang kami hadapi. Namun setelah anak saya gencar menjelaskannya dia pun menangkap intinya.

"Oh, jadi obat ini mau dibayar sendiri? Memang sih dik Jamkesda sudah menutup klaimnya," ujarnya.

Anak saya mengangguk sambil menjelaskan bahwa berhubung mereka lalai menginformasikan kepada kami sehingga kemoterapi saya terlambat lagi, maka dokter menyetujui pembelian obat secara mandiri. Rencananya kami akan berangkat membeli di YKI pusat sekalian ke RSKD tetapi terkendala hujan. "Oh baiklah alau begitu, kami pesankan, nanti biayanya kami tagihkan belakangan," kata asisten apoteker itu.

"Tapi tolong segera ya bu, ini kasus gawat bu, nanti dokter Bayu kecewa terus," kedengaran anak saya yang berdiri menghadapnya memberi peringatan. Wah di dalam hati saya, ternyata kondisi saya memang cukup serius. Maka saya harus bisa menghambatnya segera semampu saya. Barangkali hanya dengan berlaku tenang, pasrah dan tawakal saja itu dapat tercapai. Sesuatu yang tak mudah sebenarnya.

Harga obat yang berjuta-juta itu memenuhi pikiran saya. Tapi saya tak bingung sebab Allah saya yakini ada di samping kami. Aroma KekuasaanNya yang dahsyat sering menguar memenuhi sekeliling hidup saya.

Tak urung kami meninggalkan RS juga untuk menjemput si kakak di kantor BPJS. Katanya dia harus membayar premi kami di bank tertentu yang ditunjuk. Jalanan sudah mulai lancar, tapi halaman kantor BPJS justru semakin padat hingga bahu jalan beralih fungsi menjadi lahan parkir.

Premi BPJS terbagi tiga. Sebagai pengguna SKTM saya masuk kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dikenai premi 25,- ribu Rupiah seorang per bulan. Sesuai dengan pemberitahuan pejabat DKK minggu lalu. Nantinya dalam rawat inap saya cuma mendapat kelas 3. Selanjutnya peserta yang menginginkan perawatan di kelas 2 membayar premi 45,- ribu Rupiah, sedangkan 60,- ribu Rupiah untuk perawatan di kelas 1. Bagi orang yang tak pernah mengalami sakit serius sistem ini justru terasa memberatkan dan tak bermanfaat. Saya simak komentar kang Jamil yang mengatakan membayar tapi tak turut memanfaatkan. Walau menurut saya, lebih enak begitu, daripada membayar dan mengalami sakit atau tidak ikut BPJS tapi tiba-tiba sakit keras. Coba bayangkan dari mana kita bisa memperoleh uang puluhan hingga ratusan juta dengan mudah untuk membiayainya???

Sambil melaju ke Bank Mandiri anak saya terus saja bercerita soal BPJS dan pengalamannya barusan. Soal pembayaran premi masyarakat diarahkan ke Bank Mandiri, BRI dan BNi '46. 

Mengenai diri saya, ternyata saya berkasus. "Oh pantas kamu ngurusnya agak lama," komentar saya.

"Ya. Sebab ternyata di basis data mereka identitas ibu tercantum sudah. Tapi merupakan peserta ASKES bukan Jamkesda," cerita anak saya.

"Lha iya betul. Tapi itu dulu. Ibu sekarang nggak bisa mengakses ASKES ibu lagi wong kartu ibu nggak pernah ada di tangan, dipegang PNS nya sendiri," sahut saya spontan. Sejak semula berobat teman-teman DWP saya sering bertanya-tanya mengapa saya kesulitan dana pengobatan sedemikian hebat meski punya jaminan kesehatan PNS. Dan itu selalu saya jawab saya tidak lagi diberi izin memanfaatkannya oleh mantan suami saya sebagai pemegang haknya.

"Nah tadi akhirnya ku katakan juga. Kujelaskan malah bagaimana jauhnya bentangan jarak antara kita dengan bapak. Maka akhirnya si petugas masuk dulu berkonsultasi dengan pimpinannya, lalu keluar dengan solusi ibu disesuaikan statusnya jadi ikut aku. Bayaran preminya aku ambil yang 60,- biar ibu bisa dapat kelas 1 waktu perawatan." beber anak saya melegakan.

"Oh ya alhamdulillah. Ya mas, ambil kelas 1 deh. Just in case, kalau tiba-tiba sewaktu-waktu ibu perlu dilarikan ke RS sedangkan untuk ke RSKD kejauhan, misalnya emergency gitu lho, ibu biar di keep di kelas 1 RSKB supaya mas Bayu lebih senang visiting. 'Kan tahu sendiri beliau bilang RS ini kamarnya nggak memadai," ujar saya dibenarkan kedua anak-anak saya. 

Tak terasa mobil tiba di Bank yang juga padat. Termasuk antrian pembayaran premi BPJS. Kami menunggu sekitar setengah jam tapi tanpa kartu JKN BPJS di tangan anak saya. Sebab ternyata bukti setoran premi pertama itu lah yang bisa ditukarkan dengan kartu JKN BPJS. Sehingga setelah mengembalikan saya ke rumah terlebih dulu baru lah anak saya diantarkan menyongsong masa depan pengobatan saya yang insya Allah akan jadi lebih baik, kembali ke kantor BPJS mengambil kartu kepesertaan kami.

Marilah kita berharap saudara-saudaraku..........

(Bersambung)

Sabtu, 11 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (166)

riday was yesterday, and fight for cancer is my only aim for today. Hari ini jadwal praktek klinik onkologis saya di kampung sehingga seakan-akan suatu hari raya yang amat dinanti-nanti para pasiennya.

Semalam saya sudah meminta anak saya untuk berangkat mendaftar ke RS sepagi mungkin. Entah mengapa menyimak obrolan anak saya dan juga relawan kanker kemarin saya berkesimpulan bahwa hari ini pasien akan meluap. Begitu saya ke dapur tadi pagi ~yang sebetulnya juga agak kesiangan~ saya lihat kamar mandi anak saya masih terisi. Artinya dia belum berangkat ke RS. Tapi saya masih merasa lega karena baru pukul lima lewat seperempat. Dan dia melangkah ke luar rumah dua puluh menit kemudian dengan hasil yang mencengangkan. Kami mendapat nomor antrian 14, sedangkan karena jadwal operasi besar jatuh pada hari ini maka poliklinik hanya menerima 15 pasien saja.

Sebetulnya kami sangat beruntung jika dibandingkan mereka yang tertolak dan harus pulang menanggung kekecewaan lagi. Tapi di dalam hati kecil anak saya bersusah juga sebab kebanyakan pasien datang dari wilayah kabupaten yang sangat jauh. Meski begitu pasien yang dititipkan bu Linda relawan kanker ke tangan kami sudah terdaftar sebagai pasien nomor 2. Agaknya bu Linda benar-benar menyampaikan pesan saya untuknya agar mendaftar selepas sembahyang subuh. ~Maaf jurnal terhenti semalam dikarenakan buruknya kondisi saya~

Belum sampai ada pengumuman jadwal poliklinik onkologi hari itu, SMS anak saya masuk lagi. Dengan empatinya yang tinggi dia menyayangkan para pasien tidak kebagian nomor yang pulang balik ke rumah masing-masing. Sebab ternyata akhirnya dokter menambah jumlah pasien menjadi 20 orang demi menyadari minggu lalu beliau bercuti. 

Hal ini persis seirama dengan rasa syukur seorang ibu bertubuh gempal berumur 42 tahun yang mengajak saya mengobrol sore harinya sambil menunggu giliran konsultasi. Namanya Ita, penderita kanker payudara stadium III yang baru berobat setengah tahun. Sebelumnya dia menderita kista payudara yang dibedah ahli bedah umum. Setelah itu dia kembali merasakan benjolan solid yang dirujukkan ke poliklinik onkologi. Dokter kami memeriksa dengan teliti hingga mendapat diagnosa bahwa itu benjolan ganas. Kanker payudara grade II yang artinya tak seberapa ganas, yang kemungkinan diwarisi secara genetis sebab almarhum ayahnya adalah penderita kanker kelenjar getah bening.

Bu Ita wiraswastawati berputra 3 orang dengan jarak yang jauh satu sama lainnya, tinggal di wilayah terujung kabupaten kami. Jarak tempuhnya ke kota dalam keadaan normal tak kurang dari 2 jam. Tetapi lebih sering menjadi 4 jam. Itu sebabnya dia merasa bersyukur ketika pasien hari itu dinaikkan jumlahnya. "Minggu yang dua minggu lalu saya rugi bu. Saya sudah beruntung dapat nomor, tiba-tiba petugas informasi mengumumkan dokter nggak jadi praktek. Ya sudah saya pulang. Eh, sudah setengah jalan disusuli pengumuman ralat, dokternya mau buka praktek. Ya nggak mungkin lah saya balik lagi. Kan macet banget tuh..... Tapi ya apa boleh buat, saya balik juga. Eh, pas sampai sini lagi, Satpam bilang dokternya baru aja selesai praktek dan baru pulang........."

Keluhannya itu menguak lagi keterlibatan saya dalam insiden itu. Jadi ceritanya, saya sampaikan pengumuman pembatalan praktek langsung kepada dokter berikut alasan bagian pendaftaran bahwa dokter berhalangan ke poli. Hal ini tentu saja mengejutkannya yang merasa siap memeriksa pasien rawat jalan diakhiri dengan pelaksanaan pembedahan. Beliau rupanya amat tersinggung sehingga menghubungi pihak RS untuk membantah. Dari situ terungkaplah kendala tutupnya poli, yakni diakibatkan oleh kurangnya tenaga paramedis yang memang sebagian bercuti. Tentu saja beliau merasa dicurangi dan tidak dihargai, sehingga pihak RS kalang kabut lalu mencabut pengumumannya. Dokter menyatakan terima kasih atas informasi saya. Untuk itu saya minta maaf kepada bu Ita. Dia cuma tersenyum kecut sambil melanjutkan ceritanya bahwa hari ini pun bukan hari baik baginya. Ibu mertuanya yang lanjut usia sedang dirawat di dalam sana karena tiba-tiba menderita gagal ginjal terminal dan menunggu kesiapan operasi ginjalnya besok Senin. Menurut pengakuannya dia merupakan orang kesayangan ibu mertuanya, sehingga tak pernah bisa lepas dari sisinya.

Derita atas cobaan hidup ternyata dialami banyak orang. Tak hanya saya seorang. Bahkan yang lebih menderita dibandingkan saya pun ternyata banyak. Saya cuma bisa memohon keselamatan dan kekuatan batin dan raga untuk kami semua.

Kasus penyakit bu Ita serupa tapi tak sama dengan kasus saya. Sel jahat itu didapatnya secara turun-temurun. Dia dari ayahnya, saya dari saudara-saudara sekandung perempuan saya. Sifatnya berupa kista yang didiagnosa kista jinak. Hanya saja kista bu Ita bersarang di payudaranya, sedangkan kista saya di indung telur (ovarium).

Kista adalah benjolan mengandung cairan pada organ tubuh manusia. Kista ini umumnya jinak. Di indung telur, kista ini berjenis-jenis. Ada yang ganas ada yang jinak. Bahkan yang jinak bisa menghilang dengan sendirinya. Kista saya kemungkinan besar bersifat ganas, sebab pertumbuhannya sangat cepat. 

Biasanya setelah dioperasi kista itu diperiksakan di Laboratorium Pathologi Anatomi untuk memeriksa karakteristik dan keganasannya. Waktu itu dokter saya di Singapura yang mengoperasi dan merawat saya dari tahun ke tahun selalu mengatakan hasilnya jinak. Sehingga saya tak pernah diobati dengan kemoterapi. Ini amat disayangkan onkologis saya sekarang. Sebab menurutnya, jika kista itu terus saja tumbuh dari tahun ke tahun dengan cepat membesar dokter harus mencurigai keganasan. Seharusnya pada saat itu saya dikemoterapi.

Pada bu Ita, dokter yang membedahnya adalah ahli bedah umum. Onkologis kami menyayangkan mengapa bu Ita tidak langsung berkonsultasi kepadanya. Padahal mereka berpraktek di RS yang sama. Seharusnya pada waktu pertama tumbuh, tidak langsung dioperasi. Namun apa hendak dikata. Manusia tetap lah manusia yang bisa berbuat salah.

Sore itu saya memeriksakan kembali sel darah merah, darah putih dan kepingan darah saya setelah saya disuntik. Alhamdulillah 15 menit kemudian saya menerima hasilnya yang dinyatakan sudah teratasi. Karenanya ketika saya masuk ke ruang konsultasi, yang pertama saya sampaikan adalah terima kasih kepada pak Omrin yang menyuntik saya seraya mengatakan bahwa suntikannya yang menyakitkan itu membahagiakan saya. Saya serasa lulus ujian saja karenanya. "Tapi terus terang, suntikan bapak yang ini ~seraya menunjuk pak Omrin~ lebih sakit dibandingan suntikan bapak yang itu ~seraya menunjuk onkologis~. Padahal udah pake senjatanya mas Bayu lho.....," ujar saya seraya mengambil posisi duduk. 

"Senjata saya apa sih?" Dokter bertanya seraya nyengir-nyengir geli.

"Srrrrrtttt..... srrrrrttttt.....!" Ucap saya sambil memeragakan semprotan alkohol yang lebih mirip air es itu sehingga mereka berdua tertawa serempak.

"Udah kemo, bu?" Tanya dokter langsung ke pokok persoalan.

"Belum, lha nggak dikasih-kasih kabar dari apotik," jawab saya terang-terangan. "Obatnya belum ada tuh. Mereka bilang yang dulu dosis tinggi itu susah didapat," jujur saya ungkapkan apa kata mereka selaku penanggung jawab pengadaan obat.

"Walah! Dulu kasusnya ribet di birokrasi, sekarang apotik ikut-ikutan menghambat. Coba obat apa sih yang nggak ada stocknya?" Sambut dokter saya nampak amat kecewa.

"Ya mbuh, coba nDrie tolong ke apotek tanya bu Daisy," perintah saya kepada anak saya yang sudah sangat dikenali nyaris sebagian besar staff RS.

Anak saya beranjak pergi, tapi segera dicegah zuster Umi yang akrab kami sapa sebagai budhe karena senioritasnya. "Nggak usah nak, saya telepon aja," lalu dengan cekatan beliau sudah tersambung serta mengobrol.

"Mas Andrie, mereka tanya berkas resepnya sudah di apotek belum ya?" Kedengaran zuster Umi menanyai anak saya.

"Sudah budhe. Ini biar saya bawakan copy-an nya ke sana, biar jelas wong sudah di acc di DKK," jawab anak saya.

Tak lama kemudian anak saya sudah kembali lagi bersama petugas apotek. Di tangan petugas sudah ada berkas aslinya. Dia menjelaskan bahwa obat saya di akhir tahun kemarin baru dapat satu. Sisa satunya waktu itu masih dicari. Sekarang walau pun ada tak bisa diproses karena DKK sudah mengakhiri klaim Jamkesda sehingga kelak obat ini diproses di BPJS dengan dana JKN.

"Oh...., kok saya nggak dikasih tahu sih? 'Kan kalau masalahnya dana, saya akan upayakan cari sendiri ~saya bicara seraya menatap mata dokter budiman di seberang saya~ yang penting dikemo," sesal saya diperkuat ucapan dokter saya.

Dokter langsung membenarkan seraya berujar bahwa patokan kemo tidak bisa dilanggar semaunya. Kalau di Bogor caranya begini, beliau akan mengupayakan saya diobati di RSKD saja lagi entah dengan modal kekuatan apa. Dalam pada itu petugas apotek yang belia itu menunduk entah malu entah takut-takut.

"Mbak, kalau saya upayakan beli sendiri ke Jakarta, boleh?" Tanya saya.

"Jangan bu, dananya yang nggak bisa dikeluarkan" katanya dibenarkan dokter saya.

"Bukan begitu, saya cari uang sendiri, saya pergi beli, kemonya di sini," ujar saya meluruskan maksud saya.

"Oh iya kalau gitu. Silahkan bu, nanti obatnya segera disampaikan ke saya, supaya registrasi ruang kemonya bisa cepat diatur bu Maria," perempuan itu berkata melegakan.

"Ya bener gitu aja bu. Beli di YKI sekalian ibu CT Scan lagi ya ke Dharmais, saya kuatir tuh lihat kondisi tumor ibu gara-gara birokrasi lamban," perintah dokter saya separuh menggerutu. "Berapa sih harga Carboplatinnya?" 

"Empat juta lima ratus dok," jawab perawat dan anak saya bersamaan yang saya tutup dengan janji akan segera mendapatkan dananya.

"Udah ngurus ke BPJS?" Tanya dokter beralih topik selepas petugas apotek kembali ke posnya, seraya menghampiri saya mulai memeriksa tumor saya yang kian membesar dan menyakiti.

Tangan dokter saya terasa dingin ketika disentuhkan. Wajahnya pun mengernyit serius. "Waduh, sudah segini. Gara-gara dulu telat sebulan, sekarang seminggu. Ya, ini sih harus kembali ke RSKD bu, kita perlu sekali penanganan team, ngurus BPJS ya, mumpung masih belum tertata baik saya pikir BPJS berlaku nasional sekarang saya bisa bawa ibu dengan enak," katanya.

"Ya mas, belum sempat ke BPJS. Kemarin dipakai ngurus rujukan ke sini, tapi besok sudah janjian mau ngurus bareng pak Nedi," jawab anak saya menjanjikan.

"Ya, segerakan. Ibu lusa dengan adik CT Scan di Dharmais terus beli obat. Kemonya di sini dulu memanfaatkan Paclitaxel yang sudah di apotek. Selanjutnya kembali ke kantor saya," pesan dokter saya terinci rapi. Ah, bahagia dan bangganya saya berada di bawah pengawasan beliau. Bertolak belakang dari bu Ita yang kecewa demi mendengar selentingan dari para pasien bahwa di RS yang baru nanti yang lebih dekat ke desa bu Ita dokter kami tidak akan ikut pindah. Beliau akan tetap berada di sini bersama kami. Mungkin dokter lain akan direkrut menggenapi kekosongan poliklinik beliau di lokasi baru calon RSUD.

Pemeriksaan malam itu berakhir di sini ditutup dengan penjelasan atas pertanyaan saya bahwa apakah ada suplemen atau obat yang bisa menutrisi pasien yang malas makan dan kekurangan gizi. Jawabannya dulu ada, tapi kini dilarang. Sebab ternyata mudharatnya lebih terasa dibandingkan manfaatnya.

"Ya sudah, terima kasih mas Bayu, assalamu'alaikum," saya minta diri diiringkan beliau yang biasa menyalami dan mengguncang-guncang bahu saya hingga ke pintu ruang prakteknya. Eh, tapi tiba-tiba Andrie anak saya usil membocorkan erangan saya di waktu malam ketika nyeri itu datang mengusik nyenyaknya tidur, "nih nanti malam ibu akan ngoceh, aduh....., sakit mas Bayu...... sakit......"

"Hahahaha......." gemuruh perawat dan dokter serempak tertawa. Sebagai pengusir malu, saya sahuti, "ya masa' ibu ngeluh sakit mas Drie..... atau sakit Adik...... kalian 'kan nggak bisa apa-apa. Lha kalau ibu bilang sakit pak Omrin...., sakit budhe Umi..... ya percuma wong di sini masternya dokter Bayu je."

"Oh ya dok, congratz ya! Dokter Bayu makin populer. Sekarang di site saya banyak lho yang searching dengan key words dr. Bayu Brahma, onkologis di Bogor, dr. Bayu Brahma praktek di mana, RS Karya Bhakti, dr. Bayu Brahma onkologis RS Karya Bhakti, sampai yang nyeleneh, istri dokter Bayu Brahma hahaha.......Yuk ah, selamat malam semuanya," ucap saya menuju ke luar ke kegelapan malam yang mulai datang. Hujan masih saja lebat di luar sana, selebat tangis di hati saya menyadari saya tak bisa lagi ditangani hanya di kampung saja.

Bismillahirahmanirrahim, la haula wala quwwata..........

(Bersambung)

Jumat, 10 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (165)

nggan bangun disertai erangan-erangan lirih dari mulut saya kerap terjadi akhir-akhir ini. Penyakit kanker ini demikian menyiksa. Menyakiti dan melemahkan tubuh. Saya ingin segera sembuh, terbebas darinya.

Ini adalah hari pertama sehabis saya disuntik Leucogen untuk menaikkan bilangan sel darah putih saya, karena akhirnya kemarin saya minta disuntik di poli bedah umum. Biasanya begitu disuntik, kondisi saya akan membaik. Tapi tidak kali ini. Saya bahkan jatuh di sisi tempat tidur ketika mencoba bangkit untuk mengambil air sembahyang subuh yang nyaris terlewat lama. Maklum mulai semalam saya terbatuk-batuk terutama di tengah-tengah tidur, sehingga dentang lonceng setengah empat pagi lewat dari tangkapan telinga saya. Akibatnya merdu lengkingan muadzin dari masjid yang bertebaran di sekeliling tempat tinggal saya tak terikuti.

Untung saya segera bisa bangkit kembali meski tertatih-tatih sedangkan anak saya sudah kembali tergolek pulas. Ah benar saja, pukul lima lewat sembilan menit. Rupanya tadi anak saya sengaja tidak membangunkan saya melihat semalaman saya terganggu batuk. Maka segera saya tunaikan shalat subuh disinari matahari yang mulai membayangi bumi.

Dokter bedah umum agak sedikit bingung waktu saya memenuhi panggilan masuk ke polikliniknya.

"Ada apa ini, bu?" Tanyanya sambil mengamat-amati saya.

"Begini dok, jadwal kemo siklus ketiga saya mestinya sudah tiba. Tapi kemarin hasil lab saya banyak yang jelek, sehingga clearance kemo saya belum keluar. Leukosit saya drop betul ke bilangan 1790, juga Hb saya cuma sembilan koma," terang saya.

"Oh......., jadi?" Tanya beliau.

"Saya disuruh dokter Bayu menghadap dokter, minta tolong disuntikkan Leucogen di sini," jawab saya.

Dokter itu mencerna maksud saya sambil menulis-nulis di lembaran Rekam Medis saya. "Hb masih cukup lah bu. Tapi leukosit, berapa tadi seribu tujuh ratus.....?"

Anak saya mengatakan bahwa lembar hasil laboratorium saya sudah ada di Rekam Medis, beliau bisa mengeceknya sendiri. Lalu dokter pun mulai membalik-balik dokumen saya di tangannya. "Di mana ya? Ke dokter penyakit dalamnya kapan?"

"Kemarin dulu dok,"jawab saya yang kemudian diikuti temuannya,

"Oh ya ini, ya rendah sekali ya. Lain-lain cukup bagus bu," ujarnya.

"Kadar ureum atau kreatinin saya di kimia darah, eh, apa sih istilahnya, buruk dok, tidak mencapai angka minimal," terang saya lagi.

"Apa? Ureum? Oh creatinin clearance ya?" Ujar beliau sambil membuka lembaran kedua. "Nggak apa-apa bu, masih memadai kok," jawabnya. "Ya sudah boleh mana obat suntiknya, ada?"

Anak saya segera mengeluarkan bawaan kami. "Dok, silahkan kalau mau periksa pasien lain, saya dengan pak Omrin saja," kata saya ketika mendengar sudah ada pasien lain di bilik sebelah saya. Anak kecil pula. Dia meraung-raung ketakutan bahkan begitu dia masuk ke dalam poli.

Lalu dengan bahasa tubuhnya dokter meminta perawat melakukannya. Dengan senang hati pak Omrin menghampiri bilik pemeriksaan saya. "Ayo bu, silahkan, mau disuntik di mana nih, di lengan atau di perut?" Tanyanya ramah. 

"Di perut ah pak. 'Kan mas Bayu bilang jangan di lengan, mudah infeksi," jawab saya seraya mempersiapkan diri. 

Perawat mulai mengambil kapas dan alkohol, tapi segera saya protes sehingga mengakibatkan dokter berhenti sejenak melihat ulah saya seraya tersenyum geli. "Aih pak Omrin, pakai senjatanya mas Bayu ah," protes saya.

Perawat itu mengerti, tapi pak dokter tidak. Beliau berdiri sejenak mengawasi saya sementara pak Omrin bergegas memenuhi permintaan saya.

"Ini, ayo," katanya.

"Apa sih itu?" Ujar dokter senior itu penuh rasa ingin tahu diakhiri dengan seruan. "Oooooohhhhh...."

"Iya dok, ibu saya paling takut disuntik," anak saya berkomentar yang kemudian saya lengkapi sendiri, "apalagi di perut. Sensasinya itu lho dok. Lebih baik surgery sekalian." Sungguh ucapan konyol yang membuat dokter terbahak-bahak. 

"Ah, ada-ada aja," komentarnya seraya menghampiri pasien balita yang masih juga menangis sementara semprotan dingin yang biasa dipakai onkologis saya beraksi dilanjutkan dengan suntikan yang bagi saya memang amat menyakitkan. 

"Sudah bu," kata pak Omrin seraya tersenyum, tapi jemarinya masih lekat di kulit perut saya.

"Terima kasih ya pak, sakit juga euy," balas saya seraya berkemas-kemas. Memang terasa beda jari beda kelembutannya hahahaha......

***

Ketika keesokan harinya anak saya kembali ke DKK untuk mengurus surat rujukan kontrol saya ke poliklinik onkologi, dia mendapati kepadatan lagi. Meski baru pukul delapan lewat sedikit pasien yang mengantri sudah di atas 20 orang. Dan kali ini semua ada di tempat. Tak berani seperti dulu, banyak yang datang mengambil nomor tapi kemudian ditinggal pergi dulu sehingga ketika nomornya dipanggil pasien itu tak ada. Tentu saja menjengkelkan petugas dan para pasien lain. Anak saya bilang sudah kira-kira seminggu dia melihat pasien yang berlaku semaunya sendiri seperti itu diusir pulang petugas dengan alasan mereka merasa tak dihargai.

Bersama anak saya banyak pasien onkologi termasuk pasien onkologis saya. Tentu saja kami saling mengenal dan langsung duduk membaur dengan akrab. Yang seorang, yakni yang baru dua kali dikemoterapi menceritakan bahwa pasiennya sudah mulai malas makan, ketakutan makan ini-itu. Belum lagi tangan kakinya sudah kesemutan.

"Wah, reaksinya cepat amat bu? Ibu saya sampai tammat kemo yang pertama nggak pernah kesemutan tuh. Baru kali ini, sampai kaku kram segala," komentar anak saya.

"Iya tuh, saya juga  nggak tahu. Tapi sudah saya bilang sih, itu efek kemo. Jadi mesti makan yang benar," sahut si istri yang datang sendiri mengurus rujukan suaminya. Si pasien katanya sedang berurusan lain dengan pihak Kecamatan. "Ini mah, makan tauge takut, kangkung takut, habis waktu googling katanya itu merusak daya kerja obat kemo."

"Eh rambutnya gimana bu? Dah rontok?" Tanya anak saya lagi.

"Udah. Sekalian digundulin sama dia, liciiiinnnn sekarang. Habis jengkel juga sih lihat rambut-rambut bertebaran di sarung bantal," jawab si ibu lagi.

"Hahahaha..... itu rambut lelaki ya?! Coba ibu jadi saya, rambut ibu saya dulu ada di mana-mana. Ya di tempat tidur, ya di lantai, ya di kamar mandi. Tapi ibu saya pe-de aja langsung ke salon juga minta digundulin," sahut anak saya. "Halah, nyapuin rambut perempuan bu......... reseh. Terbang ketiup angin segala," terang anak saya sambil tertawa mengenangkan saat itu. Putaran pertama kemoterapi saya yang menjadikan saya pas ditahbiskan sebagai pasien kanker.

"Eh, besok dokternya praktek nggak ya?" Seseorang menanyai anak saya.

Anak saya sempat terlongong-longong sedikit sebelum menyadari bahwa orang itu bertanya kepadanya. "Oh, insya Allah ada." Dalam hati anak saya bertanya-tanya mengapa dia yang ditanyai. Apakah agaknya mereka menganggap kami punya hubungan khusus dengan dokter.

"Wah susah juga ya kalau tutup lagi. 'Kan udah dua kali tutup.....," keluh mereka yang dibenarkan anak saya. 

Mendengar cerita anak saya, saya cuma geleng-geleng kepala. Membenarkan, dokter belia ini memang menyenangkan dan sedang naik daun.

"Tuh kalau nggak datang lagi, pindah ke dokternya si ibu itu," sahut seseorang melontarkan gagasannya yang segera disahuti yang bersangkutan dengan penolakan. "Ah, enggak mending nunggu aja lagi. Mesti banyak sabar. Udah enakeun sih di dokter kita." Ini benar-benar suatu penegasan yang memperkuat citra positif onkologis saya.

***

Obrolan itu sejalan dengan cerita bu Linda relawan kanker yang menjenguk saya membawa buah tangan berupa suplemen herbal buah berasal dari Cina yang dibelinya di toko hasil bumi tertua di kota kami di daerah Pecinan (China town). Beliau mengajak serta ibu dr. Mariana yang belum saya kenal yang baru dibawanya meninjau panti Wredha milik sebuah gereja Katholik. Perempuan sepuh ini amat baik hati. Tanpa merasa terpaksa, beliau meluangkan waktu bicara dari hati ke hati dengan saya. Juga tak lupa memuji-muji bu Linda sebagai manusia berhati mulia.

Rupanya sebelum ke PW di daerah Tonjong, Kemang, bu Linda juga pernah membawanya ke rumah-rumah pasien kanker dampingannya yang lain. Diantaranya bu Linda mengajak mengunjungi pasien tidak mampu di wilayah kota Bogor Selatan yang termasuk pelosok yang belum pernah saya ketahui, juga ke tengah-tengah kota. 

Kondisi pasien disebutkan sudah sangat parah karena sudah sakit bertahun-tahun. Waktu itu suaminya bekerja di Pertamina di luar kota. Entah mengapa dia sepertinya tak dibawa ke onkologis, hingga penyakitnya terus memburuk. Dokter yang dulu mengoperasi tumor payudaranya tak memberi arsip riwayat penyakit dan penanganannya. Sehingga kini ketika bu Linda menghubungi dokter onkologi dari Yayasan Kanker indonesia (YKI) maupun Yayasan Dompet Dhuafa mereka kebingungan menanganinya. Ibaratnya pemeriksaan mesti diulang dari awal, sebab hasil biopsi pun tak pernah ada di tangan pasien yang menilik pekerjaan suaminya tentu bukan orang tak berpendidikan.

Sedangkan pasien di wilayah tengah-tengah kota jauh lebih baik keadaannya. Semula dia berobat dan ditangani onkologis di salah satu RS pemerintah yang besar di Jakarta. Payudaranya sudah dibuang sebelah. Tetapi sekarang di bekasnya tumbuh benjolan lagi. Siapa pun tentu merasa khawatir. Karena itu dia kembali berkonsultasi dengan dokternya. Apa daya dokternya terkesan arogan dan meremehkan. Dengan tenang tanpa melalui pemeriksaan yang teliti dikatakan bahwa payudaranya bersih, sudah tak ada lagi benjolan di situ. Seketika si pasien menghendaki dokter untuk merabanya. Masya Allah, ternyata dokter itu tetap menolaknya dengan ucapan yang kurang pantas. 

Berhubung demikian, dia kemudian ingin berganti dokter. Dan konon katanya, dia membaca dan mendengar mengenai onkologis saya. Lalu dia mendaftar ke RS minggu lalu, yang bersamaan dengan tutupnya poliklinik secara berturut-turut. Tak kehilangan akal dia bergegas ke RSKD demi untuk bisa berobat padanya. Tentu saja dia kesiangan, sehingga nomor antrian di poliklinik RSKD pun sudah habis. 

Untung dia bertemu bu Linda yang sedang mendampingi pasien. Setelah mendengarkan kisahnya bu Linda berinisiatif mencarikan pasien asal Bogor. Mereka diminta berkenalan dulu, selanjutnya bu Linda menitipkan orang itu kepadanya. Alhamdulillah si pasien bersedia, begitu pun dokter kami mau tak mau tak menolak juga. Sekarang semakin banyak saja pasien beliau, termasuk "pasien selundupan" begini. Entah siapa pula lagi yang turut mempromosikan dokter muda cemerlang kebanggaan desa kami ini?! Yang jelas 'kan ya tak mungkin kalau hanya gara-gara E-Diary saya ini?! :-)

Oh ya, sebagai balas jasa atas kebaikan dan kedermawanan bu Linda, hari ini, Sabtu, saya diminta bu Linda menolong "pasien baru" lagi. Yakni pasien pindahan yang pernah diceritakan payudaranya sudah membusuk kedua-duanya. Coba bayangkan, bagaimana dia tidak ingin ganti dokter kalau selama hampir tiga tahun berobat penyakitnya tak membaik sedangkan perawatan luka pun tak pernah diajarkan?! 

"Ya, ya deh saya dampingi. Besok saya memang ke poli kok," janji saya. "Ngomong-ngomong kalau emergency kenapa dia nggak ke dokternya aja dulu waktu dr. Bayu tutup minggu lalu, bu Linda?" Tanya saya penasaran.

"Ah, udah ilfil katanya. Dia udah bertekad mau ganti dokter aja ke dokternya bu Julie..... Lagian katanya waktu minggu lalu dia kecelik itu, memang banyak yang menyayangkan kenapa baru sekarang milih ke dr. Bayu.......?!" Jelas bu Linda.

"Lho, siapa gitu yang ngomong?" Tanya saya.

"Banyak orang yang ketemu di pendaftaran pada hari itu," sahut bu Linda.

"Oh.... oh...., yang jelas bukan saya ya, saya nggak merasa ketemu dan bukan provokator lho hehehehe........," timpal saya.

"Ah udah ah, kalau ke sini pasti keasyikan ngobrol. Tuh suplemen buat Hb diminum ya, tiga kali sehari juga boleh. Saya masih mau ke Cipinang Gading," tutup bu Linda berpamitan.

Saya cuma bisa mengangguk dan melambaikan tangan dari atas pembaringan saya mengiringkan kepergiannya yang saya tahu bukanlah perjalanan yang sia-sia. Semangat bu Linda dan kini dr. Mariana di mata saya amatlah luar biasa. Semoga Tuhan menyertai mereka.

(Bersambung)


Pita Pink